Ruangan itu tertelan gelap seperti perut bumi. Dinding-dinding kayu tua yang lembap seakan merapat, menutup setiap celah cahaya. Hanya ada aroma yang menusuk, menggantung di udara berat dan membuat dada sesak.
Naila berdiri kaku di tengah ruang itu, jantungnya berdebar tak terkendali, seperti palu yang menghantam dari dalam. Napasnya patah-patah, dada terasa sempit, kulitnya dingin bagai diguyur hujan malam.
Hidungnya menangkap wangi campuran: alkohol pekat yang seolah terbakar di udara, bercampur samar dengan aroma pinus tajam dari cologne yang begitu familiar. Wangi itu menyeret ingatan tanpa ampun, menyingkap nama yang langsung membuat tubuhnya membeku.
Galih.
Naila menelan ludah, giginya menggigit bibir bawah hingga terasa perih. Tubuhnya menegang, seakan ada akar dingin merambat dari telapak kaki, menahan setiap geraknya. Ia ingin menjerit, tapi suara itu tertahan di tenggorokan, hanya bergetar di udara tanpa pernah keluar.
Rasa takut menyusup
Laboratorium sore itu dipenuhi cahaya putih dari lampu neon yang tak pernah padam, bergema halus di dinding kaca yang dingin. Aroma khas bahan kimia bercampur dengan bau kertas dan mesin elektronik.Di tengah ruangan, Alysa masih terlelap di atas meja, kepalanya tertumpu pada lengan, napasnya pelan dan berirama. Rambutnya yang tergerai menutupi sebagian wajah, memberi kesan rapuh di tengah dunia penuh logam dan mesin ini.Naila masuk tanpa suara, langkahnya hati-hati seolah takut membangunkan temannya. Ia menaruh tas di kursi, lalu duduk di depan komputer yang monitor hitamnya memantulkan bayangan samar wajahnya.Jarum jam di dinding mendekati pukul dua siang. Sejenak ia menimbang, tapi rasa kantuk yang tadi sempat menekan matanya ia tepis dengan keras. Ia menarik satu buku catatan dari rak, membuka lembar yang penuh coretan rumus, lalu mulai membaca.Hanya beberapa menit kemudian, tepat pukul 13.55, suara alarm ponsel memecah keheningan. Alysa tersentak
Naila mengerutkan kening, menatap Galih yang duduk di sebelahnya. Lelaki itu tampak terlalu tenang, wajahnya datar, tak ada tanda-tanda gelisah atau terkejut.“Kamu tidak percaya?” suara Naila terdengar pelan, nyaris bergetar, namun tetap berusaha terdengar tegas.Belum sempat ia menarik napas dalam, Galih tiba-tiba mencondongkan tubuhnya. Gerakan itu cepat, mendadak, membuat Naila refleks menyingkir. Bahunya menempel ke kaca jendela mobil, hampir saja kepalanya terbentur, jika saja tangan Galih tidak segera terulur, menahan lembut di belakang kepalanya.Waktu berhenti sejenak. Nafas Naila tercekat ketika merasakan sentuhan ringan di keningnya. Sebuah kecupan, singkat, sekilas, namun cukup untuk membuat darahnya mengalir deras ke wajah. Seolah ada bulu tipis menyapu kulitnya, halus, nyaris tak nyata, tapi meninggalkan getar yang dalam.Galih segera menarik diri. Matanya terarah ke wajah Naila, ada kilatan bersalah yang tak ia sembunyikan. Suar
Awalnya, Naila hanya berniat memanfaatkan Galih. Rencana itu sederhana, nyaris kejam, seperti bidak catur yang digeser tanpa rasa. Tapi pagi ini, semua berubah. Ia bahkan tadinya tak berniat datang, memilih tenggelam dalam rutinitas kosong yang akhir-akhir ini jadi selimutnya.Sampai sebuah pesan singkat dari Rama masuk ke ponsel. Foto yang terlampir membuat dadanya seakan diremas tangan tak kasatmata, perihnya merambat hingga ke tulang.Jantung Naila berdegup lebih kencang dari biasanya. Ada sesuatu di balik bayangan itu, sesuatu yang tak lagi bisa ia sangkal: ia jatuh. Bukan tersandung. Jatuh hati. Pada Galih. Dan menyadari hal itu, menunggu dalam diam tiba-tiba jadi siksaan yang mustahil ia terima.Galih berdiri tak jauh darinya, sosok tinggi dengan wajah yang lebih banyak disembunyikan di balik dingin dan diam. Saat bibirnya akhirnya terbuka, suaranya lirih, namun cukup tajam untuk menembus ruang di antara mereka.“Kali ini aku biarkan. Tapi lai
Rama duduk di kursi empuk bergaya kolonial, tak jauh dari tempat Galih berlutut di lantai marmer. Senyumnya tipis, matanya menyipit, penuh rasa puas.Tubuhnya masih terasa ngilu akibat tendangan Galih tadi pagi, rasa perih itu seperti cambuk kecil yang justru menambah nikmat saat melihat lelaki itu sekarang terkapar. Ada getaran haus balas dendam yang berputar dalam dada Rama, seolah kesempatan ini terlalu berharga untuk dilewatkan.Momen seperti ini tak datang dua kali. Sayang sekali kalau Naila tidak menjadi saksi. Rama mengangkat ponsel, cahaya layar memantul di wajahnya yang berkeringat, lalu ia mengabadikan detik itu: Galih dipukul ayahnya sendiri.Dengan jemari bergetar menahan antusiasme, ia segera mengirim foto itu kepada Naila. Bibirnya mengembang menjadi senyum penuh kemenangan.***Setengah jam berselang, sebuah mobil berhenti di depan rumah besar keluarga Santosa di kawasan elite Jakarta Selatan. Dinding pagar menjulang tinggi, berlapis
“Apa?!” Suara Rama pecah, memantul di ruangan yang hening. Matanya membelalak, urat di lehernya menegang, seolah-olah apa yang baru ia dengar lebih mustahil daripada cerita hantu di masa kecilnya.Udara di sekitar mereka seketika mengental. Tatapan orang-orang yang sebelumnya sibuk dengan urusan masing-masing, kini beralih penuh rasa ingin tahu. Ada yang menahan napas, ada yang pura-pura sibuk dengan ponsel tapi telinganya jelas terarah ke arah keributan itu.Rama menyeringai, senyum yang tidak pernah menyimpan kehangatan. Bibirnya terangkat sebelah, menampakkan kepuasan yang dingin. “Pantas saja kamu buru-buru minta cerai. Ternyata kamu sudah menempel ke Om-ku. Naila, kamu nggak ada bedanya sama perempuan murahan di luar sana.”Ucapan itu menusuk seperti pecahan kaca. Sekejap kemudian, suara tamparan keras menggema, begitu nyaring hingga menelan keheningan ruangan. Kepala Rama terhempas ke samping, pipinya berbekas merah tegas dari telap
Naila mengerutkan kening, garis tipis muncul di antara alisnya. Ia menatap Galih dengan bingung.“Belum pernah. Kenapa tanya begitu?” suaranya pelan, sedikit ragu.Galih menyandarkan tubuh di kursi, tangannya bersedekap, pandangan mengarah pada hidangan di meja. Aroma asparagus yang baru ditumis bercampur dengan wangi bawang putih dan mentega masih menggantung di udara, namun ada sesuatu yang membuatnya enggan.“Kalau begitu, kenapa kamu tetap masak?” tanyanya datar.Piring di hadapan mereka tampak menggiurkan, warna hijau asparagus berpadu dengan kilau minyak zaitun, seolah menggoda siapa saja yang melihat. Namun begitu sepotong masuk ke mulut, rasa asin menusuk lidah sampai membuatnya kelu.Galih menahan helaan napas, menyesali keputusannya membiarkan makan malam ini berlangsung di rumah.“Kurang enak ya?” tanya Naila, suaranya mengandung kecemasan. Ia menatap wajah Galih, mencari jawaban.Galih h