Share

Bab 83: Kau Pasti

Author: Rizki Adinda
last update Huling Na-update: 2025-09-25 09:36:27

Malam masih lekat di kaca-kaca tinggi gedung Teknologi Prospexa ketika Sandi menutup pintu ruang kerja dengan hati-hati. Lampu-lampu koridor bergeming, hanya deru mesin AC dan bisik pendingin server yang mengisi kekosongan.

Di atas meja besar berlapis kayu oak, sebuah map hitam tampak kontras; tebal, berisi kertas-kertas yang membuat ruangan seolah mendengus. Sandi meletakkan map itu di depan Galih dengan telapak sedikit gemetar.

Cahaya lampu meja menyorot wajahnya, memperlihatkan garis-garis ragu di antara alisnya.

“Pak Santosa… Anda yakin dokumen ini mau langsung diberikan ke Mbak Naila?” suaranya rendah, hampir takut menabrak bisu malam.

Map itu bukan sembarang berkas. Di sana teratur foto-foto, percakapan yang dicetak, transaksi rekening, bukti-bukti yang bila disusun rapi akan menjadi tali yang menarik Gusti masuk ke dalam jeruji. Gusti, kakak kandung Galih, yang dalam keluarga Santosa dikenal lihai menyelinap di antara celah-celah hukum.

Meny

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App
Locked Chapter

Pinakabagong kabanata

  • Terpaksa Menikahi Paman Suamiku   Bab 220: Jangan Panik

    Satu jam berlalu sejak rapat dimulai. Di ruang meeting lantai sepuluh, udara dingin dari pendingin ruangan berpadu dengan aroma kopi hitam yang mulai dingin di sisi meja panjang berlapis kaca. Galih duduk di ujung meja, jasnya masih rapi, mata fokus pada layar proyektor yang menampilkan grafik penjualan.Suaranya bariton tapi lembut ketika menjelaskan strategi kuartal berikutnya. Namun di tengah paparan yang nyaris tanpa cela itu, ponselnya bergetar di atas meja, menciptakan getaran kecil di ruangan yang terlalu hening.Nama “Naila” muncul di layar.Instingnya langsung berubah, refleks seperti ayah baru yang belum terbiasa tenang menghadapi krisis kecil. Ia memberi isyarat pada Sandi, asisten mudanya, untuk melanjutkan pembahasan, lalu menjawab telepon sambil menundukkan kepala sedikit, berusaha menjaga agar suaranya tak terdengar keras.“Ada apa?” tanyanya pelan, meski di dadanya sudah tumbuh rasa khawatir.Suara Naila di s

  • Terpaksa Menikahi Paman Suamiku   Bab 219: Jangan Bawa Mia ke Kantor

    Satu jam kemudian, suara musik lembut memenuhi udara, menggiring langkah-langkah kecil menuju momen yang paling ditunggu. Lampu kristal di langit-langit ruang perjamuan berkilau memantulkan cahaya hangat, menari di gaun-gaun para tamu.Udara wangi bunga lili dan melati bercampur dengan aroma kayu manis dari lilin aromaterapi yang berjajar di sepanjang lorong utama. Semua mata tertuju pada pintu besar yang perlahan terbuka.Dari balik celah itu, Larasati muncul, bergandengan dengan ayahnya. Gaun putihnya memantulkan cahaya seperti salju yang baru turun, lembut dan murni. Tiap langkahnya diiringi gesekan lembut renda di lantai karpet merah.Di sisi lain ruangan, Aksara berdiri tegak dengan jas hitamnya, wajahnya tak beranjak dari sosok yang kini berjalan ke arahnya. Ada sesuatu di sorot matanya, semacam campuran antara tak percaya dan haru yang berusaha ia sembunyikan di balik senyum tenang.Ayah Larasati, Budi, menggenggam tangan putrinya dengan lembut, na

  • Terpaksa Menikahi Paman Suamiku   Bab 218: Aku yang Jagain

    Langit sore di atas vila itu perlahan merona jingga, menumpahkan cahaya hangat yang menyelinap lewat celah dedaunan. Udara lembut membawa aroma teh melati dari dapur yang belum sempat dibereskan. Di teras belakang, suara serangga mulai muncul pelan, menandai pergantian waktu.Naila berdiri dengan kedua tangan bersedekap di dada, menatap Galih yang masih bermain dengan Adek di pangkuannya. Senyum kecil menghiasi wajah laki-laki itu, namun di balik senyum itu ada sesuatu yang menegang, sesuatu yang tak diucapkan.“Mulai besok, kamu nggak boleh bawa Adek ke kantor lagi,” ucap Naila akhirnya, suaranya terdengar lembut tapi pasti. “Aku yang jagain dia di rumah, supaya ikatan ibu-anak kita semakin kuat.”Galih mengangkat alis, wajahnya berubah sedikit heran. “Naila, apa kamu cemburu karena dia lebih suka sama aku?” tanyanya dengan nada menggoda, tapi matanya mencari sesuatu di wajah istrinya, seolah ingin memastikan apakah kalimat i

  • Terpaksa Menikahi Paman Suamiku   Bab 217: Menikah Itu Capek Banget

    Selama beberapa bulan berikutnya, hidup Larasati seperti berputar di satu poros: persiapan pernikahan. Setiap hari dipenuhi daftar hal yang harus diselesaikan, panggilan telepon yang tak berujung, dan rapat-rapat kecil yang terus menuntut keputusan baru.Di sela kesibukan kantor, ia mengatur janji temu dengan desainer, memeriksa undangan, bahkan mengecek detail sekecil warna pita di souvenir.Pernikahan mereka dijadwalkan pada 8 Agustus, tanggal yang menurut ibunya membawa keberuntungan. Waktu tersisa kurang dari enam bulan, tapi rasanya seperti detik yang terus berlari.Kadang Larasati terbangun di tengah malam hanya untuk memastikan konsep dekorasi masih sama dengan keinginannya, atau menuliskan ide yang tiba-tiba muncul di kepala.Ia bahkan sempat terbang ke Milan untuk bertemu desainer gaun pengantin pilihannya. Di ruang kerja yang dipenuhi kain sutra dan renda, ia berdiri di depan cermin besar, melihat pantulan dirinya dalam potongan gaun yang belum

  • Terpaksa Menikahi Paman Suamiku   Bab 216: Arti Gaun Pengantin

    Sepuluh menit setelah mobil mereka menepi di depan restoran kecil bernuansa kayu itu, aroma mentega dan bawang tumis menyambut dari balik pintu kaca. Udara sore yang lembap berganti dengan kehangatan ruang berlampu temaram.Beberapa pasangan duduk berhadapan, suara sendok beradu dengan piring berpadu dengan musik jazz pelan yang mengisi udara. Larasati dan Aksara memilih meja di dekat jendela besar yang menatap jalan raya, di mana lalu lintas sore tampak seperti aliran cahaya yang tak pernah berhenti.Pelayan datang membawa menu, menunduk sopan. Setelah beberapa menit berdiskusi kecil tentang makanan yang menggoda di halaman depan menu, mereka memesan tanpa banyak bicara. Sementara pelayan melangkah pergi, kesunyian di antara mereka terasa seperti kabut tipis yang tak segera memudar.Aksara memperhatikan Larasati. Biasanya, perempuan itu selalu punya komentar tentang musik, dekorasi, atau sekadar membahas orang-orang yang lewat di luar sana. Tapi kali ini, dia h

  • Terpaksa Menikahi Paman Suamiku   Bab 215: Kalau Dia Ingin Menikah

    Larasati menggeleng pelan, rambutnya yang panjang ikut bergeser menutupi sebagian pipi. “Aku nggak tahu. Dia belum melamar. Aku nggak mungkin mengajukan itu, kan?” suaranya pelan tapi tajam, seperti seseorang yang sudah sering memikirkan hal yang sama.Naila, yang duduk di sisi tempat tidur dengan bayi mungil di gendongannya, menatapnya prihatin. Kamar itu masih beraroma lembut bedak bayi, bercampur dengan wangi sabun dan udara hangat dari sore yang baru turun.“Aku bisa bantu Galih untuk cari tahu. Kalian kan sudah bersama cukup lama,” katanya hati-hati.Larasati langsung mengibas tangan, seperti menolak ide itu seolah menyingkirkan serangga yang mengganggu. “Jangan. Kalau dia ingin menikah, dia yang akan melamar. Kalau tidak, meski aku pegang pisau di lehernya, juga nggak akan mengubah apa-apa. Biarkan saja.”Nada bicaranya tegas, tapi ada retakan halus di ujung kalimatnya. Naila memperhatikan wajah sahabatnya yang ta

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status