"Bahkan luka yang tadi siang Tuan Ze buat masih basah," lirih Hely sendu.
Mengetahui ikat pinggang yang sebentar lagi mendarat di tubuhnya, sontak Hely memejamkan matanya erat. Tidak ada gunanya melawan dan pasrah adalah pilihan terbaik. Tentu saja karena ia telah mengenal siapa sebenarnya pria itu beberapa hari ini. Padahal sebelumnya, ia sempat mengagumi pria dengan paras tampan yang memiliki aura kuat itu. "Sabar, Hely, sabar. Nanti setelah luka di tubuhmu sembuh, kau boleh membalasnya. Kau gigit saja tangannya yang suka sekali memukulmu," batin Hely berusaha menenangkan dirinya sendiri. "Brengsek!" umpat Ze kesal. Pria itu melempar ikat pinggangnya ke sembarang arah karena lagi-lagi perutnya kembali terasa sakit. Andai rasa sakit itu tidak tiba-tiba datang, mungkin akan terdengar suara indah akibat dari erangan kesakitan Hely. "Syukurlah, aku masih selamat." Hely menghembuskan nafas lega melihat Ze melangkah menjauh ke arah kamar mandi. Kini, wanita itu beranjak berdiri dan menunggu sampai suaminya keluar. Percuma juga jika ia kabur dan menyelamatkan diri karena Ze tidak akan pernah melepaskannya. Pria itu justru akan semakin marah dan lebih menyakitinya lagi dan lagi. Sementara Hely tetap setia menunggu, Ze terus keluar masuk kamar mandi sambil menyentuh perutnya. Baru saja keluar dan menutup pintu, pria itu kembali masuk ke dalam. Hal itu terjadi berulang-ulang hingga ia kelelahan. "Kenapa kau masih di sini? Cepat sana keluar!" kata Ze mengusir. Tangannya terulur mengusap keringat yang membasahi dahinya. Melihat Hely di sana membuat perutnya semakin sakit. Bahkan rencananya untuk menyiksa wanita itu pun terpaksa harus ditunda. Itu karena kondisi tubuhnya yang sudah lemah akibat dari bolak-balik kamar mandi dan terlalu sering buang air besar. Helios cukup tersentak karena pria itu menyuruhnya keluar alih-alih menyiksanya. "Ba-baik, Tuan. Kalau begitu, saya permisi keluar," balas Hely sambil mengangkat pandangan sejenak. "Ya, sana. Keberadaanmu di sini hanya semakin membuatku sakit perut," ujar pria itu menggebu. Sementara Helios pergi keluar, Ze lekas duduk di tepian ranjang. Tangan kirinya senantiasa meremas perutnya yang terasa sakit. Entah sudah berapa kali ia pergi bolak-balik masuk ke kamar mandi hingga tubuhnya terasa sangat lelah. "Hely sialan! Seumur-umur aku baru makan sambal sepedas itu. Kalau saja aku tidak berencana untuk menyiksa perut pembantu murahan itu. Kalau saja dia tidak membeli makanan lain. Pasti sakit perutku tidak akan sia-sia seperti ini," desis Ze sambil menggertakkan giginya. Ia tidak sadar bahwa perbuatan buruknya langsung dibalas tunai. Ia berusaha menyiksa perut Hely dan ia langsung mendapat balasan dengan rasa sakit yang luar biasa di perutnya. Namun sayangnya, pria kejam seperti Ze tidak akan bisa memahami hal itu dan hanya bisa menyalahkan Hely saja. "Astaga, perutku!" keluh Ze kesakitan. Ia lekas membaringkan tubuhnya dengan posisi meringkuk seperti janin yang ada di dalam kandungan. Pria itu memejamkan matanya berusaha melupakan sakit perutnya. Akan tetapi, baru saja memejamkan mata sudah terdengar suara ketukan pintu. "Dasar Hely sialan!" umpat Ze kesal. Hampir saja ia terlelap dan dengan seenaknya Helios mengejutkannya. "Masuk!" seru pria itu ketus. "Maaf, Tuan, saya cuma mau kasih ini," kata Hely setelah membuka pintu. Ia menunjukkan nampan berisi gelas air putih. "Untuk apa, Hely, untuk apa? Memangnya aku memintamu untuk mengambilkan air?" geram Ze sambil menggaruk-garuk kepalanya dengan keras. Hanya karena ingin mengantarkan segelas air minum dan Hely berani mengganggu waktu tidur berharganya. Padahal, Ze sudah bisa melupakan rasa sakit di perutnya akibat diare. "Maaf, Tuan. Saya membawakan air ini untuk meredakan diare, Tuan," sahut Hely melangkah masuk ke dalam. "Yang benar saja? Paling-paling kau mencampurkan racun ke dalam minuman itu," tuduh Ze sinis. "Kalau saya mencampur racun, paling-paling Tuan Ze akan mati dan saya akan masuk penjara," timpal Hely datar. "Beraninya kau?" geram Ze. Baru gagal melewati hukuman pecutan ikat pinggang, Hely sudah bersikap seberani itu. Apa pelajaran siang tadi tidak cukup? "Makanya, Tuan, jangan berpikir yang tidak-tidak. Lebih baik, Tuan, minum saja dan dijamin diare yang Tuan derita akan cepat hilang," sanggah Hely sambil menyodorkan segelas air. "Awas saja kalau kau bohong! Kalau benar diminuman ini ada racun, aku tidak akan mati sendirian. Aku akan menyeretmu ke neraka detik itu juga," ancam Ze. Meskipun berkata demikian, ia tetap menerima gelas itu dan meminumnya. "Bbrrrbb!" Ze menyemburkan air itu ke wajah Hely. Berhubung tidak siap dan tidak pernah berpikir pria itu akan menyembur minuman itu ke wajahnya, Hely hanya bisa diam sambil memejamkan matanya. "Air apa ini, Hely?!" bentak Ze. "Itu air oralit, Tuan. Kenapa Tuan malah menyemburkannya ke wajah saya bukannya ditelan?" Tatapan mata Hely lurus ke depan dan menjawab dengan nada datar. "Benarkah? Aku pikir oralit rasanya tidak seperti ini," tanya Ze berpura-pura bodoh. "Itu oralit buatan tangan saya sendiri sesuai resep yang ada di internet," sahut Hely masih dengan posisi dan ekspresi yang sama. Wajah basah dan lengket membuatnya merasa sangat tidak nyaman. Sebenarnya ia sangat kesal, tetapi berusaha menahannya kuat-kuat. "Ya sudah, sana cepat buatkan aku oralit lagi. Aku tidak bisa terus-menerus seperti ini," kata Ze memerintah. "Baiklah," balas Hely lekas membalikkan tubuhnya. "Hey, tunggu! Bawa gelasnya!" cegah Ze sambil menyodorkan gelas. Sontak, Hely menghentikan langkahnya dan berbalik. Ia meraih gelas itu dan membawanya keluar. Sementara di kamar, Ze sedang tertawa terbahak-bahak mengingat ekspresi terkejut Hely ketika ia menyemburkan air ke wajahnya. "Dasar pembantu bodoh! Mana mungkin aku tidak tahu seperti apa rasa oralit," umpat Ze mengejek. Sebelumnya, ia memang gagal menyiksa Hely menggunakan ikat pinggangnya. Akan tetapi, hanya dengan menyemburkan air ke wajah Hely saja sudah cukup membuatnya senang. Ia benar-benar merasa terhibur melihat ekspresi wanita itu. "Haruskah aku mengerjainya lagi?" tanyanya pada dirinya sendiri. Saat ini, Ze sedang duduk sambil bersandarkan kepala ranjang. Bibirnya dikerucutkan sambil bersiul. Tatapan matanya lurus ke depan sambil tersenyum membayangkan ekspresi wajah Hely. Tidak lama kemudian, Hely kembali dengan membawa air oralit lagi. "Ini, Tuan," kata wanita itu sambil menyodorkan segelas air. Melihat Ze meneguk oralit itu, Hely undur diri. "Kalau begitu, saya permisi." "Mmm," balas Ze singkat. Melihat punggung Hely yang menghilang di balik pintu membuat Ze mengepalkan tangannya kuat-kuat. Manik matanya terbuka lebar dengan gigi yang dieratkan. "Pokoknya setelah sakit perutku sembuh, aku akan menyiksanya lagi. Aku tidak akan membiarkan pembantu sialan itu tersenyum. Beraninya dia menggagalkan pernikahanku dengan Mine. Terlebih ... Ah, sial! Sekarang Mine sudah menikah dengan laki-laki lain," bisiknya dalam hati.Ze mendekatkan wajahnya bersiap untuk mengecup bibir sang istri. Namun sebelum itu, ia menatap manik mata Hely dalam-dalam. Merapikan anak rambut yang menjuntai ke belakang telinga. Lalu, menatap lapar bibir candunya dan mendekat."Sial!" umpat Ze kesal.Suara ketukan pintu berhasil mengganggu konsentrasinya. Ia yakin, Mbok Bariyah sudah menunggu di depan pintu kamar membawa air minum yang ia minta sebelumnya."Tidak apa-apa, buka pintu dulu. Setelah itu, kita bisa lanjut lagi," kata Hely sambil mengedipkan matanya dan tersenyum lembut.Akhirnya, Ze mengangguk dan beranjak bangun. Ia berjalan ke arah pintu dan membukanya. Menerima nampan berisi gelas dan teko air putih. Lalu, ia menutup pintu dan kembali. Menuang air di gelas dan menyodorkannya pada sang istri."Minumlah!" kata Ze sambil membantu istrinya duduk."Terimakasih, Mas," balas Hely."Baiklah. Jadi, apa kita bisa melanjutkan apa yang sempat tertunda?" Ze menatap Hely penuh harap."Ya, tapi pelan-pelan saja. Lebih pelan dari
Tiga bulan kemudian."Bagaimana kondisimu sekarang? Apa masih sering mengalami mimpi buruk? Apa kita perlu pergi ke psikiater lagi?" tanya Ze bertepatan dengan waktu konseling Hely yang ketiga.Sudah lewat dari tiga bulan setelah hari pertama Hely pergi ke psikiater. Seharusnya, bulan ini wanita itu pergi lagi untuk konsultasi yang ketiga. Untuk menanyakan seberapa besar kemajuan kesehatan mentalnya setelah tiga bulan berlalu."Tidak perlu, Mas. Aku sudah jarang mengalami mimpi buruk. Aku perhatikan, paling-paling satu Minggu sekali aku mengalami mimpi buruk. Mungkin tidak lama lagi aku akan segera sembuh," tolak Hely merasa kesehatan mental akibat dari trauma yang ia alami sebelumnya sudah semakin membaik."Apa kau yakin? Kalau tidak, satu kali lagi saja. Ini untuk yang terakhir kalinya kau pergi ke psikiater. Setidaknya, untuk memastikan agar kita yakin," ujar Ze membujuk."Tidak perlu, Mas. Aku sudah sangat-sangat yakin kalau aku akan segera sembuh meski tanpa pergi ke psikiater la
"Oke. Tere sudah lumayan bisa karena mengikuti arahan ayah. Sekarang, Tere main air dulu di sini dan giliran ayah ajarin Bunda berenang," ujar Ze setelah mengajari putrinya."Oke, Ayah," balas Teressa. Gadis kecil itu belajar menahan nafas di dalam air tepat di tangga kolam renang. Sesekali akan mencelupkan wajahnya dan menghitung sampai lima. Ia terus melakukannya lagi dan lagi. Sementara itu, Ze berjalan ke arah istrinya yang duduk di pinggir dengan menunjukkan seringaian tipisnya."Aku tidak perlu belajar renang, Mas," ujar Hely menggeleng cepat. Ia curiga melihat seringaian suaminya yang menjengkelkan.Tanpa membalas, Ze langsung mengangkat tubuh Hely dan membuat seluruh tubuhnya basah. "Kau tidak bisa menolak, Sayang. Sekarang, buat posisi seperti yang Tere lakukan tadi."Hely menghela nafas berat. Kemudian, ia lekas membuat posisi tertelungkup dengan kedua tangan Ze yang membentang di dua tempat. Tangan kiri berada di bagian dada dan tangan kanan di bagian bawah, tempat paling
"Apa kau berusaha menghindar lagi?" tanya Ze melihat sikap Hely yang lagi-lagi berusaha menghindar."Menghindar dari apa, Mas?" tanya Hely sambil mengerutkan keningnya."Kau tahu maksud dari pertanyaanku, Hely. Jadi--.""Aku tahu, Mas. Nanti siang kita akan pergi. Jadi, kau tidak perlu khawatir karena aku tidak akan menghindar lagi untuk berobat," potong Hely menjelaskan.Mendengar ucapan sang istri berhasil membuat Ze menghembuskan nafas lega. Kekhawatirannya yang tidak perlu kini bisa ia enyahkan dalam sekejap mata. Sekarang, ia hanya perlu mendukung agar proses penyembuhan berjalan dengan lancar dan cepat."Terimakasih, Sayang. Sekarang, kita lihat-lihat rumah kita dulu," ujar Ze mengajak istrinya melihat-lihat rumah barunya.Sepasang suami istri itu mulai melihat-lihat di setiap sudut rumah. Dari lantai satu ke lantai dua dan melihat-lihat di area luar rumah. Sementara Teressa, gadis kecil itu berlarian ke sana kemari sambil tersenyum takjub mengagumi rumah barunya."Bunda! Cepat
"Kenapa aku harus ke pergi ke psikiater?" tanya Hely sambil membuang muka. Sejak dulu, ia paling tidak suka disuruh pergi ke psikiater."Untuk menanyakan tentang apa yang seharusnya kau lakukan. Kau tidak ingin terus-menerus bermimpi buruk bukan? Setidaknya setelah konsultasi, kita akan tahu bagaimana cara untuk menyembuhkan trauma yang aku buat," sahut Ze berusaha menjelaskan.Hely kembali menatap suaminya. Lalu, ia menatap ke atas dengan raut bingung. Terlihat sekali bahwa ia tidak ingin pergi ke psikiater untuk pergi berkonsultasi. Entah apa yang membuatnya begitu sulit dibujuk, bahkan sejak dulu."Kita pergi ke psikolog saja. Bukankah psikolog dan psikiater sama saja?" kata Hely memutuskan."Ya. Psikolog dan psikiater tidak beda jauh. Kalau kau tidak ingin pergi ke psikiater dan memilih pergi ke psikolog, maka mari kita pergi," balas Ze mendukung.Ze tidak akan mempermasalahkan ke mana istrinya akan pergi untuk berkonsultasi. Asalkan tempat itu bisa menyembuhkan trauma yang ia bua
"Sekarang, Tere sedang ada di rumah sakit mana? Atau kalau tidak, coba Tere tanyakan pada suster," tanya Hely berusaha tenang."Rumah Sakit Internasional Heaven, Bunda," sahut gadis kecil itu."Baiklah. Tere tenang dulu, yah? Bunda akan pergi ke sana sekarang juga.""Iya, Bunda."Tanpa mempedulikan pakaian yang menggunung meminta untuk diselesaikan, Hely langsung mengakhiri panggilan dan beranjak berdiri. Melangkah ke dalam kamar dan meraih tas. Memasukkan ponsel dan dompet ke dalamnya. Kemudian, ia lekas keluar dan mengunci pintu. Dengan langkah setengah berlari, ia menuju bibir jalan raya. Melambaikan tangannya ketika taksi melintas."Rumah Sakit Internasional Heaven, Pak," celetuk Hely bertepatan ketika ia masuk ke dalam mobil."Baik, Bu."Taksi pun melintas dengan kecepatan sedang. Merasa sedang terburu-buru, Hely meminta agar supir taksi menaikkan kecepatan. Pokoknya apa pun yang terjadi, ia harus segera sampai di rumah sakit."Pak, bisa lebih cepat sedikit, tidak?" pinta Hely kh