Bastian mengernyit, matanya menyipit menatap layar ponsel di tangannya yang masih menyala.“Kakak nelpon jam segini cuma buat nanyain Kak Jihan?” tanyanya heran.“Dia baik-baik aja kok. Dia tadi sempat muntah habis makan, tapi udah tidur dari jam sepuluh. Capek katanya.”Meta mengangguk pelan meskipun Bastian tak bisa melihat gerakannya dari seberang telepon.Matanya menatap langit-langit kamarnya yang temaram, hanya diterangi lampu tidur berwarna kuning lembut.“Oke. Jadi kamu yakin dia udah tidur, kan?” tanyanya memastikan.“Yakin, Kak. Barusan aku intip kamarnya juga, lampunya udah mati,” jelas Bastian tanpa ragu, berusaha meyakinkan lawan bicaranya.Meta menarik napas panjang, lega. Bahunya mengendur seolah beban baru saja turun dari punggungnya.“Oke, makasih ya. Udah, tidur sana. Besok kita ngobrol lagi.”“Siap, Kak. Selamat istirahat,” balas B
Waktu sudah menunjuk angka dua belas malam. Bayu masih terjaga di dalam kamar kerjanya yang remang, duduk di kursi kulit hitam yang menghadap jendela besar.Lampu meja menyala temaram, menyinari wajahnya yang terlihat gelisah dan lelah. Matanya sayu, namun pikirannya terus berputar.Ia menatap layar ponsel di genggamannya untuk kesekian kali. Tak ada notifikasi, tak ada pesan masuk dari Jihan. Ia menarik napas, lalu menghembuskannya perlahan, namun berat.Sesekali ia melirik ke luar jendela yang menyuguhkan pemandangan jalanan sepi, seolah berharap malam bisa memberikan jawaban atas keresahan hatinya.Bayu berdecak pelan, menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi.“Kenapa aku merasa cemas seperti ini?” gerutunya, lebih kepada dirinya sendiri. Ia menyugar rambutnya yang berantakan, mencoba meredam gejolak di dalam dadanya, namun sia-sia.Merasa tak sanggup menanggung kecemasan itu sendiri, Bayu akhirnya mengambil ponsel dan menekan nomor Rafi yang bisa dia andalkan.Begitu sambungan ters
“Jihan. Dipanggil Pak Bayu di ruangannya,” ucap Rafi menghampiri Jihan yang baru saja duduk di meja kerjanya.Jihan sontak menoleh, alisnya terangkat. “Loh? Pak Bayu ada di sini? Saya pikir dia nggak masuk kantor hari ini,” ucapnya dengan rasa terkejut dan bingung.Seingatnya, suaminya itu tidak akan masuk kantor hari ini.“Beliau baru tiba beberapa menit yang lalu. Mungkin saat kamu masih di kantin tadi,” jelas Rafi, mengingatkan bahwa momen itu mungkin terlewat oleh Jihan.Jihan mengangguk-angguk kecil, lalu bangkit dari kursinya. Ia merapikan sedikit kerah kemejanya sebelum melangkah menuju ruang kerja Bayu.Saat pintu diketuk perlahan dan dibuka, aroma khas ruangan Bayu langsung menyeruak. Wangi kopi dan kayu mengisi udara.Bayu duduk di belakang meja kerjanya, postur tubuhnya tegap seperti biasa, meski ada lelah yang samar di matanya. Tatapannya langsung mengarah pada Jihan.“Duduk,” titahnya singkat, sambil menunjuk ke arah sofa kecil tak jauh dari meja kerjanya.Jihan menurut.
Bayu duduk termenung di sofa ruang tengah rumahnya, ditemani secangkir kopi yang kini mulai kehilangan hangatnya.Jemarinya menggenggam ponsel, dan pandangannya tertuju pada sebuah foto yang baru saja dikirim oleh Rafi. Foto itu memperlihatkan Melvin sedang berdiri begitu dekat dengan Jihan.Keduanya tampak tertawa bersama—terlalu dekat dan terlalu akrab, setidaknya bagi Bayu yang hanya bisa menatap dari kejauhan.Helaan napas panjang keluar dari dadanya, berat dan dalam. Ia menatap foto itu lebih lama dari yang seharusnya, seolah berharap ada detail kecil yang bisa membantah kenyataan di depan matanya.Tapi tidak ada. Yang ada hanya perasaan tercekik yang menggelayuti dadanya.Dengan gerakan lambat, Bayu mengetuk layar ponselnya dan segera menekan nama Rafi.“Sekarang lagi di mana?” tanyanya dengan suara datarnya.“Siapanya, Pak? Jihan atau Pak Melvin?” jawab Rafi dari seberang, terdengar begitu polos dan tidak menyadari betapa gundahnya pria yang sedang meneleponnya.Bayu mengatupka
Jihan hanya diam. Pandangannya menunduk, matanya menatap kosong ke arah lantai seolah mencari kekuatan dari permukaan datar yang tak mampu memberi jawaban.Namun perlahan, ia menganggukkan kepala. Gerakannya nyaris tak terlihat, seolah keputusan itu berat hingga tubuhnya pun enggan menyetujuinya.“Sesuai dengan perjanjian pernikahan yang sudah kami sepakati... saya harus merelakan, meski itu sangat sulit dan berat,” ucapnya lirih.Melvin yang sejak tadi memperhatikannya, hanya bisa mengangguk pelan. Ia lalu menepuk pelan pundak Jihan, penuh empati.Sentuhan itu ringan, namun terasa hangat. Seakan ingin mengatakan bahwa Jihan tak sendiri, meski kenyataannya ia harus menanggung semua perasaan itu sendiri.“Kamu adalah wanita hebat yang pernah aku temukan, Jihan,” ucap Melvin, senyumnya tipis, tulus dari hati.“Tapi, kamu percaya bahwa jodoh tidak akan ke mana, kan? Bisa jadi... dari istri siri, jadi istri sungguhan.”Kata-kata itu menggantung di udara. Lalu Melvin beranjak pergi, mening
Esok harinya.Matahari pagi baru saja menyinari gedung kantor dengan semburat hangat ketika Jihan melangkah masuk ke ruang kerjanya.Ia mengenakan blus longgar berwarna krem dan rok kerja hitam yang sederhana namun rapi. Senyumnya tipis, tapi sorot matanya menunjukkan tekad yang masih utuh.Ia duduk di kursinya, menyusun dokumen yang kemarin belum sempat disentuh. Ruangan masih sepi.Sesekali matanya melirik ke arah ruang kerja Bayu yang tertutup rapat dan belum menyala lampunya.“Kayaknya Pak Bayu masih di rumah. Mbak Nadya mabuk parah soalnya,” gumamnya pelan, sambil membuka laptop.Pikirannya melayang pada kejadian semalam—pertengkaran tak langsung antara hati dan logika.Ia tahu posisinya rumit, berada di antara seorang pria yang tidak mencintainya dan seorang wanita yang merasa kehilangan.Tak lama kemudian, pintu ruangannya diketuk ringan dan terbuka. Melvin masuk sambil membawa beberapa map berisi dokumen.Ia mengenakan kemeja biru muda dengan lengan tergulung, penampilannya te