Share

Menyerahkan Diri

Karena rasa bersalah yang membuat hatinya gelisah, Ayesha jadi terus terpikirkan tentang apa yang terjadi hari ini dan memikirkan setiap apa yang dia katakan sebelumnya. Hal itu juga menjadi dorongan untuk Ayesha mengambil sebuah lingerie dari lemarinya.

Untuk pertama kalinya, Ayesha menggunakan salah satu hadiah pernikahannya yang dia tahu persis untuk apa itu. Sebuah potongan kain yang digunakan untuk menarik perhatian pria. Pikirannya agak sedikit kacau karena memikirkan Izhar yang sempat tampak putus asa tadi.

Dengan pakaiannya yang baru, Ayesha duduk di atas kasur sambil menggigiti jarinya. Dia gelisah sambil menantikan sosok Izhar yang akan tidur bersamanya malam ini.

Pintu terbuka perlahan dan Ayesha bisa melihat bagaimana Izhar memasuki kamarnya. Gadis itu seketika mematung sesaat saat melihat Izhar masuk, sebagaimana Izhar yang langsung mematung juga begitu melihat pemandangan yang dia sangka bisa dilihatnya malam itu.

“Ay, kamu ... ngapain?” Izhar tercengang setengah mati dengan tangannya yang bahkan agak gemetar saat menutup pintu kamar Ayesha.

Ayesha melamun sesaat. Mendadak tubuhnya terasa lumpuh sekarang.

“Itu ... Bukannya Aa pengen punya bayi? Bukannya harus bikin dulu?” Ayesha berusaha tenang.

Izhar mengernyitkan dahinya. Sedikit bingung dengan perubahan sikap Ayesha. Semula dia menolak, mendadak sudah menyiapkan dirinya dan bahkan menyerahkan dirinya begitu saja.

“Kamu berubah pikiran?” tanya Izhar agak ragu.

“Kenapa? Aa enggak mau? Ya udah, enggak usah.” Merasa suasana semakin canggung dan Ayesha tidak mau malu sendiri jika sekarang Izhar yang balik menolaknya.

“Bukan begitu, Ay.” Izhar menghela nafasnya dan menggaruk pelan kepalanya.

“Mau sekarang atau enggak sama sekali? Ay mulai enggak nyaman ini,” keluhnya.

“Sebentar, Ay. Kamu mendadak banget kayak gini, bikin Aa agak sedikit bingung.”

“Ish, buruan!” Kesabaran Ayesha bak tisu dibagi tiga, dia tak nyaman berpakaian seperti itu di depan Izhar hanya untuk menghilangkan perasaannya yang gelisah dan tak enakan.

“Kamu udah enggak sabar?” tanya Izhar mengernyit pelan.

“Ay enggak nyaman!” keluh Ayesha lagi. “Entah itu karena pakaiannya, entah itu karena tatapan Aa, entah itu karena atmosfer di sekitar sini.”

Izhar tampak masih agak canggung dengannya. Jika di depannya Nirmala, mungkin dia sudah tersenyum menghampirinya dan menerkamnya begitu saja. Tapi ini Ayesha. Yang semula menolak dirinya dan secara mendadak, kurang dari 12 jam dia mengubah pikirannya.

“Kamu mengizinkan Aa menyentuh kamu malam ini? Kamu ridho?” tanya Izhar memastikan.

Ayesha memejamkan matanya sesaat dan menghela nafasnya panjang. Dia benar-benar sudah tak tahan lagi dengan jantungnya yang berdebar tak karuan karena atmosfer di sekitarnya.

“Iya!” tekan Ayesha lagi.

“Atas izin kamu, ya, ini.” Izhar mendekati Ayesha, naik ke atas kasur menghampiri Ayesha.

Namun, mendadak Ayesha langsung mengangkat telapak tangannya untuk menghentikan Izhar sesaat. Rautnya menunjukkan sedikit rasa takut dan keraguan atas tindakannya sendiri.

“Aa berpengalaman, kan? Ini bukan pertama kalinya buat Aa, jadi ...” Ayesha memejamkan matanya erat, benar-benar menyesali tindakannya.

“Aa bakal pelan-pelan, Aa janji. Ya, seperti yang kamu tahu, ini bukan yang pertama untuk Aa. Aa tahu apa yang perlu Aa lakukan,” balas Izhar, menatap Ayesha dengan yakin.

Izhar memperhatikan bagaimana wajah Ayesha sudah memerah saat itu. Dengan kedua matanya yang terpejam erat ketakutan. Ini pertama kalinya dia bisa Ayesha secara terbuka dengan ekspresinya di saat yang pertama. Ini akan menjadi salah satu momen kenangan yang indah.

Ayesha menghela nafasnya dan membuka matanya perlahan. Dia kemudian membaringkan tubuhnya, berusaha santai dan rileks. Izhar menatapinya dan terkekeh kecil melihat preman yang sukanya marah-marah itu.

Karena Ayesha yang agak tegang dan tatapannya yang terus menatap ke arah langit-langit, dia bahkan tak tahu kapan Izhar menarik selimutnya dengan keadaan sudah mengekspos dadanya.

Mata Ayesha melebar saat Izhar membawa selimut untuk menutupi tubuhnya dan tubuh dirinya sendiri. Sungguh, begitu Izhar memeluk Ayesha untuk memberikan rasa tenang, Ayesha membisu.

Izhar menatap Ayesha dan mengecup keningnya sambil membacakan doa. Ayesha tak bisa mendengar dengan baik, tapi dia tahu apa yang Izhar lakukan.

***

Deru nafas menghiasi kamar Ayesha yang sudah gelap. Ayesha tak bisa tidur dengan lampu menyala, harus selalu padam. Namun meski lampu sudah padam, Ayesha tak bisa memejamkan matanya.

Gadis itu tidur meringkuk dengan badan Izhar yang besar mendekapnya dari belakang. Ayesha sebenarnya lelah, tapi jantungnya masih tak stabil untuk membuatnya beristirahat. Ini seperti dirinya baru saja meneguk satu cup kopi.

“Apa sakit, Ay?” tanya Izhar dengan matanya yang tak lepas dari Ayesha saat itu.

“Aa nanya?” balas Ayesha berusaha menstabilkan suara nafasnya yang lebih menggebu.

“Memastikan, Ay.“ Izhar tersenyum tipis dan mempererat pelukannya.

“Bisa berhenti meluk, enggak? Lengket tau!” keluh Ayesha pelan.

“Kamu enggak suka dipeluk? Biasanya perempuan paling suka dipeluk,” balas Izhar.

Izhar menguap, dia sebenarnya mengantuk namun tak ingin tidur begitu saja. Dia tak ingin menyinggung Ayesha jika dirinya meninggalkan Ayesha setelah menggunakannya.

“Enggak,” jawab Ayesha seadanya, dia sebenarnya hanya mulai tak terbiasa dengan pelukan.

“Ngomong-ngomong, apa yang membuat kamu berubah pikiran, Ay? Bahkan langsung menyerahkan diri kamu begitu saja. Ada yang mengusik kamu sebelumnya?” tanya Izhar.

Ayesha tak menyiapkan jawaban untuk itu. Dia bahkan tak terpikirkan jika Izhar akan bertanya. Dia pikir Izhar akan tak begitu memikirkannya.

“Cuman ... Enggak ada,” jawab Ayesha lagi.

“Kalau kamu merasa terpaksa, atau mengalami tekanan dari orang lain ... Aa enggak bisa bilang kamu seharusnya enggak kayak gini, soalnya udah terjadi juga. Tapi kamu bisa cerita sama Aa, kalau-kalau memang ada yang menekan kamu untuk ini,” ujar Izhar.

Izhar cukup perhatian. Ayesha pikir Izhar kaku padanya, namun tidak juga. Izhar juga mungkin butuh waktu untuk beradaptasi dengannya, sama halnya dengan Ayesha.

“Enggak ada,” jawab Ayesha lagi.

Izhar hanya tersenyum mendengarnya dan mengecup kepala Ayesha dengan halus. Beberapa saat Ayesha diam, Izhar mengangkat kepalanya untuk melihat wajah Ayesha. Ayesha mulai memejamkan matanya dan dia hanya tersenyum sambil mengusap pelan pipi Ayesha.

Gadis itu cantik.

***

Pukul 03.00, Izhar sudah keluar dari kamar mandi dengan rambutnya yang basah. Dan karena dia mandi di kamar mandi yang terdapat di kamar Nirmala, dia disambut begitu keluar dari kamar mandi.

“Tumben, keramas jam segini setelah dari kamar Ayesha,” ucap Nirmala dingin menatapnya.

Izhar menatap Nirmala sambil tersenyum simpul. Dia tak bisa mengatakan jika dirinya habis melakukan hubungan, itu rahasia. Dan tak seharusnya dia umbar, walau pada Nirmala, istri pertamanya

“Kepalanya lagi enggak enak,” balas Izhar.

“Aa berharap aku enggak dengar suaranya Ayesha dari sini? Apa Aa enggak sadar seberapa keras suaranya?”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status