Share

Dibalik Suara Ayesha Semalam

“Kamu dengar suara Ayesha tadi malam?”

Izhar ingin memastikannya lagi. Dia kini terlihat kikuk, terdiam menatapi Nirmala yang tampak masam. Dia tahu, istri pertamanya pasti akan sangat cemburu mengetahui apa yang terjadi.

Nirmala sendiri tak menjawab. Dia tak ingin memperjelasnya, dan rasanya tak perlu. Dia hanya mendesah pelan seraya duduk di kasurnya dan merapikan segala barang di kasurnya.

“Ayesha bersedia. Kamu tahu maksudnya, bukan?” Izhar menghela nafasnya pelan.

“Aku tahu. Ke depannya cuman ada Ayesha di mata kamu. Ke depannya kamu bakal punya anak sama Ayesha, sementara aku kesepian di sini, sendirian.” Nirmala terdengar jengkel.

“Enggak, kok. Aa enggak terus sama Ayesha, tapi Aa juga terus sama kamu. Komitmennya memaksa Aa untuk bersikap adil. Aa enggak akan membeda-bedakan,” ucap Izhar.

“Bukan Aa, tapi ibu. Keluarga Aa,” tekan Nirmala tanpa menatap ke arah Izhar sama sekali.

Izhar tak membalasnya lagi. Rasanya lelah untuk meyakinkan dua pihak dengan masing-masing argumen. Namun, inilah yang harus dia jalani.

***

Sepulang dari masjid, Izhar mendatangi kamar Ayesha, untuk memastikannya bangun. Dan seperti biasa, Ayesha tak pernah ditemukan sudah bangun di kasurnya. Gadis itu masih meringkuk di bawah selimut yang hangat, yang memeluk dirinya dengan erat.

“Ay, bangun!” Izhar mendekatinya dan duduk di pinggir kasur, tepat di depan Ayesha.

Ayesha yang tampal tertidur pulas sebenarnya selalu membuatnya tak tega untuk membangunkannya. Tapi dia harus, karena dirinya akan bertanggung jawab atas Ayesha.

Ditepuknya pelan bahu Ayesha, membuatnya empunya mulai mengerjapkan matanya hendak bangun. Izhar tersenyum begitu Ayesha kini melirik dari mata ekornya dari matanya yang tampak masih ingin tertutup rapat.

“Bangun, sholat dulu! Mandi dulu tapi sebelumnya. Tahu kan, caranya mandi besar?” Izhar mengusap pelan bahu Ayesha, sambil memperhatikan Ayesha yang masih setengah sadar.

Ayesha menelentangkan tubuhnya, dengan kedua tangannya yang menggeliat. Gadis itu kemudian menatap Izhar dengan matanya yang terbuka lebih lebar. Namun secara mendadak dia teringat bagaimana Izhar berada di dekatnya tadi malam, tanpa jarak.

Mendadak dia menegang. Matanya melebar dan kedua tangannya secara spontan menyilang ke bahunya. Dia tampak sedikit memerah kemudian. Aksi itu diperhatikan Izhar yang langsung terkekeh.

“Mandi makanya, biar enggak ngerasa lengket,” ujar Izhar.

Ayesha mendecak pelan, menatap Izhar dengan mengernyitkan dahinya. Dia lupa kenapa dirinya tak segera mandi. Tadi saat Izhar pergi, sebenarnya dia sudah bangun karena ingin mandi. Sayangnya dia malah tertidur lagi hingga harus bertemu Izhar dengan keadaan secanggung itu.

“Mau sendiri apa ditemenin?” Izhar sengaja menggodanya, lantaran Ayesha tampak memerah.

“Ish!” Ayesha seketika memukul pundak Izhar secara spontan karena kalimat godaannya itu.

Izhar tertawa sambil memegangi bahunya. Dia memandang Ayesha yang tampaknya masih malu-malu kepadanya. Mungkin dia bisa lebih mendekati Ayesha setelah ini.

“Mandi!” Izhar mengulangi perintahnya.

“Iya, sebentar. Sana keluar dulu!” balas Ayesha.

“Kenapa?”

“Malah tanya kenapa. Nanti Aa sendiri yang menderita kalau lihat Ay. Keluar sana! Lagian Aa di sini mau ngapain?”

“Mau bantu kamu. Barang kali kamu butuh bantuan Aa.” Izhar terkekeh menatapnya.

“Ay enggak perlu bantuan Aa, Aa keluar aja sana! Repot nanti kalau lihat Ay lagi,” balasnya.

“Aa rela keramas lagi,” sahut Izhar.

“Dih, mesum!” Ayesha tampak cemberut karena perasaan canggung di sekitarnya.

“Ya udah, iya. Aa keluar, nih. Kalau ada butuh bantuan, panggil aja!” ujar Izhar.

Izhar beranjak dari tempat duduknya dan segera meninggalkan kamar Ayesha. Dia diam-diam tersenyum karena rasanya menyenangkan bisa mulai bercanda seperti itu pada Ayesha.

Sementara melihat Izhar yang hendak keluar, Ayesha bangun mendudukkan dirinya perlahan dan mendesis pelan saat hendak menurunkan kakinya dari kasur. Desisan Ayesha membuat Izhar menoleh ke arahnya. Dam Ayesha seketika menatapi Izhar dengan perasaan bingung.

“Butuh bantuan, enggak?” tawar Izhar sekali lagi, dia hendak menggoda istri mudanya itu.

“Sakit,” keluh Ayesha dengan arah pandang matanya ke tempat lain.

“Aa tahu, kamu bakal ngeluh gitu. Makanya, Aa di sini, bersedia membantu kamu.” Izhar berbalik dan mendekati Ayesha untuk membantunya yang merasa sakit.

“Enggak aneh, sih. Ini pengalaman kedua Aa. Enggak adil banget. Ini pertama buat Ay, tapi buat Aa bukan hal yang aneh lagi,” balas Ayesha agak sinis saat Izhar mendekat.

“Ya, ya, kamu boleh bilang gitu.” Izhar hanya tersenyum membalasnya dan menggendong Ayesha.

“Ngilu banget dipake jalan,” keluh Ayesha.

“Belum juga nyoba jalan.”

“Udah, tadi. Waktu Aa pergi, Ay niatnya mau mandi. Cuman karena ngerasa sakit dan males jalan, akhirnya Ay nunggu reda.”

“Nunggu reda apanya? Hujan?”

“Sakitnya!”

Ayesha mendesis di gendongan Izhar. Izhar mengantarkannya ke kamar mandi untuk segera mandi.

Sementara di luar kamar Ayesha, ada Nirmala yang sekarang menatapi kamar Ayesha dengan tajam. Bagaimana tidak, dia menunggu suaminya keluar namun belum juga keluar.

“Kalau Ayesha hamil duluan, posisi aku di sini bisa terancam. Aku enggak boleh biarin Ayesha sampai hamil. Ini pasti karena kemarin. Bodoh, Mala!” Nirmala menyesali perkataannya kemarin yang mungkin agak mendorong Ayesha untuk bertindak seperti ini.

Nirmala gelisah dan cemas sekarang, takut jika posisinya sebagai istri Izhar tak aman. Dia takut jika nanti suaminya lebih memperhatikan Ayesha, begitu pula dengan keluarga suaminya.

***

Izhar segera berangkat bekerja pagi itu. Dan Ayesha akhirnya keluar kamar untuk sarapan. Dia berjalan agak pelan, rambutnya masih terlihat sedikit basah saat itu. Nirmala kelihatannya menunggu Ayesha di dapur, dia ingin memastikan apakah yang di dalam benaknya benar atau tidak.

Kelihatannya benar, dia memperhatikan cara berjalan Ayesha yang berbeda dan rambutnya juga basah habis keramas. Sementara Ayesha melirik Nirmala sesaat.

“Kamu jadi gadis penurut lagi sekarang?” sindir Nirmala.

Ayesha terdiam sejenak dan melirik Nirmala. Entah kenapa Nirmala seolah seperti mengajaknya bertengkar selalu.

“Kamu pernah dengar enggak, istri pertama selalu punya kesan terbaik untuk suaminya?” Nirmala lagi-lagi berusaha menyinggung Ayesha.

“Lalu? Kenapa? Bukannya Teh Mala bilang untuk mendamaikan A Izhar sama keluarganya memberikan apa yang mereka mau? Teh Mala cemburu? Teh Mala enggak ada hak, dong. Ini juga untuk Teh Mala, mereka bakal berhenti bicara tentang bayi setelahnya,” balas Ayesha.

“Untuk aku? Aku lebih suka kamu enggak setuju untuk punya anak.” Nirmala menatap Ayesha lekat.

“Itu berbanding terbalik dari yang Teh Mala bilang kemarin. Kenapa? Teh Mala takut semua perhatian A Izhar jadi ke Ay, begitu pula keluarganya A Izhar?” Ayesha bicara dengan cukup tenang.

Nirmala tak menjawab dan hanya menatap Ayesha dengan jengkel.

“Tenang aja, Ay enggak ada minat cari perhatian. Ay lakukan ini buat kenyamanan Ay sendiri."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status