Share

Ayesha Mulai Luluh

“Ay, cara bicara kamu tadi enggak sopan, kamu tahu itu, kan?!”

Izhar berusaha menasihati Ayesha yang sekarang duduk di sisi kasur dengan perasaan yang tak nyaman. Dia paling benci saat Izhar menasihati seperti ini.

“Enggak sopan apanya? Ay udah cukup sopan segitu, tuh. Ay enggak ngomong kasar, kan?” sahutnya agak sinis.

“Kalau keluarga Aa kesinggung atas ucapan kamu tadi, gimana? Kamu tahu memutuskan tali silaturahmi itu enggak baik dan akan menimbulkan banyak masalah baru nantinya?”

“Ya, seenggaknya untuk sekarang permasalahan soal keluarga Aa yang doyan membahas tentang anak selesai. Mereka enggak akan datang lagi, dan pastinya mereka enggak bisa membahas tentang anak. Ya, kan?” Ayesha mengangkat kedua alisnya dengan santai.

“Ay!” Izhar menatapi istrinya itu, agak kaget dengan apa yang dia katakan tadi.

Karena merasa dirinya mulai marah dengan apa yang dikatakan Ayesha, Izhar buru-buru duduk untuk meredam rasa marahnya. Dia duduk tak jauh dari Ayesha dan menghela nafasnya. Perlahan tapi pasti, dia berusaha mengendalikan rasa marahnya sendiri.

Ayesha menoleh dan menatapi Izhar. Dia jadi agak sedikit merasa bersalah sekarang. Bagaimanapun, dia juga pernah menjadi anak yang baik untuk kedua orang tuanya sebelum mereka tiada.

Izhar mengusap wajahnya pelan. Ayesha tak memberikan reaksi sama sekali sekarang. Melihat Ayesha yang tampak santai dan tenang, Izhar memejamkan matanya sesaat.

“Ay, Aa enggak bisa memutus tali silaturahmi begitu saja. Aa selalu takut, gimana kalau Ibu besok tiba-tiba udah enggak ada. Jangan besok aja, bahkan untuk menit berikutnya, Aa takut kalau Ibu diambil Allah saat hubungan kita lagi kayak gini,” ucap Izhar.

Kali ini, ucapan Izhar perlahan membuat Ayesha menyadari sesuatu tentang Izhar. Izhar mungkin ingin segera punya anak karena ibunya menginginkan cucu. Dirinya tengah berlomba dengan usia ibunya yang tak lagi muda.

Belum lagi, ucapan Izhar berhasil mengingatkannya akan mendiang kedua orang tuanya. Itu hal yang sangat sensitif untuknya.

“Makanya Aa rasanya pengen marah tadi sama kamu. Ay, Aa berusaha untuk enggak melukai hati Ibu. Banyak hati yang harus dijaga, Ay. Bahkan hati kamu juga, Aa semaksimal mungkin berusaha enggak melukai hati kamu. Dan wanita pertama yang mengajarkan Aa begitu itu Ibu, Ay.”

Ayesha memalingkan wajahnya. Sial, Izhar menemukan kelemahannya.

“Ayah udah enggak ada, siapa lagi yang bisa bikin Ibu bahagia kalau bukan Aa? Aa satu-satunya pria yang Ibu miliki, Ay.” Izhar menatapi Ayesha, dan melihat bagaimana Ayesha terbawa suasana.

Namun, Izhar tak menyadari itu. Gadis di depannya ini masih terlihat tenang dan santai dengan wajahnya yang menoleh ke arah lain. Diartikan Izhar sebagai malas untuk mendengarkannya.

“Mungkin kamu enggak akan ngerti Ay, yang Aa maksud. Tapi ... ya, gitu.” Izhar menghela nafasnya dan bangkit dari duduknya. “Sebentar lagi dzuhur, Aa mau ke masjid dulu.”

Ayesha melirik Izhar dan memandangi punggung pria itu. Izhar keluar dari kamarnya begitu saja. Senyuman miris terbit di wajah Ayesha. Dia menggeleng pelan menyangkal perkataan terakhir Izhar sebelum meninggalkannya.

“Ya, memang enggak akan ngerti, orang tua Ay udah enggak ada. Ada banyak yang mereka inginkan dari Ay, tapi enggak bisa Ay penuhi. Aa yang beruntung, karena masih punya ibu. Karena masih punya tujuan hidup untuk membahagiakan salah satu dari mereka,” umpatnya pelan.

***

Ayesha keluar dari kamarnya untuk mengambil air minumnya yang sudah habis. Dia hendak lanjut untuk menonton drama Korea kesukaannya, agar tak bolak-balik keluar saat drama berlangsung.

Di dapur, Ayesha mendapati Nirmala juga di sana. Gadis itu memang tak mudah akrab dengan orang lain. Termasuk Izhar dan Nirmala yang masih seperti orang asing di matanya, jadi dia tak berbasa-basi pada Nirmala.

“Tahukah kamu, menjaga keharmonisan hubungan dengan keluarga besar itu enggak mudah?” Nirmala juga hendak membicarakan tentang yang terjadi pagi ini.

“Enggak tahu,” jawab Ayesha sambil menggeleng pelan dengan polosnya.

“Kamu udah dewasa sekarang, Ay! Jangan bersikap kekanak-kanakan! Kalau memang keluarga besar kamu sebelumnya enggak harmonis, jangan bawa-bawa ke sini!” ujar Nirmala dengan tajam.

Itu cukup menyinggung Ayesha. Lantaran memang pada dasarnya keluarga besarnya tak harmonis. Dia hanya akrab dengan salah satu Bibinya dan kakeknya. Begitu kakek meninggal dan banyak yang ditinggalkan untuknya, keluarga besarnya saling berebut dengan iming-iming merawatnya.

“Ay memang bukan berasal dari keluarga cemara,” balasnya seadanya.

“Iya, cukup di keluarga kamu aja. Jangan dibawa-bawa ke sini!” tekan Nirmala.

“Okay. Tapi apa sebelumnya Teh Mala juga dari keluarga yang sama dengan keluarganya A Izhar?” Ayesha membalikkan pertanyaannya.

“Maksud kamu?” Nirmala mengernyitkan dahinya.

“Yang tidak bisa menolak, yang tidak bisa berkata tidak. Yang enggak bisa menyuarakan hatinya sendiri. Yang enggak bisa menjadi pemimpin buat dirinya sendiri?” tebak Ayesha dengan sinis.

Nirmala mengernyitkan dahinya menatap Ayesha dengan jengkel pada gadis muda itu.

“Aku enggak tahu kamu bicara ke mana, atau melantur ke mana. Tapi, Ay, perlu kamu ketahui kalau Izhar sama keluarganya enggak akan baikan begitu saja. Perlu jalan jauh untuk bisa berdamai kembali.” Nirmala malah berusaha mengalihkan topik.

“Lalu?” Ayesha penasaran dengan apa yang ingin disampaikan Nirmala.

“Izhar bakal dimusuhi sama keluarganya. Kamu enggak tahu perjuangan dia sampai bisa mendapatkan keluarga yang harmonis kayak gimana. Kamu enggak tahu apa yang dia lalui sewaktu ayahnya masih ada. Dan kamu merusak hubungannya sama keluarganya? Satu-satunya cara supaya Izhar kembali diterima di keluarganya itu dengan mewujudkan apa yang mereka inginkan!”

Nirmala terdengar lebih marah saat mengatakan itu.

“Enggak bisakah kamu kayak dulu lagi? Jadi gadis manis yang penurut? Kamu pikir apa yang orang tua kamu rasakan lihat kamu kayak gini dari sana?!”

Ayesha seketika terdiam. Dia hanya menatapi Nirmala tanpa mengatakan sepatah dua patah kata lagi. Dia hanya membungkam semua yang ingin dia katakan dan balaskan.

Saat kembali ke kamar dengan sebotol minum, Ayesha merebahkan tubuhnya di ranjang dan memeluk botol minum itu. Pikirannya melayang pada apa yang dikatakan Nirmala dan Izhar.

“Kenapa mereka bahas tentang orang tua? Mentang-mentang masih punya orang tua.” Ayesha tampak lebih lesu sekarang karena segala hal yang ada di pikirannya.

“Tapi, kasihan A Izhar juga, kalau sampai dimusuhin sama keluarganya. Papa juga dulu dimusuhin sama saudara-saudaranya karena hal yang enggak masuk akal,” pikir Ayesha pelan.

Sekarang, gadis itu merasa bersalah. Dibalik sikapnya yang memang tak menyenangkan, ada jiwa gadis manis yang kesepian sejak kehilangan pusat kebahagiaannya.

“Satu-satunya cara untuk mendamaikan mereka  ... memberikan apa yang mereka inginkan.” Ayesha jadi terpikirkan tentang kata Nirmala barusan.

Apa Ayesha mulai berpikir untuk memberikan apa yang mereka—Izhar dan keluarganya mau?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status