“Hentikan!” Naura berteriak histeri lalu menghalangi Firman yang akan menghajar Azka lagi. “Kenapa, Na? Biar kuhajar bajingan itu!” Nafas Firman semakin memburu, bahkan tangan terkepal erat, gemetar. “Kamu yang kenapa, Mas! Dia suamiku. Kenapa kamu memukulnya!” Mata bening yang mulai digenangi air mata itu menatap tajam pada Firman. Sempat sesaat merasa terharu dengan ketulusannya, tapi seketika menguap melihat tingkah Firman yang sok jagoan. Sebentar kemudian Naura berbalik lalu membantu Azka berdiri. Jemari menyeka darah dari sudut bibir suaminya. Melihat lebam di wajah itu, Naura seakan merasakan kesakitan serupa. “Kamu masih membela lelaki bajingan seperti dia, Na? Demi pecundang itu kamu mengabaikan cintaku?” Firman menggeleng pelan sembari tersenyum kecut. “Buka matamu, Na! Aku yang tulus mencintaimu, bukan dia!” “Cukup, Mas! Jangan terlalu jauh mencampuri rumah tanggaku. Kita sudah bukan siapa-siapa!” Naura merasa sikap Firman sudah melampaui batas. Tak seharusnya dia me
Sejak tak tinggal bersama hampir setiap saat Azka dan Widya selalu menelepon, tapi Naura selalu mematikan panggilan. Dia hanya menjawab dengan mengirim pesan bahwa dirinya baik-baik saja dan butuh ketenangan. Sebenarnya Rindu bertalu di dalam dada, tapi setiap teringat jika suaminya menghamili orang, rasa itu terkalahkan oleh sakit hati. Terlebih saat mendengar kabar jika sekarang Friska tinggal bersama mereka, Naura semakin merasakan kesedihan yang terus menggerogoti jiwanya. Hari-harinya dilewati dengan kesedihan. Naura sering mengurung diri di dalam kamar. Menyendiri, membiarkan mimpi memudar tergerus sunyi. “Na! Keluar dulu sebentar. Ada yang nyari.” Teriakan Lina berhasil membuyarkan lamunan Naura. Namun, dirinya masih enggan beranjak dari ranjang. “Tamu siapa, Bu?” tanyanya. “Keluar dulu. Nanti juga tahu,” sahut Lina. “Baiklah.” Meski enggan, akhirnya Naura mengalah. Dia bangkit lalu segera keluar kamar, tapi Ibunya sudah tak terlihat di depan pintu. Dia langsung melangk
“Mas, nanti aku pakai mobilnya ya, aku mau ke rumah Ibu. Sekalian kamu transfer duit ke rekeningku ya. Aku mau kasih Ibu.” Seminggu sejak kepergian Naura, rumah itu serasa hambar. Kehadiran Friska justru membuat suasana semakin tak nyaman dengan kelakuannya yang hampir setiap hari meminta uang dalam jumlah banyak. “Memangnya yang kemarin sudah habis?” tanya Azka. Sarapan pagi tak lagi menjadi sesuatu yang menyenangkan di mana sebelum Friska datang selalu diwarnai obrolan hangat. “Sudah, Mas! Kan buat shopping. Ini keinginan jabang bayi loh. Kalau gak dituruti takutnya nanti anak kita ngences.” Mendengar jawaban Friska, selera makan Widya langsung menguap. Diletakkan sendok dan garpu dengan kasar hingga menimbulkan bunyi lumayan keras. “Memangnya kamu pikir cari duit itu mudah? Tahunya minta terus!” dengkus Widya yang lelah melihat tingkah menyebalkan Friska. “Enggak gitu juga kali, Ma! Namanya orang tua cari uang ya buat anak istri. Jadi wajar kalau Mas Azka kasih duit ke aku b
Setelah melalui perdebatan yang lumayan alot, Friska memasuki ruang pemeriksaan sendirian. Seorang perempuan yang mengenakan snelli menyambutnya dengan senyum ramah. “Silakan. Berbaring dulu ya, Bu!” ucap Dokter Erina. Mengangguk, Friska langsung berbaring di brankar yang berbalut seprei warna putih, senada dengan warna tembok di sekitarnya. “Kita mulai ya, Bu,” ucap Dokter Erina seraya mendekat. Pemeriksaan diawali dengan mengecek tensi darah, dilanjutkan rangkaian pemeriksaan lain. Setelah hasil normal, proses USG segera dimulai. Dengan jantung berdebar Friska menatap ke layar yang menampakkan gambar calon bayi di rahimnya. Beberapa saat kemudian, proses USG telah selesai. Azka dan Alex diizinkan masuk karena Friska tak lagi harus memamerkan bagian tubuhnya. “Bagaimana hasilnya, Dok?” tanya Azka yang sudah tak sabar. “Alhamdulillah ... semua dalam keadaan normal. Ibu dan calon bayi sama-sama sehat,” sahut Dokter Erina. “Maksudku, berapa usia kandungannya, Dok?” Azka langsun
Rendy dan Lina yang sedang berada di teras seketika menghentikan obrolan saat sebuah mobil berhenti di halaman. Mereka kompak bangkit saat melihat Naura turun dengan wajah sembab. “Naura ... kamu kenapa?” Lina menyambut anak perempuannya dengan sebuah pertanyaan. Tak menyahut, Naura justru langsung menubruk dan mendekap erat Ibunya. Tangisnya yang sudah ditahan seketika pecah dalam pelukan. Lina memilih mengelus punggung anaknya ketimbang melanjutkan pertanyaan.“Ayo kita ke dalam saja, Na!” ajak Lina setelah tangis Naura sedikit mereda. Dia mengurai pelukan lalu menggandeng anaknya ke dalam, diikuti Rendy yang sejak tadi hanya terpaku sembari menerka-nerka. “Sebenarnya ada apa, Na? Kenapa kamu datang langsung menangis?” tanya Rendy setelah mereka duduk bersama di ruang tengah. “Mas Azka, Pak!” sahut Naura. Perih kembali mendera hati setiap teringat bahtera rumah tangganya yang kerap dihantam badai. “Azka kenapa? Ada apa dengan suamimu? Apa dia sakit?” sambar Lina. Naura mengge
Sesaat Friska terlihat pias, tapi kembali tenang beberapa detik kemudian. “Buat apa. Semua sudah jelas.” “Kenapa takut? Kalau memang kamu hamil seharusnya kamu berani. Ayo ikut. Aku punya banyak kenalan dokter kandungan yang terpercaya.” Sembari tersenyum sinis, Alex terus menatap lekat wajah Friska. Hanya dengan terlihat tenang akan membuat lawan bicara mudah dipengaruhi. “Ya. Mama setuju. Kamu harus USG kembali,” imbuh Widya yang sejak tadi hanya menyimak. “Baik. Tapi kakakmu harus segera menikahiku setelah semua terbukti!” Friska menantang balik.“Tentu saja. Dia pasti akan menikahimu jika memang kamu hamil anaknya,” jawab Alex. “Alex!” Azka berseru keras. Dia protes karena adiknya sudah berani mengambil keputusan tanpa persetujuannya. Terlepas dari hamil atau tidaknya Azka tetap enggan menikahi Friska. Dia tak mau kehilangan Naura. “Kenapa, Mas! Lelaki itu memang harus bertanggung jawab. Jika dia hamil karenamu, ya kamu harus menikah. “ Bukan hanya dalam hal ini, sejak duku