Beranda / Rumah Tangga / Terpaksa menjadi istri dadakan CEO / Bab 2 — Kesepakatan yang Mustahil

Share

Bab 2 — Kesepakatan yang Mustahil

Penulis: Cludsydayss
last update Terakhir Diperbarui: 2025-03-04 18:39:53

Eleanor membanting pintu kamar begitu tiba di rumah.

"Ugh, dasar pria menyebalkan!" gumamnya, melempar tas tangan ke sofa.

Seharusnya ia sudah tahu sejak awal kalau makan malam itu akan jadi bencana, tapi tetap saja, Nathaniel Aldric lebih arogan dari yang ia bayangkan. Bahkan pria itu tidak berusaha bersikap sedikit lebih menyenangkan!

Eleanor berjalan mondar-mandir, masih kesal membayangkan betapa santainya Nathaniel menghadapi pernikahan ini. Seolah menikah dengannya hanya formalitas bisnis tanpa perasaan.

"Astaga, aku harus hidup dengan orang seperti itu?" keluhnya sambil mengacak rambut.

Baru saja ia ingin menjatuhkan diri ke tempat tidur, ponselnya bergetar. Ia meraihnya dengan kasar, mengira itu pesan dari ibunya yang menyuruhnya bersikap lebih dewasa.

Tapi ternyata bukan.

Nathaniel Aldric:

"Aku harap kau menikmati makan malam tadi. Karena ini baru awal."

Eleanor menatap layar ponsel dengan mulut sedikit menganga.

"Apa maksud pria ini? Baru awal?"

Dengan kesal, ia mengetik balasan.

Eleanor Windsor:

"Kau pikir aku menikmati waktu bersama pria yang lebih kaku dari batu? Mimpi."

Tak butuh waktu lama, Nathaniel membalas.

Nathaniel Aldric:

"Kalau begitu, kau harus terbiasa. Karena kita akan menghabiskan banyak waktu bersama setelah ini."

Eleanor menggertakkan gigi. Pria itu benar-benar menyebalkan!

Ia ingin membanting ponsel, tapi kemudian sadar—ini sungguhan. Ia benar-benar akan menikah dengan Nathaniel Aldric. Tidak peduli seberapa keras menolak, ia tidak punya pilihan.

Eleanor menghela napas panjang, membenamkan wajah ke bantal. "Hidupku benar-benar berakhir."

Di sisi lain kota, Nathaniel menatap layar ponselnya dengan ekspresi santai.

Ia bisa membayangkan betapa kesalnya Eleanor membaca pesannya, dan entah kenapa, itu cukup menghiburnya. Pernikahan ini bukan sesuatu yang ia inginkan, tapi jika harus menjalaninya, ia akan melakukannya dengan caranya sendiri.

Dan yang jelas, ia akan memastikan Eleanor tahu bahwa dalam hubungan ini—dialah yang memegang kendali.

Keesokan paginya, Eleanor terbangun dengan kepala yang masih penuh dengan kejadian semalam. Ia berharap semua hanya mimpi buruk.

Tapi begitu membuka ponsel, satu pesan baru langsung mengingatkannya pada kenyataan.

Nathaniel Aldric:

"Jemput kau jam sembilan. Jangan terlambat."

Eleanor hampir menjatuhkan ponsel.

"Apa-apaan ini?! Jemput? Buat apa?!"

Ia buru-buru mengetik balasan.

Eleanor Windsor:

"Kau pikir aku tidak punya hidup sendiri? Aku sibuk!"

Balasannya langsung dibaca. Tak sampai satu menit, Nathaniel membalas.

Nathaniel Aldric:

"Lalu kau ingin aku melapor ke ayahmu bahwa kau menolak menemui tunanganmu?"

Eleanor menggigit bibir, frustasi. Pria ini benar-benar tahu cara membuatnya tidak berkutik!

Dengan dengusan kesal, ia bangkit dari tempat tidur dan masuk ke kamar mandi. Kalau harus bertemu pria itu, setidaknya ia tidak akan tampil berantakan.

Tepat pukul sembilan, sebuah mobil hitam mewah berhenti di depan rumah keluarga Windsor. Eleanor keluar dengan blouse putih dan celana jeans—bukan outfit terlalu formal, tapi cukup rapi.

Begitu membuka pintu mobil, Nathaniel sudah duduk di dalam dengan kacamata hitam, terlihat seperti model majalah bisnis.

"Ayo," katanya tanpa banyak basa-basi.

Eleanor duduk dengan malas, melipat tangan di dada. "Kau tidak akan bilang kita pergi tanpa memberi tahu tujuannya, kan?"

Nathaniel menoleh sekilas, tersenyum tipis. "Aku bisa saja bilang, tapi di mana serunya?"

Eleanor mendengus. "Astaga, kau menyebalkan sejak pagi. Ini pasti semacam kutukan."

Nathaniel terkekeh sebelum menyalakan mesin mobil.

"Anggap saja ini kencan pertama kita," katanya santai.

Eleanor menoleh cepat. "Hah?! Kencan?!"

Nathaniel menaikkan alis, seolah menikmati keterkejutannya.

"Ya. Bukankah itu normal untuk pasangan yang akan menikah?"

Eleanor hampir kehilangan kata-kata. Pasangan yang akan menikah? Kalimat itu terdengar begitu absurd.

Ia bersumpah—kalau perjodohan ini terus berlanjut, ia tidak akan membiarkan Nathaniel menang begitu saja.

Bahkan kalau perlu, ia akan membuat pria itu menyesal telah mengajaknya hari ini.

Mobil berhenti di depan sebuah kafe elegan di pusat kota. Eleanor menatap ke luar jendela dengan kening berkerut.

"Kafe?" gumamnya, menoleh ke Nathaniel dengan curiga. "Aku pikir kau akan membawaku ke tempat yang lebih… bagaimana ya, sok eksklusif?"

Nathaniel melepas kacamata hitamnya dan menoleh dengan ekspresi santai. "Aku tidak selalu makan di restoran mewah. Dan aku tahu kau juga tidak suka tempat terlalu formal."

Eleanor mengerucutkan bibir. Oke, pria ini mungkin benar. Tapi tetap saja, ia tidak suka bagaimana Nathaniel seolah memahami seleranya.

"Kau bukan cenayang, jangan sok tahu," gumamnya sebelum keluar dari mobil.

Nathaniel terkekeh kecil dan mengikuti masuk ke dalam kafe. Begitu mereka melangkah masuk, seorang pelayan langsung menyambut dengan ramah dan mengantar mereka ke meja di dekat jendela.

Eleanor duduk dengan posisi malas, sementara Nathaniel tetap terlihat anggun meskipun hanya mengenakan kemeja simpel dan blazer.

"Jadi, mau apa?" Eleanor bertanya, menatapnya tajam.

Nathaniel mengangkat bahu. "Ngobrol. Mengenal satu sama lain."

Eleanor menatapnya tanpa ekspresi. "Aku tidak mau mengenalmu."

"Sayang sekali, karena aku cukup tertarik mengenalmu," balas Nathaniel santai, seolah menikmati interaksi ini.

Eleanor mendengus, lalu meraih buku menu dan mulai membolak-balik halamannya. "Kalau kau mengajakku ke sini hanya untuk menggangguku, aku akan pergi."

Nathaniel menyandarkan tubuh ke kursi, menatapnya dengan ekspresi penuh arti. "Aku ingin kita membuat kesepakatan."

Eleanor berhenti membaca menu dan mengangkat alis. "Kesepakatan?"

Nathaniel menautkan jemarinya di atas meja. "Kau jelas tidak suka pernikahan ini. Aku juga tidak terlalu peduli soal menikah. Tapi kalau kita sudah ditakdirkan harus bersama, setidaknya kita bisa membuatnya lebih mudah untuk diri kita sendiri."

Eleanor menyipitkan mata. "Mudah bagaimana?"

Nathaniel tersenyum tipis. "Kita jalani ini tanpa drama berlebihan. Kau tetap bisa hidup seperti biasa, aku juga. Kita hanya perlu bersikap seolah-olah ini berjalan lancar di depan orang lain."

Eleanor menatapnya lama, mencoba membaca niat di balik kata-katanya.

"Jadi... semacam perjanjian bisnis?" tanyanya pelan.

Nathaniel mengangguk. "Tepat sekali."

Eleanor menimbang tawaran itu. Jika itu berarti ia tidak perlu berpura-pura jatuh cinta pada pria ini, mungkin pernikahan ini tidak akan terlalu buruk.

"Baiklah," katanya akhirnya. "Tapi dengan satu syarat."

Nathaniel mengangkat alis. "Syarat?"

Eleanor menyeringai kecil. "Jangan pernah berpikir bisa mengendalikan hidupku."

Nathaniel tersenyum tipis. "Kita lihat saja nanti."

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Dedi Kurniawan
bagus banget lanjuttttt
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Terpaksa menjadi istri dadakan CEO   Bab 42 – Tarikan yang Tak Terhindarkan (Lanjutan)

    Eleanor berjalan menuju kamarnya dengan langkah cepat, tapi pikirannya masih berkecamuk. Pertanyaan Nathaniel tadi terus terngiang di kepalanya. Apa kau mulai merasa nyaman denganku? Ia mendesah pelan, berusaha menepis perasaan aneh yang mulai muncul dalam dirinya. Ini tidak boleh terjadi. Ia tidak boleh lengah. Namun, bayangan tatapan serius Nathaniel dan nada suaranya yang berbeda dari biasanya tetap melekat dalam benaknya. Setelah berganti pakaian dan bersiap untuk pergi, Eleanor turun kembali ke ruang tamu. Nathaniel masih di sana, berdiri dengan kemeja putihnya yang sudah tertata rapi, siap untuk berangkat ke kantor. Saat pria itu melihatnya, ia mengangkat alis. "Kau mau ke butik hari ini?" Eleanor mengangguk. "Ya, ada beberapa hal yang harus aku urus." Nathaniel menatapnya sesaat sebelum akhirnya berkata, "Aku bisa mengantarmu." Eleanor terkejut, lalu buru-bu

  • Terpaksa menjadi istri dadakan CEO   Bab 43 – Kebingungan yang Makin Jelas

    Setelah perjalanan yang terasa lebih lama dari seharusnya, mobil akhirnya berhenti di depan butik Eleanor. Wanita itu buru-buru membuka pintu dan keluar, seolah ingin segera menjauh dari aura mengganggu yang ditimbulkan oleh kehadiran Nathaniel di sisinya. Nathaniel menatapnya dengan ekspresi tak terbaca. "Aku jemput nanti?" Eleanor menoleh sekilas, mencoba mencari alasan untuk menolak, tapi pada akhirnya hanya mengangguk kecil. "Terserah." Nathaniel tersenyum tipis mendengar jawaban itu. "Baiklah, sampai nanti." Tanpa menunggu lebih lama, Eleanor segera masuk ke dalam butiknya. Ia merasa perlu menenangkan pikirannya sebelum emosinya semakin kacau. Namun, begitu ia melangkah masuk, seorang pegawainya, Lisa, langsung menyambut dengan tatapan penuh selidik. "Kak Eleanor... tadi aku lihat bos besar nganterin kakak?" tanyanya dengan nada penasaran. Eleanor menghela napas panjang. "Jangan

  • Terpaksa menjadi istri dadakan CEO   Bab 40 – Kebiasaan Baru

    Pagi di apartemen terasa lebih tenang dari biasanya. Eleanor terbangun sedikit lebih awal dari alarmnya, matanya masih setengah terpejam saat ia menyadari suasana di sekelilingnya. Butuh beberapa detik baginya untuk mengingat bahwa ini bukan kamarnya di rumah lama, melainkan apartemen tempat ia tinggal bersama Nathaniel.Ia menghela napas pelan sebelum turun dari tempat tidur. Setelah mencuci muka dan mengganti pakaian, Eleanor keluar dari kamar, sedikit terkejut saat melihat Nathaniel sudah berada di dapur, mengenakan kemeja putih yang lengannya digulung hingga siku.Pria itu sedang menuangkan kopi ke dalam cangkirnya sendiri, lalu melirik sekilas ke arah Eleanor. “Pagi.”Eleanor berjalan mendekat. “Kau bangun lebih awal.”Nathaniel menyesap kopinya sebelum menjawab. “Aku memang selalu bangun pagi.”Eleanor mengangguk pelan. Ia sempat melirik meja makan dan menemukan satu cangkir tambahan di sana. “Kau buatkan kopi untukku juga?”

  • Terpaksa menjadi istri dadakan CEO   Bab 41 – Perasaan yang Mulai Mengusik

    Malam semakin larut, tetapi Eleanor masih belum bisa tidur. Pikirannya terus berputar, mengingat bagaimana Nathaniel mulai berubah. Ada sesuatu dalam tatapan pria itu, dalam caranya berbicara, yang terasa berbeda.Ia berbaring di tempat tidur, menatap langit-langit dengan napas pelan. Jantungnya berdetak sedikit lebih cepat dari biasanya, dan itu membuatnya frustrasi.“Apa aku terlalu banyak berpikir?” gumamnya pelan.Namun, meskipun ia mencoba mengabaikannya, kenyataan bahwa Nathaniel tidak lagi terasa seperti pria dingin yang dulu ia kenal tetap menghantuinya.Tiba-tiba, suara ketukan pelan terdengar dari pintu kamarnya. Eleanor menoleh, sedikit terkejut.“Eleanor,” suara Nathaniel terdengar dari luar. “Kau masih bangun?”Eleanor ragu sejenak sebelum akhirnya menjawab, “Iya, ada apa?”Nathaniel tidak langsung menjawab. Ada jeda singkat sebelum akhirnya ia berkata, “Aku hanya ingin memastikan kau baik-baik saja.”

  • Terpaksa menjadi istri dadakan CEO   Bab 38 – Perasaan yang Makin Sulit Dibantah

    Pagi datang dengan sinar matahari yang perlahan menerobos tirai kamar. Eleanor menggerakkan tubuhnya sedikit, matanya masih setengah terpejam. Ia merasa hangat, lebih nyaman dari biasanya.Saat kesadarannya kembali sepenuhnya, ia menyadari sesuatu—ada lengan kuat yang melingkar di pinggangnya.Jantungnya langsung berdetak lebih cepat. Dengan hati-hati, ia menoleh dan menemukan dirinya berada dalam pelukan Nathaniel.Lelaki itu masih tertidur, napasnya teratur, dan wajahnya tampak lebih tenang dari biasanya. Biasanya, Nathaniel selalu menjaga jarak darinya. Tapi sekarang…Eleanor menelan ludah, tidak yakin harus berbuat apa. Ia mencoba bergerak pelan agar tidak membangunkannya, tetapi saat ia sedikit bergeser, cengkeraman lengan Nathaniel justru mengerat."Jangan gerak," suara Nathaniel terdengar, serak dan dalam.Eleanor membeku. "Kau sudah bangun?"Nathaniel tidak langsung menjawab. Ia menarik napas panjang sebelum akhi

  • Terpaksa menjadi istri dadakan CEO   Bab 37 – Kebersamaan yang Mengusik

    Eleanor masih terdiam di tempatnya, merasakan hembusan angin malam yang menyapu wajahnya. Perkataan Nathaniel barusan membuatnya kehilangan kata-kata. Ia tidak menyangka pria itu akan mengatakannya secara langsung seperti itu.Nathaniel tetap berdiri di hadapannya, menunggu reaksi. Tapi Eleanor hanya mengalihkan pandangan, berusaha menenangkan detak jantungnya yang tiba-tiba tidak teratur."Apa kau selalu mengatakan hal seperti itu kepada semua wanita?" tanya Eleanor akhirnya, berusaha terdengar santai.Nathaniel menatapnya tanpa ekspresi. "Tidak."Jawaban singkat itu justru semakin mengganggunya. Eleanor berdeham pelan, mencoba mengembalikan kontrol atas emosinya. Ia tidak boleh terbawa suasana."Kau terlalu percaya diri, Nathaniel," katanya, berusaha tersenyum sinis. "Aku tidak merasa terganggu."Nathaniel tidak langsung membalas. Ia hanya mengamati Eleanor dengan mata tajamnya, seolah membaca setiap kebohongan kecil dalam kata

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status