Share

Bab 3 —Awal Kegaduhan

Author: Cludsydayss
last update Last Updated: 2025-03-04 18:51:17

Eleanor pikir setelah pertemuan itu, Nathaniel akan membiarkannya hidup dengan tenang setidaknya untuk beberapa hari. Tapi ternyata, harapannya terlalu naif.

Pagi ini, ia baru saja selesai mandi ketika ponselnya bergetar di meja. Dengan rambut masih basah, ia mengambilnya dan melihat sebuah pesan masuk.

Nathaniel Aldric:

"Aku menunggumu di depan rumah. Lima menit."

Eleanor hampir menjatuhkan ponsel dari tangannya.

"APA?!"

Ia buru-buru berlari ke jendela kamarnya, menarik tirai, dan benar saja—sebuah mobil hitam mengilap sudah terparkir di depan rumah. Nathaniel berdiri di sampingnya, bersandar santai dengan tangan di saku celana.

Dengan jantung hampir copot, Eleanor mengetik balasan secepat mungkin.

Eleanor Windsor:

"Kau ngapain di sini?! Aku belum siap!"

Tidak sampai sepuluh detik, Nathaniel membalas.

Nathaniel Aldric:

"Tinggal berdandan dan turun. Aku tidak suka menunggu."

Eleanor mendengus kesal. Pria ini benar-benar…!

Ia buru-buru berdandan seadanya, lalu berlari turun. Begitu keluar rumah, ia langsung menghampiri Nathaniel dengan tatapan tajam.

"Aku tidak tahu sejak kapan kita membuat perjanjian bahwa kau bisa menjemputku semaumu," cetusnya.

Nathaniel membuka pintu mobil dengan tenang. "Kau terlalu banyak bicara. Masuk."

"Aku—"

"Kita akan terlambat."

Eleanor mengerang frustrasi, tapi akhirnya masuk juga ke dalam mobil, membanting pintu lebih keras dari yang seharusnya.

Begitu mobil melaju, ia menoleh dengan curiga. "Jadi, kita mau ke mana?"

Nathaniel tetap fokus menyetir. "Pertemuan keluarga."

Eleanor membelalakkan mata. "APA?!"

"Keluarga kita ingin melihat kita bersama. Aku yakin kau tidak ingin mengecewakan mereka, kan?"

Eleanor merasakan gelombang panik menjalar ke seluruh tubuhnya. Ia belum siap menghadapi keluarga besar, apalagi jika mereka mengharapkan dia dan Nathaniel terlihat seperti pasangan bahagia!

Ia menatap Nathaniel dengan horor. "Kau pasti bercanda, kan?"

Nathaniel menoleh sekilas, lalu tersenyum miring. "Menurutmu?"

Eleanor mengusap wajahnya, nyaris putus asa. Hari ini akan jadi bencana. Dan semua ini gara-gara pria menyebalkan di sampingnya.

Mobil berhenti di sebuah restoran mewah. Eleanor bisa melihat beberapa anggota keluarga mereka sudah tiba. Ayahnya, ibunya, serta beberapa kerabat dekat. Sementara dari pihak Nathaniel, ada ayahnya, seorang pria paruh baya dengan aura otoriter, dan ibunya yang terlihat anggun dan elegan.

Eleanor menelan ludah. "Aku benar-benar harus melakukan ini?"

Nathaniel membuka pintu mobil dan menoleh padanya. "Tentu saja."

Eleanor menghela napas panjang. Tidak ada jalan keluar. Dengan langkah setengah hati, ia keluar dan mencoba mengatur ekspresi agar terlihat biasa saja.

Begitu mereka masuk, semua mata langsung tertuju pada mereka.

"Eleanor, sayang! Duduklah di sini," seru ibunya penuh harapan.

Eleanor mengangguk kecil dan duduk di kursi yang telah disediakan—tepat di sebelah Nathaniel.

"Kami senang akhirnya bisa melihat kalian bersama," ujar ibu Nathaniel dengan nada lembut.

Nathaniel hanya tersenyum tipis. "Kami berusaha menyesuaikan diri."

Eleanor menahan diri untuk tidak memutar bola mata. Oh ya? Aku tidak melihat usaha itu darinya.

"Jadi, bagaimana hubungan kalian sejauh ini?" tanya ayah Eleanor.

Eleanor hampir tersedak air putih. Ia melirik Nathaniel, berharap pria itu yang menjawab.

Tapi pria itu malah menatapnya balik seolah berkata, Silakan jawab sendiri.

Eleanor ingin sekali menendang kakinya di bawah meja.

"Uhm… ya, kami masih… mengenal satu sama lain," jawab Eleanor dengan senyum yang dipaksakan.

"Kau tidak terlalu banyak bicara seperti biasanya, Eleanor," ayahnya menyipitkan mata curiga.

Eleanor hampir mendengus. Tentu saja, bagaimana bisa ia bicara banyak kalau ia sedang berusaha bertahan dari situasi menyebalkan ini?

"Aku hanya… mencoba menyesuaikan diri," katanya akhirnya.

Ibu Nathaniel tersenyum. "Itu bagus. Perjalanan pernikahan memang dimulai dengan saling memahami."

Tiba-tiba, Nathaniel meletakkan tangannya di atas tangan Eleanor.

Eleanor langsung kaku.

"Kami baik-baik saja," kata Nathaniel santai, seolah mereka memang pasangan bahagia.

Eleanor ingin menarik tangannya, tapi di bawah meja, Nathaniel sedikit menekannya, memberi peringatan agar ia tetap diam.

Ia ingin marah, tapi ia tahu ini bukan tempat yang tepat. Jadi, dengan senyum palsu, ia membalas, "Ya… tentu saja."

Dalam hati, ia bersumpah—Nathaniel akan menerima balasan darinya setelah pertemuan ini selesai.

Setelah makan malam berakhir dan pertemuan keluarga selesai, Eleanor akhirnya bisa menghela napas lega. Tapi begitu mereka masuk ke mobil, ia langsung menoleh ke Nathaniel dengan tatapan tajam.

"Kau benar-benar keterlaluan," geramnya.

Nathaniel menaikkan alis. "Apa lagi sekarang?"

Eleanor melipat tangan di dada. "Kau tadi menggenggam tanganku di depan semua orang! Apa-apaan itu?!"

Nathaniel terkekeh. "Bukankah kita harus terlihat meyakinkan?"

Eleanor hampir mencakarnya. "Setidaknya beri aku peringatan dulu, dasar CEO menyebalkan!"

Nathaniel menoleh, ekspresinya tetap tenang. "Aku baru sadar kalau kau cerewet sekali."

Eleanor mendengus. "Baru sadar? Aku memang cerewet dari lahir."

Nathaniel tersenyum tipis. "Kalau begitu, mungkin aku harus mencari cara untuk membuatmu diam."

Eleanor menatapnya curiga. "Jangan macam-macam."

Nathaniel tidak menjawab lagi.

Di dalam mobil, suasana sedikit lebih tenang. Tapi Eleanor masih tidak terima dengan semua yang terjadi hari ini.

Ia bersandar di kursi, menatap Nathaniel dengan tatapan menyelidik. "Jadi, kenapa kau tiba-tiba menerima perjodohan ini? Aku pikir kau tipe pria yang menolak pernikahan yang diatur."

Nathaniel tetap fokus pada jalan. "Aku punya alasan."

Eleanor menunggu, tapi Nathaniel tidak melanjutkan.

"Jangan bilang kau menikah hanya karena bisnis keluarga," duganya.

Nathaniel tersenyum tipis. "Bukankah itu alasan yang cukup kuat?"

Eleanor mendengus. "Itu alasan yang membosankan."

Nathaniel tidak menjawab.

Eleanor mulai curiga pria itu menyembunyikan sesuatu.

Tapi untuk saat ini, ia terlalu lelah untuk mencari tahu. Yang jelas, perjodohan ini lebih rumit dari yang ia bayangkan. Dan itu semua gara-gara pria dingin bernama Nathaniel Aldric.

Mobil berhenti di depan rumah Eleanor. Nathaniel membuka kunci pintu mobil.

"Sampai jumpa," katanya singkat.

Eleanor melipat tangan. "Kau tidak mau memastikan aku masuk rumah dulu?"

Nathaniel menatapnya sekilas. "Kau bukan tipe wanita yang butuh diantar sampai ke pintu."

Eleanor merasa tersinggung. "Aku bisa saja diculik!"

Nathaniel terkekeh. "Kalau ada yang cukup berani menculikmu, aku ingin melihatnya."

Eleanor melotot. "Maksudmu apa?!"

Nathaniel hanya tersenyum.

Eleanor mendengus, lalu keluar. Tapi sebelum masuk rumah, ia mengetuk jendela mobil Nathaniel.

Nathaniel menurunkan kaca jendela. "Apa lagi?"

Eleanor menyeringai. "Aku tidak akan membuat hidupmu mudah."

Nathaniel tersenyum tipis. "Aku tidak pernah berharap begitu."

Eleanor masuk ke rumah dengan senyum puas.

Nathaniel menatapnya sesaat sebelum menjalankan mobilnya.

Ia tahu satu hal—hidupnya setelah ini tidak akan pernah membosankan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Terpaksa menjadi istri dadakan CEO   Bab 42 – Tarikan yang Tak Terhindarkan (Lanjutan)

    Eleanor berjalan menuju kamarnya dengan langkah cepat, tapi pikirannya masih berkecamuk. Pertanyaan Nathaniel tadi terus terngiang di kepalanya. Apa kau mulai merasa nyaman denganku? Ia mendesah pelan, berusaha menepis perasaan aneh yang mulai muncul dalam dirinya. Ini tidak boleh terjadi. Ia tidak boleh lengah. Namun, bayangan tatapan serius Nathaniel dan nada suaranya yang berbeda dari biasanya tetap melekat dalam benaknya. Setelah berganti pakaian dan bersiap untuk pergi, Eleanor turun kembali ke ruang tamu. Nathaniel masih di sana, berdiri dengan kemeja putihnya yang sudah tertata rapi, siap untuk berangkat ke kantor. Saat pria itu melihatnya, ia mengangkat alis. "Kau mau ke butik hari ini?" Eleanor mengangguk. "Ya, ada beberapa hal yang harus aku urus." Nathaniel menatapnya sesaat sebelum akhirnya berkata, "Aku bisa mengantarmu." Eleanor terkejut, lalu buru-bu

  • Terpaksa menjadi istri dadakan CEO   Bab 43 – Kebingungan yang Makin Jelas

    Setelah perjalanan yang terasa lebih lama dari seharusnya, mobil akhirnya berhenti di depan butik Eleanor. Wanita itu buru-buru membuka pintu dan keluar, seolah ingin segera menjauh dari aura mengganggu yang ditimbulkan oleh kehadiran Nathaniel di sisinya. Nathaniel menatapnya dengan ekspresi tak terbaca. "Aku jemput nanti?" Eleanor menoleh sekilas, mencoba mencari alasan untuk menolak, tapi pada akhirnya hanya mengangguk kecil. "Terserah." Nathaniel tersenyum tipis mendengar jawaban itu. "Baiklah, sampai nanti." Tanpa menunggu lebih lama, Eleanor segera masuk ke dalam butiknya. Ia merasa perlu menenangkan pikirannya sebelum emosinya semakin kacau. Namun, begitu ia melangkah masuk, seorang pegawainya, Lisa, langsung menyambut dengan tatapan penuh selidik. "Kak Eleanor... tadi aku lihat bos besar nganterin kakak?" tanyanya dengan nada penasaran. Eleanor menghela napas panjang. "Jangan

  • Terpaksa menjadi istri dadakan CEO   Bab 40 – Kebiasaan Baru

    Pagi di apartemen terasa lebih tenang dari biasanya. Eleanor terbangun sedikit lebih awal dari alarmnya, matanya masih setengah terpejam saat ia menyadari suasana di sekelilingnya. Butuh beberapa detik baginya untuk mengingat bahwa ini bukan kamarnya di rumah lama, melainkan apartemen tempat ia tinggal bersama Nathaniel.Ia menghela napas pelan sebelum turun dari tempat tidur. Setelah mencuci muka dan mengganti pakaian, Eleanor keluar dari kamar, sedikit terkejut saat melihat Nathaniel sudah berada di dapur, mengenakan kemeja putih yang lengannya digulung hingga siku.Pria itu sedang menuangkan kopi ke dalam cangkirnya sendiri, lalu melirik sekilas ke arah Eleanor. “Pagi.”Eleanor berjalan mendekat. “Kau bangun lebih awal.”Nathaniel menyesap kopinya sebelum menjawab. “Aku memang selalu bangun pagi.”Eleanor mengangguk pelan. Ia sempat melirik meja makan dan menemukan satu cangkir tambahan di sana. “Kau buatkan kopi untukku juga?”

  • Terpaksa menjadi istri dadakan CEO   Bab 41 – Perasaan yang Mulai Mengusik

    Malam semakin larut, tetapi Eleanor masih belum bisa tidur. Pikirannya terus berputar, mengingat bagaimana Nathaniel mulai berubah. Ada sesuatu dalam tatapan pria itu, dalam caranya berbicara, yang terasa berbeda.Ia berbaring di tempat tidur, menatap langit-langit dengan napas pelan. Jantungnya berdetak sedikit lebih cepat dari biasanya, dan itu membuatnya frustrasi.“Apa aku terlalu banyak berpikir?” gumamnya pelan.Namun, meskipun ia mencoba mengabaikannya, kenyataan bahwa Nathaniel tidak lagi terasa seperti pria dingin yang dulu ia kenal tetap menghantuinya.Tiba-tiba, suara ketukan pelan terdengar dari pintu kamarnya. Eleanor menoleh, sedikit terkejut.“Eleanor,” suara Nathaniel terdengar dari luar. “Kau masih bangun?”Eleanor ragu sejenak sebelum akhirnya menjawab, “Iya, ada apa?”Nathaniel tidak langsung menjawab. Ada jeda singkat sebelum akhirnya ia berkata, “Aku hanya ingin memastikan kau baik-baik saja.”

  • Terpaksa menjadi istri dadakan CEO   Bab 38 – Perasaan yang Makin Sulit Dibantah

    Pagi datang dengan sinar matahari yang perlahan menerobos tirai kamar. Eleanor menggerakkan tubuhnya sedikit, matanya masih setengah terpejam. Ia merasa hangat, lebih nyaman dari biasanya.Saat kesadarannya kembali sepenuhnya, ia menyadari sesuatu—ada lengan kuat yang melingkar di pinggangnya.Jantungnya langsung berdetak lebih cepat. Dengan hati-hati, ia menoleh dan menemukan dirinya berada dalam pelukan Nathaniel.Lelaki itu masih tertidur, napasnya teratur, dan wajahnya tampak lebih tenang dari biasanya. Biasanya, Nathaniel selalu menjaga jarak darinya. Tapi sekarang…Eleanor menelan ludah, tidak yakin harus berbuat apa. Ia mencoba bergerak pelan agar tidak membangunkannya, tetapi saat ia sedikit bergeser, cengkeraman lengan Nathaniel justru mengerat."Jangan gerak," suara Nathaniel terdengar, serak dan dalam.Eleanor membeku. "Kau sudah bangun?"Nathaniel tidak langsung menjawab. Ia menarik napas panjang sebelum akhi

  • Terpaksa menjadi istri dadakan CEO   Bab 37 – Kebersamaan yang Mengusik

    Eleanor masih terdiam di tempatnya, merasakan hembusan angin malam yang menyapu wajahnya. Perkataan Nathaniel barusan membuatnya kehilangan kata-kata. Ia tidak menyangka pria itu akan mengatakannya secara langsung seperti itu.Nathaniel tetap berdiri di hadapannya, menunggu reaksi. Tapi Eleanor hanya mengalihkan pandangan, berusaha menenangkan detak jantungnya yang tiba-tiba tidak teratur."Apa kau selalu mengatakan hal seperti itu kepada semua wanita?" tanya Eleanor akhirnya, berusaha terdengar santai.Nathaniel menatapnya tanpa ekspresi. "Tidak."Jawaban singkat itu justru semakin mengganggunya. Eleanor berdeham pelan, mencoba mengembalikan kontrol atas emosinya. Ia tidak boleh terbawa suasana."Kau terlalu percaya diri, Nathaniel," katanya, berusaha tersenyum sinis. "Aku tidak merasa terganggu."Nathaniel tidak langsung membalas. Ia hanya mengamati Eleanor dengan mata tajamnya, seolah membaca setiap kebohongan kecil dalam kata

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status