Di balik pintu kaca yang tinggi dan berkilauan, Nathaniel Aldric, CEO muda Aldric Corp, menatap tajam ke layar laptopnya. Dia pria yang perfeksionis, dingin, dan nggak pernah keluar dari jalur yang sudah dia tentukan sendiri. Tapi hari itu, ada satu hal yang mengacaukan segalanya: perjodohan. "Nathan, kamu nggak bisa nolak," suara sang ayah tegas di seberang telepon. "Kita sudah sepakat, Aldric dan Windsor akan bersatu lewat pernikahan ini." Sementara itu, di sisi lain kota, Eleanor Windsor—seorang seniman yang bebas dan keras kepala—hampir menjatuhkan kuasnya saat mendengar berita itu. "Menikah? Dengan pria yang bahkan aku nggak kenal? Jangan bercanda." Dua dunia yang bertolak belakang dipaksa bersatu. Dan perjodohan ini… adalah awal dari perang dingin antara mereka berdua.
View MoreLangit sore menjingga ketika Eleanor Windsor menyelesaikan lukisan terakhirnya di balkon apartemen kecilnya. Aroma cat minyak masih menggantung di udara saat ia menyandarkan tubuh di kursi kayu, membiarkan angin sepoi-sepoi mengusap wajahnya. Hidupnya sederhana, bebas tanpa aturan, dan ia menyukainya seperti itu.
Dering ponselnya memecah ketenangan. Ia melirik layar dan melihat nama ayahnya. Sedikit heran, ia mengangkatnya. "Eleanor, pulang sekarang. Ada hal penting yang harus kita bicarakan." Nada tegas tanpa basa-basi itu membuatnya mengernyit. Sangat jarang ayahnya, seorang pengusaha sukses di bidang real estate, berbicara seserius ini. Namun, ia tidak curiga. Mungkin hanya urusan keluarga biasa. Namun, saat ia tiba di rumah besar keluarga Windsor, suasana lebih berat dari biasanya. Ayahnya duduk dengan ekspresi serius, sementara ibunya berdiri dengan wajah sulit dibaca. "Ada apa?" Eleanor bertanya. Ayahnya menatapnya lurus sebelum akhirnya berkata, "Kamu akan menikah." Eleanor tertawa kecil, menunggu sang ayah mengoreksi kata-katanya. Namun, tak ada yang berubah. "Apa?" "Kamu akan menikah," ulang ayahnya. "Dengan Nathaniel Aldric, CEO Aldric Corp." Tawa Eleanor terhenti. Ia menatap kedua orang tuanya, mencari tanda kalau ini lelucon. Tapi wajah mereka tetap datar. "Kalian bercanda, kan?" Ibunya menghela napas. "Ini keputusan yang sudah dibicarakan sejak lama. Pernikahan ini akan menguntungkan kedua belah pihak." Menguntungkan? Eleanor merasakan sesuatu bergemuruh dalam dadanya. "Jadi aku cuma alat bisnis kalian?" "Bukan begitu." "Lalu apa? Aku harus menikah dengan pria yang bahkan aku nggak kenal, demi perusahaan?" "Keluarga kita mengalami kesulitan keuangan. Windsor Realty hampir mengalami kemunduran. Kemitraan dengan Aldric Corp bisa menyelamatkan kita, dan pernikahan ini adalah bagian dari kesepakatan," kata ayahnya. Eleanor terdiam. Ini bukan sekadar perjodohan biasa. Ini tentang kelangsungan bisnis keluarganya. Tapi apakah itu cukup jadi alasan untuk menyerahkan hidupnya? Sementara itu, di sisi lain kota, Nathaniel Aldric menutup laptopnya dengan gerakan penuh tekanan. Telepon dari ayahnya baru saja masuk. "Nathaniel, ini bukan tawaran. Ini keputusan." Nathaniel bersandar di kursinya. "Aku tidak butuh istri." "Kamu butuh. Bukan sebagai pasangan hidup, tapi sebagai simbol kestabilan. Aldric Corp membutuhkan pemimpin yang bisa dipercaya." Nathaniel mengeraskan rahangnya. "Aku sudah membangun reputasiku sendiri." "Dan kamu akan menghancurkannya kalau tetap menolak. Pernikahan ini akan menguatkan posisimu di dunia bisnis." Nathaniel menatap kota dari jendela besar kantornya. Lampu-lampu gedung bercahaya terang di bawah sana, tapi pikirannya terasa gelap. Ia tidak suka kehilangan kendali atas hidupnya. Tapi kali ini, ia tidak punya pilihan. Malam itu, Eleanor masih berusaha mencari cara untuk menolak pernikahan ini. Sementara Nathaniel, dengan segelas bourbon di tangannya, sudah memutuskan satu hal—jika pernikahan ini harus terjadi, maka ia akan memastikan semuanya tetap dalam kendalinya. Keesokan harinya, Eleanor berdiri di depan restoran mewah tempat pertemuan dengan keluarga Aldric akan berlangsung. Ia mengenakan gaun sederhana berwarna krem yang dipilih ibunya, sesuatu yang menurutnya terlalu formal untuk pertemuan yang tidak ia inginkan. Tangannya mengepal di sisi tubuhnya, berusaha meredam kegelisahan. Pintu restoran terbuka, dan seorang pria tinggi masuk dengan langkah penuh percaya diri. Nathaniel Aldric. Eleanor menelan ludah. Pria itu lebih tinggi dari yang ia bayangkan. Rahangnya tegas, mata tajamnya menatap lurus ke arahnya. Dengan jas hitam yang sempurna membingkai tubuhnya, aura dingin dan otoritatifnya begitu jelas terasa. Mata mereka bertemu. Sejenak, waktu terasa melambat. Eleanor tahu satu hal saat itu juga—pria ini bukan seseorang yang bisa ia kendalikan. Dan di sisi lain, Nathaniel juga menyadari sesuatu—wanita ini bukan seseorang yang bisa ia remehkan. Pelayan membukakan pintu restoran dengan ramah, membiarkan Eleanor masuk lebih dulu. Di dalam, kedua orang tuanya sudah duduk bersama keluarga Aldric—ayah Nathaniel, Robert Aldric, dan ibunya, Vivian Aldric. "Eleanor, kemarilah," suara ibunya terdengar lembut, meski menyimpan makna tersembunyi. Eleanor melangkah ke meja. Tatapan Nathaniel terasa menusuk, seolah menilainya dari ujung kepala hingga kaki. "Jadi, ini dia Eleanor," Robert Aldric membuka percakapan. "Cantik dan anggun, seperti ibunya." Eleanor hanya tersenyum tipis. Ia tidak ingin berada di sini, dan semua orang tahu itu. Vivian Aldric tersenyum. "Kami harap kalian bisa saling mengenal lebih baik. Pernikahan ini bukan hanya soal bisnis. Kami ingin kalian bisa membangun kehidupan bersama." Eleanor tersenyum miring. Bukan hanya soal bisnis? Lalu apa? Saat hidangan pembuka disajikan, suasana tetap tegang. "Apa kau keberatan dengan pernikahan ini?" Suara Nathaniel tiba-tiba terdengar. Dalam sekejap, percakapan lain di meja seakan menghilang. Eleanor menoleh. "Kau pikir bagaimana?" Bibirmu Nathaniel sedikit melengkung. "Aku hanya ingin tahu apakah kita ada di halaman yang sama." "Dan menurutmu kita ada?" Nathaniel menyandarkan tubuhnya ke kursi. "Aku rasa tidak." "Tapi kita tetap akan menikah," lanjutnya tenang. Eleanor mengepalkan tangannya di bawah meja. "Jangan bertindak seolah kau yang mengendalikan semuanya." Nathaniel menatapnya tajam. "Aku selalu mengendalikan segalanya, Eleanor." Saat itu juga, Eleanor menyadari satu hal—Nathaniel Aldric adalah seseorang yang terbiasa memegang kendali. Dan ia tidak akan membiarkan dirinya menjadi pengecualian. "Kau selalu mengendalikan segalanya?" Eleanor mengulang kata-kata pria itu dengan nada penuh sindiran. "Pasti menyenangkan hidup seperti itu." Nathaniel tetap tenang. "Aku tidak meminta mereka tunduk. Mereka hanya tahu apa yang terbaik untuk mereka." Eleanor mendengus. "Dan sekarang kau ingin aku percaya kalau menikah denganmu itu ‘yang terbaik’ untukku?" "Menurutku, ya." Eleanor hampir tersedak. "Astaga, kau benar-benar arogan." Nathaniel tersenyum tipis. "Aku hanya mengatakan fakta. Kita akan menikah, Eleanor. Semakin cepat kau menerimanya, semakin mudah semuanya." Eleanor melipat tangannya. "Lucu sekali, aku justru berpikir semakin aku menolaknya, semakin menarik jadinya." Nathaniel tetap tersenyum. "Kau boleh menolak sesuka hatimu. Tapi pada akhirnya, pernikahan ini akan tetap terjadi." Eleanor mengatupkan mulutnya. Seketika, ia merasa perdebatan ini tidak akan pernah berakhir. Dan yang lebih parah, ini baru permulaan.Eleanor berjalan menuju kamarnya dengan langkah cepat, tapi pikirannya masih berkecamuk. Pertanyaan Nathaniel tadi terus terngiang di kepalanya. Apa kau mulai merasa nyaman denganku? Ia mendesah pelan, berusaha menepis perasaan aneh yang mulai muncul dalam dirinya. Ini tidak boleh terjadi. Ia tidak boleh lengah. Namun, bayangan tatapan serius Nathaniel dan nada suaranya yang berbeda dari biasanya tetap melekat dalam benaknya. Setelah berganti pakaian dan bersiap untuk pergi, Eleanor turun kembali ke ruang tamu. Nathaniel masih di sana, berdiri dengan kemeja putihnya yang sudah tertata rapi, siap untuk berangkat ke kantor. Saat pria itu melihatnya, ia mengangkat alis. "Kau mau ke butik hari ini?" Eleanor mengangguk. "Ya, ada beberapa hal yang harus aku urus." Nathaniel menatapnya sesaat sebelum akhirnya berkata, "Aku bisa mengantarmu." Eleanor terkejut, lalu buru-bu
Setelah perjalanan yang terasa lebih lama dari seharusnya, mobil akhirnya berhenti di depan butik Eleanor. Wanita itu buru-buru membuka pintu dan keluar, seolah ingin segera menjauh dari aura mengganggu yang ditimbulkan oleh kehadiran Nathaniel di sisinya. Nathaniel menatapnya dengan ekspresi tak terbaca. "Aku jemput nanti?" Eleanor menoleh sekilas, mencoba mencari alasan untuk menolak, tapi pada akhirnya hanya mengangguk kecil. "Terserah." Nathaniel tersenyum tipis mendengar jawaban itu. "Baiklah, sampai nanti." Tanpa menunggu lebih lama, Eleanor segera masuk ke dalam butiknya. Ia merasa perlu menenangkan pikirannya sebelum emosinya semakin kacau. Namun, begitu ia melangkah masuk, seorang pegawainya, Lisa, langsung menyambut dengan tatapan penuh selidik. "Kak Eleanor... tadi aku lihat bos besar nganterin kakak?" tanyanya dengan nada penasaran. Eleanor menghela napas panjang. "Jangan
Pagi di apartemen terasa lebih tenang dari biasanya. Eleanor terbangun sedikit lebih awal dari alarmnya, matanya masih setengah terpejam saat ia menyadari suasana di sekelilingnya. Butuh beberapa detik baginya untuk mengingat bahwa ini bukan kamarnya di rumah lama, melainkan apartemen tempat ia tinggal bersama Nathaniel.Ia menghela napas pelan sebelum turun dari tempat tidur. Setelah mencuci muka dan mengganti pakaian, Eleanor keluar dari kamar, sedikit terkejut saat melihat Nathaniel sudah berada di dapur, mengenakan kemeja putih yang lengannya digulung hingga siku.Pria itu sedang menuangkan kopi ke dalam cangkirnya sendiri, lalu melirik sekilas ke arah Eleanor. “Pagi.”Eleanor berjalan mendekat. “Kau bangun lebih awal.”Nathaniel menyesap kopinya sebelum menjawab. “Aku memang selalu bangun pagi.”Eleanor mengangguk pelan. Ia sempat melirik meja makan dan menemukan satu cangkir tambahan di sana. “Kau buatkan kopi untukku juga?”
Malam semakin larut, tetapi Eleanor masih belum bisa tidur. Pikirannya terus berputar, mengingat bagaimana Nathaniel mulai berubah. Ada sesuatu dalam tatapan pria itu, dalam caranya berbicara, yang terasa berbeda.Ia berbaring di tempat tidur, menatap langit-langit dengan napas pelan. Jantungnya berdetak sedikit lebih cepat dari biasanya, dan itu membuatnya frustrasi.“Apa aku terlalu banyak berpikir?” gumamnya pelan.Namun, meskipun ia mencoba mengabaikannya, kenyataan bahwa Nathaniel tidak lagi terasa seperti pria dingin yang dulu ia kenal tetap menghantuinya.Tiba-tiba, suara ketukan pelan terdengar dari pintu kamarnya. Eleanor menoleh, sedikit terkejut.“Eleanor,” suara Nathaniel terdengar dari luar. “Kau masih bangun?”Eleanor ragu sejenak sebelum akhirnya menjawab, “Iya, ada apa?”Nathaniel tidak langsung menjawab. Ada jeda singkat sebelum akhirnya ia berkata, “Aku hanya ingin memastikan kau baik-baik saja.”
Pagi datang dengan sinar matahari yang perlahan menerobos tirai kamar. Eleanor menggerakkan tubuhnya sedikit, matanya masih setengah terpejam. Ia merasa hangat, lebih nyaman dari biasanya.Saat kesadarannya kembali sepenuhnya, ia menyadari sesuatu—ada lengan kuat yang melingkar di pinggangnya.Jantungnya langsung berdetak lebih cepat. Dengan hati-hati, ia menoleh dan menemukan dirinya berada dalam pelukan Nathaniel.Lelaki itu masih tertidur, napasnya teratur, dan wajahnya tampak lebih tenang dari biasanya. Biasanya, Nathaniel selalu menjaga jarak darinya. Tapi sekarang…Eleanor menelan ludah, tidak yakin harus berbuat apa. Ia mencoba bergerak pelan agar tidak membangunkannya, tetapi saat ia sedikit bergeser, cengkeraman lengan Nathaniel justru mengerat."Jangan gerak," suara Nathaniel terdengar, serak dan dalam.Eleanor membeku. "Kau sudah bangun?"Nathaniel tidak langsung menjawab. Ia menarik napas panjang sebelum akhi
Eleanor masih terdiam di tempatnya, merasakan hembusan angin malam yang menyapu wajahnya. Perkataan Nathaniel barusan membuatnya kehilangan kata-kata. Ia tidak menyangka pria itu akan mengatakannya secara langsung seperti itu.Nathaniel tetap berdiri di hadapannya, menunggu reaksi. Tapi Eleanor hanya mengalihkan pandangan, berusaha menenangkan detak jantungnya yang tiba-tiba tidak teratur."Apa kau selalu mengatakan hal seperti itu kepada semua wanita?" tanya Eleanor akhirnya, berusaha terdengar santai.Nathaniel menatapnya tanpa ekspresi. "Tidak."Jawaban singkat itu justru semakin mengganggunya. Eleanor berdeham pelan, mencoba mengembalikan kontrol atas emosinya. Ia tidak boleh terbawa suasana."Kau terlalu percaya diri, Nathaniel," katanya, berusaha tersenyum sinis. "Aku tidak merasa terganggu."Nathaniel tidak langsung membalas. Ia hanya mengamati Eleanor dengan mata tajamnya, seolah membaca setiap kebohongan kecil dalam kata
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments