Di dalam kamar yang sama sekali tak dikenalinya itu, Vallen menangis tersedu menahan semua kepedihan yang dirasakannya saat ini. Belum lama ini ia mengalami penyiksaan dan pelecehan dari pria yang kini mengurungnya di kamar utamanya itu. Vallen masih mencoba untuk mencari tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi pada dirinya. Tadi pagi saat ia dibawa ke rumah ini oleh orang-orang tak di kenal, Vallen masih dalam keadaan tidak sadar oleh pengaruh bius yang mereka tempelkan pada indera penciumannya.
Dengan hati perih dan sakit, Vallen mengingat semua yang terjadi dengan jelas. Jika tidak karena ancaman setelah diberikan penyiksaan dan pelecehan, tidak mungkin Vallen sampai berniat untuk mengakhiri nyawanya dan melupakan Cleo yang sedang menantinya saat ini di rumah.
“Bangun!” hardik Morgan pada Vallen yang masih terkulai lemas di atas ranjang mewah. Bahkan, Morgan menyiramkan segelas air pada wajah Vallen hingga ia benar-benar sadar dari pengaruh obat biusnya itu.
“Di-di mana aku? Siapa kau?” tanya Vallen dengan tubuh gemetar memandang Morgan yang saat itu hanya menggunakan jubah tidur berwarna putih.
“Siapa aku? Ckckck … kau lupa padaku, Vallen? Atau kau hanya ingin melupakanku?” tanya Morgan dengan tatapan yang menusuk jantung membalikkan pertanyaan pada Vallen.
“A-aku tidak tahu siapa dirimu. Kenapa kau membawaku ke sini?” Vallen masih menatap Morgan dengan kebingungan.
“Ternyata kau sangat ingin menguji kesabaranku, hem?”
Morgan sudah berhasil meraih rambut panjang Vallen dan melilitkannya di telapak tangan, kemudian dengan sekali hentakan ia menjambak rambut wanita itu dengan sangat keras.
“Aaa … sa-sakit. Tolong … lepaskan aku. Apa yang kau lakukan?” teriak Vallen dengan menahan rasa sakit akibat jambakan yang dilakukan Morgan padanya.
“Lepaskan katamu?” tanya Morgan dan menaikkan sebelas alisnya. Morgan menguatkan tarikan tangannya pada rambut Vallen.
“Iya … tolong lepaskan! Itu sangat sakit. Apa kau sudah gila? Aku bahkan tidak tahu apa salahku!” teriak Vallen mencoba untuk bertahan dari rasa sakit yang sedang dirasakannya.
Sekali lagi Morgan mendengar hal yang membuatnya geram dan membangkitkan kemarahan di dalam dadanya. Kebencian Morgan bertambah saat ia mendengar Vallen bertanya apa salahnya. Morgan tidak akan pernah menyakiti seseorang jika saja orang itu tidak pernah melakukan kesalahan padanya. Apalagi pada seorang wanita lemah seperti Vallen.
Morgan melepaskan tangannya yang terlilit rambut Vallen. Sejenak Vallen bisa merasa lega bahwa pria itu masih mempunyai perasaaan untuk tidak berlaku kasar lagi padanya dan mau mendengarkan permohonannya. Namun, belum lama wanita itu merasakan lega, sebuah tarikan di pakaiannya membuat Vallen berubah menjadi ketakutan. Morgan baru saja merobek pakaian bagian depannya dan saat ini sudah memperlihatkan dua benda kenyal di balik bra berwarna merah.
Vallen mengenakan kemeja berwarna hitam saat ini dan kemeja itu sudah robek ditarik dengan sangat keras oleh Morgan. Ia dengan spontan menutupi bagian dadanya dengan kedua tangan dan memandang Morgan dengan raut wajah ketakutan. Vallen tidak pernah mengira bahwa Morgan akan melakukan hal itu padanya. Dengan gerakan lambat, Vallen beringsut ke belekang dan tubuhnya bersandar pada dinding kasur. Morgan kembali mendekati tubuh Vallen dengan tatapan beringas seakan Vallen adalah mangsa yang siap untuk ia santap.
“Jangan mendekat! Pergi lah menjauh dariku!” teriak Vallen menghalangi Morgan mendekatinya.
Morgan tidak menghiraukan teriakan Vallen dan justru semakin mendekatinya. Kini, wajah Morgan sudah berada sangat dekat dengan wajah Vallen. Bahkan Vallen bisa merasakan deru napas yang dihembuskan oleh pria itu. Terasa hangat menyapu wajah Vallen dan sempat membuat wanita itu hampir terbuai oleh aroma napasnya yang sangat segar dan wangi. Kemudian, saat Morgan mencengkram rahangnya dengan keras membuat Vallen tersadar pada situasi yang sebenarnya saat ini.
“Kau sungguh tidak ingin mengenaliku? Kau ingin melupakan semua kesalahan yang sudah kau lakukan di masa lalu? Apa aku harus mengingatkanmu untuk hal itu?” tanya Morgan dan semakin menguatkan cengkramannya pada rahang Vallen.
“Aku-aku … sungguh tidak mengerti dengan yang kau bicarakan. Mungkin kau salah orang. Aku bukan Vallen yang kau maksud! Ada banyak nama Vallen di dunia ini,” ucap Vallen menjelaskan dengan susah payah pada Morgan.
“Ternyata kau memang perlu sesuatu untuk membuatmu mengingat siapa diriku!” ujar Morgan dengan rahang yang mengeras menahan rasa amarahnya.
Dengan sekali hentakan, tubuh Vallen terhempas lagi di atas kasur ranjang itu. Seketika ketakutan terlihat sangat nyata dari wajah Vallen saat pria di depannya itu membuka ikatan jubah yang kanyakannya. Di depan mata kepalanya, Vallen melihat batang kemaluan Morgan yang sudah mengacung tegak seakan sudah bersiap untuk ke dalam lobang surgawi seorang wanita. Namun, bukan hanya itu saja, di bawah lingkaran pusar dan di atas kemaluannya itu, Vallen menatap lekat pada sebuah nama yang terukir sangat indah di sana. Nama Vallen dalam lingkaran love yang sangat cantik.
“Apa kau sudah mengingatnya sekarang? Jika belum, aku akan membuatmu semakin mengingatnya dengan jelas,” ucap Morgan dan memegang kedua tangan Vallen dan mengangkatnya ke atas kepala.
Dengan cepat, Morgan mencumbu bibir Vallen dengan sangat kasar. Vallen memberontak dan berusaha melepaskan tubuhnya dari bawah tubuh Morgan, meski tetap saja semua sia-sia. Tenaga Vallen tak sebanding dengan tenaga pria kekar dan berotot itu. Hingga Vallen tidak mempunyai pilihan lain selain pasrah dan menerima apa yang dilakukan Morgan padanya.
Tanpa ampun, Morgan mencumbu bibir Vallen seolah ia baru saja menemukan makanan kesukaan yang sudah lama tidak disantapnya. Namun, karena Vallen tidak lagi memberontak membuat selera dan minat Morgan perlahan melenyap. Ia melepas pagutan bibirnya dari bibir Vallen. Kemudian dengan kasar menyentak celana kain yang dipakai oleh Vallen dan melorotkannya ke bawah.
“Apa lagi yang akan kau lakukan?” tanya Vallen ketakutan dan berusaha menghalangi perbuatan Morgan.
"Memberikanmu sesuatu yang pasti sangat kau rindukan dariku,” jawab Morgan dan menyeringai buas.
“Jangan lakukan apa pun padaku lagi! Aku tidak sudi disentuh oleh pria seperti dirimu! Aku bukan pelacurmu!” pekik Vallen lagi dengan diiringi deraian air mata yang tiada hentinya mengalir dari kedua bola matanya itu.
“Kau tidak mau menjadi pelacurku? Tapi kau bersedia menjadi pelacur bajingan itu? Berapa banyak uang yang dia berikan padamu? Saat ini aku bahkan bisa membayarmu seratus kali lipat dari yang dia berikan,” ungkap Morgan tanpa menghentikan perbuatannya yang sedang berusaha melecuti semua pakaian Vallen.
“Kau gila! Jangan samakan aku dengan Vallen-mu yang hina dan murahan itu!” ucap Vallen yang sudah tidak tahan lagi dengan perlakuan Morgan padanya.
“Karna kau sangat keras kepala, maka mari kita coba. Apakah hal itu bisa menepis kemunafikanmu saat ini atau tidak,” ujar Morgan dan dengan kasar menghentakkan batang kemaluannya ke dalam pusat kenikmatan seorang wanita itu. Vallen menjerit dengan sangat keras karena tidak sanggup menahan ras sakit yang diakibatkan oleh besarnya rudal yang dimiliki Morgan itu.
Sedikit memaksa, Morgan berhasil memasukkan seluruh batang kemaluannya di dalam sana. Ia melihat wajah Vallen yang sudah banjir dengan air mata. Tidak tersisa sedikit pun rasa iba di dalam diri Morgan saat melakukan hal itu. Pria itu memaju mundurkan pinggulnya untuk memompa batang kemaluannya di dalam lembah kenikmatan yang sangat ia rindukan itu. Sepuluh tahun lamanya Morgan tidak pernah merasakan rudalnya bangkit saat bersama seorang wanita, bahkan saat wanita itu sudah berdiri tanpa sehelai benang pun di depan matanya.“Tolong … hentikan! Sangat sakit … aku bukan Vallen-mu itu,” rintih Vallen dengan suara parau karena sudah berjuang keras menahan rasa sakit akibat sodokan benda tumpul di area kewanitaannya itu.Namun, mendengar hal itu membuat Morgan semakin keras menghentakkan pinggulnya sampai ia merasakan rudalnya menyentuh dinding rahim Vallen. Suara rintihan dan teriakan Vallen seolah menjadi satu alasan yang membuat Morgan menjadi sangat bersemangat dalam menyetubuhi wanita
“Mami … di mana Mami?” tanya seorang gadis kecil berusia sembilan tahun itu pada potret yang kini sedang ditatapnya dalam sebuah bingkai kayu kecil.Cleopatra nama gadis itu dan kini masih duduk di depan pintu pada sebuah rumah sederhana yang memang sangat jauh dari keramaian. Entah kenapa Vallen memilih tempat yang jauh dari jangkauan seperti ini. Awalnya Vallen berniat untuk tinggal di rumah keluarganya, akan tetapi semua anggota keluarganya menentang hal itu dan akhirnya ayah Vallen menyarankan untuk menyewa sebuah rumah dan hidup berdua dengan Cleo di sana.Cleo yang awalnya merasa senang karena baru saja bertemu dengan seluruh anggota keluarganya, perlahan menjadi kecewa karena nyatanya tidak satu pun dari mereka yang menerima kehadirannya dan juga ibunya. Cleo mungkin masih berusia sembilan tahun, tapi cara berpikirnya dan cara ia menanggapi situasi sangat di luar batas usianya. Cleo bahkan tidak pernah terdengar merengek dan mengeluh layaknya anak seusianya.Selama ini, ia dan
“Kenapa kalian datang dan bertanya di mana ibuku?” tanya Cleo dengan raut wajah penuh kecurigaan pada Javina dan Cristian.Gadis kecil itu memandang Cristian dan Javina secara bergantian. Memang, tidak ada sedikit pun kemiripan di wajah mereka dengan wajah ibunya. Itu sebabnya Cleo tidak bisa langsung percaya pada mereka. Apalagi, mereka datang dengan sama-sama bertanya di mana keberadaan ibunya. Yang ia sendiri tidak tahu di mana ibunya berada saat ini. Padahal malam sudah menunjukkan pukul sepuluh saat ini. Masih saja tidak ada kabar tentang di mana ibunya berada.“Paman ingin bicara dengan ibumu dan mengajak kalian pindah ke rumah besar,” jawab Cristian dengan suara lembut.“Ke rumah besar? Rumah besar yang mana yang Paman maksud?” tanya Cleo penuh selidik.“Rumah yang kau datangi bersama ibumu tempo hari lalu. Apa kau lupa? Saat ibuku menolak kedatangan kalian?” Kini giliran Javina yang menjawab dan bertanya pada Cleo.Cleo tampak sedang berpikir sesuatu dan ia menatap keduanya la
“Pria mana yang Paman maksud?” tanya Cleo dengan penuh rasa ingin tahu karena ia mendengar apa yang baru saja dikatakan oleh Cristian meski hanya dikatakan dengan lirih oleh pria itu.Cristian yang tidak menyangka bahwa pendengaran Cleo sangat tajam, langsung menjadi serba salah karena tidak mengerti akan menjelaskan apa pada Cleo saat ini. Tidak mungkin Cristian menyebutkan tentang pria yang sama sekali tak ingin ia jelaskan pada gadis kecil di depannya itu. Cristian tak ingin Cleo sampai mengetahui siapa pria yang ia maksud.“Paman … apakah pria itu adalah mafia yang selalu kalian sebut selama ini melalui surat yang kami terima selama tinggal di pulau?” tanya Cleo dengan wajah polosnya pada Cristian.Seolah mendapat pencerahan atas apa yang akan ia katakan pada Cleo, Cristian langsung saja mengangguk membenarkan yang Cleo ucapkan padanya.“Benar, Sayang. Kau sangat pintar dan daya ingatmu sangat tajam. Paman tidak yakin, tapi sepertinya memang dia yang sudah membawa ibumu,” jawab Cr
Sepanjang malam Cristian benar-benar tidak bisa tidur sedetik pun memikirkan nasib Vallen yang ternyata memang sudah berada dalam cengkraman Morgan. Lelaki itu ternyata sangat cepat mendapatkan informasi tentang kepulangan Vallen. Apalagi, setelah sepuluh tahun berlalu ternyata dia masih saja mengawasi adiknya itu dengan sangat detail. Hingga, baru beberapa hari Vallen datang, dia sudah berhasil menculik dan menyekap Vallen.Cristian sedang memikirkan apa yang mungkin dilakukan pria itu untuk membalaskan sakit hatinya pada Vallen. Ia tahu sebesar apa kemarahan dan kebencian Morgan pada adiknya itu selama ini. Terlebih setelah Morgan melihat video mesum antara dirinya dan Vallen pada malam pertunangan mereka. Sejak itu pula lah aura kebencian Morgan terlihat sangat jelas di matanya. Apalagi, malam itu Vallen sama sekali tidak membantah tuduhan itu dan justru mengatakan hal-hal yang semakin menguatkan kebencian dan amarah dalam diri Morgan.“Paman … apa yang sedang kau pikirkan?” tanya
Dengan perasaan yang bercampur aduk, akhirnya Cristian mengantarkan Cleo sampai di depan sebuah rumah yang megah bak istana. Mobil Cristian berhenti di depan pagar rumah mewah itu dan beberapa orang penjaga langsung menghampirinya. “Maaf, Tuan, apa ada yang bisa kami bantu?” tanya salah satu penjaga dengan sangat ramah. “Aku ingin bertemu Tuan Morgan,” jawab Cristian dan melirik ke arah Cleo. Penjaga itu melihat sekilas pada gadis kecil yang duduk di kursi penumpang. Sesaat darahnya berdesir karena menganggap bahwa Cleo sangat mirip dengan wanita yang dibawa oleh tuannya kemarin. Namun, saat menatap sekali lagi gadis kecil itu juga terlihat mirip dengan tuannya. “Apa dia ada?” tanya Cristian seolah sengaja membuyarkan lamunan si pria penjaga. “A-ada, Tuan. Apa Anda sudah membuat janji dengan Tuan Morgan?” jawab penjaga itu dengan sedikit gugup dan kemudian bertanya lagi. “Dia yang memintaku datang ke sini bersama dengan gadis kecil ini.” “Kalau begitu, silakan masuk, Tuan. Penj
Morgan masih duduk di kursi dalam ruangan kerjanya dan merenungi semua perkataan Christian tadi. Morgan merasa semua yang Cris katakan cukup masuk akal, mengingat bagaimana Vallen tidak merespon bahkan tidak mengingat siapa dirinya sama sekali. Hal yang sangat membuat Morgan marah dan ternyata semua itu karena ia mengalami cidera pada kepalanya dan harus kehilangan ingatannya. Namun, sekali lagi Morgan menolak untuk berbelas kasih pada wanita itu meski ia sedang dalam keadaan lupa ingatan. “Aku tidak akan mengasihanimu hanya karena kau sedang lupa ingatan, Vallen! Kau sudah menghancurkan hatiku dan hampir saja menghancurkan hidupku. Aku tidak akan membuat hidupmu berjalan dengan mudah.” Morgan bergumam sendiir di tempat duduknya dan memandang pada layar besar yang menampilkan sosok seorang ibu dan anak perempuannya. Di dalam kamar mewah itu, Vallen terlihat cantik dengan balutan gaun mahal yang memang sudah disediakan oleh para pelayan di mansion itu. Tentu saja semua itu atas perin
Leo masih duduk berhadapan dengan Morgan saat ini. Namun, tempat duduk mereka sudah pindah ke sebuah mini bar yang ada di mansion Morgan itu. Keduanya saling memegang sebuah gelas yang berisi win terbaik yang dikoleksi oleh Morgan selama bertahun-tahun belakangan ini. Sebenarnya, Leo merasa sangat canggung dalam posisi ini dan tidak pernah ia bayangkan bahwa akan ada hari di mana ia dan Morgan duduk satu meja dan minum win bersama. Setelah bertahun-tahun ia menjadi pesuruh Morgan, inilah kali pertamanya momen itu terjadi. “Tuan, Anda sudah cukup banyak minum sejak tadi. Sebaiknya aku antarkan Anda kembali ke kamar,” ucap Leo memberikan saran pada Morgan yang memang sudah terlihat sangat mabuk saat ini. Entah sudah berapa gelas win yang ia habiskan sejak duduk di mini bar itu sejak sejam yang lalu dan Leo tidak melihat tanda-tanda bahwa ia akan berhenti minum saat ini. Tentu saja hal ini membuat Leo sedikit takut karena bagaimanapun juga kesehatan Morgan adalah yang terpenting baginy