Share

Terpenjara Sangkar Emas Tuan Muda
Terpenjara Sangkar Emas Tuan Muda
Author: Nanayaku

Bab 1 Awal Mula Bencana Besar

Hari rabu, tepatnya dua minggu yang lalu. Satu dari banyak hari yang sangat aku benci. Andai waktu itu aku tidak menuruti ucapan seseorang yang berstatus sebagai ayah kandungku, Pablo Calandra. Aku tidak akan berada di tempat ini.

Aku merindukan rutinitas pagi di ladang kebun bunga lavender milik Tuan Benigno. Selesai mengurus ladang kebun, aku pergi ke villa milik Tuan Massimo. Membersihkan, merapikan, merawat dan tinggal di sana sebagai salah satu pengurus villa adalah satu dari dua pekerjaan yang aku lakukan sehari-hari.

Tuan Massimo memberikanku tempat tinggal di dalam villa itu. Satu ruangan kamar sudah lebih dari cukup untukku. Sehingga aku tidak perlu menyewa flat house untuk tinggal.

Walaupun Pablo tidak menganggapku sebagai putrinya, Adriana tidak menganggapku sebagai adiknya, tetapi ada banyak orang yang menghargai keberadaan ku, terutama Tuan Benigno, Tuan Massimo dan Delia, sahabatku.

Aku tidak marah pada ayah dan kakak yang selalu acuh padaku bahkan sejak masih kecil. Tapi, rasanya untuk tinggal bersama mereka membuatku sulit untuk berpikir tenang.

Hubunganku dengan ayah dan kakak perempuanku sudah memburuk sejak lama. Mereka menyalahkanku atas kematian ibu kami. Ibu kami meninggal tepat lima menit usai melahirkanku karena mengalami pendarahan.

"Nona, Anda sudah selesai."

Suara seseorang yang sejak tadi berada di samping membuat lamunan di kepala membuyar dalam sekejap. Napas yang terasa berat kembali menjeratku. Mengembalikannya pada kenyataan yang saat ini berada di hadapanku.

Aku terdiam saat menatap bayanganku yang membuat siapa saja pasti akan pangling. Gaun putih itu telah menyihir penampilanku sampai-sampai aku tidak menyangka bayangan wanita yang mengenakan gaun putih bak bidadari tersebut adalah diriku sendiri.

Dengan riasan tipis serta rambut yang sedang dirapikan oleh wanita yang sejak tadi membantuku, aku tidak bisa mengalihkan pandangan mataku dari kaca. Sebuah kebiasaanku yang selalu memakai pakaian seadanya serta menguncir rambut dengan scarf tanpa menempelkan make up, membuat bayangan di kaca itu menghipnotisku.

Kepalaku sedikit menoleh ke samping kala mendengar suara seperti orang sedang bercakap-cakap di balik pintu. Tidak terdengar jelas sehingga aku mengalihkan perhatian seketika. Suaranya pun terdengar asing di telingaku.

Beberapa menit kemudian wanita itu selesai merapikan rambutku. Kini wajahku sudah ditutupi oleh kain Lace yang menerawang. Wanita itu pun sudah selesai menata pakaian dan rambutku. Akhirnya ia pun pamit pergi dari ruangan tersebut.

Sekarang hanya tersisa aku dengan bayangan. Mulutku masih diam seolah enggan bicara. Sebenarnya aku sangat haus dan lapar. Sejak kemarin tidak ada makanan yang masuk ke dalam perutku.

Bukannya ingin menyiksa diri untuk tidak makan. Hanya saja, aku masih sangat terkejut saat Pablo memberitahuku lewat panggilan telepon kalau hari ini aku akan menikah. Terlebih lagi dengan sosok pria yang tidak aku kenal.

Awal mula bencana besar ini terjadi adalah dua minggu lalu, setelah bertahun-tahun ayahku tidak menelpon, aku mendapatkan pesan singkat serta telepon darinya yang berisikan kalau aku harus pulang karena ada sesuatu yang terjadi di rumah.

Sebenarnya aku merasa sangat aneh karena Pablo tiba-tiba menyuruhku untuk pulang.

'Memangnya apa yang terjadi di rumah sampai membuat ayah memintaku pulang? Padahal dia selalu mengusirku bahkan ketika di hari natal, waktunya untuk berkumpul bersama keluarga dan bertukar hadiah,' batinku saat membaca pesan itu.

Tanpa pikir panjang dan sudah dihantui oleh rasa penasaran, akhirnya aku memutuskan untuk pulang usai dari ladang milik Tuan Benigno. Aku bahkan tidak menelpon Tuan Massimo untuk sekedar memberitahu kalau hari itu aku tidak bisa menjaga villa.

Tetapi, aku salah karena memutuskan untuk pulang. Belum sampai depan pintu apartemen, aku melihat dua orang asing bertubuh tinggi dan kekar keluar dari pintu unit apartemen tempat tinggal ayahku. Lalu disusul oleh dua orang lainnya yang menyeret kedua tangan ayahku.

"Andrea!"

Aku langsung berhenti saat Pablo memanggil namaku. Berpikir inilah saatnya akan mendapatkan pengakuan dari Pablo, aku berlari menghampiri mereka untuk menolong Pablo. Tetapi baru mengambil jarak dua meter, aku kembali berhenti.

"Itu! Itu dia! Dia yang aku maksud. Bawa saja dia!" teriak pria paruh baya itu dengan gembira membuat kedua mataku terbelalak.

Seketika mereka melepaskan cengkeramannya dari ayahku lalu menghampiriku. Kakiku tidak bisa berjalan mundur sekedar menjauh atau melarikan diri. Aku terpaku dengan penuh ketakutan.

"Apa ini?!" Spontan aku berteriak saat dua di antara mereka mencengkram tangan kanan dan kiriku. "Lepaskan!" Aku memberontak. Tidak ingin mereka mencekal kedua lenganku.

"Ayah!" Aku berteriak seraya menatap Pablo. Berharap pria itu mengasihani dan memohon dua orang ini untuk melepaskan tanganku.

Namun harapan hanyalah harapan. Aku melihat Pablo memasang wajah sumringah yang dihiasi senyum penuh rasa lega membuatku muak menyaksikan hal itu. Aku mengumpat dan berteriak keras mengutuk pria itu dengan suara yang lantang tanpa peduli mengganggu penghuni unit apartemen yang lain.

"Kau cantik sekali, Andrea."

Aku tersadar dari lamunan saat mendengar suara yang tidak asing dari arah pintu. Sontak kepalaku menoleh, menatap tajam pada sosok pria paruh baya yang kini berpakaian sangat rapi.

"Selama dua puluh enam tahun kau tidak mengakuiku sebagai putrimu. Kau tidak berhak melakukan ini padaku." Aku bergumam saat ia berhenti tepat di depanku.

"Seharusnya kau bahagia. Sekarang kau tidak perlu lagi bekerja di ladang Benigno atau di villa milik Massimo. Kau sudah menjadi istri orang kaya," balasnya dan masih menunjukkan senyum yang membuatku semakin emosi.

"Setidaknya mereka berdua lebih baik dibandingkan dirimu." Aku masih berusaha untuk menahan tangis lebih lama lagi. Kebencian membuncah memenuhi hatiku saat mendengar ucapannya.

Pablo tertawa. Sebuah tawa yang menjijikkan. "Ini adalah kebaikan dariku. Seharusnya kau merasa senang, bocah sialan."

"Persetan dengan ucapanmu. Kau tidak pantas disebut sebagai seorang ayah karena telah menjual putrimu." Aku membalas ucapannya. Kali ini kedua mataku sudah memerah. Aku yakin riasanku akan rusak dalam beberapa detik.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Wii
Ceritanya bagus ... Semangat nulisnya .........
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status