Share

Bab 2 Ciuman Pertama

"Siapa yang menjual mu, dasar anak tidak tahu diri?! Jika aku menjualmu, aku akan mendapatkan uang. Aku bahkan tidak mendapatkan sepeser pun darinya." Pablo mendesah kasar. Ia bahkan menatapku dengan sorot mata yang seperti biasa, yaitu tatapan penuh kebencian.

"Tunggu dulu," ucapnya tiba-tiba membuat keningku sedikit berkerut. Sejenak aku merasa penasaran saat ia memalingkan wajahnya. Meletakkan jari tangannya di mulut lalu mengelus-elus dagu yang ditumbuhi janggut.

"Kau benar. Ya, kau memang benar. Seharusnya aku meminta uang pada Tuan Luca. Menjadikanmu sebagai pelunasan hutangku tidak cukup. Aku hanya hutang lima ribu euro. Aku mungkin bisa meminta lima ribu euro lagi darinya," gumam Pablo.

"Ayah!" Sentakku mendengar ucapannya. Air mataku seketika menetes. Kedua tanganku mengepal. Rasanya ingin sekali menampar wajah ayahku sendiri agar ia sadar yang dilakukannya tidaklah patut disebut sebagai seorang ayah.

Saat Pablo ingin membalas ucapanku, seseorang muncul dari balik pintu. Orang itu, yang akhir-akhir ini aku kenal bernama Berto. Aku memalingkan muka lalu mengusap kedua pipiku dengan pelan agar tidak merusak riasan.

"Tuan Luca sudah menunggu. Acaranya akan segera dimulai," ucap Berto pada kami.

Pablo mengulurkan tangannya padaku sembari memasang senyum. Aku hanya menatap sekilas uluran tangan itu lalu memalingkan wajahku kembali.

Ingin rasanya lari jauh dari tempat itu. Aku belum siap menikah. Terlebih lagi menikah dengan pria yang sama sekali tidak kukenal. Bahkan aku belum pernah melihat wajahnya.

Jujur saja, aku takut kalau pria yang selalu disebut Pablo dan Berto dengan nama Tuan Luca itu adalah seseorang yang sudah berumur. Bagaimana jika Tuan Luca sudah menikah sebelumnya dan memiliki banyak istri? Bagaimana jika Tuan Luca adalah sosok orang yang kasar? Bagaimana jika perawakannya bertubuh gempal dengan rambut gondrong? Aku tidak bisa berhenti menghilangkan pikiran-pikiran buruk itu di dalam kepalaku.

Tubuhku bangkit perlahan. Kedua tanganku mencengkeram gaun pengantin untuk membantuku lebih mudah berjalan. Aku melewati Pablo begitu saja. Lalu dua pria itu mulai berjalan di belakang.

Tak berselang lama, kami pun tiba di depan sebuah pintu ballroom yang sudah dijaga oleh orang-orang yang berperawakan sama seperti Berto. Langkahku berhenti. Jantungku semakin berdebar-debar serta tanganku berkeringat dingin. Mataku mulai berkunang-kunang. Apakah aku akan pingsan? Sial!

Saat aku tidak berhenti menggerutu di dalam hati, suara Berto menyadarkanku. Aku hanya melirik ke arah Berto saat mendengar suara peringatan darinya kalau aku harus segera masuk ke dalam ruangan. Sedangkan Pablo kembali berdiri di sampingku dengan posisi salah satu tangannya berkacak pinggang. Mau tidak mau akhirnya aku mengalungkan tanganku pada lengannya.

Pintu ballroom seketika dibuka oleh Berto. Ia menundukkan kepala lalu mempersilahkanku untuk masuk. Seketika mataku dipenuhi oleh wajah-wajah yang sangat asing. Tidak satupun aku mengenal mereka kecuali Berto dan ayahku sendiri.

Kakiku mulai menarik langkah memasuki ruangan bersama ayah disampingku. Aku terus melewati orang-orang yang memberi jalan untuk kami. Hingga akhirnya mataku terpaku pada sosok pria yang berdiri di ujung.

Mataku tidak teralihkan sedikit pun dari sosoknya. Mungkinkah ia yang bernama Tuan Luca? Demi Tuhan, jika memang ia adalah Luca yang akan menikah denganku, perbuatan apa yang aku lakukan di masa lalu hingga membuatku menjadi istrinya?

Pria tampan dengan perawakan yang sempurna, sorot matanya yang tajam tetapi juga memiliki sejuta pesona hingga membuat jantungku seperti berhenti berdetak. Wajahnya datar dan terkesan dingin, tetapi semakin mempertegas ketampanannya. Sungguh, aku tidak tahu di bagian tubuh mana yang tidak terlihat sempurna.

Wajahku memerah ketika sorot matanya hanya tertuju padaku. Sehingga aku hanya bisa menundukkan pandangan seolah tidak mampu bertatapan langsung lebih lama. Ya, aku bisa terkena serangan jantung jika melakukan itu.

Akhirnya kami pun tiba di hadapannya dan sang pendeta. Pablo memberikan tanganku padanya. Aku hanya menurut. Tentu tidak bisa melarikan diri dengan posisi kakiku yang bergetar hebat serta jantung yang berdebar-debar seolah meronta ingin keluar.

Pablo pergi menjauh, meninggalkanku dengan pria asing yang akan menjadi suamiku hanya dalam hitungan menit. Pendeta pun mulai mengajukan pertanyaan sebagai sumpah janji pernikahan kami. Di saat itu pula, aku baru tahu nama lengkap pria itu, dia adalah Luca Valentino.

Aku kembali menatap ke arah pendeta saat ia menyebutkan nama lengkapku, Andrea Calandra. Bibirku terdiam sejenak. Tidak secepat pria itu menjawab 'Ya' saat pendeta itu bertanya. Kepalaku kembali menoleh ke arahnya. Ia sama sekali bergeming dan tidak menoleh ke arahku.

"Ya," jawabku dengan suara pelan lalu menundukkan kepala.

Tiba-tiba ada sesuatu yang bergejolak di dalam hatiku. Satu sisi aku merasa ragu untuk menjawab 'ya'. Lalu sisi lain aku bertanya-tanya apa akibatnya jika aku tidak menjawab 'ya'. Serta ada perasaan aneh yang mendorongku untuk menjawab 'ya'.

Usai pendeta itu mengumumkan bahwa kami telah resmi menikah dan kini menyandang sebagai pasangan suami istri, Luca memasangkan cincin berlian di jari manisku. Aku meraih cincin lain lalu menatap Luca. Untuk pertama kalinya pandangan kami bertemu dengan jarak yang begitu dekat. Tetapi hanya sekilas karena aku langsung menundukkan kepala saat memasangkan cincin itu di jari manisnya.

Kini cincin indah yang kuyakin memiliki harga hingga ratusan ribu euro itu sudah tersemat di jari kami. Kedua tangan yang sejenak kurasakan kehangatannya itu mulai membuka kain veil yang menutupi wajahku. Jantungku semakin tidak karuan saat merasakan tatapan pria itu menusuk ke dalam mata.

Apa yang akan terjadi selanjutnya? Tentu saja sebuah ciuman. Memikirkan hal itu sontak membuat wajahku memerah. Ya, aku hanya masih tidak menyangka akan mendapatkan ciuman pertama dengan seorang pria yang begitu terlihat sempurna.

Aku tidak berani menatapnya lebih lama saat wajahnya semakin mendekat. Ia semakin maju ke arahku hingga membuat kedua mataku reflek terpejam. Aku takut. Aku cemas. Entahlah, perasaanku campur aduk saat ini.

Bisakah aku mempercepat waktu? Mengapa dia terasa semakin lambat mendekat ke arahku? Sedangkan diri ini tak berani membuka kedua mata. Aku yakin, ia pasti sudah melihat wajahku yang sudah memerah.

Reflek, aku menggigit bibir lalu hendak membuka mata. Tetapi niatku tertahan oleh sesuatu yang seketika menempel di permukaan bibir. Jantungku seolah berhenti berdetak saat ini. Napas hangatnya mulai menerpa wajahku. Aroma wangi tubuh yang baru pertama kali merasuk ke dalam indra penciumanku menghipnotis pikiran, membuatku ingin lebih dan lebih merasakan aroma itu.

Namun, ciuman itu begitu cepat berlalu. Luca mulai melepaskan bibirnya dari bibirku. Wajahnya perlahan menjauh membuatku membuka mata. Tatapanku langsung tertuju padanya.

Ada sedikit noda merah di bibirnya yang membuatku ingin merasakan ciumannya lagi. Apakah lipstik di bibirku terlalu tebal hingga menular pada bibirnya? Aku hanya bisa menundukkan kepala untuk menyembunyikan senyum di wajahku.

Mga Comments (1)
goodnovel comment avatar
Wii
Si Pablo mata duitan ...
Tignan lahat ng Komento

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status