Callista duduk di lantai dengan laptop terbuka di depannya, kaki terlipat rapi, sementara Adrian duduk di sofa di belakangnya, tangan bertumpu di lutut, memandang layar yang sama. Daftar nama calon undangan sudah terbuka. Beberapa di antaranya diberi tanda bintang, sebagian lain masih kosong.“Kalau kita mulai dari sini,” ujar Callista sambil menunjuk tiga nama teratas, “mereka bisa bawa lingkarannya sendiri. Nggak besar, tapi cukup buat bikin ruangan penuh.”Adrian mengangguk. “Aku setuju. Tapi jangan lupa, ini bukan soal jumlah orang. Ini soal siapa yang mau tetap di sini setelah acara berakhir.”Gadis itu mengetik pesan singkat untuk undangan pertama, lalu menatap Adrian. “Aku kirim sekarang?”“Kirim. Dan langsung ke yang kedua. Jangan kasih waktu terlalu lama buat mikir. Kalau terlalu lama, mereka bisa keburu dengar gosip dari luar.”Callista menekan tombol kirim, lalu langsung berpindah ke nama kedua. Jemarinya bergerak cepat, tapi m
Callista masih berada di bawah selimut, matanya menatap ke arah meja yang kini bersih dari tumpukan kertas. Hanya ada satu benda yang tertinggal di sana—sketsa logo yang ia buat sambil iseng beberapa hari lalu.“Aku nggak nyangka, cuma gambar iseng malah bikin aku semangat,” gumamnya.Adrian menoleh, sudut bibirnya terangkat sedikit. “Karena itu datang dari tanganmu sendiri. Nggak ada orang lain yang nyuruh atau ngatur.”Gadis itu menarik napas panjang. “Aku nggak mau semangat ini hilang kalau nanti kita kena hantam.”“Kalau kena hantam, kita jatuh. Tapi bangun lagi. Aku nggak janji jalannya gampang, tapi aku janji aku nggak akan ninggalin.”Callista menatapnya, lama, seolah memastikan janji itu bukan sekadar kata-kata. “Aku percaya. Tapi aku juga pengen kita realistis. Kalau nanti orang-orang mulai menyerang lembaga ini, gimana cara kita hadapi?”Adrian mengambil sketsa di meja, memutar kertas itu, lalu meletakkannya di pangkuan
Callista menutup ponselnya dan mendorongnya menjauh, seperti menyingkirkan suara asing yang mencoba menyusup. Di hadapannya, catatan lembaga masih terbuka, tinta di beberapa halaman mulai memudar terkena sentuhan tangan mereka berulang kali.“Aku nggak mau semua ini cuma jadi mimpi di kertas,” ucapnya, nadanya datar tapi matanya penuh arah.Adrian memindahkan duduknya, kini bersandar lebih dekat. “Kita mulai dari yang bisa kita pegang. Bukan dari yang kita harap-harap.”Callista menatap daftar program awal yang mereka susun. Ada beberapa coretan, tanda revisi, bahkan lingkaran di poin-poin yang mereka anggap prioritas. “Aku pengen kita punya acara perdana yang sederhana, tapi orang yang datang ngerasa… ini beda dari yang pernah mereka lihat.”Adrian mengangguk. “Kita nggak perlu undang ratusan orang. Sepuluh yang datang dengan hati terbuka lebih berharga dari seratus yang cuma penasaran.”Callista menatapnya lama. “Kamu selalu ngomong kay
Callista masih terbaring di sofa, tubuhnya belum sepenuhnya tenang. Napasnya mulai kembali teratur, tapi debar di dadanya belum mau berhenti. Adrian tidak bergerak jauh, hanya memiringkan tubuhnya agar bisa melihat wajah gadis itu lebih jelas.“Kamu nyaman?” tanyanya pelan, suaranya seperti bisikan yang hanya untuknya.Callista mengangguk, bibirnya membentuk senyum kecil. “Nyaman banget. Tapi… kayaknya aku mulai kebal kalau cuma nyaman.”Alis Adrian terangkat sedikit. “Kebal?”Gadis itu menatapnya lama, jemarinya menelusuri garis rahang pria itu. “Karena nyaman itu udah pasti. Yang aku butuhin sekarang… ruang buat kita tetap jadi diri kita sendiri, meskipun semua orang nyinyir.”Adrian tidak langsung menjawab. Ia hanya menunduk sedikit, mengecup ujung hidungnya, lalu berbisik, “Itu artinya kita harus lebih kuat dari apa pun yang mereka lempar.”Callista menarik napas panjang, lalu bangun perlahan, duduk bersisian dengannya. Selimut yang setengah menutupi tubuhnya ia rapikan, lalu ia m
Adrian tidak melepas tatapan itu bahkan ketika bibirnya sudah kembali menemukan bibir Callista. Ciuman mereka kali ini lebih dalam, lebih menuntut, seakan setiap inci udara di paru-paru harus saling mereka bagi. Jemarinya bergerak di sepanjang garis punggung gadis itu, menekan lembut di beberapa titik, membuat napas Callista tak beraturan.Tubuhnya merespons tanpa ia suruh—bahunya naik turun, dadanya mencari ruang untuk bernapas di tengah derasnya gelombang yang datang beruntun.“Adrian…” suaranya pecah di antara desahan.Ia hanya membalas dengan gumaman rendah, satu tangan menahan pinggangnya agar tetap dekat, sementara tangan lain menjelajahi lekuk yang selama ini ia kenal, tapi selalu ia perlakukan seolah itu wilayah suci.Ciuman itu bergeser lagi, turun dari bibir ke garis rahang, lalu ke leher. Setiap sentuhan bibirnya meninggalkan sensasi panas yang merayap naik, membuat Callista tanpa sadar memiringkan kepalanya, memberi ruang lebih.Desahan pendek lolos ketika Adrian menekan b
Callista duduk di lantai, punggungnya bersandar ke sisi sofa, sementara Adrian duduk di atas sofa dengan kaki menjuntai, tangannya bermain di rambut gadis itu perlahan. Gerakan itu seperti tarikan napas panjang yang tidak pernah selesai—tidak terburu-buru, tidak memaksa, hanya ada rasa ingin membuat waktu berhenti di sini.“Kadang aku lupa,” ucap Callista lirih, suaranya nyaris seperti rahasia yang diselipkan ke udara, “bahwa sebelum semua ini… aku nggak pernah benar-benar dengar suara hatiku sendiri.”Adrian menunduk sedikit, tatapannya menelusuri wajahnya dari atas. “Dan sekarang?”“Sekarang… aku nggak cuma dengar. Aku juga berani jawab.”Senyum kecil muncul di bibir Adrian, tapi di matanya ada sesuatu yang lebih dalam—bangga, sekaligus takjub. “Itu yang bikin semua risiko kita nggak sia-sia.”Callista mengangkat kepalanya, menatap mata pria itu. Tatapan mereka bertaut lama, lebih lama dari yang seharusnya nyaman, tapi tak ada yang ingin memutusnya. “Kalau besok semuanya runtuh, kam