Mag-log inDi suatu kota yang asing pada malam hari, seorang anak berjalan antah-berantah. Ia tak memiliki tujuan kemana ia akan pergi, ia terus berjalan dengan pikiran kosong. Seperti mayat hidup yang terus bergerak entah kemana, ia terus berjalan.
Arthur, sudah benar-benar kehilangan harapannya, dia tidak tahu harus kemana lagi. Ia sudah menahan lapar selama 3 hari lamanya dengan perut yang tak terisi. Tanpa makan dan minum, dengan tubuhnya yang lemas dan bibirnya yang kering. Seseorang di jalan menemuinya dan merasa kasihan padanya. "Nak, apakah kau baik-baik saja? Ini ada sedikit makanan dan minuman untukmu." ucap seseorang yang datang memberikan roti dan sebotol air. Arthur menatapnya dengan tatapan kosong dan mengambil pemberiannya. Dia berhenti bergerak untuk pertama kalinya, dan beristirahat sebentar untuk makan dan minum. Duduk di seberang jalan, sambil melihat mobil-mobil mewah melintas di depannya. "Dahulu aku juga memilikinya, bahkan lebih baik dari mobil itu." gumam Arthur dengan suara yang sangat kecil. Sebuah keluarga lengkap sedang bahagia dan tersenyum cerah di wajahnya. Pasangan suami istri yang saling mencintai, dan anak-anak mereka yang sangat lucu dan menggemaskan, melintas di depan Arthur. Hal itu membuatnya semakin terpuruk. Arthur bergumam kembali, "Dahulu aku juga memilikinya, bahkan aku sampai memiliki cucu." Seorang pria berseragam yang baru saja pulang, sedang mengobrol dengan teman-temannya. Mereka sepertinya akan pergi ke suatu tempat untuk bersantai setelah seharian bekerja. Wajah mereka terlihat bahagia karena memiliki pertemanan yang baik dan bersih. Melihatnya membuat Arthur menjadi semakin sakit. "Dahulu aku juga memilikinya. Teman-teman yang selalu mengelilingiku, yang selalu ada untukku!" Hatinya menjerit-jerit berkata kepada dunia. "Dahulu aku memiliki segalanya! Sekarang kemana semua itu! Padahal dahulu aku bisa dengan mudah mendapatkannya! Tapi kenapa sekarang, aku sama sekali tidak berdaya?" Setelah selesai makan, Arthur melanjutkan perjalanannya yang tanpa tujuan itu. Beristirahat malah membuat hatinya semakin sesak, dan pikirannya semakin kotor. Arthur melewati gang sempit dan gelap untuk berdiam diri, menjauh dari keramaian. Gang itu benar-benar gelap dan hanya cahaya yang samar-samar dari lampu kota yang masuk ke dalam. Tempatnya tidak terlalu bersih, tapi cukup sunyi dan itu menenangkan dirinya. Sendirian di tempat seperti ini, duduk sambil bersandar di belakang sebuah bangunan. Saat sedang bersantai dan meredakan semua emosi buruknya. Sekelompok berandalan datang menemuinya dan ingin memeras semua yang dimiliki Arthur. Arthur menghembuskan nafasnya dengan berat, karena kemanapun ia pergi rasanya selalu saja masalah datang menghampirinya. "Berikan semua yang kau punya, cepat berikan!" ucap bos berandalan itu sambil menarik kerah pakaian Arthur. Tanpa perlawanan Arthur melepaskan jam tangan, dan sepatu yang ia pakai. Anak buahnya melihat-lihat pakaian yang dikenakan Arthur, "Hei bos, baju ini terlihat mahal, ini barang branded!" ujar anak buah berandalan itu. "Benarkah? Hei nak, lepaskan pakaianmu!" ujar bos berandalan itu yang tanpa rasa iba sedikitpun kepada Arthur. Arthur terdiam dan tidak merespons mereka, hal itu membuat mereka marah. bos berandalan itu menarik kerah pakaian Arthur, dan memaksanya untuk berdiri. Meski sudah di ancam seperti itu Arthur hanya diam saja dan tak merespons. bos berandalan itu berteriak, "Apa kau mau mati! Kau, cepat lepaskan pakaian anak ini!" ujar kepada para bawahannya. Para bawahannya menuruti perintahnya, dan segera melepaskan pakaian Arthur untuk dicuri. Sementara itu bos berandalan itu terus menahan Arthur dengan menarik kerahnya agar tidak dapat bergerak. Arthur diam dan tak melawan bukan karena takut, tapi karena dia sudah tidak peduli lagi dengan dirinya. Kedua mata mereka akhirnya saling bertemu. "Kau bilang apa aku ingin mati? Lakukan saja, lagi pula aku sudah mengalami kematian beberapa kali sebelumnya." ucap Arthur dengan wajah datar dengan tatapan kosong. Bos berandalan itu tersenyum menyeringai dan berkata, "Haha! Kau benar-benar sudah gila ya?" "Gila? Sepertinya kau benar. Aku memang sudah gila. Aku sudah kehilangan segalanya, dan sekarang kalian bahkan mencoba mengambil bagian kecil dari yang aku punya." jawab Arthur. Bos berandalan itu merasa kesal dan melayangkan tinjunya kepada Arthur. Arthur tidak bergeming meski dipukuli olehnya, bahkan ia tak lagi merasakan rasa sakit pada dirinya. Rasanya seperti, rasa sakit ini bukanlah apa-apa melainkan apa yang pernah ia alami. Sekelompok berandalan itu akhirnya pergi setelah mengambil barang-barang yang Arthur punya. Mereka hanya menyisakan celana untuk Arthur, dan membiarkan Arthur bertelanjang dada di sana. Sebelum mereka pergi Arthur mengatakan sesuatu kepada mereka. "Kalian yang hidup sebagai pencuri, tidak akan pernah tahu seperti apa rasanya kehilangan. Karena kalian tidak pernah berusaha mendapatkan apapun dengan kemampuan kalian. Kalian hanyalah orang-orang yang mengambil apa yang dimiliki orang lain yang sudah bersusah payah untuk memilikinya." ujar Arthur. Kata-kata Arthur membuat mereka sangat kesal, dan itu memancing amarah mereka. Mereka datang kembali kepada Arthur dan memukuli Arthur beramai-ramai. Tanpa belas kasih, Arthur terus dipukuli secara sepihak tanpa perlawanan. Bos berandalan itu mencekik Arthur dengan melotot, "Kau tahu apa bocah! Kau tahu apa tentang sulitnya kehidupan kami! Apa yang kau tahu! Kau pasti hanyalah bocah yang kabur dari rumah karena pubertas!" teriak bos berandalan itu yang sudah muak dengan Arthur. Arthur menatapnya dan berkata, "Apakah aku terlihat seperti itu di matamu?" tanya Arthur. Seketika bos berandalan itu terdiam dan merenung. Ia merasakan ada sesuatu yang aneh dengan anak ini, mulai dari tatapannya yang seperti tidak memiliki harapan. Matanya begitu gelap dan tidak bersinar, seperti seseorang yang telah jatuh ke dalam jurang yang sangat dalam yang sangat gelap. Bos berandalan itu menyuruh para bawahannya untuk berhenti memukulinya. Pada akhirnya bos berandalan itu merasakan sedikit iba kepadanya. "Nak, apakah kau ingin ikut dengan kami?" tanya bos berandalan itu. Arthur hanya diam saja dan tak merespons sedikitpun. Pada akhirnya Arthur dibawa oleh mereka ke suatu tempat yang mereka sebut sebagai markas mereka. Arthur yang tak memiliki tujuan dalam hidupnya, menerimanya mentah-mentah.Brak! Bruk! Bruak! Felix dan para anak buahnya mengobrak-abrik rumah hantu itu. Banyak orang yang ketakutan dan berlarian segera menjauh dari kekacauan itu. Sementara itu Arthur dan Grace masih terjebak di dalam rumah hantu itu, dengan berharap mereka tidak ketahuan."Bubarkan tempat ini! Aku yakin mereka masih berada di sini!" teriak Felix yang suaranya menggelegar bagaikan guntur.Semua anak buahnya ketakutan dan menurut atas perintah Felix. Mereka merobohkan bangunan dan penyangga rumah hantu ini. Tidak hanya membawa anak buahnya yang dari sekolah saja ternyata ia punya geng berandalan di belakangnya.Grace tampak ketakutan dan tubuhnya bergemetar sampai keringat membasahi wajahnya. Arthur memeluknya dengan erat sambil membelai rambutnya yang panjang. Air mata Grace berkaca-kaca mengetahui bahwa dirinya tidak akan bisa lolos dari Felix.Arthur menatap Grace sambil tersenyum tipis. "Grace, di belakangku ada lubang untuk keluar dari sini. Kau pergilah diam-diam dan biarkan aku yang m
Dunia terasa begitu indah dan menenangkan. Bunga-bunga bermekaran di taman menyambut sinar matahari yang datang. langit begitu bewarna, begitu juga dengan dunia ini. Semuanya terlihat begitu luar biasa, sangat sulit untuk diucapkan oleh kata-kata."Ya, aku mau. Arthur!" ucap seorang gadis yang rapuh.Tubuhnya bergemetar lemas bukan karena takut, tapi karena ia bisa merasakan kebebasan. Air matanya mengalir bukan karena sedih, tapi karena bahagia. Pelukan hangat membuatnya hidup kembali, bukan hanya Grace, Arthur juga merasakannya kembali."Terima kasih, karena telah memilihku. Grace. Aku sungguh, sungguh sangat bahagia sekarang." balas seorang laki-laki yang sama rapuhnya dengan gadis yang ia pelukSuaranya yang bergemetar menandakan akhir dari penderitaannya. Matanya yang berbinar-binar menandakan bahwa ia telah dihidupkan kembali. Raut wajahnya yang penuh emosional menandakan bahwa harapannya telah terjadi.Hari itu, dunia yang begitu kelam dan tak berwarna itu. Telah berubah menjad
Besok paginya Arthur memulai hari dengan semangat yang membara. Bukan karena ingin bertemu dengan Grace, atau ingin melanjutkan perkelahiannya dengan Felix. Tetapi ia benar-benar dipenuhi semangat untuk sekolah yang sangat murni. Ia sudah tidak peduli lagi dengan permasalahan yang terjadi. Pikiran Arthur saat ini adalah jalani dan laksanakan. Entah masalah apa yang menimpanya nanti, itu bukan masalah besar. Arthur telah memikirkannya baik-baik dan ia telah memutuskan untuk menjadi orang yang lebih gila. Gila dengan keadaan sadar dan menguntungkan bukan gila yang membawa kerugian. Arthur baru saja sampai di sekolahnya, dan sudah ada Felix bersama dengan anak buahnya yang menghadangnya. Arthur tersenyum dan menyapa mereka, "Pagi! Bagaimana kabar kalian hari ini?" ujar Arthur yang mendekati mereka seolah-olah telah melupakan apa yang terjadi sebelumnya. Semua orang menatapnya dengan heran. "Apa kau sudah gila, Arthur?" tanya Felix sambil menatapnya dengan tajam.Arthur tersenyum le
Setelah kejadian besar itu, Arthur segera pulang ke rumah dan berniat menyembunyikan tubuhnya yang kesakitan. Arthur sudah membicarakannya kepada Liam agar tidak mengadu kepada orang tua Arthur. Meskipun penampilannya seperti telah dipukili orang hingga babak belur, Arthur sudah menyiapkan akal-akalannya agar menghindari kekhawatiran orang tuanya. Arthur pulang ke rumah diam-diam tanpa membuat suara. "Arthur? Ada apa dengan wajahmu?" tanya ibunya. Arthur tersenyum dan berkata, "Bukan apa-apa Bu, tadi aku hanya terjatuh di tangga. Semuanya baik-baik saja, jadi jangan khawatir. Putramu sudah besar dan bisa mengurus diri." ucap Arthur dengan nada suara yang lembut. Ibunya mengelus-elus kepalanya, dan sebenarnya itu terasa sakit. Tapi Arthur menutupi rasa sakit itu dengan tersenyum lebar kepada ibunya. Ibunya menerima alasannya dan membiarkan Arthur lewat. Arthur berbaring di kasurnya dengan lega. Rasa nyeri di bagian yang di pukul Felix masih terasa begitu menyakitkan, terutama d
Terjadi perkelahian yang hebat di kelas. Seorang berandalan yang berpengalaman dengan seorang murid biasa yang tak memiliki kemampuan bertarung. Perkelahian mereka terlihat tidak seimbang, anak berandalan itu terlihat lebih unggul dalam bertarung. Buagh! Duagh! Felix melayangkan tinju beratnya yang menghantam wajah Arthur. Arthur mencoba untuk bertahan dan menginjakkan kakinya dengan kuat agar tidak terjatuh. Pertarungan ini memang sudah tidak seimbang dari awal, kondisi Arthur sudah babak belur sekarang. Felix tersenyum menyeringai. "Kau masih belum aku hajar ya?" oceh Felix. Arthur tersenyum lebar dan berkata, "Setidaknya aku dapat mendaratkan beberapa pukulan padamu." ujar Arthur. Benar, Arthur yang tak memiliki kemampuan membela diri itu tidak sepenuhnya kalah telak oleh Felix. Melalui berbagai pengalaman hidup yang sudah ia jalani, dan juga adrenalin yang membara. Membuat Arthur menjadi sosok yang sangat gila, lebih gila dari pada dirinya di kehidupan sebelumnya. Felix
Esok harinya, Arthur bersiap-siap untuk berangkat ke sekolah. Ia berangkat bersama dengan Liam ke sekolah, karena malamnya mereka berjanjian untuk berangkat bersama. Saat mereka sedang bersepeda bersama, Arthur mengatakan sesuatu kepada Liam. "Hei, Liam. Apa kau yakin tidak mengenal seseorang yang bernama Nathaniel Thomas?" tanya Arthur untuk memastikan kembali. Liam menatapnya dengan heran dan dia mencoba mengingat-ingat kembali. "Aku yakin, aku sama sekali tidak mengenalnya. Bahkan mendengar namanya saja belum pernah. Apakah kau memiliki masalah dengan orang itu? Beritahu aku jika kau sedang dalam masalah." ujar Liam yang khawatir. Arthur menjawabnya dengan santai, "Tidak, tidak. Aku tidak memiliki masalah dengan siapapun saat ini." ucap Arthur. Rasa penasaran itu telah larut dalam pikiran Arthur dan membuatnya terus mengingatnya. Ia hanya berharap bahwa dia hanyalah orang biasa. Rasa kewaspadaan Arthur terhadap orang-orang yang ia temui semakin besar. Ini semua ia rancang







