LOGINSebuah malam yang indah, malam yang diharapkan akan menjadi momen yang luar biasa. Malam hari yang diharapkan itu kini sudah bukan lagi malam yang indah bagi Arthur. Langit malam yang penuh dengan bintang yang bercahaya itu bagaikan neraka baginya.
Ini adalah malam keempat kalinya ia melihat langit di bawah rimbunya dedaunan. Duduk dengan tatapan dan pikiran yang kosong, melamun melihat langit. Wajahnya terlihat sangat pucat dan tidak baik-baik saja. Ia bergumam, "Apa yang harus aku lakukan? Aku hanya ingin Grace mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Tapi apa yang aku dapatkan? Pengkhianatan? Penderitaan? Ketidakadilan? Aku kehilangan segalanya." Arthur segera pulang ke rumahnya dengan tubuh yang sudah lemas. Ia pergi menuruni bukit sambil melamun karena banyak pikiran di benaknya. Dirinya sudah tidak tahu lagi harus berbuat apa, ia merasa begitu buntu. Sepulang dari rumah, ayah dan ibunya menyambutnya dengan wajah bahagia. Arthur sudah melihat momen ini untuk keempat kalinya. Namun bagi mereka berdua ini adalah yang pertama kalinya, akan selalu menjadi yang pertama kalinya kecuali dirinya. "Selamat kembali ke rumah Arthur!" sambut ibunya dengan wajah yang riang gembira. Ayahnya ikut berbahagia, "Jadi bagaimana? Apa kau berhasil melihat bintang jatuh itu? Apa kau memotretnya? Ayah ingin melihatnya!" ujar ayahnya yang terlihat sangat bersemangat. Arthur hanya diam saja dan berjalan ke kamarnya seperti mayat hidup. Orang tuanya terlihat heran dengan tingkah laku anaknya, karena biasanya anak mereka satu-satunya selalu terlihat bahagia. Mereka berpikir mungkin saja anak mereka tidak melihat bintang jatuhnya, dan itulah yang membuat anak mereka sedih. Tapi kenyataan yang sebenarnya hanya diketahui oleh Arthur sendiri. Dalam diam dan sendirian, Arthur memendam semua beban di pundaknya. Ia sama sekali tidak ingin menceritakan beban hidupnya kepada orang tuanya, karena takut mereka khawatir. Saat pagi hari telah tiba, Arthur terus mengurung dirinya di kamarnya. Kedua orang tuanya sudah membangunkannya dan menyuruhnya sekolah. Tapi Arthur tidak merespons apapun dan hanya diam di dalam selimutnya. Kedua orang tuanya membicarakan anak mereka di depan pintu kamarnya. "Apa yang terjadi dengannya? apakah dia sangat sedih karena tidak bisa melihat bintang jatuh kemarin?" ujar ayahnya yang bertanya-tanya. "Aku rasa begitu, sayang. Kasihan sekali. Untuk hari ini biarkan saja dia di kamarnya, lebih baik kita jangan mengganggunya untuk sementara." balas ibunya dengan wajah khawatir. Berhari-hari kemudian, bahkan ini sudah lewat dua Minggu. Arthur tetap mengurung diri di kamarnya dan tak kunjung keluar. Ia hanya keluar sesekali untuk makan disaat ia merasa sangat lapar, dan juga untuk pergi ke toilet. Orang tuanya sangat khawatir, sampai-sampai ia memanggil ahli psikologi untuk anaknya. "Kalau anak kalian tidak mau merespons kata-kata saya. Maka saya tidak bisa berbuat apa-apa." ucap psikolog itu. Kedua orang tua Arthur semakin khawatir dengan anaknya. "Kira-kira, apa yang membuatnya seperti itu pak?" tanya ibunya dengan wajah khawatir sampai keringat dingin. Psikolog itu menjawab, "Apakah ada sesuatu sebelumnya yang terjadi pada anak kalian? Sebelum dia menjadi seperti ini?" tanya psikolog itu. Ibu dan ayahnya Arthur kemudian menjelaskan dari yang mereka ketahui. Mereka berdua mengatakan kalau yang membuat anak mereka menjadi seperti ini karena kejadian malam itu. Karena Arthur tidak bisa melihat bintang jatuh yang sangat ia harapkan malam itu. Saat itu juga tiba-tiba Arthur merespons mereka, "Kalian salah! Kumohon tinggalkan aku sendiri." ujar Arthur yang tetap berada di dalam selimutnya. Mendengar anaknya merespons untuk pertama kalinya setelah dua Minggu berlalu, membuat orang tuanya terharu dan senang. "Oh, ya tuhan, ternyata kau baik-baik saja! Ibu sangat mengkhawatirkan kau Arthur!" ucap ibunya yang bersyukur sambil menangis terharu. "Aku tidak baik-baik saja ibu! dan maaf sudah membuat kalian khawatir selama ini!" jawab Arthur dengan suara yang serak seakan-akan ia sedang menahan tangisannya. "Apa maksudmu nak?" tanya ibunya. "Apakah jika aku menceritakan yang sebenarnya terjadi padaku. Kalian akan percaya kepadaku?" tanya Arthur. Orang tuanya mengiyakan, lalu Arthur mulai keluar dari selimutnya. Wajahnya terlihat sangat lelah sampai kantung matanya menghitam. Tubuhnya begitu pucat dan terlihat sangat lemah dan rapuh. Melihat kondisi anak mereka yang memprihatinkan membuat kedua orang terdekat Arthur bersedih. Pada akhirnya Arthur memberanikan diri untuk mengatakannya kepada orang tuanya. Ia sudah tidak tahu lagi, apa yang harus ia lakukan, karena selama ini dia terus memikirkan cara terbaik untuk melanjutkan hidup. Tapi berbagai rute yang akan ia jalani di dalam pikirannya, terasa begitu sulit. Ia menjadi sangat khawatir kalau jalan yang akan dia ambil nantinya akan membawanya kepada penderitaan yang lebih menyakitkan. Pada akhirnya Arthur memilih untuk menceritakan tentang kejadian yang ia alami selama ini. Setelah selesai menceritakan apa yang ia alami kepada orang tuanya. Wajah kedua orang tuanya dan juga psikolog itu terlihat tidak percaya dengan kata-kata Arthur. "Kenapa kalian memasang wajah seperti itu? Apakah aku terlihat berbohong? Katakan padaku! Apakah aku terlihat sedang membohongi kalian!" teriak Arthur yang seketika emosinya memuncak. "Tidak nak, bukan begitu! Hanya saja, hal yang seperti itu rasanya akan sulit dipercaya." ucap ayahnya yang tidak percaya dengan cerita Arthur. Ibunya membalas, "Kau bisa mengatakan yang sebenarnya, apa yang terjadi padamu. Kau tidak perlu menutupinya dengan cerita seperti itu, Arthur." jelas ibunya. Kata-kata mereka membuat Arthur kehilangan kepercayaan kepada keluarganya. Ia tidak percaya bahwa kedua orang terdekat yang ia miliki saat ini tidak mempercayai anak mereka sendiri. Hati dan pikiran Arthur menjadi semakin hancur berantakan. "Kalian semua pembohong! Aku tidak percaya kepada kalian!" teriak Arthur sambil berlari keluar kamarnya. Kedua orang tuanya dan juga psikolog itu ikut mengejar Arthur. Tapi Arthur berlari begitu cepat, bagaimana bisa dia berlari begitu cepat dengan kondisi tubuhnya yang seperti itu. Arthur terus berlari tanpa arah dan tanpa tujuan, ia tidak punya tempat untuk bernaung. Arthur sudah tidak peduli lagi dengan keluarganya, karena ia merasa dikhianati. Pada akhirnya Arthur memutuskan untuk pergi dan tak kembali pulang ke rumahnya. Ia berkeliaran di malam hari, di tempat yang tidak ia ketahui dengan tubuh yang lemas.Esok harinya, Arthur bersiap-siap untuk berangkat ke sekolah. Ia berangkat bersama dengan Liam ke sekolah, karena malamnya mereka berjanjian untuk berangkat bersama. Saat mereka sedang bersepeda bersama, Arthur mengatakan sesuatu kepada Liam. "Hei, Liam. Apa kau yakin tidak mengenal seseorang yang bernama Nathaniel Thomas?" tanya Arthur untuk memastikan kembali. Liam menatapnya dengan heran dan dia mencoba mengingat-ingat kembali. "Aku yakin, aku sama sekali tidak mengenalnya. Bahkan mendengar namanya saja belum pernah. Apakah kau memiliki masalah dengan orang itu? Beritahu aku jika kau sedang dalam masalah." ujar Liam yang khawatir. Arthur menjawabnya dengan santai, "Tidak, tidak. Aku tidak memiliki masalah dengan siapapun saat ini." ucap Arthur. Rasa penasaran itu telah larut dalam pikiran Arthur dan membuatnya terus mengingatnya. Ia hanya berharap bahwa dia hanyalah orang biasa. Rasa kewaspadaan Arthur terhadap orang-orang yang ia temui semakin besar. Ini semua ia rancang
Jam istirahat telah tiba, murid-murid di kelasnya keluar dan menertawakan Arthur yang masih berdiri di luar. Sampai akhirnya Liam datang, wajahnya terlihat sedang menahan diri untuk tidak tertawa. Wajahnya terlihat menjengkelkan sekali, kalau ingin tertawa maka tertawalah Arthur pergi meninggalkan Liam ke kantin. "Hei tunggu, jangan marah padaku karena tak bisa menahan tawa. Lagi pula berani sekali kau berkata seperti itu kepada pak Edward." ujar Liam yang mengikutinya. Arthur menghembuskan nafasnya dan bergerutu, "Aku berharap dia memberikan soalan yang paling sulit kepadaku dan bukannya menyeretku keluar. Telingaku masih sakit tahu!" ketus Arthur. Liam hampir tertawa mendengarnya. "Uh, benar sekali. Telingamu masih sangat merah." balas Liam. Mereka ke kantin bersama dan membeli makan untuk makan siang. Setelah itu mereka mengobrol seperti biasa layaknya seorang pelajar. Arthur benar-benar sangat menikmati kehidupan di masa-masa sekolahnya kembali. Meskipun di depannya ada
Beberapa Minggu telah berlalu sejak paman Max menanyakan kebenaran tentang kekuatan Arthur. Sejak saat itu juga paman Max tidak pernah datang untuk menjenguk Arthur lagi. Kondisi Arthur sudah cukup baik saat ini, dan dokter sudah memperbolehkan untuk pulang, dan melakukan perawatan sederhana di rumah. Arthur sudah memiliki nomor telepon paman Max, dan mereka sudah terbiasa mengobrol melalui media sosial. Akhir-akhir ini paman Max sedang sibuk mengurusi masalah bisnisnya yang sedang jatuh. Tak hanya itu, terkadang ia membagikan foto saat sedang membantu merawat anak-anak yatim piatu di panti asuhan. Dia benar-benar orang yang sangat baik, kedatangannya membuat hati dan pikiran Arthur jauh lebih jernih. Tapi rasa penasaran Arthur tentang siapa dia, masih belum diketahui. Meskipun terlihat begitu familiar, sosoknya tidak menimbulkan kekhawatiran atau orang yang berbahaya bagi Arthur. Arthur terus termenung di meja makan bersama dengan kedua orang tuanya. "Apa yang sedang ada di dal
Pancaran cahaya yang begitu menyilaukan masuk ke dalam mata Arthur. Ia membuka matanya dan mendapati dirinya terbangun di sebuah ruangan kosong yang serba putih. Arthur tidak mengerti kenapa dirinya berada di tempat seperti ini, sampai akhirnya seseorang datang dan membuatnya tahu mengapa ia berada di tempat yang asing itu. Arthur menurunkan pandangannya di hadapan orang itu. "Sudah cukup. Aku tidak mau lagi melihat omong kosong ini. Kau hanya akan menyakitiku, Grace." ucap Arthur yang seketika air matanya mengalir deras. Grace ingin memeluknya, namun Arthur segera menepis tangannya dan menjauh darinya. "Arthur, kau tidak seperti Arthur yang aku kenal. Ada apa denganmu?" tanya Grace. Arthur menatapnya dengan sorot mata yang penuh arti. "Kau, bukanlah Grace! Sudahi semua omong kosong ini! Aku tidak ingin lagi berhalusinasi atau berada di dunia mimpi denganmu! Kau tahu sendiri bahwa aku ingin bersamamu hanya di dunia nyata! Kenapa kau terus datang di pikiranku dan mengacaukan segalan
Pemandangan klasik berupa langit malam yang penuh dengan bintang muncul lagi di hadapannya. Kali ini, ia tak melihat bahwa langit malam yang penuh dengan bintang itu indah. Ia melihatnya sebagai kegagalan, baik gagal dalam meraih impian, gagal sebagai teman, gagal sebagai seorang anak, bahkan gagal sebagai seorang manusia. Pikirannya terasa sangat begitu berat, begitu juga dengan napasnya. Arthur memutuskan untuk berdiam diri merenungkan kesalahannya sambil bersandar di pohon besar. Dirinya mengingat-ingat kembali betapa bodohnya dirinya di kehidupan yang lalu. Tanpa sadar matanya bergelimang air mata, "Aku takut. Aku takut untuk menghadapinya lagi! Aku takut aku mengulang kesalahan yang sama! Aku takut kalau akan gagal lagi! Aku benar-benar takut!" ujar Arthur yang berteriak-teriak sendiri hingga tubuhnya bergemetaran. Setelahnya menyadari percobaan bunuh dirinya tidak memenuhi harapan untuk mati dan tak kembali hidup. Arthur merasa lelah, keputusasaannya semakin besar. Ia terge
Malam penghakiman telah tiba, ketiga orang itu bersujud di hadapan Arthur. Mereka memohon-mohon kepada Arthur demi keselamatan nyawa mereka. Mereka bergemetar ketakutan, kecuali Frederick Noah, dia tidak bersujud melainkan melotot seperti orang yang marah besar pada Arthur. Arthur menatapnya balik, "Aku sudah menduga ini. Tidak semudah itu bagi kalian u ditangkap oleh polisi. Sudahi saja peranmu sebagai tulang punggung dan hentikan sandiwara permainan keluarga ini, Noah." ujar Arthur yang menodongkan senjatanya ke kepalanya. Noah tidak gentar dan itu membuat Arthur semakin kesal. DOR! Arthur menembak kepala Oscar hingga berlubang dan mati dihadapan mereka. Tubuh Noah bergemetar, tapi ia tetap menatap Arthur dengan berani, sementara Bella segera memeluk Oscar sambil menangis. Perasaan Bella bercampur aduk antara marah dan sedih. "Apa yang telah kau lakukan! Huhu, kenapa kau membantai keluarga kami! Dasar monster!" teriak Bella. Tanpa basa-basi Arthur menembak Bella, DOR! Tapi t







