Richard tersenyum sinis dan berjalan ke arahku yang sedang buru-buru turun dari ranjang dan bertanya.
"Kenapa? Apa aku bahkan tidak boleh masuk ke bagian dari rumahku sendiri?"Nadanya terdengar mengejek, sehingga aku yang merasa malu karena bersenang-senang di kamarnya, menjawab dengan wajah merah padam."B-bukan. Bukan seperti itu. Silakan lakukan apa pun yang kamu inginkan di sini.... "Richard yang kini berdiri tepat di depanku, mencengkeram lembut kedua pipiku dengan tangannya yang besar."Kamu tidak akan berpikir kalau ini akan menjadi malam pertama kita, kan?" tanyanya, dengan suara pelan tapi tegas.Mataku seketika terbuka lebar saat mendengar kata malam pertama, sehingga menjawab dengan suara gagap."Hah? T-tidak. Itu tidak mungkin. Bagaimana bisa aku—""Tidak mungkin katamu? Bagaimana bisa kamu bicara seperti itu? Segitu jijiknya kamu sama aku?"Kemarahan berkelebat di kedua matanya, sehingga aku pun menjawab tergesa-gesa dengan suara gugup."H-hah?! Tentu, tentu saja tidak! Maksudku—""Jeany, ingatlah selalu. Di dalam hubungan ini, akulah yang memegang kendali. Kamu masih punya akal sehat untuk tidak membuat aku marah dan melemparkan dirimu ke penjara bawah tanah, kan?" potongnya, mempererat cengkeramannya di pipiku sehingga aku pun meringis kesakitan."Oh? Tentu saja aku masih ingat semuanya, Rich. Apa... apa aku sedang menyinggung perasaanmu sekarang?" tanyaku, dengan sangat hati-hati.Wajah tampan itu masih terlihat begitu marah, sehingga aku yang secara intuitif merasa dalam bahaya jika dia semakin marah, bertanya dengan suara gagap."Ummm, atau... atau haruskah kita melakukan malam pertama sekarang juga?"Aku pikir Richard akan marah lagi saat aku menawarkan malam pertama, tapi anehnya, ekspresinya tiba-tiba melembut.H-hah? Ini sungguhan? Dia... dia ingin melakukan malam pertama denganku?Bukannya dia sangat benci sampai merasa jijik padaku?Kontradiksi macam apalagi ini????"Malam pertama? Hmm, ayo coba kita lihat. Bagaimana kamu bisa membuat aku tergoda, Jeany sayang?"Richard bertanya, kemarahan sepertinya sudah cukup mereda di matanya.Mendengar itu, ganti aku yang gugup sekarang."M-menggoda?"APA MAKSUDMU DENGAN MENGGODA? BUKANKAH KAMU BENCI PADAKU???Aku yang benar-benar tak paham dengan Richard, berteriak frustasi dalam hati."Ya. Goda aku dan aku memaafkan kesalahanmu untuk saat ini, Jeany," jawabnya, seraya mengelus lembut pipiku.Menggoda? Bagaimana bisa aku menggoda pria menakutkan yang bahkan tidak bisa tersenyum ini?Aku bahkan sangat ketakutan sekarang!"B-bagaimana caranya.... "Gugup, aku bertanya."Kamu bertanya seakan-akan tidak pernah punya pengalaman dengan seorang pria, Jeany," ejek Richard, yang langsung aku bantah dengan gelengan tegas."A-aku memang tidak pernah menggoda siapa pun selain kamu, kamu tahu itu, kan?" balasku, putus asa.Meski memiliki wajah yang luar biasa cantik, aku hanya pernah satu kali pacaran dan pacarku adalah Richard, pria yang aku goda demi uang.Mengingat itu, wajahku merah padam, sedangkan Richard tampak tersenyum lembut sehingga wajahnya yang tampan itu menjadi semakin luar biasa."Ya. Aku sangat tahu hal itu. Kamu tidak pernah punya kekasih selain aku, kan, Jeany?"Pertanyaan darinya membuat aku yang ingat masa lalu yang sangat memalukan di antara kami, tak sanggup menjawab."Uhmm... itu.... "Aku memandang ke arah Richard dengan takut-takut, tapi langsung terheran-heran saat melihat senyum puas di wajah tampan itu.Heh? Kenapa dia terlihat sangat bangga dengan fakta bahwa hanya dia yang pernah jadi pacarku?Pria ini, dia sangat aneh!Saat aku mendongak ke arahnya, Richard membelai lembut pipiku dan mengarahkan jari-jarinya ke leherku, dia juga mendekatkan wajahnya ke wajahku lalu berbisik ke dekat telingaku dengan senyuman menggoda."Jadi, ayo goda aku, Jeany Sayang.""DENGAN TULUS," lanjutnya, penuh penegasan.Belaian tangannya di leherku membuat punggungku merinding, aku memandang ke arah Richard dengan tatapan bingung karena tak tahu bagaimana cara menggoda suami untuk melakukan malam pertama.Hmm, biasanya, semuanya dimulai dengan ciuman, kan?Berpikir seperti itu, aku pun memberanikan diri untuk memegang wajahnya dengan kedua tangan, bermaksud memberi Richard ciuman.Richard, seperti mendukung tindakanku, sedikit merendahkan tinggi badannya sehingga wajah kami kini sejajar.Aku benar-benar bermaksud mencium bibirnya, tapi saat melihat bibir Richard yang begitu mempesona, aku tiba-tiba merasa gemetar.Karena itu, aku segera memejamkan mata dan alih-alih mencium bibir Richard yang tampak menggoda, bibirku malah mencium ujung hidung Richard."Apa yyang sedang kamu lakukan?"Richard bertanya, sepertinya marah dengan tindakanku."Eh? Apalagi? Aku berniat menciummu?" balasku, berusaha terlihat tak tahu malu."Mencium? Apa ini yang kamu maksud dengan mencium?"Richard bertanya lagi dengan kening berkerut, terlihat jelas bahwa dia sangat tidak puas.Aku mengalihkan pandangan dan menjawab dengan gugup."Aku... aku belum pernah berciuman dengan siapa pun sebelumnya. Jadi.... "'Sejujurnya, tadi aku merasa agak malu jika langsung mencium bibirmu meski faktanya sekarang kamu adalah suamiku, itulah kenapa aku mencium hidungmu tadi.'Ku bisikkan kata itu dalam hati, tanpa berani mengucapkannya keras keras."Hidungmu sangat mancung, jadi aku terpesona sebentar, hehe," kilahku, sambil nyengir seperti orang bodoh.Richard yang mendengar itu, memegang kedua lenganku dengan erat dan berbisik dengan suara yang terdengar cukup mengancam."Sepertinya kamu perlu diajari apa itu ciuman, hm?"Mataku seketika terbelalak lebar dan menjawab dengan cepat."Hah? Ah, t-tidak. Sepertinya itu tidak perl—"Sebelum aku selesai bicara, Richard sudah mendorong badanku sehingga punggungku pun terjatuh atas ranjang."Kyaaa!"Relfek, aku pun berteriak.Richard yang tampak tak peduli, kini berada di atas tubuhku, memenjarakan diriku dalam kurungan lengannya yang kuat."Ap-apa yang mau kamu lakukan, Rich?" tanyaku, panik saat jarak kami begitu dekat seperti sekarang."Apalagi, tentu saja mengajari istriku yang sangat polos ini apa yang dinamakan sebuah ciuman," jawabnya, tenang.Senyumnya terlihat sangat menawan dengan tatapan lesu yang menggoda, membuat aku semakin panik bukan main.T-tunggu. Ini tidak mungkin.Kami... kami tidak akan benar-benar melakukan malam pertama yang sangat liar di sini, kaaaan?Pagi berikutnya, langit masih kelabu ketika Jupiter berjalan menuju kedai kopi dekat hotel. Ia butuh waktu sendiri. Setelah malam yang rumit dengan Lyodra, dan perasaan yang tak kunjung padam, pikirannya semakin bising. Ia tahu batasnya—Lyodra bukan miliknya. Tapi rasa itu, seperti luka kecil yang terus menganga, tak kunjung sembuh. Ia duduk di pojok ruangan, menyendok buih kopinya dengan sendok kayu saat seseorang menarik kursi di hadapannya. Seorang wanita dengan rambut sebahu yang lurus sempurna, lipstik merah menyala, dan aura percaya diri yang tajam seperti silet. “Jupiter, kan?” sapa wanita itu tanpa basa-basi. “Kita belum pernah bertemu, tapi aku sudah cukup tahu tentang kamu.” Jupiter mengangkat alis. “Kita kenal?” Wanita itu menyunggingkan senyum kecil. “Belum. Tapi kamu kenal Lyodra. Dan itu membuat kita… punya kepentingan yang sama.” Jupiter menatapnya curiga. “Kamu siapa?” “Shane,” jawabnya singkat, menyilangkan kaki. “Kita nggak perlu basa-basi, Jupiter. Aku di sini
Malam merayap pelan ke dalam dinding hotel, membawa hawa yang lebih sunyi dibanding biasanya. Lampu-lampu lobi sudah menyala lembut, mengubah suasana menjadi lebih hangat, namun hati Lyodra tetap tak sepenuhnya tenang. Ia tidak tahu, tepat di balik kaca, pria yang paling ingin ia lindungi dari kesalahpahaman justru sedang menatapnya dari jauh—diam-diam, dengan tatapan penuh bara yang dikendalikan dengan dingin.Jamie baru tiba dari kunjungan luar kota yang panjang dan penuh tekanan, tapi rasa lelah itu mendadak menguap saat layar ponselnya menampilkan foto-foto Lyodra… bersama pria lain.Pria itu bukan siapa-siapa, bukan siapa-siapa seharusnya.Namun senyum Lyodra, caranya menunduk saat pria itu bicara, bahkan sorot matanya yang menyiratkan kenyamanan dan kehangatan—semuanya terasa terlalu familiar. Terlalu intim. Dan itu membuat napas Jamie berdesir tak nyaman, entah karena marah atau takut kehilangan.Seketika, pintu putar lobi bergerak.Lyodra masuk dengan langkah ringan, masih ter
Mall itu tidak begitu ramai. Lampu-lampu terang menggantung dari langit-langit, memantulkan bayangan mereka di lantai mengilap. Jupiter memarkir motor dan melepas helm Lyodra dengan hati-hati. Dia masih berusaha tersenyum, tapi matanya menyiratkan sesuatu yang sulit dijelaskan, itu karena pandangannya terganggu pada cincin cantik di jari manis Lyodra. Dia menghela napas dalam-dalam dan berusaha bersikap biasa kepada Lyodra. “Yuk, cepat selesaiin belanjanya. Biar bisa balik ke hotel sebelum sore,” ucap Jupiter, berjalan di samping Lyodra yang kini sibuk membuka catatan belanja dari Pak Alex.“Kita harus beli... kertas undangan, bunga meja, pita-pita dekorasi, lilin aromaterapi, dan… oh, kostum pasangan untuk maskot acara,” gumam Lyodra, memicingkan mata membaca daftar panjang yang terasa mengerikan itu.“Kostum pasangan?” Jupiter mengangkat alis. “Kayak… maskot yang saling gandengan gitu?”Lyodra mengangguk pelan. “Iya. Konsep acaranya kan ‘Romantic Night’. Jadi harus bikin suasana
"Nggak bakal ada yang aneh-aneh setelah ini, kan? Kenapa rasanya aku malah gugup kalau semuanya selancar ini? Apakah nanti pernikahanku dengan Jamie juga akan berjalan semudah ini?" Lyodra tidak bisa begitu saja mengusir rasa cemasnya, sebab ia sudah terbiasa—jika sesuatu terasa terlalu lancar, maka biasanya akan ada badai yang menyusul. Ia gelisah tanpa alasan yang jelas, tetapi tetap mencoba menepis segala pikiran buruk. "Semua akan baik-baik saja," gumam Lyodra, menenangkan dirinya sendiri. --- Setelah libur selama tiga hari, Lyodra akhirnya kembali ke kantor. Baru saja tiba, ia langsung disambut dengan omelan dari Jupiter. “Kamu ini bisa profesional nggak, sih? Kok bisa-bisanya kamu cuti tanpa keterangan selama tiga hari, justru di saat genting seperti ini!” Sebagai atasan, Jupiter menegurnya dengan keras. Lyodra sudah berusaha menjelaskan bahwa situasinya sangat mendadak dan ia telah mendapat izin langsung dari pusat, namun Jupiter tetap melanjutkan kemarahannya, membuat
Hati Lyodra seperti tenggelam saat Jamie menanyakan hal itu, dia merasa bersalah karena membuat Jamie yang tak tahu apa-apa jadi terbebani dan berpikir kalau pernikahan ini memberatkan Lyodra. Oleh karena itu, Lyodra segera menggeleng tegas dan menatap Jamie sambil menjawab kalau itu bukan karena pernikahan mereka. "Tapi kamu nggak bakal mau bilang kan alasan kenapa kamu terlihat lesu hari ini, Ly?" Seakan tahu bahwa Lyodra tak akan jujur jika dia terus bertanya, Jamie mengatakan hal itu dengan tatapan sendu. "Ah, itu.... " Alih-alih langsung menjawab, Lyodra malah menggigit bibir bawahnya dengan ekspresi bermasalah. Dia tahu ini bukan hal yang bisa dengan mudah untuk langsung memberi tahu Jamie, karena Lyodra sendiri memikirkan bagaimana dampak hubungan Luke dan Jamie jika dia mengatakan yang sebenarnya. "Kamu masih belum terlalu percaya aku, Ly?" tanya Jamie dengan lembut saat melihat Lyodra yang masih diam dan tak menceritakan alasan dia murung meski Jamie sudah membujuknya
Malam tiba, menjemput langit dengan kelembutan jingga yang perlahan larut dalam kelam. Seperti janjinya, Jamie datang menjemput Lyodra tepat pukul delapan.Mobil hitam milik pria itu berhenti dengan elegan di depan tempat tinggal Lyodra. Suara klakson yang lembut menyadarkannya dari lamunan, dan dengan nafas yang ditahan, Lyodra melangkah keluar, mengenakan dress sederhana berwarna nude yang membungkus tubuhnya dengan keanggunan yang tidak dibuat-buat.Jamie keluar dari mobil, tersenyum lebar sambil menghampirinya. “Gila, kamu cantik banget malam ini, Ly," ucapnya pelan, seolah tak ingin mengganggu malam yang sudah terlampau sempurna.Lyodra tersipu, membalas senyuman itu dengan anggukan kecil. “Kamu juga... kelihatan beda malam ini. Lebih... serius.”“Ya iyalah, ini malam penting,” katanya, lalu membuka pintu mobil untuk Lyodra seperti seorang pria sejati yang ingin meyakinkan gadisnya bahwa malam ini akan baik-baik saja.Di jari manis mereka masing-masing melingkar cincin couple,