"Istriku sayang, inilah yang dinamakan sebuah ciuman."
Richard mengatakan itu, lantas membungkuk dan meraih daguku dengan satu tangan agar aku memandangnya.Lalu, tanpa ragu sama sekali, dia pun menutupi bibirku dengan bibirnya. Saat aku mencoba menarik wajahku ke belakang, dia langsung menopang bagian belakang kepalaku dengan satu tangan untuk mencegahku melarikan diri.Tempat tidurnya sedikit bergoyang. Richard melompat ke tempat tidur dalam sekejap, menopang tubuhnya dengan tangannya dan mengunciku di dalamnya."Mmmmhh!"Aku sedikit berteriak saat lidah Richard mulai bergerak-gerak dengan sungguh-sungguh di mulutku.Mula-mula lidah itu menembus setiap gigi seolah menghitung jumlah gigi di mulutku, lalu masuk lebih dalam dan dengan lembut menggaruk langit-langit mulutku.Meskipun aku tidak pernah punya pengalaman dengan pria lain, tapi aku yakin. Pria ini, suamiku, adalah pencium yang sangat baik.Bibir lembutnya yang menyentuh leherku sungguh merangsang, sehingga aku mengalihkan pandangan secara reflek.Richard segera menyentuh pipiku dan mengarahkan wajahku menghadap ke arahnya."Lihat aku, Jeany."Lidah merah Richard menjilat bibirku, warnanya sama dengan milikku. Penampilannya begitu sensual dan luar biasa sehingga aku memejamkan mata."Aku sdah bilang kalau kamu buat harus lihat wajah suamimu, Jeany."Dia memperingatkan. Suaranya yang tegas membuat aku merinding.Perlahan aku membuka mataku, dan Richard tersenyum padaku seolah aku telah melakukan pekerjaan dengan baik sebelum menggigit bibir bawahku.Saat aku tersentak dan tanpa sadar dan membuka mulutku, segumpal daging panas menembus ke dalam sana.Lidah Richard mengusap lembut bagian dalam mulutku, tidak cepat maupun lambat. Saat dia terus menstimulasiku, perasaan mendesak yang aku tidak tahu sedang terbangun muncul di dalam diriku.Panas menggenang di perutku dan menyapuku dalam gelombang.Tanpa diminta, tubuhku melompat dan menekan dada Richard yang kokoh, dan baru setelah aku merasakan daging orang lain menempel di tubuhku, nafsuku sedikit mereda."Mm, ahh."Erangan yang keluar dari sela-sela gigiku, membuat pria yang sedang menciumku itu tersenyum.Richard menarik diri, tampak puas dengan reaksiku. Aku yang merasa frustasi dengan ciuman yang luar biasa ini, tanpa sadar dengan berani menjambak rambut hitamnya dengan penuh semangat, mendambakan bibir pria itu dengan rakus. Tenggorokanku kering karena air liur yang manis dan hangat."Haah, haah, haah."Aku terus mengeluarkan suara erangan aneh, sementara dadaku rasanya ingin meledak karena sensasi ciuman yang begitu panas."Bagus, Jeany. Jangan ditahan," bisik Richard, membelai lembut leherku dengan lidahnya yang panas, sehingga tubuhku gemetar secara reflek. Perasaan aneh membanjiri diriku seperti ektasi.Ciuman pria ini benar-benar membuat aku gila sehingga membuat aku menginginkan lebih dan lebih.Richard yang terlihat sangat senang dengan erangan yang keluar dari mulutku, menciumku lebih dalam dan dalam. Lidah kami kembali terjerat dan jantungku berdegup sangat kencang.Setiap kali kami berciuman, aku seperti kehilangan jiwaku. Apalagi saat berpikir bahwa bagaimana pria yang sangat tampan ini, terlihat begitu menginginkan diriku."Rich, ahh."Ciuman Richard semakin memanas, dia sungguh pencium yang handal.Saat aku sibuk memikirkan siapa wanita yang sering dicium oleh Richard, tiba-tiba suamiku itu menatap mataku dan melepaskan bibirnya."Sepertinya kamu punya waktu untuk memikirkanhal lain, istriku.""Apa? Oh!"Bibirnya nmenyentuh tengkukku. Sensasi yang dia berikan membuat aku menjerit tanpa sadar."Tunggu! Tunggu!"Aku tiba-tiba ingat jika harus mengatakan sesuatu yang sangat penting kepada Richard, jadi aku meraih bahunya dan mendorongnya. Meski begitu, dia menjilat leherku dan akhirnya mulai menggigit dan menghisap."Tunggu! Rich... ada yang ingin kukatakan!" seruku lagi.Ketika aku terus berteriak bahwa aku ingin mengatakan sesuatu, Richard menarik leherkudengan keras dan menjauh."Dalam situasi ini... apa yang ingin kamu katakan, Jeany?"Aku bisa merasakan suaranya sangat pelan, terlihat terganggu dengan interupsi dariku.Meski begitu, bibirnya kembali mendekat dan menyentuh leherku sehingga tubuhku rasanya mendingin karena stimulasi.Richard sepertinya sama denganku, dari gerakannya yang tak sabar, aku yakin dia sedang terangsang karena ciuman kami ini.Meski begitu, aku harus tetap mengatakan ini demi keselamatan jiwaku."Janjimu. jangan lupa. Kamu harus menepati janjimu untuk tidak langsung membunuhku setelah kita menikah, Rich."Segera setelah aku selesai berbicara, mata suamiku yang tampan itu, yang awalnya dipenuhi panas, mendingin dengan cepat.Gemetar, aku sedikit menghindari memandangnya agar tidak terlihat kalau tidak terlalu peduli dengan situasi Richard sekarang.Aku harus mendapatkan janji itu, demi mengamankan masa depanku!Bagaimana jika setelah dia puas menciumku, dia langsung membunuhku? Itu sangat menakutkan."Jeany."Richard yang beberapa saat lalu mundur dengan ekspresi terganggu, kini mendekatkan wajahnya dan menatap mataku dengan dingin."Kalau kamu melakukan tugasmu dengan baik sebagai istriku, aku tidak akan berkata apa-apa lagi."Mendengar kata-kata Richard itu, aku memandangnya dalam diam, lega.Untuk saat ini, bendera kematian yang menakutkan itu telah menjauh dariku."Tadi sudah cukup bagiku untuk merasa puas."Mendengar kata-katanya yang ambigu, aku bertanya dengan kebingungan."Maksudnya itu apa—""Jangan bicara lagi, Jeany."Richard memotong dengan dingin, dia hanya mengatakan apa yang ingin dia katakan, seolah menolak untuk berbicara lebi jauh.Apa yang membuat dia cukup puas? Apakah itu ciuman kami tadi?Meski aku masih kebingungan, Richard sepertinya tak berniat memberi tahu lebih jauh."Aku rasa aku tidak akan bisa mengendalikan diri jika tetap di sini," ucapnya tiba-tiba.Richard mengatakan itu dan menutup mulutku dengan bibirnya sendiri tanpa harus membuka mulutku lagi.Itu adalah ciuman yang sangat intens danmengerikan, sangat berbeda dari ciumansebelumnya.Pagi berikutnya, langit masih kelabu ketika Jupiter berjalan menuju kedai kopi dekat hotel. Ia butuh waktu sendiri. Setelah malam yang rumit dengan Lyodra, dan perasaan yang tak kunjung padam, pikirannya semakin bising. Ia tahu batasnya—Lyodra bukan miliknya. Tapi rasa itu, seperti luka kecil yang terus menganga, tak kunjung sembuh. Ia duduk di pojok ruangan, menyendok buih kopinya dengan sendok kayu saat seseorang menarik kursi di hadapannya. Seorang wanita dengan rambut sebahu yang lurus sempurna, lipstik merah menyala, dan aura percaya diri yang tajam seperti silet. “Jupiter, kan?” sapa wanita itu tanpa basa-basi. “Kita belum pernah bertemu, tapi aku sudah cukup tahu tentang kamu.” Jupiter mengangkat alis. “Kita kenal?” Wanita itu menyunggingkan senyum kecil. “Belum. Tapi kamu kenal Lyodra. Dan itu membuat kita… punya kepentingan yang sama.” Jupiter menatapnya curiga. “Kamu siapa?” “Shane,” jawabnya singkat, menyilangkan kaki. “Kita nggak perlu basa-basi, Jupiter. Aku di sini
Malam merayap pelan ke dalam dinding hotel, membawa hawa yang lebih sunyi dibanding biasanya. Lampu-lampu lobi sudah menyala lembut, mengubah suasana menjadi lebih hangat, namun hati Lyodra tetap tak sepenuhnya tenang. Ia tidak tahu, tepat di balik kaca, pria yang paling ingin ia lindungi dari kesalahpahaman justru sedang menatapnya dari jauh—diam-diam, dengan tatapan penuh bara yang dikendalikan dengan dingin.Jamie baru tiba dari kunjungan luar kota yang panjang dan penuh tekanan, tapi rasa lelah itu mendadak menguap saat layar ponselnya menampilkan foto-foto Lyodra… bersama pria lain.Pria itu bukan siapa-siapa, bukan siapa-siapa seharusnya.Namun senyum Lyodra, caranya menunduk saat pria itu bicara, bahkan sorot matanya yang menyiratkan kenyamanan dan kehangatan—semuanya terasa terlalu familiar. Terlalu intim. Dan itu membuat napas Jamie berdesir tak nyaman, entah karena marah atau takut kehilangan.Seketika, pintu putar lobi bergerak.Lyodra masuk dengan langkah ringan, masih ter
Mall itu tidak begitu ramai. Lampu-lampu terang menggantung dari langit-langit, memantulkan bayangan mereka di lantai mengilap. Jupiter memarkir motor dan melepas helm Lyodra dengan hati-hati. Dia masih berusaha tersenyum, tapi matanya menyiratkan sesuatu yang sulit dijelaskan, itu karena pandangannya terganggu pada cincin cantik di jari manis Lyodra. Dia menghela napas dalam-dalam dan berusaha bersikap biasa kepada Lyodra. “Yuk, cepat selesaiin belanjanya. Biar bisa balik ke hotel sebelum sore,” ucap Jupiter, berjalan di samping Lyodra yang kini sibuk membuka catatan belanja dari Pak Alex.“Kita harus beli... kertas undangan, bunga meja, pita-pita dekorasi, lilin aromaterapi, dan… oh, kostum pasangan untuk maskot acara,” gumam Lyodra, memicingkan mata membaca daftar panjang yang terasa mengerikan itu.“Kostum pasangan?” Jupiter mengangkat alis. “Kayak… maskot yang saling gandengan gitu?”Lyodra mengangguk pelan. “Iya. Konsep acaranya kan ‘Romantic Night’. Jadi harus bikin suasana
"Nggak bakal ada yang aneh-aneh setelah ini, kan? Kenapa rasanya aku malah gugup kalau semuanya selancar ini? Apakah nanti pernikahanku dengan Jamie juga akan berjalan semudah ini?" Lyodra tidak bisa begitu saja mengusir rasa cemasnya, sebab ia sudah terbiasa—jika sesuatu terasa terlalu lancar, maka biasanya akan ada badai yang menyusul. Ia gelisah tanpa alasan yang jelas, tetapi tetap mencoba menepis segala pikiran buruk. "Semua akan baik-baik saja," gumam Lyodra, menenangkan dirinya sendiri. --- Setelah libur selama tiga hari, Lyodra akhirnya kembali ke kantor. Baru saja tiba, ia langsung disambut dengan omelan dari Jupiter. “Kamu ini bisa profesional nggak, sih? Kok bisa-bisanya kamu cuti tanpa keterangan selama tiga hari, justru di saat genting seperti ini!” Sebagai atasan, Jupiter menegurnya dengan keras. Lyodra sudah berusaha menjelaskan bahwa situasinya sangat mendadak dan ia telah mendapat izin langsung dari pusat, namun Jupiter tetap melanjutkan kemarahannya, membuat
Hati Lyodra seperti tenggelam saat Jamie menanyakan hal itu, dia merasa bersalah karena membuat Jamie yang tak tahu apa-apa jadi terbebani dan berpikir kalau pernikahan ini memberatkan Lyodra. Oleh karena itu, Lyodra segera menggeleng tegas dan menatap Jamie sambil menjawab kalau itu bukan karena pernikahan mereka. "Tapi kamu nggak bakal mau bilang kan alasan kenapa kamu terlihat lesu hari ini, Ly?" Seakan tahu bahwa Lyodra tak akan jujur jika dia terus bertanya, Jamie mengatakan hal itu dengan tatapan sendu. "Ah, itu.... " Alih-alih langsung menjawab, Lyodra malah menggigit bibir bawahnya dengan ekspresi bermasalah. Dia tahu ini bukan hal yang bisa dengan mudah untuk langsung memberi tahu Jamie, karena Lyodra sendiri memikirkan bagaimana dampak hubungan Luke dan Jamie jika dia mengatakan yang sebenarnya. "Kamu masih belum terlalu percaya aku, Ly?" tanya Jamie dengan lembut saat melihat Lyodra yang masih diam dan tak menceritakan alasan dia murung meski Jamie sudah membujuknya
Malam tiba, menjemput langit dengan kelembutan jingga yang perlahan larut dalam kelam. Seperti janjinya, Jamie datang menjemput Lyodra tepat pukul delapan.Mobil hitam milik pria itu berhenti dengan elegan di depan tempat tinggal Lyodra. Suara klakson yang lembut menyadarkannya dari lamunan, dan dengan nafas yang ditahan, Lyodra melangkah keluar, mengenakan dress sederhana berwarna nude yang membungkus tubuhnya dengan keanggunan yang tidak dibuat-buat.Jamie keluar dari mobil, tersenyum lebar sambil menghampirinya. “Gila, kamu cantik banget malam ini, Ly," ucapnya pelan, seolah tak ingin mengganggu malam yang sudah terlampau sempurna.Lyodra tersipu, membalas senyuman itu dengan anggukan kecil. “Kamu juga... kelihatan beda malam ini. Lebih... serius.”“Ya iyalah, ini malam penting,” katanya, lalu membuka pintu mobil untuk Lyodra seperti seorang pria sejati yang ingin meyakinkan gadisnya bahwa malam ini akan baik-baik saja.Di jari manis mereka masing-masing melingkar cincin couple,