Suasana ruang tamu masih ramai oleh obrolan hangat. Michelle duduk bersandar di sisi Alvaro, sementara Angelica, Alex, dan William sesekali menimpali percakapan ringan yang muncul di antara mereka. Makanan ringan dan teh hangat sudah disajikan ulang oleh asisten rumah tangga.Tiba-tiba, ponsel Alvaro yang diletakkan di meja bergetar pelan.Ia melirik layar. Sekilas raut wajahnya berubah.“Sebentar ya,” ucap Alvaro, mengambil ponsel lalu berdiri dan berjalan sedikit menjauh sebelum menerima panggilan.Michelle memperhatikannya sekilas, mencoba membaca dari bahasa tubuh Alvaro. Yang lain ikut memperhatikan, meski tidak langsung bertanya.“Ya, saya dokter Alvaro. Ada apa?” suara Alvaro terdengar datar, tapi nada seriusnya langsung terasa.Hening sebentar.Lalu terdengar suaranya lagi, kali ini lebih tegas. “Sekarang? Sudah masuk ruang operasi? Baik. Saya segera ke sana.”Alvaro menutup panggilan, menarik napas pendek, lalu kembali ke arah keluarga.“Maaf, aku harus berangkat ke rumah sak
“Di mana Michelle?” tanya Angel sambil menoleh ke William.Pesta ulang tahun Olivia baru saja selesai. Seluruh tamu undangan benar-benar telah pulang. Olivia sendiri sudah terlelap di sofa ruang keluarga, kelelahan setelah lima jam penuh bermain bersama teman-temannya dan anak-anak kolega Alex. Tadi ia hanya digendong sebentar oleh sang papa, tapi langsung tertidur begitu diletakkan di sofa. Matanya berat, tubuhnya lunglai, dan napasnya teratur—tanda ia benar-benar kehabisan tenaga.“Nona Michelle dibawa ke rumah sakit oleh dokter Alvaro, Nyonya,” jawab William.“Ke rumah sakit?” Angel dan Naura spontan memekik terkejut.“Benar, Nyonya,” lanjut William. “Tadi saat pesta masih berlangsung, Nona Michelle mendadak muntah dan sempat tak sadarkan diri. Karena itu dokter Alvaro langsung membawanya ke rumah sakit.”Semua yang mendengar jelas tak bisa menyembunyikan ekspresi cemas. Angel langsung berdiri dari duduknya, dan Naura mengerutkan kening, mencoba mengingat apakah Michelle sempat men
Kalimat itu seperti menghantam keras di dada Alvaro. Kenapa dia tidak berpikir seperti itu? Tapi apa mungkin dokter begitu cepat mengabulkan doa mereka? Padahal baru saja mereka bicara di acara ulang tahun Olivia, menginginkan anak seperti anak-anak Alex. Selain tampan dan cantik mereka juga sangat pintar. Bahkan Nathan dan Noah sudah kelihatan pintar.Michelle yang baru saja selesai memuntahkan isi perutnya pun spontan menoleh, begitu juga Alvaro. Mereka sama-sama menatap ke arah dokter perempuan itu. Ruangan itu seketika terasa hening. Suara alat medis, langkah kaki, dan suara perawat yang sibuk tetap ada, tapi di kepala Alvaro semuanya seperti mengecil. Yang terdengar hanya kalimat itu, berulang kali.Alvaro menelan ludah. Ia ingin bertanya, tapi suaranya tercekat.Perawat mulai mengambil sampel darah. Beberapa alat monitoring mulai dipasang di tubuh Michelle. Dokter jaga menyodorkan kertas persetujuan penanganan untuk ditandatangani. Tapi mata Alvaro tetap tak lepas dari Michelle.
Alvaro panik. Jantungnya berdegup kencang seolah berpacu dengan waktu. Tanpa banyak pikir, dia segera merengkuh tubuh calon istrinya yang terkulai lemas dan membawanya dalam gendongan. Langkahnya cepat dan berat, napasnya memburu. William yang berdiri tak jauh langsung memberi jalan, matanya sempat memandang Alvaro dengan cemas sebelum ia berbalik dan berlari ke arah halaman depan rumah Alex.“Pak, tolong siapkan mobil. Antarkan dokter Alvaro ke rumah sakit. Calon istrinya pingsan!” seru William pada sopir dengan nada tergesa-gesa. Napasnya naik-turun, wajahnya tegang. Ia tahu, ini bukan hal sepele. Ia tahu, Alvaro sedang dalam keadaan yang sangat tidak stabil.“Baik, Pak William,” jawab sang sopir cepat, tanpa basa-basi.Tanpa perlu diberi aba-aba lagi, si sopir langsung berlari menuju garasi. Tangannya gemetar saat mengambil kunci, tapi gerakannya tetap gesit. Dalam hitungan detik, mobil sudah terparkir di halaman depan. Mesin menyala, siap melaju.Sementara itu, pesta di halaman be
Sorak tepuk tangan yang terdengar di tempat itu kembali mengalihkan pandangan Michelle dan Alvaro ke arah depan. Setelah lagu yang dinyanyikan Olivia berakhir, suasana berubah menjadi lebih riuh namun tetap hangat. Tepuk tangan panjang dari para tamu memenuhi halaman belakang rumah mewah itu. Suara tawa anak-anak dan kekaguman para orang dewasa terdengar bersahutan. Bahkan beberapa tamu dari luar negeri yang datang membawa anak-anak mereka tampak mengangguk pelan, menunjukkan kekaguman pada bakat Olivia. Olivia tersenyum kecil, lalu menunduk sedikit sebagai bentuk terima kasih. Meski baru lima tahun, gesturnya begitu percaya diri. Rambutnya yang ditata rapi dengan pita kecil di atas kepala tetap terlihat sempurna meskipun ia sempat menunduk beberapa kali. Gaun princess berwarna pastel dengan detail balon di bagian rok membuatnya terlihat seperti tokoh utama dari dongeng. MC kembali naik ke panggung. Dua orang MC dari kalangan artis ternama, yang selama ini dikenal sebagai pembawa
Setelah Alex selesai memberikan sambutannya, suasana mulai sedikit lebih santai. Beberapa tamu sibuk berbincang dan sebagian lain masih terhanyut dalam keharuan yang baru saja terjadi. Namun, perhatian kembali terfokus saat MC kembali mengambil alih mikrofon dan berdiri di tengah panggung kecil."Baik, sebelum kita melanjutkan dengan potong kue, ada satu penampilan spesial dari yang berulang tahun hari ini. Olivia akan memainkan lagu kesukaannya sambil bernyanyi untuk kita semua. Kita beri semangat dan tepuk tangan dulu untuk Olivia!"Riuh tepuk tangan langsung terdengar. Semua mata kembali mengarah ke panggung. Olivia melangkah perlahan ke arah grand piano putih yang memang sudah disiapkan dari pagi. Gaun ala princess berwarna pastel dengan detail renda halus di bagian lengan membuat penampilannya begitu menonjol. Rambutnya ditata rapi ke belakang, dibentuk sanggul kecil layaknya penari balet klasik.Dia duduk dengan tenang di depan piano. Kakinya yang masih pendek menggantung karena