Begitu sampai di luar negeri, Alex dan Michelle langsung menuju hotel tempat mereka menginap. Tidak ada waktu bersantai. Setibanya mereka di lobi, Michelle segera menerima briefing terakhir lewat tablet yang ia bawa. Ia menyusun kembali jadwal pertemuan pertama hari itu. Tuan Mark, calon rekan bisnis Golden Gate Corporation, sudah menunggu di sebuah gedung perkantoran premium di pusat kota. Tanpa membuang waktu, mereka langsung menuju lokasi.Sepanjang perjalanan, Michelle tetap menjalankan tugasnya dengan serius. Ia bukan hanya cantik, tetapi juga teliti dan cepat tanggap. Beberapa catatan penting yang ditinggalkan William sebelum ia cuti, sudah ia pelajari semalam sebelum keberangkatan. Michelle tahu perannya bukan sebagai asisten tetap, tapi dalam perjalanan bisnis kali ini, ia harus tampil seperti profesional berpengalaman.Mobil berhenti di depan lobi gedung. Alex turun lebih dulu, diikuti oleh Michelle. Mereka disambut oleh staf Tuan Mark dan langsung diantar ke ruang pertemuan.
Michelle berdiri dari sofa kulit berwarna merah di ruang tunggu khusus pemilik private jet ketika pintu terbuka. Begitu melihat Alex melangkah masuk, ia segera menyambut dengan langkah cepat dan sikap profesional. Tak ada senyum manis, tak ada basa-basi. Yang ditampilkan hanya sikap kerja yang seharusnya: tenang, cekatan, dan tanpa drama.Dia tidak ingin membuat Alex curiga. Karena tujuannya sekarang adalah berhasil merebut Alex dari Angelica. Perempuan yang dianggapnya pengacau dalam hidup kedua orang tuanya. Anak yang dilahirkan Angel harus merasakan bagaimana hidup tanpa kasih sayang papa, seperti keputusan cerai yang diambil oleh almarhum Papanya Michelle terhadap sang Mama tanpa memikirkan perasaan anak-anaknya.“Selamat pagi Tuan. Semua sudah siap, Tuan. Jadwal pertemuan hari pertama dan kedua sudah dikonfirmasi sesuai arahan Pak William. Untuk jadwal selanjutnya nanti saya akan konfirmasi lagi setelah kita tiba di luar negeri,” ucap Michelle sambil menyerahkan map berisi dokume
“Sayang, aku pasti akan rindu banget ingin ketemu anak kita,” ucap Alex. Dia masih berdiri di belakang tubuh istrinya. Tangannya terus bergerilya menyentuh area sensitif milik sang istri, terutama di bagian dada dan di bagian intim istrinya. Entah kenapa setelah Angelica dinyatakan hamil justru nafsunya semakin tidak terkendali. Dia benar-benar lebih liar dari yang sebelumnya. Alex sebagai suami tentu menyambut senang perubahan istrinya ini. “Aku juga pasti kangen banget sama kamu, sayang,” jawab Angel. Wanita itu membalikkan tubuhnya guna menatap suaminya. Alex menunduk agar bisa meraup bibir manis sang istri yang tentu saja akan ia rindukan selama satu minggu ke depan. Tangannya mulai membuka pakaian sang istri hingga dalam satu tarikan saja tubuh istrinya sudah polos tanpa penutup sehelai benang pun. Alex memang sangat jago urusan membuka baju istrinya. “Duduk, sayang,” ucap Alex. Dia mendorong pelan tubuh sang istri untuk duduk di sisi ranjang kakinya terbuka lebar seolah me
“Ya. Dua puluh lima miliar. Dan aku tidak mau kurang dari itu.”Sophia menutup map hasil pemeriksaan medis yang baru saja diberikan Wulan. Matanya sempat tertumbuk pada kalimat diagnosa itu yang menyatakan kalau Wulan positif HIV. Tapi bukan hasil itu yang sekarang memenuhi kepalanya, melainkan permintaan tidak masuk akal yang baru saja dilontarkan.Andai saja ia tahu perempuan ini punya niat busuk terhadapnya mungkin Sophia tidak akan pernah menghubungi perempuan ini apalagi menawarkan biaya pengobatan untuknya. Perempuan di hadapannya ternyata adalah perempuan yang sangat licik. Apa kejadian ini juga bagian dari karma masa lalunya yang pernah berbuat licik pada Alexander Maximus? Apa ini balasan Tuhan terhadapnya, bahkan kesalahan yang tidak pernah ia lakukan terhadap perempuan ini justru sekarang dirinya yang harus menghadapi permintaan yang tak masuk akal.“Aku sudah bilang dari awal. Kalau kamu butuh biaya pengobatan, aku siap bantu. Tapi kamu datang ke sini bukan untuk minta ban
“Saya pernah hampir bertemu dengan Wulan beberapa waktu yang lalu, tapi nggak jadi karena saya harus ikut dengan Nyonya dan Tuan ke Sun City,” ucap Suster Lila sambil menunduk pelan.Angelica langsung menarik napas lega. Tangannya refleks meremas jemari kecil Olivia yang duduk di sampingnya. “Syukurlah, Suster nggak jadi ketemu sama dia,” sahutnya. Suaranya bergetar, seperti menyimpan ketakutan yang belum reda. “Kalau jadi ketemu dia… saya nggak tahu harus bicara apa. Saya nggak ingin anak saya menderita lagi.”Ucapan itu terputus oleh pelukannya sendiri pada Olivia. Ia menunduk, mencium rambut sang anak, lalu memeluk tubuh mungil itu dengan erat, seolah tak ingin dunia menyentuhnya barang sedikit pun. Mereka duduk di ruang keluarga, ruang yang seharusnya menjadi tempat paling aman dan nyaman, tapi kini penuh kecemasan dan tangis.“Olivia sudah banyak menderita sejak kecil,” lanjut Angelica. Matanya basah, suaranya bergetar. “Dia sudah berjuang keras… sejak bayi dia bahkan harus bolak
“Iya... aku juga hampir tak percaya kalau Markus meninggal,” ucap Sophia dengan suara parau. “Dan yang lebih menyakitkan lagi adalah... Markus meninggal karena terpapar virus HIV/AIDS.”Tangis dari seberang telepon begitu nyaring. Perempuan itu menangis keras. Suara isakannya mengguncang, tapi Sophia tetap diam. Ia memejamkan mata, berusaha menahan emosi yang sudah mendidih dari tadi.Dia tahu, Wulan sedang hancur. Tapi ada batas untuk semua penjelasan. Sophia tidak mungkin mengatakan bahwa Markus dengan sadar dan sengaja menularkan penyakit itu demi membalas dendam. Itu terlalu kejam. Itu bukan hal yang bisa ia bebankan lagi kepada seseorang yang sedang dihantam kenyataan pahit.Ia menarik napas, menahan sesak yang mulai memenuhi dadanya. “Sudahlah. Jangan menangis seperti itu,” ucapnya tegas tapi lirih. “Kalau kamu butuh bantuan untuk pengobatanmu… datanglah ke alamat yang akan kukirimkan. Aku tanggung semua biayanya. Tapi jangan minta lebih.”Setelah itu, tanpa menunggu jawaban, So