Michelle masuk ke ruang praktik dengan perlahan, mendorong sendiri kursi rodanya. Tak ada yang mengantar. Tak ada suara yang menyapa. Hanya suara roda kursi yang menggesek lantai rumah sakit yang bersih dan dingin. Seorang perawat berdiri di dekat pintu dan membuka pintu ruangan sambil memberi anggukan sopan."Silakan, Nona Michelle. Dokter sudah menunggu."Michelle hanya mengangguk pelan dan masuk ke dalam. Wajahnya terlihat letih. Matanya sembab. Entah karena kurang tidur atau karena tangis yang belum lama berhenti. Dokter yang akan menanganinya hari ini adalah dokter langganannya sejak kecelakaan itu terjadi. Seorang dokter berusia empat puluhan dengan kacamata tipis dan pembawaan tenang. Tidak banyak bicara, tapi cukup teliti dan sabar."Selamat pagi, Michelle. Apa kabar?"Michelle menghela napas sebelum menjawab, "Masih sama, dok."Dokter mengangguk. Ia lalu berdiri dan memutar ke arah sisi kiri meja, mendekat ke arah Michelle."Mari kita lihat dulu perkembangannya. Sudah bisa ra
“Kalau kamu memang merasa punya keluarga, kenapa di saat kamu terluka seperti ini tak ada satu pun keluargamu yang menunggumu di sini?” tanya Alvaro sambil berdiri tegak di samping kursi roda Michelle. Tatapannya lurus, sorot matanya tajam, tapi tetap tenang.Michelle mendengus kesal. "Mereka lagi sibuk. Aku yang memaksakan diri untuk tetap ada di sini," jawabnya dengan ketus, tanpa memandang pria itu. Kedua tangannya menggenggam pegangan kursi roda dengan erat, seolah berusaha menahan luapan emosi yang ingin ia tumpahkan.“Dan kau percaya begitu saja?” tanya Alvaro.“Tentu saja aku percaya. Mereka adalah keluarga kandungku.”Alvaro tertawa sambil menggeleng, “dasar gadis bodoh. Bisa-bisanya menjadi alat untuk menyakiti Angelica. Mereka cuci tangan tapi kamu yang menjalankan semua rencana mereka. Pernah nggak kamu berpikir kalau kamu ini hanya dimanfaatkan? Mereka bilang malu setelah mendengar semua yang menimpamu di kampus? Pernah tidak mereka mengkhawatirkanmu?” Semua pertanyaan it
Alvaro berdiri tegak di samping kursi roda Michelle. Wajahnya serius, tanpa senyum, tanpa basa-basi. Sorot matanya tajam, dan nada bicaranya tidak meninggi, tapi cukup tegas untuk membuat Michelle merasa terpojok.“Pernah nggak sih kamu berpikir kenapa hidup Angelica selalu baik, padahal kalian selalu berbuat jahat terhadap dia? Pernah nggak kalian mikir kenapa kalian yang selalu merasa sebagai korban justru tidak pernah mendapatkan kebahagiaan?”Michelle menatap lurus ke depan, enggan membalas pandangan pria itu. Tapi sorot matanya menunjukkan bahwa ia mendengar setiap kata yang keluar dari mulut Alvaro.“Coba deh renungkan. Kenapa setiap kejahatan yang ingin kamu lakukan, justru berujung buruk terhadapmu sendiri? Contoh nyata saja. Ketika kamu ingin menabrak Angelica dan membuatnya meninggal, bahkan berharap anaknya juga ikut mati, apa yang terjadi? Tuhan membalik keadaan. Angelica selamat. Anaknya juga selamat. Keluarganya utuh dan bahagia. Sementara kamu? Belum cukup kakimu patah,
EMPAT BULAN KEMUDIAN.Rumah tangga Alex dan Angelica kini terasa jauh lebih bahagia, semua pekerjaan Alex berjalan dengan lancar. Dia dan William adalah partner yang baik. Kelahiran kedua anak kembar ini, justru membuat rezeki berdatangan bertubi-tubi. Kedua bayi mereka tumbuh sehat, meskipun sempat lahir dalam kondisi yang sedikit mengkhawatirkan. Kini, di usia empat bulan, kedua anak laki-laki itu sudah mulai bisa mengangkat kepala, tertawa saat diajak bermain, dan mengenali suara orang-orang terdekat mereka.Olivia sangat menyayangi adik-adiknya. Meskipun usianya masih kecil, dia terlihat begitu protektif. Setiap kali salah satu adiknya menangis, Olivia akan langsung berlari kecil menghampiri, lalu mencoba menenangkan dengan suara pelan atau memanggil pengasuhnya. Angelica sendiri selalu memperhatikan itu dengan rasa syukur. Olivia tidak merasa tergeser. Ia justru terlihat semakin dewasa.Selama empat bulan ke belakang, hari-hari Angelica diisi dengan aktivitas rumah tangga dan me
Tangisan santer dari bayi pertama membuat tubuh Alex berkeringat dingin. Suara itu menggema dari dalam ruang bersalin, memecah keheningan yang selama ini menyesakkan dada. Ia berdiri kaku di depan ruang bersalin, tatapannya kosong tapi napasnya memburu cepat."Yang pertama sudah lahir, Nak," ucap sang mama pelan sambil menyeka air matanya. Suaranya gemetar, namun jelas penuh haru.Alex tidak menjawab. Tubuhnya terasa lemas, seolah semua tenaga menguap begitu saja. Lalu suara tangisan kedua menyusul. Oeeeeeee... Oeeeeeee... Tangisan bayi kedua itu terdengar lebih nyaring, membuat jantung Alex seolah meloncat keluar dari dada. Ia menutup wajah dengan kedua tangan, lalu mengusapnya cepat. Ia tahu, saat itu telah tiba. Anak kembar yang selama ini ditunggu-tunggu akhirnya lahir. Meskipun kelahirannya lebih cepat 1 bulan dari waktu yang seharusnya.Seharusnya tadi dia ikut mendampingi Angelica di dalam. Tapi petugas medis dengan tegas melarang. Bahkan Alvaro, meskipun bukan dokter obgyn,
Alex berjalan mondar-mandir di depan ruang persalinan di rumah sakit miliknya. Ruangan yang ada di lantai paling atas yang khusus digunakan untuk pemilik Rumah Sakit.Berkali-kali ia melirik ke arah pintu ruang persalinan yang masih tertutup rapat, seakan menunggu keajaiban muncul dari balik pintu itu. Napasnya berat, keringat membasahi kening meski tempat itu dingin karena AC.Yang membuatnya makin cemas adalah kenyataan bahwa istrinya dibawa ke rumah sakit dalam keadaan tak sadarkan diri. Sejak tadi belum ada satu pun tenaga medis yang keluar memberikan kabar. Waktu berjalan lambat. Sudah hampir satu jam ia menunggu, tapi rasanya seperti satu abad.Mama dan papanya ikut menemaninya di kursi tunggu. Olivia duduk di pangkuan sang kakek, sudah mulai terlihat mengantuk.“Berhentilah mondar-mandir seperti itu, Alex. Apa kau tak lelah? Mama jadi makin pusing melihatnya,” ucap sang Mama dengan suara yang masih terdengar lemah.Wanita paruh baya itu memang masih dalam masa pemulihan pasca s