Share

Bab 3. Rencana licik

Author: Queenby
last update Huling Na-update: 2025-09-20 21:11:39

Sesampainya di rumah besar keluarga Kusuma, suasana yang awalnya tenang langsung berubah panas. Begitu pintu ruang tamu tertutup, suara tamparan kembali terdengar.

PLAKK!

Alex terhuyung ke samping, pipinya merah menyala.

“Memalukan!” bentak Kakek Dodi, wajahnya memerah karena amarah. “Aku sudah bilang padamu: tinggalkan wanita murahan itu dan menikah dengan Karin! Kenapa kamu justru menolaknya, saat Karin akhirnya mau menerima perjodohan ini?!”

Bu Desi, yang berdiri di sisi Alex, meringis pilu. Ia ingin melindungi putranya, tapi tatapan garang sang ayah membuatnya tak berani bergerak. “Pa… tolong maafkan Alex. Dia nggak bermaksud membuat Papa malu tadi…”

“Kamu masih membela anak sialan ini?!” Kakek Dodi menggebrak meja hingga vas bunga berguncang. “Jelas-jelas selama ini dia diam saja setiap kali perjodohan dibahas, dan tidak pernah memberikan penolakan. Tapi giliran Karin mau menerimanya, dia malah menolak! Dengan alasan bodoh: sudah punya kekasih!”

“Kek…” Alex menegakkan tubuhnya meski tubuhnya masih gemetar. “Aku sangat mencintai Fiona. Aku akan menikah dengan Fiona, bukan Karin.”

“Diam kamu, anak bodoh!” suara Kakek Dodi bergetar menahan emosi. “Fiona itu gadis licik! Dia mendekatimu hanya untuk mengincar kekayaan keluarga Kusuma!”

Alex terbelalak kaget. “Dari mana Kakek tahu? Kakek bahkan tidak mengenalnya! Jangan menuduh Fiona seenaknya, Kek!”

Tatapan Kakek Dodi menggelap, penuh amarah. Ia memang diam-diam telah menyelidiki Fiona dan keluarganya, menemukan hal-hal yang tidak bisa ia terima. Namun ia tidak menunjukkan buktinya pada cucunya. Ia hanya bisa mendengus dingin.

“Sudahlah,” katanya akhirnya, suaranya dingin dan berwibawa. “Kalau kamu memang tidak mau menikah dengan Karin, tidak apa. Tapi kamu tidak akan mendapat sepeserpun warisan keluarga Kusuma. Perusahaan Kusuma, akan jatuh ke tangan Rafael.”

“Pa!” suara Pak Heru meninggi, mencoba membela anaknya. “Papa nggak boleh melakukan itu! Alex ini juga cucu Papa. Dia berhak mendapatkan bagian pada perusahaan Kusuma.”

“Kenapa aku tidak boleh mencoretnya dari pewaris?” Kakek Dodi lantas menoleh dengan tatapan tajam. “Dia anak pembangkang. Tidak pernah menurut pada kata-kataku. Mulai hari ini, kalau dia tetap menolak menikahi Karin, aku akan mengusirnya dari keluarga Kusuma!”

Tanpa menunggu jawaban, lelaki tua itu berbalik dan pergi ke kamarnya, meninggalkan keheningan mencekam.

“Ma…” Alex menoleh pada ibunya dengan wajah panik. “Gimana ini? Kamu harus membujuk Kakek supaya nggak mengusirku. Aku… aku cinta sama Fiona. Aku nggak mau menikah sama Karin.”

Bu Desi memeluk bahu putranya, berusaha menenangkan. “Sabar, Nak. Nanti Mama akan bicara sama Kakek. Tunggu sampai emosinya reda dulu, ya?”

Alex menghela napas, lalu mengangguk. “Baiklah… aku percayakan sama Mama.”

Begitu Bu Desi pergi, Pak Heru mendekati putranya. Wajahnya serius, penuh ambisi.

“Alex, dengarkan Papa baik-baik. Sementara ini, jangan buat kakekmu marah lagi. Kamu harus menurut padanya.”

“Tapi Pa…” Alex menggeleng keras. “Aku nggak mau menikah dengan Karin!”

Pak Heru menghela napas panjang, lalu menepuk bahu putranya. “Kamu benar-benar bodoh, Lex. Karin itu pewaris tunggal keluarga Sanjaya. Kalau kamu menikah dengannya, masa depanmu cerah. Kamu bahkan bisa mengalahkan Rafael… merebut semua warisan keluarga Kusuma.”

Alex terdiam. Kata-kata ayahnya berputar di kepalanya.

“Tapi… bagaimana dengan Fiona? Kami saling mencintai, Pa…”

“Menikah tidak perlu cinta, Lex.” Nada suara Pak Heru dingin dan penuh perhitungan. “Toh kamu masih bisa diam-diam berhubungan dengan Fiona di belakang Karin. Sementara itu, kuasai perlahan kekayaan keluarga Sanjaya. Singkirkan Karin dan kakeknya pelan-pelan. Setelah itu, kamu bebas hidup bahagia bersama Fiona.”

Alex terdiam lama. Matanya bergetar, lalu perlahan mengangguk. “Papa benar… Karin bisa sangat menguntungkan buatku. Aku bisa memanfaatkannya.”

Senyum puas mengembang di bibir Pak Heru. “Itu baru anak Papa.”

Alex mengepalkan tangannya, tekad mulai terbentuk di wajahnya. “Baiklah, Pa. Aku akan menerima perjodohan ini… dan melakukan sesuai rencana Papa.”

“Bagus.” Pak Heru menepuk bahu putranya dengan bangga. “Sekarang, datangi kakekmu. Minta maaf padanya. Dan bilang kalau kamu akan menerima perjodohan ini.”

Alex mengangguk. Dengan langkah berat tapi mantap, ia menuju kamar Kakek Dodi, siap memainkan perannya.

*

*

*

Alex akhirnya memberanikan diri menemui kakeknya. Dengan nada penuh perhitungan, ia berkata,

“Baiklah, Kek… aku bersedia menerima perjodohan dengan Karin. Tapi, dengan satu syarat—jangan coret namaku dari daftar pewaris keluarga Kusuma.”

Namun, ekspresi Kakek Dodi tetap dingin. Beliau menghela napas panjang, lalu menatap cucunya dengan sorot kecewa.

“Sudah terlambat, Alex. Baru saja Andi menghubungiku, Karin sudah berubah pikiran. Dia menolak pertunangan ini.”

Mata Alex melebar kaget. “Apa?!”

“Dan itu semua salahmu,” lanjut Kakek Dodi tegas. “Kalau kau masih menginginkan warisan keluarga Kusuma, tidak ada cara lain. Minta maaf pada Karin. Bujuk dia agar mau bertunangan kembali denganmu.”

Alex terdiam. Ia ingin membantah, tapi tatapan kakeknya terlalu tajam untuk dilawan. Dengan enggan, ia pun menunduk, menahan rasa kesal yang membuncah.

“Baik… aku akan menemuinya,” gumamnya pelan.

Tak lama kemudian, Alex mengeluarkan ponselnya, mengetik cepat sebuah pesan. Ia mengajak Karin bertemu di sebuah kafe. Meski berat, Alex tahu kali ini ia tak punya pilihan lain—demi mempertahankan warisannya.

*

*

*

Di sebuah kafe mewah yang tak terlalu ramai sore itu, Karin sudah duduk sambil memainkan sendok di tangannya. Ekspresinya terlihat malas begitu Alex datang dengan wajah canggung.

“Maaf sudah bikin kamu menunggu,” ucap Alex sambil menarik kursi di hadapan Karin.

Karin hanya melirik sekilas, lalu meneguk jusnya. “Langsung saja, untuk apa kamu ngajak aku ketemu? Bukannya kemarin kamu sudah dengan tegas menolak aku di depan keluarga kita?”

Alex terdiam sejenak, menunduk, lalu menarik napas panjang. “Aku… aku minta maaf soal itu. Aku salah. Aku seharusnya tidak bersikap begitu. Aku ingin memperbaikinya. Tolong beri aku kesempatan, Karin.”

Karin tersenyum miring, menyandarkan tubuhnya ke kursi. “Kesempatan? Jangan bercanda, Alex. Kamu pikir bisa mempermainkan aku?”

Alex mencoba menahan kesal, tapi demi warisan, ia menundukkan ego. “Aku serius, Karin. Aku tahu aku sudah melukai perasaanmu dan mempermalukan keluarga, tapi… aku ingin kita melanjutkan pertunangan ini. Demi kebaikan bersama.”

Karin mendengus kecil. “Kebaikan bersama? Jangan bohong, Alex. Dari sorot matamu saja aku tahu, kamu pasti punya alasan lain.”

Alex menelan ludah, tangannya mengepal di bawah meja. “Aku… aku hanya ingin membahagiakan keluarga kita. Itu saja.”

Karin tertawa sinis. “Bahagiakan keluarga, atau menyelamatkan warisanmu?”

Tatapan Alex langsung berubah tegang. Karin tersenyum puas melihat wajahnya yang kaku.

“Aku sudah tahu, Lex. Kamu mau menerima perjodohan ini karena kakek Dodi mengancam akan mengusirmu bukan? Tapi dengar baik-baik…” Karin mencondongkan tubuhnya, menatap Alex tajam. “…aku tidak akan pernah menikah dengan pria yang menjadikan aku alat untuk ambisi pribadinya.”

Alex tercekat, wajahnya memucat.

“Kalau kamu masih mau warisan dari keluargamu, silahkan rayu kakekmu sendiri. Jangan libatkan aku lagi.” Karin berdiri, meraih tasnya, lalu berjalan pergi meninggalkan Alex yang hanya bisa duduk terpaku, rahangnya mengeras menahan amarah.

“Tunggu…” Panggil Alex.

Karin yang sudah hampir sampai di pintu kafe, tersenyum tipis. Rencananya kini berhasil.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Terperangkap Gairah Paman Tampan   BAB. 14

    "Alex, sayang, kamu di mana?"Suara Fiona di ujung telepon terdengar lelah namun hangat, menggema di tempat parkir yang sepi itu. Senja mulai merayap, melukis langit Jakarta dengan jingga dan ungu."Di cafe, Sayang. Lagi ketemu temen lama aku, Rendra. Kamu kenal kan, yang dari Bandung itu?" balas Alex, suaranya riang. Di latar, terdengar gemericik gelas dan suara obrolan ramai.Fiona menghela napas pendek. "Oh iya, ingat. Aku masih di kantor, ini baru mau pulang. Capek banget hari ini. Banyak kerjaan."“Kamu nyusul aja kesini sayang. Aku kenalin kamu sama dia. Sekalian makan malam, daripada kamu masak sendiri," ajak Alex bersemangat. Suara Rendra yang dalam terdengar menyela, "Iya, Fiona. Nanti habis makan sekalian kita mampir ke club malam baru, milik temanku."Fiona tersenyum kecil. Lelahnya seketika terasa lebih ringan. "Baiklah, aku akan menyusul ke sana. Kirimin lokasinya ya.""Oke, hati-hati di jalan, Sayang," sahut Alex sebelum telepon mati.***Parkiran kantor sudah sepi. Ha

  • Terperangkap Gairah Paman Tampan   Bab 13

    Dengan punggung tangan kanan yang memerah dan berdenyut, dia mengangkat tangan kiri yang memegang cangkir kopi, dan mengetuk pintu."Masuk," suara datar dari dalam ruangan terdengar.Karin membuka pintu, siap menghadapi bosnya yang menakutkan, dia sudah siap menerima hukuman dari sang CEO. Karin memasuki ruangan dengan hati berdebar, cangkir kopi di genggamannya terasa lebih berat dari biasanya. "Kamu telat, Nona Karin," ucap Rafael tanpa mengangkat kepala dari dokumen yang dibacanya. Suaranya dingin, memotong udara. "Sudah lebih dari sepuluh menit kamu baru datang.""Maaf, Tuan," jawab Karin, suaranya sedikit bergetar. "Saya telat tadi... ada sedikit insiden yang terjadi.""Insidens?" Kali itu Rafael menatapnya, alisnya berkerut. "Apa yang terjadi?""Hanya insiden kecil, Tuan," jawab Karin berusaha meremehkan, sambil berjalan mendekat dan meletakkan cangkir kopi di atas meja kerjanya dengan hati-hati.“Akh…!”Tanpa sengaja,punggung tangan kanannya yang melepuh menyenggol sudut taja

  • Terperangkap Gairah Paman Tampan   Bab 12

    Pagi ini, hari pertama Karin menjadi sekretaris CEO. Suara ketukan pintu yang ragu-ragu memecah kesunyian ruang kerja yang mewah itu. "Selamat pagi, Tuan Kusuma."Rafael Kusuma, yang sedang memandang keluar jendela dari kursi kerjanya yang tinggi, tidak segera menoleh. Suara itu tidak asing, dia selalu terngiang- ngiang dengan suara lembut nan merdu itu. Suara itu adalah milik sekretaris barunya, Karin.Setelah dipersilahkan, tak lama masuklah seorang wanita muda dengan setelan formal yang rapi. Wajahnya masih memancarkan nuansa fresh graduate, namun matanya berusaha tampil percaya diri. "Saya Karin Sanjaya, sekretaris baru Anda," ucapnya memperkenalkan diri sekali lagi, seolah mereka belum pernah bertemu sebelumnya.Barulah kemudian, dengan gerakan lambat dan penuh kendali, kursi Rafael berputar perlahan. Dia kini menghadap langsung kepada Karin. Sorot matanya tajam, mengamati setiap detail dari calon tangan kanannya yang baru."Selamat pagi, Nona Sanjaya," suaranya rendah dan datar.

  • Terperangkap Gairah Paman Tampan   Bab. 11

    Kakek Dodi dengan bangga mengantarkan Rafael ke ruangan yang megah, ruang kerja CEO. Dinding kaca, perabotan kayu mahogany berkilau, dan pemandangan kota yang mempesona dari lantai tertinggi. "Selamat datang, Nak," ucap Kakek Dodi, suaranya hangat penuh kebanggaan. "Mulai sekarang, ini adalah ruanganmu. Kamu bisa mengubahnya sesuai keinginanmu." Rafael hanya mengangguk, matanya menyapu setiap sudut ruangan, seakan ingin menilai dan menganalisis segala sesuatu di dalamnya. "Oh ya, kenalkan ini Bagas," kata Kakek Dodi sambil menunjuk seorang pria muda yang berdiri dengan postur tegap dan raut wajah loyal. "Dia adalah orang kepercayaanku. Dan ia sekarang akan menjadi asistenmu." Bagas segera memberi hormat. "Selamat datang di Perusahaan Kusuma, Tuan." "Terima kasih. Ke depannya, mohon bantuannya," balas Rafael dengan sopan, namun tetap menjaga jarak profesional. "Tentu, Tuan. Saya akan sangat senang bisa membantu Anda," jawab Bagas dengan tulus. Kakek Dodi lalu menurunkan su

  • Terperangkap Gairah Paman Tampan    Bab. 10

    “Apartemen yang bagus," komentar Rafael, matanya menyapu ruang tamu dan sekeliling apartemen Karin."Silahkan duduk dulu, Om. Saya ambilkan minum." Karin hendak menuju ke dapur, namun langkahnya terhenti. "Oh ya, Om Rafael mau minum apa?""Air mineral saja," jawabnya sambil duduk di sofa, memperhatikan dekorasi ruangan yang mencerminkan kepribadian Karin.Tak lama, Karin kembali dengan sebotol air dingin. Rafael meneguknya sedikit, lalu menatap Karin."Aku dengar kamu juga bekerja di Perusahaan Kusuma?""Iya, aku masih jadi pegawai magang di bagian pemasaran."Rafael mengerutkan kening. "Bukankah kamu lulusan S2 Manajemen Bisnis? Kenapa kamu mau ditempatkan jadi karyawan magang di bagian pemasaran? Setidaknya kamu bisa langsung jadi manager di sana.""Aku ingin memulai karirku dari bawah, Om. Aku tidak mau memanfaatkan nama keluargaku untuk mendapatkan posisi yang tinggi," jawab Karin dengan tegas.Merasa percakapan sudah cukup dan waktunya tidak tepat, Karin berdiri. "Ini sudah malam

  • Terperangkap Gairah Paman Tampan   Bab 9

    Ruangan luas di rumah keluarga Kusuma bergetar oleh gemuruh suara dan tawa. Aroma anggur dan parfum mewah membaur di udara, menandai sebuah acara keluarga yang tampak harmonis. Di tengah kerumunan, Kakek Dodi, berdiri dengan tegap. Suasana seketika hening. "Perhatian, semua!" suaranya lantang dan berwibawa. Semua mata tertuju padanya. "Perkenalkan, ini adalah Rafael Kusuma, anak bungsuku yang sejak kecil tinggal di London, tinggal bersama ibunya.”Sorotan lampu seakan berpindah kepada seorang pria tampan dengan balutan jas yang sempurna. Senyumnya hangat namun mengandung sepercik keragu-raguan yang hanya bisa ditangkap oleh mereka yang jeli."Sekarang," lanjut Kakek Dodi dengan bangga, "dia pulang kesini untuk memimpin Perusahaan Kusuma."Gemuruh sambutan dan tepuk tangan riuh menyambut pengumuman itu. Senyum mengembang dari semua tamu. Namun, di balik topeng keramahan itu, tersimpan dua pasang mata yang memancarkan sinisme tajam.Pak Heru, suami kakak Rafael, dan Alex, putra mereka,

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status