Grand ballroom Double Tree by Hilton terlihat sangat megah malam ini.
Desain interiornya begitu mewah, dipenuhi aksen berwarna putih dan emas yang merupakan warna khas milik keluarga Harron. Bahkan bunga-bunga hidup yang menghiasi banyak sudut pun dirangkai dan diberi hiasan dengan warna yang serupa.
Ada seribu orang yang diundang ke acara yang begitu spesial ini dan mereka pun mulai berdatangan. Tidak ada satu orang pun yang tidak berdecak kagum ketika memasuki grand ballroom. Venue yang langsung menyambut begitu mereka memasuki ruangan balllroom, memang benar-benar mengesankan.
Apakah ini sekedar acara ulang tahun atau sebuah acara pernikahan?
Tidak sedikit dari para tamu undangan yang menanyakan hal yang sama. Sebab apabila melihat dari suasana glamor yang ada, maka acara kali ini memang lebih pantas bila digunakan untuk sebuah pernikahan.
Di bagian depan ballroom terdapat seb
"Babe?" Andreas memanggilnya sekali lagi. Namun seolah tidak mendengarkan, Selena tetap saja bergeming. Perempuan itu kini justru tampak terpaku, memandang ke arah dua orang pasangan kekasih yang sekarang berlalu pergi sembari berpelukan. Tunggu. Tunggu dulu. Apakah dia baru saja berpikir bahwa kedua orang tadi adalah sepasang kekasih? "Babe? Hei!" Kali ini Andreas menyentuh pipi Selena, sehingga membuat perempuan itu sedikit terkejut. "Ada apa?" "Ha? Apa?" "Justru aku yang seharusnya bertanya kepadamu, Babe. Ada apa sebenarnya?" "Kenapa kamu bertanya seperti itu? Reas, memangnya aku kenapa?" "Tadi aku sudah memanggilmu beberapa kali, tapi kamu diam saja. Lalu sekarang, kamu malah terlihat seperti orang yang sedang marah." Selena mengerjap mendengarnya. Marah? Apakah dia sedang m
"Lakukan sekarang, Erick.""Baik, Tuan Muda."Saat ini Erick berada di dalam ruang monitor. Dari tempat inilah dia bisa mengawasi sebagian besar area ballroom melalui CCTV, sekaligus mengatur tampilan yang akan muncul pada layar LED yang terdapat di bagian belakang panggung.Beberapa orang yang seharusnya bertugas di ruangan ini sekarang tergeletak di satu sisi, dalam kondisi yang sudah tidak sadarkan diri. Sekedar untuk melumpuhkan tiga orang staf dan dua orang petugas jaga, tentu saja bukan hal yang terlalu sulit bagi lelaki baya itu."Pertunjukannya akan segera dimulai, Tuan Muda," ujarnya disertai senyuman. Menggerakkan kursor dan memilih file yang diinginkan, Erick pun lantas menekan tombol 'play'. "Selamat menikmati."***Sementara itu, Charlotte yang hendak meniup lilin pun merasa sedikit bingung.Tadinya dia sudah menunduk di atas
"Nanti akan ada pengumuman yang istimewa. Sesuatu yang benar-benar spesial dari kami. Benar begitu kan, Ian?"Selena berusaha menahan diri, tapi tidak bisa. Nyatanya, sepasang mata abunya tetap saja mengerling ke arah lelaki itu. Lelaki dengan sepasang mata yang segelap langit malam, yang saat ini terlihat begitu menawan ketika bibirnya membentuk segaris senyuman.Ya, Tuhan. Dia benar-benar harus bersusah payah untuk mengalihkan tatapannya. Saat ini Selena bahkan terpaksa menunduk, agar pandangan mereka tidak lagi bertemu.Namun meski begitu pun, bukan berarti pikirannya bisa bebas begitu saja. Nyatanya, dia masih juga bertanya-tanya.Sebenarnya, apa yang akan mereka umumkan? Hal apa yang terkesan begitu istimewa, sampai-sampai harus diselenggarakan pesta yang semewah ini?Kemudian, pertanyaan lain yang selalu melingkupi benak Selena akhir-akhir ini adalah kedua orang itu memilik
Bukankah tadi mereka hanya berniat untuk bicara?Lalu, beralih soal bukti yang menyatakan bahwa dia benar adalah Aila, bukan Selena.Jadi, kenapa sekarang berakhir menjadi seperti ini?"Kills ...."Selena mendesah. Suara lenguhannya terdengar, silih bergantian dengan erangan dan beragam suara lain yang untuk pertama kalinya memenuhi apartemen Killian yang biasanya begitu sunyi.Menggigit bibir bagian bawahnya, Selena mengangkat tubuhnya ketika Killian sesaat menunduk di bagian dadanya dan sedikit bermain-main di sana. Sementara di bagian bawah, hunjaman demi hunjaman pun dia rasakan."Beri tahukan kepadaku, Queen. Dari mana kamu mendapatkan ini?"Killian bertanya di antara kegiatan mereka. Sementara sebelah tangannya menopang tubuh, sebelahnya lagi meraih liontin kalung dan mengusap batu permata di tengahnya yang kini retak.
Aiden datang dua puluh menit berikutnya.Dengan pakaian yang sepertinya dikenakan secara terburu-buru, rambut acak-acakan, dan wajah yang cemberut sempurna, dia akhirnya sampai di depan pintu apartemen Killian.Hal yang wajar. Sebab, siapa yang tidak akan sebal kalau ditelepon malam-malam dan harus datang pada saat itu juga? Padahal tadi dia sedang enak-enakan menghabiskan waktu bersama Aisa, istrinya.Lalu, sama seperti saat dia mengambil sampel darah dari Liliana, maka kali ini sikap Killian juga sama-sama mengesalkannya. Malah bisa dikata, bahkan berlebih."Jangan memandangnya, Aiden, atau ucapkan selamat tinggal pada penglihatanmu!""Bagaimana bisa aku mengambil sampel kalau tanpa melihatnya, Ian?""Jangan berani-berani menyentuhnya! Kalau kamu masih ingin kedua tanganmu utuh, jangan coba-coba.""Lalu menurutmu, jarum suntik ini bisa
Bahkan sekedar menelan ludah pun, Selena merasa kesulitan. "Re—as!" Sedikit terbata, perempuan itu lantas berseru. "Kenapa? Maksudku— apa yang kamu lakukan di sini?" Lelaki itu tidak menjawab, melainkan hanya memandangnya dan membuat Selena sontak menahan napas. "Kenapa, katamu?" Andreas balas bertanya. Dengan perlahan dia berdiri dari tempatnya duduk, lalu berjalan mendekat. Sementara Selena sendiri secara insting segera melangkah mundur, hingga punggungnya pun membentur pintu. "Kamu tanya kenapa, Babe?" tanya Andreas lagi, kali ini dengan satu tangan menumpu di pintu sehingga dia bisa mengurung Selena. "Setelah semua ini, kamu masih bisa bertanya kenapa?" "Sekarang, beri tahu aku," bisik lelaki itu dengan kepala yang menunduk, sehingga Selena bisa merasakan hembusan napas Andreas di atas kepalanya. "Apa yang harus kulakukan ketika tunanganku ter
"Erick, maaf mengganggumu malam-malam, tapi ada sesuatu yang perlu untuk segera dilakukan." Terdengar sahutan dari ujung panggilan dan Killian pun merasa lega karena lelaki baya itu ternyata masih belum tidur. "Tempatkan beberapa orang untuk mengawasi rumah-" Killian terdiam sesaat, sebelum kemudian kembali bicara. "—Queen. Laporkan apa pun yang terjadi di sana. Semuanya, sampaikan padaku tanpa terkecuali!" Erick tentu saja menyanggupi. Malah sebenarnya, dia pun sudah hendak mengusulkan hal yang sama. Lelaki baya itu bahkan merasa sedikit heran ketika mengetahui bahwa Killian memulangkan Selena malam ini. "Terpaksa. Aku sudah mencoba membujuknya, tapi Queen benar-benar tidak mau. Sebagai gantinya, aku akan menemuinya setiap hari. Jadi, kuharap tidak akan ada masalah," imbuhnya, lagi-lagi merasakan suatu kegelisahan. "Satu lagi." Killian melangkah keluar dari mobil, lalu
"Kenapa—" Killian menelan ludah sekali lagi. "Maksudku ... kenapa Ayah ada di sini?" Claude Agentine tidak segera menjawab dan hanya memandang tajam putra semata wayangnya itu. Sementara itu, Killian justru memilih untuk menunduk dan tidak menantang balik pandangan mata Ayahnya. Sebab, lelaki Rusia itu memiliki mata abu yang sekilas terlihat sama seperti milik Aila. Ditambah lagi, Killian juga bisa melihat kemarahan yang berkobar di sepasang mata abu tersebut. "Aku tidak ingat, kalau ternyata aku memiliki seorang putra yang bodoh," ujar Claude kemudian, menyilangkan tangan di depan dada dan memasang sikap dingin. "Sebenarnya, apa yang ada di dalam kepalamu itu? Apakah benar-benar ada isinya atau hanya kosong melompong?" Kedatangan Ayahnya ke apartemennya secara mendadak seperti ini, sebenarnya sudah cukup membuat Killian terkejut. Sebab, selama ini Claude tidak pernah sekali pun mengunjunginy