“Apa maksudmu?” Isha mengerutkan dahinya, bingung kenapa tiba-tiba Abra berubah pikiran. Tadi suaminya itu mau bekerja keras untuk membayar hutang, kini justru menyuruhnya menerima tawaran Danish.
Abra menarik tangan Isha. Menggenggam erat. “Dengar, empat puluh dua tahun itu lama. Jika bisa dibayar dalam satu atau dua tahun, kenapa harus menunggu waktu lama?” Abra berusaha untuk meyakinkan Isha. Dia merasa jika itu adalah cara yang lebih efektif dibanding harus berpuluh-puluh tahun kerja tanpa dibayar.
“Apa kamu gila? Bagaimana bisa kamu menyuruh istrimu untuk menikah dan melahirkan anak orang lain? Lebih baik aku hidup susah dengan membayar hutang bertahun-tahun dari pada menikah dan melahirkan anak pria lain!” Isha menarik tangannya yang digenggam oleh Abra.
Abra mengembuskan napasnya kasar. Merasa benar-benar pusing ketika istrinya itu tidak mau menerima tawaran Danish. Menurut Abra tawaran Danish itu sangat menguntungkan. Bayangkan saja hutang dua milyarnya bisa lunas hanya dengan Isha menikah dan hamil anak atasannya itu. Belum lagi, Abra tidak perlu susah-susah menghidupi Isha bertahun-tahun.
“Sayang, bayangkan jika kelak aku saja yang bekerja untuk memenuhi kebutuhan kita. Bukan aku tidak mau bertanggung jawab, tetapi pasti akan sangat berat untuk kehidupan kita. Bagaimana dengan anak kita nanti? Pemasukan kita hanya akan didapat dari penghasilan dariku saja. Pasti anak kita akan kekurangan.” Abra mencoba membujuk Isha.
“Tapi, kamu sadar bukan jika aku harus menikah dan melahirkan anaknya?” Isha masih tidak terima dengan penawaran itu. Dia mau punya anak dari orang yang dicintainya, dan orang itu adalah Abra. “Apa kamu rela istrimu menikah dengan pria lain dan melahirkan anak pria lain?” Isha ragu dengan cinta Abra.
“Tentu saja aku tidak rela, tetapi ini adalah jalan satu-satunya. Aku harus merelakan kamu menikah dengan Pak Danish agar kelak kita hidup bahagia. Setelah kamu melahirkan anak Pak Danish, kita akan wujudkan mimpi kita untuk memiliki dua anak yang lucu. Akan bekerja untuk anak-anak kita. Kamu tinggal di rumah menjaga anak-anak kita saja.” Segala bujuk rayu dilancarkan oleh Abra. Hanya Isha yang bisa membebaskannya. Jika sampai Isha menolak, pastinya akan sulit untuknya lepas dari jeruji besi.
Isha benar-benar bingung. Dia tidak tahu harus bagaimana lagi. Bayang-bayang bekerja puluhan tahun begitu sulit untuknya. Namun, menikah dengan pria yang tidak dicintainya, tentu saja bukan harapannya.
“Sayang, kamu mencintai aku ‘kan?” Abra menarik tangan Isha dan menggenggamnya. Meyakinkan istrinya itu.
“Jelas aku mencintaimu.” Isha menjawab dengan pasti.
Isha benar-benar mencintai Abra. Dia dan Abra sudah menikah selama setahun. Setelah lulus kuliah, dia memutuskan untuk menikah dengan Abra. Isha yang sudah tidak punya orang tua merasa Abra adalah tempatnya bersandar. Apalagi mereka sama-sama tidak punya orang tua. Jadi bisa berbagi kesepian.
“Kalau kamu mencintai aku. Tolong bebaskan aku dari penjara. Aku tidak bisa hidup di penjara.” Abra menatap Isha penuh harap. Hanya Isha yang bisa menolongnya.
Isha melihat sorot mata putus asa dari Abra. Hal itu membuatnya benar-benar dilema dengan keputusan apa yang harus diambilnya.
“Apa kamu akan menerima aku kembali setelah aku bercerai dari atasanmu itu?” tanya Isha memastikan.
“Tentu saja aku akan menerimamu lagi. Apalagi kamu sudah berkorban untukku.” Abra kembali meyakinkan Isha.
Isha terus memikirkan hal itu. Dia benar-benar bingung. Dia harus dapat mengeluarkan Abra sebagai bukti cintanya. Sekali pun harus merelakan dirinya sendiri.
“Baiklah, aku mau menikah dengan atasanmu dan melahirkan anaknya.” Akhirnya Isha setuju dengan pernikahan yang ditawarkan oleh Danish.
Abra berbinar ketika mendengar ucapan Isha. Dia tahu Isha adalah wanita polos yang terlalu mencintainya. Jadi selalu menuruti apa yang diinginkannya.
***
Pagi ini Isha pergi ke kantor IZIO. Karena kemarin, dia menerobos masuk ke kantor IZIO, hari ini dia ditahan oleh petugas keamanan saat masuk. Beruntung ada Dino yang kebetulan datang. Jadi Isha bisa lolos dari petugas keamanan.
“Pak Danish belum datang. Jadi kamu tunggu di sini dulu.” Dino meminta Isha untuk menunggu di ruang tunggu di depan ruangan Danish.
“Baik, Pak.” Isha mengangguk.
Dino segera duduk masuk ke ruangannya untuk segera menghubungi Danish. Meminta atasannya itu untuk segera sampai ke kantor. Beberapa saat kemudian, Danish datang.
“Kamu ke sini untuk memberikan jawaban?” Saat datang, Danish langsung memberikan pertanyaan itu.
“Iya, Pak. Saya ke sini untuk memberikan jawaban.” Isha mengangguk.
Danish tersenyum tipis. Tebakannya tidak meleset. Wanita di depannya itu benar-benar datang ke kantornya hari ini.
“Ayo, masuk.” Danish mengayunkan langkahnya ke ruangannya.
Isha segera mengekor di belakang Danish untuk mengikuti Danish ke ruangannya.
“Duduklah.” Saat masuk ke dalam ruangan, Danish mempersilakan Isha untuk duduk.
Perintah Danish itu terdengar tak terbantahkan. Isha langsung menuruti. Dia segera duduk di sofa yang berada di ruangan Danish.
Danish segera mengayunkan langkahnya untuk ke sofa. Ikut duduk bersama dengan Isha di sofa. Duduk tepat di depan Isha sambil menyilangkan kakinya. Bersandar pada punggung sofa yang empuk.
“Jadi apa kamu sudah punya keputusan?” Danish menatap Isha lekat.
“Sudah.” Isha mengangguk pasti.
“Apa keputusanmu?” tanya Danish penasaran.
Isha menarik napasnya dalam. Berusaha untuk mengumpulkan keberaniannya. “Saya mau menikah dan melahirkan anak Anda.” Akhirnya dia mengatakan apa yang menjadi keputusannya.
Danish sudah menebak. Jika Isha akan menerima tawarannya. Lagi pula siapa yang mau kerja tanpa dibayar berpuluh-puluh tahun. Jika ada cara cepat, kenapa tidak?
“Baiklah.” Danish segera mengangkat telepon yang berada meja kecil yang berada di sofa. Menghubungi Dino, sang asisten. “Siapkan surat perjanjian.” Dia memberikan perintah.
“Surat perjanjian?” Isha tampak terkejut mendengar perintah Danish.
Danish segera meletakkan kembali gagang telepon. Kemudian beralih pada Isha. “Apa kamu pikir aku hanya akan meminta tanpa ada perjanjian yang sah secara hukum?” Dia mencibir Isha yang tampak terkejut. Sebagai pebisnis, dia tidak mau sesuatu dilakukan tanpa payung hukum. Tak mau sampai rugi.
Isha hanya bisa menelan salivanya. Entah perjanjian apa yang akan diberikan Danish padanya. Dia begitu penasaran. Berharap perjanjian itu tidak memberatkannya
“Ini surat perjanjian pernikahan kita. Aku akan jelaskan lebih dulu poin-poin di dalamnya.” Danish memberikan berkas berisikan perjanjian dengan Isha.Isha menerima berkas berisi surat perjanjian pernikahan yang diberikan Danish padanya. Namun, dia lebih tertarik untuk mendengarkan lebih dulu apa yang dijelaskan Danish.“Pertama, kamu akan bercerai dengan suamimu sebelum menikah dengan aku.” Danish menjelaskan poin pertama. “Kedua kamu harus melalui serangkaian pemeriksaan rumah sakit untuk memastikan kesehatan.” Danish menjelaskan pada Isha.“Pemeriksaan kesehatan ini untuk apa?” Isha menatap Danish. Baru satu poin dia sudah dibuat pusing.“Memastikan kamu sehat dan tidak terkena penyakit menular. Serta memastikan jika kamu bisa hamil.” Danish merasa harus berhati-hati mengingat bisa saja dia akan tertular penyakit.Pemeriksaan itu seperti tuduhan untuk Isha. Padahal dia sehat-sehat saja. Lagi pula dia hanya berhubungan dengan suaminya saja. Namun, Isha harus bersabar. Di sini dia ha
“Anda akan tinggal di apartemen Pak Danish selama menunggu pernikahan. Anda tidak boleh bertemu dan melakukan apa pun tanpa pengawasan Pak Danish selama masa tunggu pernikahan.” Dino menjelaskan pada Isha ke mana dia akan membawa Isha.‘Belum apa-apa dia sudah memenjarakan aku.’Isha mengembuskan napasnya kasar. Dia merasa Danish benar-benar keterlaluan dan berlebihan. Lagi pula apa yang akan dilakukannya. Tentu saja dia tidak akan melakukan apa pun.“Tapi, aku tidak membawa baju.” Isha tidak membawa apa-apa karena tadi niatnya memanglah hanya untuk melakukan tes kesehatan dan ke butik.“Pak Danish sudah menyiapkan baju untuk Anda di apartemen. Jadi Anda tidak perlu pulang.”Isha tidak habis pikir. Padahal baru kemarin mereka bertemu, tetapi Danish begitu cepat sekali mempersiapkan segala hal. Akhirnya Isha pasrah saja ketika akan dibawa ke apartemen milik Danish.Isha sampai di apartemen. Saat sampai dia dikejutkan dengan apartemen yang cukup besar. Ukurannya berlipat-lipat dari ukur
Danish dan Isha sampai di depan kamar. Danish membuka pintu kamar hotel dengan access card. Saat pintu terbuka, dia melebarkan pintu untuk memberikan ruang pada Isha untuk masuk ke dalam kamar lebih dulu.Segera Isha mengayunkan langkahnya masuk ke kamar pengantin. Jantungnya berdegup kencang ketika sampai di kamar pengantin. Apalagi saat baru masuk aroma semerbak bunga mawar tercium. Isha yakin jika kamar pengantin pasti didekorasi dengan bunga-bunga untuk menyambut pengantin baru. Tentu saja itu membuatnya semakin berdebar-debar.Danish yang berada di belakang Isha menyalakan lampu dengan access card yang dibawanya. Saat lampu menyala, terlihat jelas pemandangan di dalam kamar pengantin. Tempat tidur yang dihiasi bunga mawar berbentuk love tampak indah menyambut mereka. Apalagi ditambah dua angsa yang saling berciuman yang terbuat dari handuk di dalam bunga berbentuk love. Tampak romantis sekali.Isha menatap Danish sejenak ketika pemandangan itu terlihat. Namun, pria itu tampak din
Danish mengangkat cangkir berisi kopi miliknya. Dia masih santai menikmati kopi miliknya. Tidak buru-buru menjawab pertanyaan Isha.Isha gemas sekali dengan Danish yang tidak kunjung menjawabnya. Namun, dia harus bersabar. Tidak mau membuat keributan di tempat umum. Tidak lucu bukan jika pengantin baru sudah ribut.“Kamu yang membuat aku tidak kembali ke kamar.” Dengan enteng Danish menjawab.Dahi Isha berkerut dalam. Dia memikirkan apa salahnya hingga membuat Danish tidak bisa kembali ke kamar.“Aku sudah mengetuk berkali-kali, tetapi kamu tidak membuka pintu kamar. Hingga aku terpaksa membuka satu kamar lagi untuk tidur.”Akhirnya Isha tahu alasan Danish. Isha merasa malu sekali ketika ternyata dirinya yang salah. Jadi yang membuat Danish tidak kembali ke kamar adalah dirinya sendiri. Jadi tidak seharusnya dia marah pada Danish.“Saya lelah, jadi tidak dengar.” Isha malu-malu menjawab.Danish menatap sinis. Benar dugaannya jika Isha tidur. “Cepatlah sarapan. Setelah ini kita pulang.
Danish menarik senyum tipis. Nyaris tidak terlihat. Merasa tergelitik dengan pertanyaan Isha. Merasa lucu dengan pertanyaan yang dilontarkan oleh Isha.“Aku akan ke kamarmu untuk melakukannya. Jadi tenanglah. Sekali pun kita tidak tinggal satu kamar, kita masih bisa melakukannya.” Dia mencoba menjelaskan.Isha akhirnya menemukan jawaban atas pertanyaannya itu.“Apa kamu begitu ingin tidur di kamarku?” tanya Danish menyeringai.“Bukan begitu hanya saja ….” Isha mengantung ucapannya. Memilah kalimat yang pas untuk diberikan pada Danish. Isha seketika pucat ketika mendapat pertanyaan itu. Bukan itu yang diinginkan Isha. Dia hanya ingin segera memiliki anak. Jadi dia pikir jika tidur bersama akan membuatnya sering melakukan hubungan intim dengan Danish.Melihat wajah pucat dari Isha, membuat Danish ingin tertawa. Danish senang mengerjai Isha. Karena wajahnya selalu panik ketika dirinya bicara.“Aku akan pergi dulu. Ada urusan. Aku akan pulang sebelum malam.” Sayangnya, Danish tidak punya
Dino begitu terkejut ketika mendengar ucapan Isha. Tidak menyangka jika istri atasannya itu meminta hal itu.“Tapi, Pak Danish di luar kota, Bu.”“Iya, aku tahu. Makanya aku mau menyusulnya.” Suara Isha yang kekeh ingin pergi terdengar dari sambungan telepon. Terdengar keinginan Isha sudah bulat.“Saya hubungi Pak Danish dulu. Jika Pak Danish mengizinkan saya akan atur keberangkatan Bu Isha.”“Baiklah.” Dino segera mematikan sambungan telepon dengan Isha. Kemudian mencari kontak Danish di ponselnya. Dia haru menghubungi Danish lebih dulu untuk mengkonfirmasi. Sayangnya, teleponnya tidak kunjung diangkat oleh Danish. Dino yakin Danish sedang sibuk dengan pembukaan toko.“Kenapa?” Dina, istri Dino bertanya ketika melihat suaminya sedikit panik.“Istri Danish mau menyusul Danish.” Dino memberitahu istrinya.“Lalu apa masalahnya?”“Danish tidak mengangkat teleponku. Aku harus tanya dulu, apakah boleh istrinya menyusul.” Dino terus berusaha menghubungi Danish.“Wanita itu istrinya. Biarka
“Pak-Pak. Tolong jelaskan siapa saya.” Isha langsung berusaha untuk meminta tolong pada karyawan yang menjemputnya itu. Petugas keamanan yang begitu galak membuat otaknya seketika tidak bisa berpikir untuk menjelaskan siapa dirinya.“Iya, saya mengenal wanita ini.” Karyawan IZIO itu pun langsung menjawab pertanyaan petugas keamanan.“Siapa dia? Kenapa bisa berada di ruangan karyawan?” Petugas keamanan menatap karyawan tersebut.“Beliau istri Pak Danish.” Karyawan IZIO itu memberitahu.Petugas keamanan langsung terkejut ketika mengetahui siapa wanita yang hendak dibawanya ke ruang keamanan itu. Dengan segera dia menyingkirkan tangannya yang berada di lengan Isha.“Kamu yakin?” Petugas keamanan masih memastikan lagi.“Iya, saya yakin. Karena saya sendiri yang menjemput ke bandara.”Mendengar penjelasan itu membuat petugas keamanan begitu takut sekali. Dia tidak menyangka jika yang hendak ditariknya ke kantor keamanan adalah istri CEO IZIO Grup. “Maafkan saya, Bu. Maafkan saya. Saya bena
Isha menikmati lagu yang sedang ditunjukkan anak kecil di sebelahnya. Karena mendengarkan dengan airphone, suara lagu tersebut terdengar begitu nikmat sekali.“Wah … suara kamu bagus sekali.” Isha melepaskan airphone dan memberikan pada anak kecil.“Aku mau audisi. Jadi aku sedang banyak belajar.” Dengan percaya diri anak kecil itu bercerita.“Semoga kamu menang.” Isha membelai lembut rambut anak kecil itu.Di saat Isha sedang menikmati waktu bersama seorang anak kecil yang ditemui di kursi tunggu, Danish sedang sibuk mencari Isha. Danish mencari di setiap sudut toko sampai ke depan toko.Beruntung akhirnya dia mendapatkan Isha di kursi ruang tunggu. Tampak dia bersama anak kecil, tetapi anak kecil itu segera pergi. Meninggalkan Isha sendiri.Danish yang gemas dengan sang istri segera menghampiri. Dia langsung menarik tangan Isha. Membuat wanita itu cukup terkejut.“Pak Danish.” Isha mengulas senyum ketika akhirnya melihat Danish di depannya.“Apa kamu tidak dengar jika ada panggilan