Isha membulatkan matanya ketika mendengar apa yang ditawarkan atasan suaminya itu. Bagaimana bisa dia mendapat tawaran itu padahal dia sudah menikah. Niatnya datang ke sini adalah untuk meminta Danish membebaskan suaminya. Bukan untuk menerima tawaran konyol itu.
“Apa Anda lupa jika saya ini istri manajer keuangan? Bagaimana bisa Anda meminta saya untuk menikah, padahal saya sudah menikah?” Isha masih tidak habis pikir dengan apa yang diinginkan Danish.
“Ini bisnis. Tidak ada orang mau rugi saat berbisnis. Suamimu sudah menghabiskan banyak uang perusahaan dan artinya aku sudah rugi. Jadi aku ingin ganti yang setimpal. Tidak peduli kamu sudah menikah atau belum.” Danish tersenyum menyeringai.
Isha benar-benar merasa Danish begitu kejam sekali. Ganti rugi yang diminta Danish benar-benar adalah hal yang sulit baginya.
“Jika kamu tidak mau tidak masalah. Jadi aku akan membawa kasus ini ke pengadilan dan setelah itu suamimu akan di penjara dan selama seumur hidup kalian harus membayar hutang dua milyar itu.”
Isha tidak bisa bayangkan suaminya akan dipenjara dalam jangka waktu lama. Belum lagi seumur hidup mereka akan membayar hutang.
Danish melihat jelas jika wanita di depannya sedang berpikir keras. Dia menebak jika wanita itu sedang kebingungan.
“Aku berikan waktu kamu sehari untuk memikirkannya. Kembalilah besok ke sini untuk memberikan jawabanmu.” Danish merasa harus memberikan ruang agar wanita itu dapat menentukan pilihannya.
Mendapatkan kesempatan untuk berpikir tentu saja adalah hal berharga bagi Isha. “Baiklah, saya akan kembali lagi besok.” Isha mengangguk.
“Silakan pergi kalau begitu.” Danish segera mengusir Isha.
Mendapati perintah Danish, Isha segera keluar dari ruangan Danish. Danish puas sekali ketika memberikan tawaran tadi.
Dino yang melihat Isha keluar, segera masuk. “Apa yang kamu bicarakan? Apa kamu akan membebaskan manajer keuangan itu?” tanyanya. Dino adalah asisten sekaligus teman Danish. Jadi dia berani bertanya langsung pada atasannya itu.
“Aku memberikan tawaran untuk menikah dan melahirkan anak.” Danish dengan entengnya menjawab. Dia segera duduk di kursinya
“Apa? Kenapa kamu memintanya untuk menikah dan melahirkan anakmu?”
“Apalagi jika bukan karena keinginan papi. Papi ingin aku segera menikah lagi dan punya anak. Jadi tidak salah aku menikahinya agar aku segera punya anak.” Danish mengingat jika beberapa waktu papinya memintanya menikah lagi. Mengingat belum ada keturunan Fabrizio darinya. Sebagai anak laki-laki satu-satunya dari keluarga Fabrizio, tentu saja dia harus bisa memberikan keturunan.
“Lalu, kenapa harus istri orang?” Dino tidak habis pikir dengan temannya.
“Bisnis di mana-mana tidak ada yang mau rugi. Aku tidak mau kehilangan dua milyarku begitu saja. Aku tidak peduli dia istri orang atau bukan.” Danish menyeringai. Menurutnya itu adalah bayaran yang sebanding untuk mengembalikan uang dua milyar yang diambil oleh manajer keuangan.
“Lalu bagaimana suaminya? Lalu apa kamu akan menikahinya secara hukum?” Dino melemparkan pertanyaan bertubi-tubi pada Danish.
“Jika dia mau, aku akan urus perceraiannya. Kemudian aku akan menikahinya secara hukum. Aku tidak mau anakku lahir di luar pernikahan.” Bagi Danish mudah saja melakukan semua itu.
“Lalu, setelah dia melahirkan anakmu, apa kamu akan melepaskannya?” tanya Dino masih begitu penasaran.
“Aku hanya butuh anak. Dia butuh suaminya keluar dari penjara. Jadi aku rasa itu impas. Aku akan melepaskannya untuk kembali pada suaminya setelah melahirkan anak untukku.”
Dino masih tidak habis pikir dengan pikiran Danish. Atasan sekaligus temannya itu sepertinya akan mempersulit hidupnya dengan pernikahan dengan istri orang. Ini seperti merebut istri orang secara terang-terangan.
“Apa kamu yakin dia akan menerima tawaranmu?” Dino menatap Danish. Biasanya feeling Danish soal bisnis selalu tepat. Jika Danish bilang ini adalah bisnis, paling tidak Danish bisa menebak keputusan apa yang akan dibuat oleh Isha.
“Tidak.” Danish menggeleng seraya tertawa. “Tapi, aku yakin suaminya akan membujuk wanita itu untuk menerima tawaranku.” Dia menyeringai.
Sifat manajer keuangan yang berani mencuri uang perusahaan sudah menunjukkan seperti apa pria itu. Jadi dia yakin pria itu akan meminta Isha menerima tawarannya. Danish tidak perlu susah payah mendesak gadis itu untuk menikah dengannya. Karena dia yakin, gadis itu akan datang padanya dengan sendiri.
“Kita lihat apakah gadis itu datang atau tidak.” Dino juga penasaran dengan keputusan apa yang akan diambil oleh Isha.
Di tempat lain, Isha yang baru saja keluar dari kantor IZIO, segera pergi ke penjara. Dia ingin memberitahu apa hasil dari negosiasi yang baru saja dilakukannya itu. Walaupun sebenarnya dia masih bingung dengan apa yang diminta oleh atasan suaminya itu. Rasanya, dia sulit untuk menerima tawaran yang diberikan oleh Danish.
“Bagaimana hasilnya?” Abra langsung melemparkan pertanyaan itu ketika melihat istrinya datang ke penjara.
Abra sengaja meminta Isha datang ke kantor untuk meminta atasannya itu membebaskannya. Wajah Isha yang cantik menjadi alasannya untuk meminta Isha datang ke kantor. Dia yakin sekali dengan melihat Isha, atasannya akan membebaskan.
“Apa kamu mengatakan seperti yang aku minta?” Abra kembali melemparkan pertanyaan sebelum Isha menjawab.
“Dasar gila!” Isha langsung memukul Abra. Dia kesal sekali mengingat jika suaminya mengambil uang dua milyar dari perusahaan.
“Ach ….” Abra hanya bisa mengaduh ketika dipukul. “Kenapa kamu memukulku?” Dengan polosnya dia bertanya.
“Bagaimana bisa kamu mengambil uang dua milyar? Uang itu banyak sekali? Kamu gunakan untuk apa uang sebanyak itu.” Isha tidak habis pikir suaminya bisa mengambil uang sebanyak itu.
Abra harus pasrah ketika Isha tahu berapa banyak uang yang diambilnya. Dia yakin pasti Isha tahu dari Danish.
“Kamu tahu bukan, jika aku ingin seperti teman-temanku. Punya mobil. Bisa belanja barang-barang mewah. Dua milyar itu tidak sekaligus habis dalam satu waktu. Aku mengambilnya beberapa kali.” Abra mencoba menjelaskan pada istrinya itu.
Isha benar-benar kesal mendengar alasan dari Abra. Demi hidup mewah, suaminya itu nekad untuk mengambil uang perusahaan.
“Dua milyar itu besar. Jika pun aku harus bekerja di IZIO, aku tidak akan bisa melunasi dengan cepat. Jika aku kerja di sana dengan gaji empat juta per bulan, aku harus bekerja selama empat puluh dua tahun. Bagaimana bisa aku bekerja selama itu tanpa memperoleh gaji?” Isha meluapkan kekesalannya itu. Wanita itu benar-benar suaminya menempatkannya di situasi yang sulit.
Abra hanya terdiam ketika Isha meluapkan kekesalannya. Dia tahu pastinya akan sulit untuk membayar uang yang diambilnya. Apalagi itu bukan uang sedikit.
“Sayang, tidak masalah jika kamu bekerja di IZIO tanpa dibayar selama itu. Setelah keluar dari penjara, aku akan mencari pekerjaan. Aku akan memenuhi kebutuhan kita.” Abra berusaha membujuk istrinya itu. Yang terpenting sekarang adalah dia bisa keluar dari penjara.
Isha benar-benar ragu. Bekerja selama itu tanpa digaji pastinya adalah pilihan sulit. Apalagi jika kelak dia punya anak. Namun, itu lebih baik dibanding menikah dengan Danish.
“Baiklah, aku akan bekerja di IZIO selama itu asalkan bisa bersamamu, bukan bersama dengan atasanmu itu.” Isha akhirnya mengambil keputusan bagaimana cara agar dapat membayar hutang suaminya itu.
“Bersama atasanku?” Abra mencerna ucapan Isha. Dia tidak mengerti kenapa tiba-tiba Isha membahas menikah dengan bosnya.
“Iya, tadi atasanmu itu menawari aku untuk membayar hutangmu lebih cepat dengan cara menikah dengannya dan melahirkan anak untuknya. Dia bilang aku hanya butuh satu atau dua tahun untuk bisa membayar hutangmu itu.” Isha menceritakan hal konyol yang ditawarkan oleh Danish padanya.
Abra benar-benar terkejut ketika mendengar tawaran atasannya untuk Isha. Memang tidak sia-sia dia mengirim Isha yang cantik ke kantor. Karena pastinya, atasannya itu akan tertarik pada Isha.
“Kalau begitu terima saja tawaran itu.”
Tanpa terasa Dario sudah sebelas bulan. Dia susah mulai berdiri-diri. Berpegangan beberapa barang yang ada di sekitarnya. Pagi ini, dia bermain dengan sang mami dan papinya di taman belakang. “Minggu depan pembukaan toko. Apa yang harus aku persiapkan?” Pembangunan toko milik Isha, akhirnya selesai juga. Walaupun sedikit meleset dari perkiraan, tapi tidak banyak kendala yang terjadi. “Tidak perlu menyiapkan apa-apa. Siapkan dirimu saja. Aku sudah siapkan semua.” Danish selalu ingin yang terbaik untuk istrinya. “Terima kasih.” Isha merasa sangat beruntung sekali karena sang suami selalu mempermudah semuanya. Danish memegangi Dario yang sedang berdiri. Karena senangnya berdiri-diri, anaknya itu memang selalu meminta untuk berdiri. Saat sedang berpegangan pada sang papi, tiba-tiba Dario melepaskan tagannya yang berpegang pads sang papi. Danish dan Isha tampak terkejut ketika melihat hal itu. “Rio ....” Isha memanggil anaknya itu. Dario yang dipanggil pun segera mengayunkan langkah
“Aaaccchhh ....”Suara indah yang keluar dari mulutnya keduanya menandakan jika pelepasan sempurna didapat oleh keduanya.Tubuh Danish seketika lemas dan terjatuh di atas tubuh sang istri. Mengatur napas yang terengah-engah.Isha pun merasakan hal yang sama. Tubuhnya lelah dan butuh waktu untuk beristirahat. Mengatur napasnya yang seperti baru saja lari kiloan meter.Butuh waktu beberapa saat untuk mengembalikan tenaganya. Hingga akhirnya, membersihkan diri.****Isha dan Danish memutuskan pulang saat sore hari. Seharian mereka memanfaatkan waktu untuk mencari kenikmatan. Melepaskan hasrat yang terpendam beberapa bulan.“Aku malu sekali mau pulang.” Tiba-tiba saja Isha merasakan hal itu.“Bersikaplah tenang. Nanti mereka akan curiga jika kamu bersikap seperti itu.”Isha bersikap tenang seperti yang suaminya katakan. Dia tidak mau membuat kakak iparnya curiga.Mereka sampai di rumah. Tampak mobil Liam-suami Loveta sudah di depan rumah. Isha dan Danish berusaha untuk tenang seperti tida
Pagi-pagi Loveta sudah sampai di rumah Danish. Semalam, dia dikabari oleh adiknya itu untuk membantu menjaga Dario. “Kak Loveta.” Isha menyapa kakak iparnya itu. “Mana Iyoo?” Loveta senang sekali karena akhirnya diminta jaga keponakannya. “Baru saja tidur, Kak.” Isha segera mempersilakan kakak iparnya untuk masuk ke rumah. Menyajikan teh sambil menunggu Danish bersiap. Beberapa saat kemudian, Danish keluar dari kamarnya. Kemudian menghampiri sang istri. “Kak Lolo sudah datang, kalau begitu ayo pergi.” Danish menatap istrinya. Isha masih diam. Dia masih tidak enak sekali dengan kakak iparnya karena harus menjaga sang anak. “Sudah, kalian pergi saja. Serahkan anak kalian padaku.” Loveta berusaha untuk meyakinkan adik iparnya. Saat mendapati ucapan itu, Isha segera bersiap untuk meraih tasnya yang berada di sofa ruang keluarga. “Titip Rio yang, Kak.” Sebelum berangkat dia menitipkan lagi anaknya. “Iya.” Loveta mengangguk. Isha dan Danish segera pergi. Danish mengendarai mobiln
Levon dan Luel semakin nyaman menjalani hubungan setelah mendapatkan restu. Perjalanan masih panjang untuk hubungan mereka ke jenjang serius. Mereka lebih memilih untuk menikmati hubungan. Apalagi mereka harus fokus pada kuliah mereka.Isha semakin nyaman menikmati perannya sebagai ibu rumah tangga. Anaknya semakin gembul sekali. Apalagi sang anak minum ASI.Kehadiran Dario membuat rumah menjadi ramai. Keluarga sering datang ke rumah untuk bertemu Dario. Mulai Nessia, Loveta, atau pun Mami Neta.Seperti hari ini, Loveta datang untuk berkunjung. Dia terus bermain dengan Dario.“Iyoo ... Iyooo ....” Loveta memanggil keponakannya itu.“Mi, namanya Dario, kenapa dipanggil Iyoo?” Ve melemparkan protesnya.“Susah jika dipanggil Dario. Seperti namamu saja. Singkat. Hanya ‘Ve’.” Loveta menjelaskan pada sang anak.Ve hanya bisa menggeleng heran. Ternyata itulah yang membuat sang mami memanggilnya singkat. Agar lebih mudah.Isha yang mendengar perdebatan itu hanya tersenyum saja.“Kak Loveta su
Mendapati pertanyaan sang anak, Dona terdiam sejenak. Memandang Luel.Luel yang melihat mama Levon menunggu jawaban dari wanita itu. Penasaran apa jawaban yang akan diberikan.“Iya, Mama tidak marah.” Dona langsung membenarkan apa yang diucapkan oleh Levon.Luel merasa lega sekali mendengar hal itu. Rasanya ketakutan yang dirasakannya menguap.Tok ... tok ....Suara ketukan pintu terdengar. Luel, Levon, dan Dona mengalihkan pandangan merek. Dilihatnya Isha yang mengetuk pintu.“Minumannya aku taruh di meja. Silakan diminum.” Isha melebarkan pintu untuk memberitahu di mana ditaruh minumannya.“Terima kasih, Aunty.” Levon mengangguk.“Mama akan ke sana.” Dona menepuk bahu Levon. Kemudian mengayunkan langkahnya keluar.Levon memilih untuk tetap tinggal di kamar Luel. Menemani Luel.Dona segera keluar untuk menikmati teh yang dibuat oleh Isha. Menghargai Isha yang membuatkan minuman.Melihat Dona yang keluar dan Levon yang tetap tinggal di kamar, membuat Isha memutuskan untuk menemani Don
“Makanlah dulu.” Isha memberikan semangkuk bubur pada Luel.“Terima kasih, Aunty.” Luel segera menerima mangkuk yang diberikan. Dengan perlahan dia memakan bubur yang dibuatkan oleh aunty-nya.Isha tidak tega melihat Luel yang sakit. Padahal kemarin dia sudah mengingatkan Luel untuk makan.“Apa tidak apa-apa jika tidak mengabari mami dan papimu?” Isha memastikan pada Luel.“Iya, Aunty. Tidak perlu. Lagi pula aku sudah lebih baik.” Luel menolak tawaran sang aunty. Takut justru membuat orang tuanya khawatir atau bahkan menyalahkan paman dan bibinya.“Baiklah kalau begitu.” Isha tidak mau memaksa jika Luel tidak mau. “Kalau begitu kamu habiskan buburnya. Setelah itu kamu minum obat.”Luel segera memakan bubur yang diberikan oleh Isha. Tak lupa memakan obat dari dokter.“Istirahatlah lagi kalau begitu.” Isha segera meraih kembali mangkuk bubur yang kini sudah kosong.Isha meninggalkan Luel di kamarnya. Memberikan waktu untuk Luel beristirahat. Dia segera turun ke lantai bawah. Menyusul sa