Pagi harinya, Dante memanggil Binar untuk ke ruang kerjanya dan mendapati seorang wanita tinggi tegap berambut pendek sebahu berdiri layaknya prajurit di depan meja kerja Dante. Binar tak menanyakan apapun, ia hanya berjalan tenang menghampiri Dante. "Ada apa?" ia tak bisa mengendalikan rasa penasarannya. Dante menarik lembut tangan Binar untuk mengelusnya. "Dia adalah Sera. Agen wanita terbaik yang kumiliki. Sekarang dia akan menjadi asisten pribadimu."Raut terkejut tercetak jelas di wajah Binar. Kenapa Dante tiba-tiba memberikan seseorang di sampingnya? "Pengawal?"Dante tersenyum tipis. "Semacam itu. Dia akan membimbingmu untuk mempelajari duniaku perlahan-lahan."Binar semakin syok saat Dante dengan mudah memberinya akses masuk setelah lama dikurung tanpa bisa melihat atau mendengar dunia luar. "Kau serius?" tanya Binar memastikan. "Tentu saja. Surat ancaman semalam menjelaskan kalau penghianat keparat itu mengincarmu. Aku tak boleh lengah dan membiarkanmu terluka lagi," jel
Binar berdiri diam di ambang pintu kaca, memandangi taman kecil di halaman belakang DAnte yang luas-hasil karyanya sendiri. Lama, Binar tampak merenungkan sesuatu. Ia merapatkan sweaternya saat angin dingin mulai terasa di kulitnya. Dante menutup laptopnya, mendapati Binar hanyut dalam lamunan. Pria mempesona itu bangkit, menggulung kemeja hitamnya hingga siku, memperlihatkan urat-urat menonjol di lengannya yang terkena cahaya lampu. “Sudah malam,” kata Dante akhirnya. Binar menoleh pelan, “Aku suka melihatnya.” Dante sedikit mendengus. Ia bangkit dan mendekati Binar, meligkarkan tangan besarnya di pinggang Binar yang mungil. Menyalurkan hangat tubuhnya pada wanita keras kepala yang sayangnya ia cintai. "Jangan di luar terlalu lama," ucap Dante tepat di lekuk leher Binar dengan suara rendah. “Kau mudah masuk angin.” “Dante ...,” bisik Binar, jari-jarinya menyentuh lengan suaminya. “Kau ... tak marah lagi?” tanyanya ragu. Dante membuang pandangannya sebentar, “Tidak lagi.” Tan
Binar terbangun dan menemukan kalau ia tengah sendirian. Ruangan itu terlalu sunyi, padahal semalam begitu berisik diisi oleh jeritan saat mereka bercumbu. Kasur di sebelahnya dingin, menandakan Dante telah pergi lama. Jemari Binar meraba pelan dan menatap bantal Dante kosong. Binar akhirnya menarik nafas panjang. Tubuhnya masih terasa berat akibat sisa semalam. Dante benar-benar tak menahan diri. Saat Binar menggulingkan badan, ia menemukan secarik kertas yang dilipat rapi tergeletak di atas nakas, beserta muffin dan termos kecil berisi coklat panas. "Ada urusan. Aku akan pulang sebelum senja. —D" Kalimatnya masih terdengar seperti perintah, tapi kali ini ... ada jeda. Ada janji di sana. Senyum Binar terbit begitu saja. Ia tahu betapa keras usaha Dante untuk menahan sisi gelapnya akhir-akhir ini. Bahkan, melihat tulisan "Aku akan pulang" saja membuat dadanya berdebar. Ia menatap ke luar jendela, mendapati sinar matahari yang meninggi. “Pulanglah. Aku di sini ... menunggumu,"
Pernyataan Dante membuatnya gemetar sesaat, tapi ia bisa menguasai dirinya dengan baik setelahnya.Dante benar. Dia sudah hidup lama dengan identitas 'Binar Jelita'. Meskipun kini ingatannya kembali, itu tak merubah apapun kecuali rasa sakit akibat trauma yang tercipta. Binar bergerak memeluk Dante, menyandarkan dagunya di bahu keras yang kini menjadi penopangnya. "Kau benar, Dante. Aku adalah Binar Jelita ... bukan Binar Veyra."Dante tak bereaksi lebih, tapi ia membalas pelukannya dengan erat. Ingin menunjukkan pada dunia kalau Binar adalah miliknya. Sejak dulu ... dan seterusnya. Binar mencoba mengenyahkan bayangan menyakitkan yang ia alami dulu. Ruangan putih yang dingin, jarum menusuk tubuhnya di beberapa titik, dan wajah dingin pria tua yang kini ia tahu sebagai kakek Dante. Seseorang yang mengklaim Binar tak layak menyimpan memori masa lalu untuk menghindari hal-hal merepotkan nantinya. "Aku ingat semuanya," ucap Binar lirih, ia semakin mengeratkan pelukannya pada Dante.
Asap dan bara api adalah hal pertama yang menyambut kedatangan Binar dan Matthias. Binar hampir saja lepas kendali sebelum tangan besar Matthias menggandengnya erat. "Jangan gegabah," peringat Matthias tegas. Pria itu hanya khawatir dengan keselamatan Binar. Akhirnya, Binar mengikuti langkah Matthias dalam diam, menyelinap di antara pecahan kaca dan puing bangunan. Dari sini, Binar dapat melihat Dante berdiri tegak, meski kemejanya telah terbuka memperlihatkan dadanya yang bidang. Sorot mata Dante nampak berbahaya ditambah darah yang menghiasi tiap sudut tubuhnya. Menandakan betapa brutalnya pertarungan keduanya. "Dante ...," lirih Binar ketakutan. Vincent meski tampilannya lebih buruk dari Dante, dia terus terbahak di setiap pukulan yang Dante layangkan padanya. Seolah menikmati rasa sakit. Kemudian, suasana tambah kacau saat terdengar tembakan dari belakang, tempat Vincent berdiri. Seorang pria paruh baya mendekat ke arah Vincent, diikuti pria tinggi kekar dibalut tux
Binar menatap lantai kamar dengan rasa sesak yang tiba-tiba menghimpit dadanya. Di lantai itu, kedua orang tuanya terbaring. Di genangan Darah sementara Binar menyaksikan semuanya dari balik lemari. Kini, Binar terpekur menatap noda bekas darah yang masih terlihat di sana. Dan suara kejadian itu menggema di telinganya. “Aku ingat mereka bilang … kalian lalai.” "Kalian gagal melindungi pewaris." Air mata Binar jatuh semakin deras seiring ingatan yang membanjiri kepalanya. "Tapi... haruskah kalian dihukum? Dan meninggalkan aku sendirian?" Binar menggigit bibir. Teringat akan mimpi-mimpi panjang yang ia lewati tiap malam. Melihat noda darah di lantai itu kembali, hatinya terasa remuk. Memang sudah pudar ... tapi Binar masih ingat jelas memorinya. Bekas tubuh Ayah dan ibunya yang berada di genangan merah. Dan di sudut kamar, ada lemari kecil yang berdiri kokoh. Lemari tempat Binar sembunyi malam itu. Tempat ia memeluk lututnya yang gemetar dan menutup mulut agar tak menangi
Telinga Binar terasa berdenging, tak mampu mencerna apapun. Ia melihat bayangan kabur dua sosok pria yang berdiri tegap dengan aura permusuhan yang pekat. Namun begitu, Binar berusaha bangkit meski nafasnya berat dan tubuhnya terasa sakit tiap tarikan nafasnya. Lalu, suara langkah kaki terdengar mendekat. Tegas. Ringan. Cepat dan tak ragu. Binar menoleh perlahan dan mencelos saat melihat sosok yang kini terlihat berbeda di matanya sejak ingatannya kembali. Matthias. Pria itu muncul dari balik reruntuhan kaca yang berserakan. Mengenakan pakaian serba hitam memimpin beberapa orang untuk membantu Dante. Matthias menghentikan langkahnya tepat dua meter di depan Binar. Tak berani mendekat. Namun, matanya tetap menuju ke arah Binar seolah memastikan apakah ia baik-baik saja. Namun, sebelum Binar sempat bicara... tatapan kelam itu bergeser ke arah Dante yang makin mengeluarkan aura gelap. Dante mengabaikan darah yang mengalir di pelipisnya, menggenggam erat kedua pistol di tan
"Veyra?" Saat mendengar nama itu, dada Binar seolah terhimpit batu besar. Familiar, tapi terasa asing. Bibir Vincent menyeringai. "Kau ingat? Binar ... Veyra?" Binar menegang. Matanya membulat dengan napas tercekat. Ia mendengar suara jeritan nyaring yang kian menggema di kepalanya. “Tidak ... aku bukan ... siapa Veyra ...?” bisik Binar pelan, nyaris seperti anak kecil yang tersesat. Namun pikirannya meledak. Sebuah bayangan bak kaset film yang diputar cepat menghantamnya. Seperti seberkas cahaya merah yang tiba-tiba melintas di benaknya. Sebuah laboratorium. Cermin-cermin. Suara seorang pria yang ia pangggil 'ayah' dan wanita muda yang ia panggil 'ibu'. Lalu... tangan kecilnya yang berlumuran darah. memegang erat boneka beruang, menangis terisak mengintip kedua tubuh mereka terbujur kaku di tengah genangan cairan merah. Tak bernyawa. Akhirnya, meledak! Tubuh Binar limbung. Ia mencengkeram kepalanya, merasakan nyeri yang amat sangat. Kemudian ... matanya mengabur.
Sementara itu, di aula utama ... Dante berdiri di tengah kehancuran. Pecahan vas berserakan. Darah menetes dari bibir dan pelipisnya, tapi senyum dingin mengunci wajahnya. Saat Dante mengangkat kepala, ia menatap Vincent tanpa gentar. "Ini rumahku, Vincent," gumam Dante, suaranya berat. "Dan kau baru saja menandatangani surat kematianmu." Vincent terkekeh pendek. "Aku belum selesai." "Tidak," sahut Dante pelan, langkahnya maju satu-satu. "Yang selesai di sini adalah kau." Dalam sekejap, dua bayangan bertabrakan. Pertarungan tanpa belas kasihan dimulai. Bukan sekadar perkelahian. Ini pertarungan dua monster yang saling menghancurkan. Di kejauhan, suara Binar terputus-putus dalam pikirannya. Meskipun dalam keadaan linglung, ia tetap memaksakan langkah untuk terus berlari. Ia merasa dejavu. banyak darah, suara ledakan, membayangi setiap langkahnya. Binar jatuh tertelungkup, kepalanya nyeri hebat. "Apa itu tadi?" Ingatannya tumpang tindih dengan realita. Binar hanya mampu