Share

4. Tidak Diakui

Sudah dua hari Abdi dirawat di Rumah Sakit, hanya ada beberapa kemajuan mengenai kondisinya pasca operasi kepala. Dokter pun hanya meminta  keluarga supaya sabar dan berdoa, meskipun operasinya berjalan lancar tetap saja keputusan ada di tangan Tuhan.

Pagi ini rumah sakit tempat Abdi di rawat mendadak heboh, lelaki itu yang sudah tertidur selama dua hari akhirnya membuka matannya. Rasa bahagia tentu terlihat sekali di raut Almira dan nyonya Subagiyo, di mana mereka sudah menunggu selama dua hari ini.

“Bagaimana kondisinya, Dok?” tanya nyonya Subagiyo tidak sabaran.

“Iya, Dok. Bagaimana suami saya?” kini berganti Almira yang bertanya.

Saat nyonya Subagiyo mendengar kalimat suami mendadak wajahnya berubah masam, lirikan tajam sempat dilayangkan ke arah sang mantu.

“Alhamdulillah, Tuan Abdi sekarang sudah siuman. Hanya....” kalimat menggantung dari sang dokter membuat nyonya Subagiyo dan Almira mulai khawatir. Ditambah raut wajah dokter itu pun berubah sendu.

“Kenapa dengan anak saya, Dok?!” nyonya Subagiyo bertanya dengan nada tajam. “Apa yang terjadi?”

Sementara di tempatnya Almira masih dengan tatapan nanarnya, bingung dan takut meskipun rasa cemasnya juga sama besarnya dengan nyonya Subagiyo.

Si dokter tadi menarik napas panjang sebelum melanjutkan kalimatnya, “Begini Nyonya dan Nona, saya harus menyampaikan kemungkinan buruk yang mungkin dialami Tuan Abdi. Mengingat selama dua hari ini  beliau tidak sadarkan diri.”

Almira tak terasa menggigit bibir bawahnya, pikirannya mendadak kacau balau dan linglung.

“Maksud, Dokter?” tanya nyonya Subagiyo sudah tidak sebaran sejak tadi.

“Hmm, besar kemungkinan ingatan Tuan Abdi menghilang. Saya juga tidak bisa memastikan berapa persen kehilangan memorinya, kita berdoa saja yang terbaik,” ujar si dokter lalu pergi karena harus ke pasien lain.

Nyonya Subagiyo mulai lunglai setelah mendengar kesimpulan dokter, yang ditakutkan sebagai ibu adalah putranya tidak mengenali dirinya. Tanpa pikir panjang nyonya Subagiyo berlari ke ruang rawat putranya yang disusul Almira.

Abdi berbaring lemas di atas kasur bangsal rumah sakit dengan selang infus di lengan, ada perban yang membalut di kepala.

Almira yang biasanya bisa menatap dari luar kamar akhirnya bisa melihat Abdi dari dekat, raut wajah gadis itu terlihat sendu dan sedih. Bagaimana tidak orang yang paling dicintainya harus terbaring lemah hanya karena menyelamatkannya.

Setelah cukup berdiri lama barulah Almira memberanikan diri untuk mendekat, tapi tangan nyonya Subagiyo langsung direntangkan tidak memberi kesempatan Almira ke sana.

“Mama,” ujar Almira lirih masih belum percaya jika mertuanya sendiri melakukan ini.

Memang sebelumnya Almira memaklumi kalau mertuanya butuh waktu untuk menerimanya, tetapi pagi ini perlakukannya sudah di luar batas. Bagaimana bisa Almira dijauhkan oleh suaminya sendiri, dengan pandangan nanar dan sedih Almira masih berdiri di tempat.

“Ingat tempat mu dan batasanmu, semua karena ulahmu paham.” Nyonya Subagiyo akhirnya berjalan maju mendekati kasur Abdi dan membiarkan Almira tetap di tempatnya.

Setelah dekat di tempat pembaringan Abdi, tangan kanan nyonya Subagiyo terulur satu untuk mengelusnya. Hati ibu mana yang tidak sakit ketika sang putra paling dicintainya harus koma selama dua hari, itu pun kalau nanti Abdi bisa mengenali mamanya kalau tidak.

“Abdi....” panggil Nyonya Subagiyo lirih terdengar serak, saking sedihnya.

Wanita lima puluhan ini mencoba mengusap beberapa kali air matanya karena tidak bisa dibendung lagi, hingga tak menyadari kelopak mata Abdi perlahan terbuka.

“Ma-ma,” panggilnya serak dan lirih.

Nyonya Subagiyo yang mendengar langsung mendekat dan menatap lelaki itu dengan lekat, diusap lembut kedua pipi sang putra.

“Sayang, kamu sudah sadar sekarang.” Tak bisa dirangkai kata-kata betapa bahagianya wanita ini sampai melupakan ada menantunya di belakang, “Kamu ingat mama, kan? Ini mama sayang,” cecar nyonya Subagiyo meyakinkan kalau Abdi benar-benar mengingatnya.

Masih berbaring Abdi menatap mamanya lalu mengedip pelan satu kali, tanda bahwa dirinya benar-benar mengingat wajah wanita yang melahirkannya itu.

“Syukurlah sayang, Mama khawatir kalau kamu tidak bisa mengenali Mama.”

Almira yang antusias dengan kesadaran Abdi awalnya ingin mendekat ke kasur suaminya, tetapi sengaja ditahan karena masih ada mertuanya yang belum melepaskan tautan di tubuh Abdi. Dan Almira memaklumi itu.

Walaupun di hatinya Almira  merasakan kebahagiaan yang luar biasa, akhirnya penantiannya selama dua hari ini terbayar dengan kesembuhan Abdi.

Nyonya Subagiyo segera menekan tombol di dinding untuk memanggil pihak rumah sakit kalau putranya sudah siuman.

“Sabar ya sayang, dokter segera ke sini.” Nyonya Subagiyo masih mengusap-usap lembut pipi putranya.

Hingga tak lama segerombolan dokter pun berdatangan ke ruangan Abdi, satu dokter utama mulai memeriksa semua tanda vitalnya.

“Bagaimana, dok?” tanya nyonya Subagiyo yang masih was-was setelah dokter memeriksa.

Si dokter tampak tersenyum ke arahnya, “Syukurlah, Bu. Tuan Abdi tidak mengalami hal yang serius.”

“Ya Allah, terima kasih,” jawab nyonya Subagiyo penuh haru.

Dokter tadi melirik ke arah Almira berada, tentu dokter ini tahu siapa Almira. Karena hampir di rumah sakit Almira menghabiskan hidupnya untuk menunggu Abdi siuman.

“Nona Almira, silakan menemui suami Anda. Bukankah momen ini yang Anda tunggu,” ucap Dokter juga ikut bahagia melihat keluarga pasien memiliki harapan lagi.

Almira terperanjat kaget saat mendapat instruksi dari dokter tadi, wajahnya mendadak mengetat lalu menatap sang mertua. Karena alasan kenapa Almira masih berdiri di tempatnya karena mama Abdi  melarangnya, Almira tidak mau menjadi menantu durhaka setelah merebut putranya darinya.

Sekilas melirik ke mama mertua yang masih menatap Abdi, seperti tidak peduli dengan ucapan dokter tadi pada Almira.

“Silakan.” Si dokter memberi jalan pada Almira agar bisa mendekati Abdi yang masih terbaring lemah meskipun matanya terbuka.

Dari tempatnya masih membelakangi Almira, nyonya Subagiyo tidak mau menggeser  sedikit pun badannya. Tubuhnya yang berisi itu sengaja menutup acces ke arah Abdi.

Mau gak mau Almira akhirnya memberanikan diri melangkah mendekati kasur suaminya, kapan lagi memiliki kesempatan seperti ini. Mengingat nyonya Subagiyo yang keras kepala menentang hubungannya, Almira yakin perempuan itu tidak akan berani melarangnya di depan sang dokter. Karena mama Abdi lebih memilih memendam amarah ketimbang mencoreng nama besar keluarganya. Jangan sampai orang lain tahu kalau dirinya memusuhi menantunya.  

Setelah menarik napas panjang barulah Almira berjalan perlahan ke arah bangsal Abdi, hingga suara yang sejak tadi dibungkam akhirnya keluar juga.

“Mas Abdi,” panggil Almira sepenuh hati, walaupun suaranya terdengar bergetar.

Karena Almira tidak bisa menguraikan dengan kalimat apa pun, selain ingin memeluk tubuh lemah yang berbaring itu. Andai batasan yang diberikan oleh nyonya Subagiyo tidak ada mungkin tubuh Almira sudah berhambur ke tubuh Abdi.

Masih dengan tatapan lurus ke depan ditambah rahangnya yang sejak tadi mengeras, nyonya Subagiyo enggan melirik ke arah Almira. Gadis ini dibiarkan begitu saja karena masih ada dokter.

Abdi yang merasa terpanggil mengalihkan pandangan dari mamanya ke Almira, tatapan mereka bertemu tetapi ada yang lain dari tatapan Abdi.

Almira juga merasakan hal itu hingga panggilan kedua dilayangkan lagi, “Mas Abdi.”

Mata nyonya Sibagiyo ikutan menatap sang putra karena penasaran dengan sikap dinginnya pada istrinya. Entah, pikiran nyonya Subagiyo mendadak lain.

Almira ditatap sedemikian rupa hanya tersenyum getir, kenapa wajah suaminya tidak seantusias biasanya.

“Kamu siapa?” tanya Abdi lirih sekilas bergantian menatap sang mama, seolah meminta penjelasan padanya siapa gadis yang memanggilnya ini.

Nyonya Subagiyo langsung menatap ke arah Almira berada dengan tatapan melotot hampir keluar dari cangkang.

 

 

 

 

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status