Share

6. Memilih Pilihan

Haris dan Rega tak bisa berbuat banyak membantu istri sahabatnya itu, bagaimana tidak dari sekian manusia di dekat Abdi hanya Almira sendiri yang dilupakan. Padahal jelas-jelas semua orang tahu Abdi sangat mencintai gadis itu.

“Hari ini Tuan Abdi bisa dibawa pulang,” ucap Dokter yang selama ini merawat Abdi di rumah sakit.

Tentu nyonya Subagiyo adalah orang yang paling bahagia akhirnya bisa pulang ke rumah bersama putranya dengan wajah berbinar wanita itu menggenggam tangan Abdi erat.

“Dengar sayang, hari ini akhirnya kamu bisa pulang,” ujar nyonya Subagiyo antusias.

Dengan mengangguk pelan Abdi tersenyum, “Iya Ma. Abdi juga tidak betah di rumah sakit.” Kini pandangannya diarahkan ke dua sahabatnya yang kebetulan ikut menjemput. “Habis dari sini, ajak gue keluar ya. Sumpah, gue butuh suasana baru.” Abdi memasang wajah malas.

Rega dan Haris pun menyahuti dengan anggukkan, Abdi memang butuh suasana lain setelah mendekam cukup lama di rumah sakit.

“Tentu, Sob!” Haris berkata yakin. Disusul menepuk pundak Rega. “Ya, kan?!”

“Hmm.” Rega menyahut malas. Bagaimanapun ia tidak enak dengan Almira yang diabaikan sejak tadi,  tidak seharusnya gadis itu diperlakukan seperti ini.

“Jangan dulu ah.” Tiba-tiba nyonya Subagiyo menyela, “Kasian Abdi, Ris, Ga. Biarkan di rumah dulu.”

Sedangkan di ruangan yang sama Almira hanya bisa menahan kesedihan di dalam hati, suami yang seharusnya di sisinya malah berlagak seperti orang asing. Tanpa obrolan atau tegur sapa di antara mereka  ditambah nyonya Subagiyo memperkenalkan Almira sebagai pelayan di rumah pada sang putra.

Beberapa jam yang lalu....

“Kamu tahu kan, bagaimana kondisi Abdi sekarang?” tanya Nyonya Subagiyo pada Almira di luar ruangan tempat Abdi dirawat.

Masih dengan mata berkaca-kaca Almira mengangguk, sumpah demi apa pun Almira tidak ingin Abdi melupakan dirinya. Tetapi itu lebih baik ketimbang suaminya tidak bangun dalam koma.

“Sekarang pilihan ada di kamu?” tegas nyonya Subagiyo tidak mau lama-lama. “meninggalkan anak saya atau tetap di sisinya meskipun kamu tahu itu menyakitkan, sih.” Bola mata nyonya Subagiyo bergerak memutar malas karena membahas permasalahan ini pada sang mantu. Bisa saja ia mengusir Almira dari rumahnya sekarang,  berkat nasihat dari Vivi niat itu diurungkan. “Atau kamu mau tinggal di rumah tapi dengan status berbeda di depan Abdi.”

Kalimat yang keluar dari mulut mertuanya membuat Almira mengangkat wajahnya lagi, entah apa yang dimaksud dari ‘status berbeda’.

“Maksud, Mama apa?”

Sejenak nyonya Subagiyo memejamkan matanya lalu mendesah, “Kamu tahu kan, kondisi Abdi sekarang bagaimana. Dia saja tidak mengenali mu, tahu sendiri akibat kamu paksa mengingat yang ada kondisi Abdi semakin buruk, Mir. Nah, karena sudah terlanjur mengenalkan kamu sebagai pekerja di rumah mau tidak mau kamu harus bersikap layaknya pegawai rumah biasanya atau ....”

Sengaja kalimat terakhir digantung agar Almira merasa kekuatannya tidak ada apa-apanya.

Almira masih terdiam mulai mencerna ucapan mama mertuanya, entah rencana apa lagi yang ingin dilakukan untuk menjauhkan dirinya dengan Abdi. Almira yakin mama mertuanya ini masih memiliki dendam ditambah Abdi sekarang kehilangan ingatan mengenai dirinya. Dan itu menjadi kesempatan mudah mengusir Almira.

Nyonya Subagiyo melanjutkan kalimatnya lagi, “Kamu bisa keluar dari rumah saya, toh, anak saya sudah tidak ingat kamu.” Terdengar tarikan napas panjang, “Sebenarnya ya, saya masih enggan menerima kamu menjadi mantu.”

Mendengar hal tersebut dada Almira semakin sesak bukan main, kalimat pedas dan menyakitkan itu terulang lagi. Masih bergeming dengan wajah sedih.

“Saya tidak berharap kamu tinggal di rumah saya, cuma membuat situasi rumit saat tiba-tiba kamu meninggalkan rumah dan Abdi bertanya soal kamu, bagaimana sudah memutuskan?” tekan nyonya Subagiyo lagi.

Mungkin ini pilihan sulit bagi Almira kalau pergi dari rumah sama saja membiarkan Abdi melupakan dirinya, kalaupun Almira memilih tetap tinggal harus menerima kalau Abdi menganggapnya sebagai pelayan.

“Bagaimana? Saya tidak banyak waktu untuk ini karena nanti Abdi mau pulang.”

Setelah berperang pada pikirannya akhirnya Almira mengangguk setuju, lebih baik tinggal  dan merawat suaminya meskipun dilupakan.

“Wah! Kamu setuju menjadi pelayan di rumah saya? Tidak mungkin juga kan, kamu santai di rumah,” celetuk nyonya Subagiyo terdengar menyindir. “Apa kata Abdi kalau kerja mu cuma makan tidur? Apa Abdi percaya?”

Berulang kali Almira menarik napasnya yang terasa sesak di dada memang sulit memilih, tapi mau bagaimana lagi itu jauh lebih baik ketimbang keluar dari rumah.

“Baik, saya mau,” ucap Almira akhirnya.

Toh, pekerjaan di rumah Abdi sama dengan pekerjaannya tiap hari malah tidak ada bedanya.

***

Mobil alpard warna hitam akhirnya keluar dari halaman rumah sakit swasta itu, di dalamnya ada si sopir, nyonya Subagiyo dan Abdi. Sedangkan Almira ikut di mobil Rega di belakang.

“Sorry, Mir. Gue gak bisa bantu banyak,” ucap Haris akhirnya membuka obrolan di dalam mobil.

Sejak keluar dari rumah sakit gadis ini tampak murung dan sedih sambil membekap tas milik Abdi yang isinya baju harian saat di rumah sakit. Merasa terpanggil Almira mengangkat wajahnya  lalu mengusap bekas air matanya dengan cepat dan kasar, tidak mau membuat kedua teman suaminya khawatir.

Haris dan Rega sempat menatap satu sama lain setelah melihat kesenduan Almira, ditutupi dengan apa pun tetap saja wajah cantik Almira tertutup mendung.

“Gak apa-apa, kok, Mas. Semoga saja Mas Abdi ingatannya pulih kembali,” ujarnya kentara sekali menutupi kesedihan.

“Kamu yakin tetap di rumah  Abdi? Yah, maaf bukan maksud saya memihak tante Subagiyo hanya....” sekilas Rega menatap Haris di sampingnya karena ragu melanjutkan kalimatnya. “Abdi sekarang hilang ingatan dan kamu tahu sendiri bagaimana perlakukan tante Subagiyo ke kamu.”

“Kalau gak tinggal di rumah Abdi, Mira mau tinggal di mana Ga? Lo aneh-aneh aja, dech.” Haris menggeleng jengkel, pertanyaan Rega barusan benar-benar tidak masuk di akal.

Sambil memegangi roda kemudi Rega menghela napasnya berat, susah juga bicara dengan Haris yang langsung mengambil kesimpulan tanpa melihat ke sisi yang lain. Rega terdengar berdecak, “Lo denger dulu kalimat gue baru protes, paham!”

Almira di bangku belakang tak bisa menyembunyikan senyumnya untung kedua teman Abdi ini selalu berpihak padanya dan selalu ada di saat Almira terpuruk.

Gadis ini juga merasakan ketulusan teman-teman suaminya yang membantu tanpa mengharapkan imbalan dan Almira salut  persatuan persahabatan mereka.

“Nah, tuh. Almira senyum, ya, kan, Mir. Bocah kaya Haris memang perlu diperiksa ke dokter, karena otaknya miring sebelah,” celetuk Rega membuat suasana agar tampak cair.

Kebekuan yang dirasakan sejak keluar dari rumah sakit setidaknya bisa berganti dengan suasana hangat, melihat Almira senyum seperti ini sudah cukup membuat hati Rega lega meskipun mengorbankan harga diri Haris di sampingnya.

Rega mengerling satu kali ke pemuda itu seolah memberi isyarat ‘sudah ikut saja, yang penting Almira bahagia.’

“Sialan,” umpatnya sebal karena Haris tipe lelaki yang pantang terlihat menderita di depan wanita meskipun itu Almira.

Sebagai pemegang  klasemen Play Boy di tongkrongan mereka, tidak ada kata kurang dari diri Haris. Semua harus terlihat sempurna meskipun itu hanya di kaca mata penglihatannya sendiri.

Sambil melengos sinis Haris mengalihkan pandangannya ke luar kaca mobil, lebih baik melihat pemandang bangunan gedung ketimbang menatap wajah jahil Rega yang puas membabat habis harga dirinya.

 

 

 

 

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status