Share

3. Bekingan

Almira tak percaya jika teriakan Abdi tadi adalah teriakan terakhir lelaki itu sebelum terkapar bersimbah darah di jalan.

Dengan sekuat tenaga Almira bangkit setelah didorong paksa tadi, hingga sempoyongan menuju tubuh suaminya yang kini terbaring lemah. Darah ke mana-mana sampai Almira tercekat antara syok dan bingung.

“Tolongggg!” teriaknya sekuat tenaga.

***

“Mana, Abdi. Mana?” nyonya Subagiyo berlari cemas ke lorong rumah sakit.

Ia baru saja diberi kabar kalau putranya mengalami kecelakaan tabrak lari.

Sekarang matanya tertuju pada menantunya yang tertunduk lesu di bangku tunggu rumah sakit, tanpa basa-basi nyonya Subagiyo segera menghampiri wanita itu.

“Mana Abdi?! Kau apakan dia, hah!” sentak nyonya Subagiyo penuh amarah.

Almira hanya bisa mengangkat wajahnya lalu menatap nanar nyonya Subagiyo. Bibirnya mendadak terkatup dan terkunci rapat, mau mengeluarkan satu kalimat rasanya susah dan berat sekali. Hanya air mata yang mampu Almira tunjukkan pada mertuanya ini sekarang.

“Mana Abdi?! Hah! Dasar wanita pembawa sial!”

Nyonya Subgaiyo dengan perasaan kacau melampiaskan amarahnya pada Almira yang terduduk lemas tak berdaya, wanita ini hanya menangis dan terdiam saat kedua tangan nyonya Subagiyo menarik-narik kerah kemeja Almira yang sebagian terkena darah Abdi.

“Dasar kamu pembawa sial! Kalau kamu tidak di dekat putraku! Abdi tidak akan begini!” sentaknya masih dengan emosi tinggi.

Yang bisa dilakukan hanya menarik-narik kerah Almira tidak peduli jika wanita ini mengalami kesakitan, tidak sampai di situ. Nyonya Subagiyo juga menampar beberapa kali Almira.

‘Plak!’

“Wanita murahan! Pembawa sial! Enyah kamu dari sini!”

‘Plak!’

Nyonya Subagiyo membabi buta melimpahkan kecelakaan Abdi ke Almira semuanya, seolah tidak memberi kesempatan pada gadis ini untuk memberi penjelasan.

“Kamu memang pembawa sial! Pembawa sial!” tudingnya masih menunjuk-nunjuk.

Hingga dua sahabat Abdi mencoba meredam amarah nyonya Subagiyo  setelah tiba di rumah sakit.

“Tenang, Tante. Tenang, jangan bikin keributan,” Rega menahan tubuh nyonya Subagiyo agar tidak mendekati Almira lagi.

“Tante tidak bisa tenang, Rega! Sebelum tahu kondisi Abdi! Semua salah gadis sial ini!”

Mata nyonya Subagiyo melotot ke arah Almira berada seperti mau memakannya hidup-hidup. Sedangkan Almira yang rambutnya sudah tidak tertata rapi hanya tergugu dan sesenggukan, ia juga bingung harus menjelaskan apa kepada nyonya Subagiyo soal Abdi tadi. Kejadian tabrak lari yang menimpa Abdi benar-benar singkat dan cepat sampai Almira tidak bisa menolongnya.

Kalau boleh jujur Almira juga sedih dan hancur menunggu Abdi di luar ruang operasi begini, jika diizinkan menggantikan tentu Almira lakukan. Dan sayangnya semua sudah terjadi dan Almira rela disalahkan, toh Abdi begini karena  ingin menyelamatkan dirinya.

Tak terasa air mata Almira jatuh berulang kali tanpa bisa dicegah, tenaganya sudah terkuras habis sejak meraung-raung menyelamatkan suaminya. Almira juga tidak peduli atas perlakukan mertuanya sekarang, semua cacian dan hinaan ia terima. Mungkin ini akan setimpal dengan perbuatannya yang sudah membuat Abdi celaka.

“Dasar wanita murahan! Pembawa sial!”

Nyonya Subagiyo yang ditahan Rega terus menuding ke menantunya, amarahnya sudah di puncak. Ibu mana yang bisa terima jika putranya di ruang operasi karena menantu tak dianggapnya itu.

Rega berusaha keras supaya Nyonya Subagiyo tidak berbuat kasar pada Almira, sebagai teman baiknya Abdi  tidak mungkin memihak salah satu.

Sedangkan Almira yang masih tergugu sambil duduk di usap pundaknya pelan oleh Haris, lelaki ini juga iba melihat kondisi istri temannya begitu memperhatikan.

“Tenang Tante, tenang,” ujar Rega mencoba membuat kondisi semakin kondusif, meskipun usahanya tampak sia-sia. “Jangan buat keributan, Tan. Yakin saja Abdi baik-baik saja.”

“Diam? Kamu suruh Tante diam, saat putra Tante di sana.” Sambil menunjuk ruang operasi, kilatan matanya terlihat membara karena api kebencian, “seharusnya kamu melarang Abdi, Ga, menikahi wanita sialan ini.”

Rega sudah tidak bisa berbuat apa-apa selain menahan wanita ini, meskipun sudah tidak muda jangan ditanya tenaga nyonya Subagiyo sampai Rega kewalahan. Sejenak Rega mengedik ke arah Haris di dekat Almira memberi isyarat untuk membawa pergi gadis itu.

“Dasar murahan! Dasar pelacur!”

Semua ucapan kotor keluar begitu saja tanpa bisa dicegah, kepala dua pemuda ini ikutan pusing mendengarkan kalimat nyonya Subagiyo kepada Almira, apalagi Almira yang dikatai.

Akhirnya Haris dengan hati-hati mengajak Almira. “Ayuk, Mir. Mending kita keluar,” ucap Haris memandangi lekat istri temannya itu.

Tatapan Almira nanar, kosong tanpa nyawa ke arah Haris, seolah ingin mengatakan kenapa harus pergi. Setelah menarik napas panjangnya sekali barulah Haris mengangguk lalu mengangkat kedua bahu Almira.

Nyonya Subagiyo yang masih di tempatnya langsung mengetat sempurna, “Pergi sana! Saya tidak sudi melihat mu!”

Rega beberapa kali menghela napasnya sambil menahan badan nyonya Subagiyo.

“Sudah, Tan. Sudah,” ujar Rega mulai kebingungan.

Setelah Almira pergi barulah nyonya Subagiyo mulai mengendurkan urat-uratnya, meskipun napasnya masih menderu setidaknya sudah terdengar stabil. Rega tidak mau membuang kesempatan yang ada segera menuntut nyonya Subagiyo ke kursi tunggu pasien.

“Tenang Tan, tenang. Duduk di sini, ya.”

Rega akhirnya bisa membujuk nyonya Subagiyo agar lebih tenang, betul juga saat Almira tidak ada di sini kemarahan nyonya Subagiyo bisa reda walaupun Rega sangat merasa bersalah dengan Almira.

***

Vivi yang baru saja sampai di rumahnya langsung turun dari mobil menuju kamar, pikirannya kacau dan bingung.

Entah ia masih tak yakin jika  ditabraknya tadi mas Abdi, dengan menggeleng kuat Vivi mencoba mengusir kecamuk di hatinya. Berharap apa di pikirannya tidak menjadi nyata.

Gadis ini pun tidak menyadari sudah menggigit bibir bawahnya hingga berdarah sedikit, jemarinya digenggam kuat-kuat untuk meredam kegugupan dan ketakutannya.

“Ti-dak, ti-dak, tadi bukan Mas Abdi?” tanya Vivi pada dirinya sendiri sambil menatap kanan dan kiri seperti orang linglung, “aku yakin itu, aku yakin.” Wajahnya mengetat sempurna.

Setelah mengatakan itu semua Vivi berlari menuju kamarnya lalu mengunci pintu dari dalam agar tidak ada orang lain yang masuk.

Di tempat tidur sambil menggigil Vivi terlihat ketakutan, “Bukan, bukan aku penyebabnya!”

Kedua tangannya segera diangkat  menutupi daun telinga, Vivi merasakan shock yang luar biasa setelah kejadian tadi.

Hingga Vivi tidak menyadari kalau pintu kamarnya sudah dibuka paksa dari luar, matanya yang sempat terpejam mendadak terbuka lalu menatap ke arah pintu.

“Opa,” panggil Vivi lirih, dengan wajah sedih dan kusut.

Tanpa menunggu persetujuan Vivi langsung berhambur ke tubuh lelaki tua itu, dengan tangis sesenggukan Vivi memendamkan kepalannya ke dada opa-nya.

“Tolong Vivi, Opa.” Disusul dengan tangis yang semakin kencang.

Lelaki tuan yang dipanggil opa tadi langsung menepuk-nepuk pundak Vivi pelan, seolah memberikan perlindungan pada cucu kesayangannya itu.

“Jangan kuatir sayang, Opa ada di sini semua urusan beres,” ujarnya pelan dan hati-hati.

Vivi yang masih terisak menarik wajahnya di dada sang opa, matanya menatap ke arah opa-nya dengan berbagai pertanyaan.

“Maksud Opa?”

Sembari tersenyum, “Sudah, jangan kuatir dan sedih. Semua sudah Opa bereskan.”

Entah apa yang dimaksud opa-nya itu setidaknya hati Vivi mendadak tenteram dan damai.

Dipeluk lagi sang opa sedikit kuat, “Makasih, Opa.” Meskipun tangisan Vivi masih terdengar samar.

 

 

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status