Terima kasih. Semoga suka. Selingan di saat santai. Hehehe.
Amira merapikan pakaian kedua anaknya ke dalam koper. Wanita itu tidak ingin dibantu pelayan.“Ma, kenapa harus repot?” tanya Devano.“Mama mau memastikan bahwa tidak ada yang tertinggal.” Amira tersenyum. Dia dengan senang hati mempersiapkan segala kebutuhan kedua putranya yang akan pergi ke Amerika.“Apa Mama ikut?” tanya Keano menatap Amira.“Keano maunya Mama ikut atau tidak?” Amira mendekati Keano yang duduk di tepi kasur.“Aku mau Mama ikut, tetapi pasti tidak dibolehkan papa,” ucap Keano merebahkan kepalanya di pangkuan Amira.“Kita akan pergi semua.” Wijaya berdiri di depan pintu. Dia melihat Devano merapikan koper sedangkan Keano berbaring di pangkuan Amira.“Anak ini.” Wijaya menggelengkan kepalanya. Keano benar-benar lebih manja kepada Amira dari pada Devano. Sang kakak beda beberapa hari itu memang terlihat lebih mandiri dan dewasa. Dia juga pengertian.“Semua sudah beres,” ucap Devano menarik dua koper ke samping lemari.“Benarkah?” Keano segera duduk. Dia melihat Wijaya.
Laura dipanggil ke ruangan kepala sekolah. Wanita itu datang bersama Luciana. Mereka duduk di ruang tamu.“Maaf, Bu Laura,” ucap kepala sekolah duduk di depan Laura dan Luciana.“Ada apa, Bu?” tanya Laura. “Kami akan memindahkan Luciana ke kelas lain. Dia harus menjauh dari putra-putra Wijaya. Jika masih mendekat, maka anak Ibu akan dikeluarkan dari sekolah ini,” jelas kepala sekolah.“Apa?” Laura terkejut.“Ini perintah langsung dari Devano sedangkan Keano ingin Luciana langsung masuk daftar hitam. Jadi, putri Anda masih memiliki kesempatan di sekolah ini, tetapi harus menjauh dari Devano dan Keano,” jelas kepala sekolah lagi.“Kami tidak berani melawan Wijaya Kusuma. Anda pasti mengenal keluarga mereka yang sangat berkuasa di negara ini,” lanjut kepala Sekolah.“Hm.” Laura meremas jari-jarinya. Wanita itu tidak menyangka bahwa Keano sangat terganggu dengan kehadiran Luciana.“Putri Anda sering mengambil foto dan video Keano. Itu sangat mengganggu. Anda pasti tahu bahwa Pak Wijaya sa
Wijaya duduk di kursi depan rumah. Pria itu menunggu sang istri yang menjemput dua putra mereka. Dia benar-benar gelisah. Apalagi melihat penampilan sang Amira yang selalu segar.“Tidak akan ada yang berani mendekati istriku, tetapi mata mereka tidak bohong. Amira memang selalu menjadi pusat perhatian. Padahal dia sudah memiliki empat anak.” Wijaya gelisah sendiri menunggu Amira.“Istriku masih seperti gadis muda yang bergairah dan penuh semangat.” Wijaya melihat video yang dikirimkan anak buahnya.“Di rumah dengan gaun cantik dan di luar mengenakan celana jeans. Benar-benar penampilan yang berbeda.” Wijaya menggelengkan istrinya yang berpakaian cukup tertutup ketika berada di luar rumah.“Papa, mana mama?” William menepuk paha Wijaya. Pria itu segera menyimpan ponsel dan mengangkat tubuh putranya ke atas pangkuannya.“Mama pergi menjemput kakak,” ucap Wijaya.“Kenapa menjemput kakak? Kan ada sopir,” tegas Wilona yang juga naik ke pangkuan Wijaya.“Biar Kakak senang.” Wijaya tersenyum
Amira tampil rapi. Dia mengenakan celana jeans berwarna biru dan kemeja putih. Rambut panjangnya dikuncir tinggi. Wajah cantik mendapatkan makeup tipis. Wanita itu terlihat seperti gadis muda yang sangat segar.“Nyonya, Anda mau kemana?” tanya Leon di depan pintu melihat Amira yang bersiap pergi ke garasi mobil.“Saya akan ke sekolah Devano dan Keano untuk menjemput mereka,” jawab Amira bersemangat.“Tuan muda akan dijemput sopir,” ucap Leon.“Selama mereka sekolah dasar pun aku sesekali menjemput mereka. Jadi, hari ini aku meluangkan waktu untuk anak-anak.” Amira tersenyum bahagia.“Apa Anda sudah meminta izin kepada Tuan Wijaya?” tanya Leon yang tidak dengan mudah mengizinkan Amira meninggalkan rumah.“Sudah. Aku sudah ada jadwal.” Amira memperlihatkan pesan dari Wijaya.“Baiklah. Saya akan menjadi sopir Anda,” ucap Leon. “Aku akan mengendarai mobil sendiri. Apa gunanya hadiah mobil yang diberikan Wijaya jika tidak bisa aku gunakan?” tanya Amira.“Hm.” Leon tampak berpikir. Dia akan
Luci mendekati Keano. Gadis kecil itu membawa kotak makanan buatan Luna. Sang ibu ingin anaknya bisa makan makanan buatannya.“Kean,” sapa Luci yang berdiri di depan meja Keano. Tidak ada respon dan jawaban dari anak lelaki itu. Dia fokus pada computer yang ada di depannya.“Maaf, Kean. Ibuku membuatkan makan siang untuk kamu.” Luci menyerahkan kotak makanan tepat di depan wajah Keano.“Mengganggu saja!” Keano menepis tangan Luci yang menghalangi pandangannya hingga kotak makanan jatuh ke lantai.“Ah!” Luci dan semua orang terkejut.“Jangan mengangguku,” tegas Keano menatap tajam pada Luci.“Hahaha.” Anak perempuan tertawa melihat Luci yang mendapatkan penolakan dari Keano.“Baru juga mulai sekolah. Sudah ada saja gadis-gadis yang mau mendekati Keano. Apa mereka tidak tahu dengan sifat dan sikap putra kedua Wijaya.” Seorang anak lelaki tersenyum tipis melihat bekal makanan yang tumpah di lantai.“Lagian ya. Cowok sekelas Keano. Tidak mungkin menerima makanan dari orang lain. Benar-bena
Keano dan Devano berada di kelas yang berbeda. Pihak sekolah tidak ingin kesulitan membuat dua saudara itu bersaing.“Kita dipisah lagi.” Devano tersenyum setelah tiba di depan kelas sang adik.“Guru akan kebingungan jika kita berada di kelas yang sama.” Keano masuk ke dalam ruang kelasnya.“Ya.” Devano pun melanjutkan langkah kaki yang sempat terhenti.Semua mata tertuju kepada dua bersaudara itu. Baik lelaki atau pun perempuan pasti mengagumi mereka. Tidak ada yang berani bersaing karena telah mengetahui kemampuan anak dari Wijaya Kusuma yang sangat terkenal.“Aku sekelas dengan Keano.” Luci melihat Devano yang melewati ruang kelasnya.“Padahal aku lebih tertarik kepada Devano.” Luci melirik Keano. Dia merasa tertekan dan takut ketika berada di dekat adik Devano.“Cih!” Keano menarik kursi. Remaja itu benar-benar tidak menutupi diri ketika tidak suka pada seseorang. Dia akan memperlihatkannya secara langsung.“Aku harus menjadi siswi tercerdas di kelas ini. Aku dibayar mahal, tetapi
Keano dan Devano duduk di depan computer mereka. Dua anak lelaki itu telihat sibuk dengan pekerjaan masing-masing dan tidak saling mengganggu.“Apa Papa boleh masuk?” Wijaya mengetuk pintu kamar yang terbuka.“Ya,” ucap Keano dan Devano melihat kepada papa mereka.“Terima kasih.” Wijaya masuk ke dalam kamar Keano dan Devano. Pria itu duduk di sofa dan kedua putranya mendekat.“Ada apa, Pa?” tanya Devano.“Di mana Mama?” Keano pun bertanya.“Mama di kamar adik kembar. Duduklah.” Wijaya menunjukkan sofa yang berada tepat di depannya.“Apa ada kejadian yang janggal di sekolah?” tanya Wijaya.“Ya. Seorang wanita berusaha mendekati Keano. Dia mengatakan bahwa Keano mirip anaknya yang hilang,” jawab Devano.“Bagaimana perasaan kamu, Keano?” Wijaya menatap Keano.“Aku tidak suka dengan wanita itu,” tegas Keano.“Bagus. Kamu bisa menyelidikinya dan memastikan dia tidak akan berani mendekat. Apalagi sampai melukai perasaan mama kalian,” ucap Wijaya tersenyum.“Tentu saja, Pa. Kami sedang menyel
Amira dan anak-anak menyelesaikan kegiatan pembukaan ajaran baru di sekolah. Mereka bersiap untuk pulang ke rumah. Leon sudah menunggu di mobil dan melihat istri Wijaya bersama dua putra keluar dari gerbang gedung.“Nyonya sudah kembali.” Leon tersenyum. Pria itu tidak sadar bahwa dirinya semakin dekat dengan Amira dan anak-anak. Dia terbiasa berada di sisi istri dan anak Wijaya. Ada rasa tenang dan senang ketika bisa melihat wanita itu di depan matanya.“Siapa wanita dan anak itu? Kenapa dia terus mengikuti Nyonya?” Leon sangat teliti memperhatikan orang-orang di dekat Amira dan anak-anak.“Mencurigakan.” Leon segera mengirim data kepada anak buahnya. Mengambil gambar orang yang terlalu dekat dengan Amira dan anak-anak. Dia benar-benar harus sangat berhati-hati dan tidak mudah mempercayai siapa pun.“Apa kita langsung pulang?” tanya Leon membuka pintu untuk Amira.“Ya.” Amira memberikan jalan untuk Keano dan Devano untuk masuk lebih dulu ke dalam mobil.“Wanita duluan,” ucap Devano.“
Amira yang menyadari bahwa dia terlalu lama di dalam kamar meminta izin untuk kembali kepada anak-anaknya. Dia tahu segala sesuatu harus diperhitungkan karena akan berakibat fatal.“Aku harus pergi sekarang. Pemisi.” Amira tersenyum dan keluar dari kamar mandi. Langkah kakinya terhenti melihat seorang wanita yang sedang berinteraksi dengan Keano.“Maaf.” Luna menangis.“Kenapa Anda menangis?” tanya Devano dengan lembut.“Dia sangat mirip dengan putraku yang hilang,” jawab Luna.“Tetapi aku bukan putra Anda,” tegas Keano benar-benar tidak suka dengan keberadaan Luna.“Bagaimana jika kamu adalah putraku yang hilang?” tanya Luna menatap Keano.“Itu tidak mungkin. Kami adalah putra dari Wijaya Kusuma dan Amira Salsabila,” tegas Devano menepis tangan Luna yang sangat ingin memeluk Keano.“Aku punya mama yang luas biasa dan bukan kamu!” Keano beranjak dari kursi dan mendorong Luna hingga jatuh ke lantai.“Hah!” Dewi, Amira dan Luciana sangat terkejut. Tenaga Keano benar-benar kuat.“Jangan p