LOGIN“Buka gaunmu!” bentak Christhoper ketika mereka sudah berada di kamar pengantin.
Hari ini menjadi hari yang melelahkan untuk Amber, lelah fisik juga lelah hati. Setelah dirinya mengucapkan janji suci bersama Christhoper, keluarganya dan keluarga suaminya sepakat mengadakan pesta besar dan mewah. Seharian mereka dipajang dan menjadi tontonan banyak orang. Seakan tak mengerti rasa lelah Amber, sikap Christhoper begitu dingin. Pria itu terlihat tidak sabar ingin segera meninggalkan tempat pesta dan pergi menjauh. Selama ini, Christhoper tidak pernah menolak pernikahan mereka, tapi juga terlihat tidak menginginkannya. Bahkan ketika naik ke pelaminan, pria itu sempat meninggalkannya. Sikap pria itu sunguh membuatnya bingung. “Kenapa malah bengong? Buka gaunmu!” seru Christhoper dengan nada lebih tinggi. “Di sini?” tanya Amber dengan menggerakkan tangannya. “Tentu saja di sini, di mana lagi?” bentak Christhoper. Mata Amber menatap pintu kamar mandi di kamar mereka. “Tidak ada waktu, buka di sini sekarang juga atau aku akan merobek gaunmu itu?” ancam Christhoper. Dengan tangan gemetar, Amber membuka gaun pengantinnya, menyisakan pakaian dalam tipis yang tak mampu menutupi apa yang tersembunyi di baliknya. Tangannya berusaha menutup area sensitifnya dengan kedua tangan. Mata Christhoper menatap tubuh Amber dengan tatapan tak terbaca, dia kemudian mengambil sesuatu dari kantong kertas di ujung ranjang. “Pakai ini!” perintah Christhoper. Pria itu melemparkan sebuah gaun ke muka Amber, yang kemudian ditangkap dengan kedua tangan sebelum terjatuh ke lantai. Dengan patuh dia membuka dan memakai gaun tersebut. Setelah memakainya, Christhoper mencengkram kuat lengan istrinya lalu menariknya. Amber yang ketakutan, mencoba memberontak dan menahan langkahnya dengan melepaskan diri dari cengkramannya. “Kita mau ke mana?” tanya Amber dengan bahasa isyarat. Christhoper yang tak mengerti apa yang Amber katakan, kembali mencengkeram lengan istrinya lebih kuat hingga menampakkan bekas kemerahan di kulit putih wanita itu. “Jangan bertingkah, ikuti saja aku!” bentak Christhoper menanggapi pemberontakan Amber. Christhoper menarik Amber dan memasukkannya ke dalam mobil mewahnya. Dengan kasar dia menghentakkan dan mendorong Amber hingga wanita itu terjatuh dengan keras ke kursi depan, mobil tersebut. “Pakai sabuk pengamanmu!” bentak Christhoper. Amber segera menarik sabuk pengaman di pinggir kursinya, tapi beberapa kali dia gagal saat berniat menguncinya karena tangannya yang gemetar. “Dasar bodoh! Memakai sabuk pengaman saja tidak bisa,” umpat Christhoper sambil menarik kasar sabuk pengaman tersebut dan mengancingkannya dengan mudah. Tanpa dia tahu jika pinggiran sabuk pengaman tersebut menggores leher Amber dan membuat kulit istrinya berdarah. Christhoper mengendarai mobilnya dengan kencang. Tangan Amber berpegangan kuat pada pegangan di atas kepalanya. Tubuhnya gemetar hebat melihat cara suaminya yang mengendarai mobilnya yang ugal-ugalan. Matanya berkaca-kaca, beberapa kali dia menatap Christhoper. Berharap pria itu mengerti jika dirinya ketakutan, tapi Christhoper sama sekali tak peduli padanya. Mata pria itu tetap menatap lurus ke depan dan mengacuhkannya. “Christhoper, aku takut,” teriak Amber dalam hati. Dia memejamkan mata rapat-rapat untuk mengurangi rasa takut. Saat membuka mata, dia merasa bingung karena mobil Christhoper berhenti di depan sebuah rumah sakit. “Siapa yang sakit? Apakah ada keluarga Christhoper yang sakit? Apakah ini yang menjadi alasan suaminya ingin segera meninggalkan tempat pesta pernikahan mereka?” tanya Amber dalam hati. Amber meringis kesakitan ketika lengannya yang telah memerah, kembali dicengkeram oleh Christhoper, lalu ditariknya tubuh Amber ke sebuah kamar di mana seorang wanita cantik terbaring lemah sana. Wajahnya tampak pucat dengan gurat kesedihan. Melihat kedatangan Christhoper, wanita itu langsung menangis dengan tangisan yang menyayat hati. “Christhoper, anak kita ...” ucap wanita itu tertahan dengan terisak sambil menutup muka dengan kedua tangannya. Christhoper langsung melepaskan cengkraman tangannya pada Amber lalu memeluk wanita tersebut. “Maafkan aku, Delia. Aku tidak bisa menemanimu ketika kamu membutuhkanku,” kata Christhoper sambil mengusap punggung Delia dengan lembut, merasa bersalah. Dia terpaksa meninggalkan Delia yang mengalami kecelakaan dan kehilangan anak mereka karena pernikahannya dengan Amber. “Anak kita sudah tiada, Christhoper. Aku tidak bisa menggendongnya, kita tidak bisa membesarkannya bersama,” Delia terus terisak di dalam pelukan pria itu. “Kita bisa membuatnya lagi, kamu mau berapa anak? Dua ... tiga ...?” kata Christhoper menghibur wanita itu. Pasangan itu saling berpelukan mesra di hadapan Amber, seakan Amber tidak ada di sana. Tubuh Amber terdiam membeku, hatinya merasa sangat sakit. Bagaimana bisa mereka mempunyai seorang anak? Siapa wanita itu? Apakah dia kekasih Christhoper? Apakah Christhoper mencintai wanita itu? Inikah alasan Christhoper tidak menginginkan pernikahan yang telah terjadi di antara mereka? Berbagai pertanyaan mengganggu pikiran Amber. Amber menggigit bibirnya hingga berdarah, menahan rasa sakit di hatinya. Christhoper sama sekali tidak menghormatinya sebagai seorang istri, pria itu bahkan berencana membuat anak dengan kekasihnya. Lalu pria itu menganggap dirinya apa? “Ada yang aneh dengan kecelakaan yang aku alami. Beberapa hari ini ada orang yang mencurigakan terus membuntutiku. Ketika aku keluar dari apartemen, aku curiga ada yang tidak beres dengan mobilku, tapi karena tidak ada waktu lagi untuk memeriksanya, aku menyingkirkan pikiran buruk tersebut. Semua salahku, Christhoper, sehingga kita kehilangan anak kita, seandainya aku memeriksa mobilku terlebih dahulu, kejadian ini pasti tidak akan terjadi dan anak kita pasti masih hidup,” jelas Delia yang kembali menangis. Tangis wanita itu semakin keras ketika mengatakannya, matanya menatap Amber yang berdiri di samping Christhoper. Delia ingin memastikan bahwa kebohongannya memiliki efek besar terhadap hubungan Amber dan Christhoper. Padahal sebenarnya dia tidak pernah hamil dan kecelakaan itu hanya akal-akalannya saja agar dia mendapat perhatian Christhoper. “Tidak sayang, ini bukan salahmu. Aku yang tidak bisa menjagamu dan anak kita,” kata Christhoper dengan rasa bersalah yang menghentakkan dadanya. "Sayang sekali anak kita tidak bisa lahir, tanganku tak bisa menyentuhnya," ucap Delia masih terus menangis di pelukan Christhoper, mengambil hati pria tersebut. "Aku tahu, aku salah mengatakan ini, tapi aku curiga masalah ini ada hubungannya dengan istrimu," lanjut Delia. Mata Amber terbelalak terkejut mendengar perkataan Delia. Dia berusaha menggerakkan tangannya untuk membantah apa yang Delia katakan. Amber berusaha menyakinkan Christhoper, tapi pria itu sama sekali tidak mengerti apa yang dia katakan. Air matanya menetes tak berhenti, wajahnya tampak frustasi dan putus asa. “Apakah kamu berpikir jika kecelakaan yang menimpamu itu karena keluarga Amber yang merencanakannya?” tanya Christhoper memastikan. Delia tidak langsung menjawab pertanyaan Christhoper. Dia pura-pura memikirkan sesuatu, tubuhnya tiba-tiba menggigil mengingat hal yang mengerikan, dengan tangan gemetar, dia bersembunyi di lengan Christhoper. Delia lalu membuka mulut dan mulai menceritakan apa yang dialaminya, meskipun itu hanya kebohongan belaka. “Beberapa hari yang lalu, ada orang tidak dikenal meneleponku. Dia mengancamku untuk meninggalkanmu, dia akan membunuhku jika aku berusaha menggagalkan pernikahanmu dengan Amber,” ujar Delia. “Kenapa kamu tidak menceritakannya kepadaku?” “Aku takut mengatakannya padamu karena khawatir dia akan mencelakaiku dan anak kita, tapi ternyata ...” lagi-lagi Delia menangis di pelukan Christhoper. Mendengar apa yang Delia ceritakan, rahang Christhoper mengeras marah. Matanya berubah menjadi merah dan menatap Amber dengan tajam. Amber yang mendapat tatapan tersebut langsung mengerut ketakutan. Dia melangkah mundur ketika suaminya berjalan mendekatinya seakan ingin menelannya bulat-bulat. Pria itu menarik tangannya dengan kasar dan mendekatkannya ke depan Delia. “BERLUTUT ...!” bentak Christhoper. “Minta maaf pada Delia sekarang juga!” seru Christhoper. Amber menatap mata pria itu menolak perintahnya. “SEKARANG ...!” teriak Christhoper. Dengan terpaksa Amber perlahan mendekati Delia dan berlutut di depan wanita itu. Dia menyatukan tangan di depan dada, menggerakkannya untuk meminta maaf. “Aku meminta maaf atas kejadian yang menimpamu. Aku tidak menyangka jika Papa tega melakukan hal tersebut. Aku juga turut berduka atas kehilangan anakmu, aku berdoa jika anakmu tenang di surga dan kamu tabah menerimanya,” kata Amber dengan bahasa isyarat yang hanya dimengerti beberapa bagian saja oleh Delia. “Aku tidak butuh permintaan maafmu, tidak peduli apa yang kamu lakukan, anakku telah pergi dan tidak bisa kembali lagi. Kamu tidak mengerti bagaimana rasanya kehilangan seorang anak. Sebagian dari dirimu seakan terenggut dan rasanya sangat menyakitkan,” balas Delia menanggapi permintaan maaf Amber sambil memainkan drama kebohongannya. Wanita itu menangis dengan suara menyayat hati, membuat Amber merasa semakin bersalah. Dia tidak tahu harus berbuat apa lagi untuk meminta maaf pada Delia. “Maafkan aku, aku benar-benar minta maaf,” kata Amber, meminta maaf dengan tulus dan menyesal dengan semua yang telah terjadi. Drama yang dimainkan Delia berhasil. Christhoper mendekati wanita itu, memeluk dan menghiburnya dengan lembut. Pada saat yang bersamaan, Christhoper menatap Amber dan memberi isyarat dengan gerakan tangan yang memberitahukan jika dia merasa jijik dan muak pada istrinya tersebut. Apa yang Christhoper lakukan sangat melukai hati Amber, tapi dia tidak bisa melakukan apa pun selain menangis. “Hatimu sangat mulia, aku benar-benar beruntung memilikimu,” kata Christhoper yang membuat air mata Amber semakin deras mengalir. Dia memalingkan wajahnya, menghindari kemesraan suaminya dengan kekasihnya. “Mulai hari ini, kamu harus melayani Delia dan memenuhi semua kebutuhannya sebagai permintaan maafmu,” perintah Christhoper kepada Amber. “APA ...?” teriak Amber seandainya dia bisa bersuara, tapi hal itu hanya dia ekspresikan dengan mata yang melotot kaget saat mendengar perkataan Christhoper. “Aku bukan pelayan Delia. Aku akui jika Papa telah berbuat kesalahan, tapi bukan berarti kamu bisa menyuruhku menjadi pelayan wanita ini,” balas Amber dengan gerakan tangannya yang cepat dan nafas yang tersengal karena tidak terima dengan apa yang Christhoper perintahkan kepadanya. Wajah Christhoper berubah menjadi dingin ketika mengetahui penolakan Amber. Pada saat itu Delia pun mengambil peran, dia membuka mulutnya dan dengan penuh pengertian berkata, “Sayang, aku tidak membutuhkannya untuk menjadi pelayanku, dia sudah menikah denganmu, dan dia adalah istrimu.” Perkataan Delia membuat wajah Christhoper semakin dingin. “Jadi kamu mau membantahku? Kamu mau menolak apa yang aku suruh untuk kamu lakukan? Dasar istri pembangkang ...!” Plakkk... Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Amber, membuat pipi wanita itu memerah oleh bekas tangan Christhoper. “Aku tidak sudi menjadi pelayan Delia, meski kamu akan memukulku sampai mati, aku tidak akan pernah sudi melayaninya,” kata Amber sambil menangis merasakan rasa sakit di pipi dan hatinya.Jantung Amber berdetak kencang, rasa cemas menghinggapi dirinya ketika sadar berada di ruangan sempit dengan beberapa orang yang tidak dikenal. Ketegangan terasa ketika lampu meredup dan pandangannya mulai tidak jelas. “Aku tidak boleh panik, aku tidak boleh panik,” rapal Amber dalam hati seperti sedang membaca sebuah mantra. Dia menghirup nafas panjang dan mengeluarkannya pelan-pelan, berusaha membuat dirinya merasa lebih tenang, melakukan apa yang diajarkan psikiaternya jika dirinya merasa cemas yang berlebihan dan tampaknya apa yang dia lakukan berhasil. Ketika dokter memeriksa detak jantungnya, keadaannya sudah normal kembali. Seorang perawat memiringkan tubuhnya lalu menyuntikkan sesuatu. Tidak lama kemudian, matanya menjadi berat dan mengantuk. Tak lama kemudian, dia merasa sangat tenang dan tidak mengingat apa pun lagi. “Tuan, Nona Amber sedang menjalani operasi pita suara hari ini. Apakah Anda akan datang ke rumah sakit,” kata seorang pria yang berdiri di depan Christhoper
Tubuh Delia merosot ke lantai ketika sadar jika dirinya tidak mempunyai harapan lagi. Dia menangis terisak di sana dan memutar otak harus pergi ke mana. Tanpa uang atau pun ponsel yang bisa digunakan. Jalan satu-satunya yang terpikirkan olehnya adalah pergi ke rumah Glen. Delia terpaksa berjalan kaki ke rumah Glen, padahal tempat tinggal pria itu cukup jauh dari apartemennya. Hari telah larut malam dan jalanan cukup sepi, bahkan taksi sudah jarang yang lewat. Beberapa kali dia mencoba menghentikan mobil yang lewat tapi tidak ada satu pun yang bersedia memberikan tumpangan. Dengan keadaan lelah, Delia sampai di depan rumah Glen. Dia menggedor pintu rumah pria itu, tapi tidak ada yang membukanya. Dia berteriak sampai tenggorokannya sakit, tapi tetap saja Glen tidak membukakan pintu. Mencoba mencari jalan lain, dia memutari rumah Glen untuk mengetuk pintu samping rumah tersebut, tapi betapa terkejut dirinya ketika dari kaca jendela kamar Glen, dia melihat Glen sedang bercinta dengan s
“Saya sudah menyelidiki tentang kecelakaan yang Delia alami. Memang benar tidak ada keterkaitan Tuan Jackob, tapi bukti yang saya dapatkan malah membawa saya pada kenyataan jika kecelakaan itu disengaja oleh Delia sendiri,” ujar detektif menjelaskan lebih rinci terkait kecelakaan yang Delia alami. Denyut menyakitkan di dada Christhoper kini merambat ke kepala ketika kejahatan Delia kembali terkuak. Tidak tahan dengan rasa sakit itu, Christhoper mengusir orang suruhannya. “Keluar dari ruanganku sekarang juga dan tinggalkan semua informasi yang telah kamu peroleh di mejaku,” perintah Christhoper. Orang itu mengangguk, lalu menaruh semua dokumen yang dia bawa ke hadapan Christhoper, lalu pergi keluar. Setelah orang suruhannya pergi, Christhoper langsung merosot dari kursi yang didudukinya. Dengan tangan gemetar dia membuka satu persatu laci meja, mencari obat yang akhir-akhir ini dia konsumsi. Jika Christhoper tidak meminum obat itu, dia akan dihantui teriakan minta tolong Amber d
“Amber mengalami pendarahan dan hampir kehilangan nyawa. Malam itu Amber meminta bantuanku. Ketika aku sampai ke rumahmu dan membuka kamarnya, aku terkejut melihat Amber sedang kesakitan dan terduduk di atas kenangan darahnya sendiri di lantai. Keadaannya sangat menyedihkan. Dia harus merangkak ke lantai untuk mengambil ponsel yang kamu buang bersama tasnya. Dia ingin menjerit meminta bantuan, tapi tidak bisa. Bayangkan bagaimana perjuangan Amber meminta bantuan agar dia tetap hidup?” Nafas Aaron seperti banteng yang sedang marah ketika mengatakan semua itu di depan muka Christhoper. “Seandainya saja setelah kamu melakukan kesalahan, kamu bertanggung jawab atas kesalahanmu itu, Amber tidak akan sampai merangkak menahan sakit sendirian. Terlambat sebentar saja, Amber tidak akan selamat. Sampai di rumah sakit dia sudah tidak sadarkan diri dan harus mendapatkan transfusi darah berkantong-kantong. Di mana dirimu saat itu? Bersenang-senang di apartemen Delia. Kalian berdua memang sama-s
Amber sedang sibuk dengan tamannya ketika seorang pelayan membawakan ponsel miliknya yang berdering. “Nona, ada telepon untuk Anda?” ujar pelayan tersebut. Amber mengangguk mendengarnya, lalu pengambil ponsel dari tangan pelayan itu. Bibir Amber tersenyum melihat nama Aaron di layar ponsel. Dia dengan cepat menerima panggilan tersebut dan langsung mendengar suara Aaron yang bisa membuatnya terhibur. “Aku yakin kamu akan mengetuk layarnya satu kali karena kamu dalam keadaan baik-baik saja. Apalagi sekarang kamu sudah menjadi Tuan Putri dengan pengamanan yang ketat,” kata Aaron. “Ya, aku baik-baik saja dan aku bahagia sekarang,” jawab Amber menggunakan alat bantunya. “Kamu sudah bisa berbicara?!” teriak Aaron terkejut. Amber tersenyum merespon teriakan Aaron, meski tahu jika pria itu tidak bisa melihat dirinya tersenyum. “Masih dalam mimpi, tapi saat ini aku sedang dalam proses pengobatan dan masih harus bolak-balik ke psikiater untuk menyembuhkan traumaku,” jawab Amber. “Lalu su
“Dia memang benar ibu kandungku dan aku telah melihat semua buktinya bahkan bukti DNA kami. Aku datang tidak untuk mengejek Papa,” jawab Amber menggunakan suara dari alat bantu yang dia miliki. “Jika kamu tidak ingin mengejekku, lalu apa tujuanmu ke sini?” tanya Jackob. “Aku hanya ingin tahu hati Papa dan Mama yang sebenarnya padaku saat kalian mengadopsiku. Apakah kalian benar-benar menyayangiku? Terlepas dengan sikap kalian yang kadang menyakiti dan merendahkanku. Aku bisa menganggapnya sebagai kekesalan dan kekecewaan orang tua pada putrinya karena tumbuh tidak seperti yang diharapkan.” Amber meminta penjelasan Papanya. “Aku tidak pernah mengharapkanmu hadir di keluargaku. Mamamu yang memaksa agar kami mengadopsi seorang anak karena dia malu pada teman-teman yang semuanya sudah mempunyai anak tapi kami belum. Awal kami melihatmu di panti asuhan, kamu terlihat begitu menggemaskan. Aku dan Mamamu merawatmu dengan baik dan semua berjalan lancar. Semuanya berubah ketika terjadi pen







