Share

Bab 2

"Andai saat itu aku tahu bahwa itu adalah terakhir kalinya aku melihat mu, maka akan ku genggam tangan mu sekuat tenagaku. Akan ku bisikkan padamu bahwa aku mencintaimu."

"Jadi kau sudah membawa semua yang kau butuhkan?" Shelly bertanya kepada keponakan satu-satunya itu.

Rene mengangguk pelan, seakan-akan tidak ingin pergi.

"Kau tahu Rene, kau bisa membatalkan penerbangan ini."

"Tidak. Aku tidak bisa melakukannya."

"Tapi kau tidak terlihat menyukai perjalananmu kali ini. Kenapa tidak mengatakan sebenarnya?"

"Kau terlalu khawatir, aku akan baik-baik saja."

Shelly akhirnya menarik napasnya, mengangguk perlahan. Tangannya mengelus kepala keponakannya itu.

"Setelah kau pulang dari Scotland, aku berjanji untuk memasak makanan kesukaan mu. Kita akan makan malam dengan menonton aktor favorit mu itu."

"Oke, aku sangat tidak sabar untuk itu. Aku harus pergi, jaga dirimu baik-baik Shell."

Rene mulai melangkah, tapi Shelly sempat memegang tangannya seakan-akan tidak rela keponakannya itu pergi.

"Ada apa?"

Shelly tersenyum tipis, matanya agak berair. "Sampai jumpa minggu depan, Rene."

Rene tersenyum meyakinkan Shelly, "tentu saja, sampai jumpa minggu depan."

Mereka saling tersenyum meyakinkan satu sama lain sebelum akhirnya Rene melangkah menuju pintu masuk bandara.

Shelly merasa khawatir saat itu, seakan-akan pintu bandara yang memisahkan mereka akan menjadi saksi dimana mereka berdua tidak akan pernah bisa bertemu.

Tapi kemudian dirinya berusaha melenyapkan pikiran buruknya dan kembali pulang.

Disisi lain, Rene mencari-cari kekasihnya Orlan.

Kate dan Orlan sedang duduk bersama dengan Kate yang makan keripik kesukaannya sedangkan Orlan terlihat bosan menunggu seseorang.

Rene terkekeh melihat pemandangan itu, dua orang terpenting dalam hidupnya selalu berusaha melengkapi kepingan senyap Rene.

"Hai!" Rene memanggil mereka berdua dan terus berjalan.

Entah bagaimana Rene ternyata menabrak seseorang karena sikap antusiasnya.

Rene agak goyah tapi berhasil ditangkap oleh orang yang ditabraknya itu.

"Oh maaf, aku benar-benar tidak melihat ada seseorang."

Orang yang ditabraknya itu adalah seorang pria, kemungkinan berusia tiga puluh tahunan dengan kacamata hitam yang menghiasi matanya. Tapi walaupun kacamata itu menghalangi pandangan pria itu, Rene bisa melihat dengan jelas tatapan tajam pria itu padanya.

Pria itu terdiam tidak merespon sama sekali permintaan maaf dari Rene.

Pria angkuh sialan!

Rene mengumpat dalam hatinya karena sikap arogan pria itu.

Pria yang tadi ditabrak oleh Rene ternyata memiliki seorang teman, temannya langsung menyenggol lengannya.

"Lain kali perhatikan langkah mu."

Rene mengangguk, "tentu."

Pria itu masih menatapnya dengan tatapan menilai ke arah Rene, Orlan yang sedari tadi melihat adanya keributan kecil langsung mendekat ke arah Rene.

"Hai sayang, ada apa?"

Pria itu menatap ke Orlan, Rene yang terkejut karena adanya Orlan hanya menggelengkan kepalanya lembut.

"Tidak terjadi apapun sayang, aku menabrak pria ini."

Orlan menyembunyikan tubuh Rene dengan posesif, "aku minta maaf atas kesalahan kekasihku. Kurasa tidak ada hal yang perlu dibesar-besarkan karena hal ini kan?"

Teman pria yang tadi ditabrak oleh Rene seakan-akan tau sikap arogan temannya sehingga dirinya langsung bertindak.

"Tidak, temanku baik-baik saja dan ku pikir kalian berdua bisa pergi sekarang."

Orlan mengangkat alisnya kecilnya tapi hanya mengangguk.

"Thank you."

Orlan menarik dengan lembut tangan Rene, mengajaknya pergi dari hadapan dua pria dewasa itu.

Rene mengikuti kekasihnya, namun dirinya sempat melihat ke belakang dan disaat itu dirinya menyadari bahwa pria yang ditabraknya itu masih melihat ke arahnya dengan tatapan yang sulit di artikan.

"Sialan pria itu, sombong sekali wajahnya. Ingin sekali ku mematahkan kacamata mahalnya itu." Orlan memaki di samping Rene yang saat itu masih terdiam.

"Sayang kau tidak apa-apa kan?"

Gelengan Rene tidak membuat Orlan senang. "Katakan sesuatu padaku, Rene."

Rene menatap dalam mata kekasihnya, "hanya terkejut dengan dua pria itu. Tapi sudahlah aku tidak peduli sama sekali."

"Jadi kau hanya ingin terdiam tanpa berusaha menciumku?" Rene bertanya menggoda kekasihnya.

Orlan tertawa kencang, "serius sayang? Kali ini, di depan banyak orang?"

"Mengapa tidak? Mereka tahu siapa kita."

Orlan tanpa banyak bicara langsung mengecup bibir Rene, bibir hangat yang sangat jarang bisa di kecupnya.

Kecupan mereka menjadi sedikit lebih intens, tapi suara Kate berhasil mengubah suasana.

"Aku merusaknya bukan?" Kate bertanya jahil kepada mereka.

"Kau tahu kan aku tidak ingin punya keponakan secepat itu."

"Sialan Kate."

"Sialan pantat mu Ory."

Mereka bertiga akhirnya tertawa bahagia.

*****

Rene tidak bisa merasa tenang ketika sudah berada di kursi penumpang. Keringat dinginnya mengalir.

"Hei, Rene... Aku ingin bertanya kepadamu." Kate bertanya pada Rene, ketika Rene menoleh ke arahnya, disitulah Kate tersadar bahwa Rene sangatlah pucat pasi.

"Mengapa kau pucat sekali Rene? Kau yakin kau baik-baik saja? Apa perlu aku memanggil Orlan?"

"Tidak Kate, tidak. Aku oke. Hanya sedikit pusing karena perjalanan ini."

Kate dengan penuh kasihnya menarik pelan tangan Rene dan perlahan menepuknya.

"Oke Rene, bolehkah aku bertanya? Apakah kau belum pernah tidur dengan Orlan?"

Rene mengubah posisi duduknya karena pertanyaan sahabatnya itu.

"Tentu saja, aku pernah tidur dengannya." Rene mencoba tidak merasa malu untuk menjawab pertanyaan Kate.

Kate melihat Rene dengan tatapan menghina, "sayangku Rene. Maksudku bukan itu, tidur yang benar-benar tidur. Maksudku pernahkah kau bercinta dengannya? Dengan Orlan?"

Wajah Rene terbakar mendengar kata-kata Kate.

"Sialan Kate, aku bahkan tidak pernah berpikir seperti itu. Mengapa kau bertanya padaku?"

"Ayolah, semua gadis seusia kita sudah pernah bercinta setidaknya satu kali. Namun disinilah kau, masih terjaga dengan baik."

"Dengarkan aku Kate, Orlan adalah pria yang sangat baik. Tidak ada kata yang bisa menggambarkan kebaikan hatinya. Tidak mungkin dia berpikir untuk melakukan hal yang seperti itu."

"Ayolah Rene, setiap laki-laki itu sama. Mereka pasti setidaknya ingin tidur dengan kekasihnya satu kali seminggu." Kate menasehati Rene.

"Begini saja, nanti malam aku akan menukar kamar tidur kita agar kau bisa tidur di kamar Orlan dan jangan lupa untuk memakai pengaman." Seringai Kate membuat Rene memukulnya pelan.

"Sialan Kate, serius jika kau terus mengatakan hal-hal berbau seksual maka aku tidak akan berteman denganmu lagi."

*****

Mereka tiba di Scotland saat hari mulai sore, sehingga jadwal pertama ditunda sampai esok hari. Guru Rene menyuruh mereka semua untuk pergi ke hotel.

Perjalanan yang cukup memakan waktu membuat mereka sampai di hotel saat hari mulai gelap. Pembagian kamar di mulai dan kebetulan Rene tidur di kamar yang sama dengan Kate.

Mereka makan malam, ketika Orlan sedang memisahkan daging yang tidak disukai Rene. Teman akrabnya Roby menepuk punggungnya.

"Orlan!! Kau harus tahu bahwa kita akan mengadakan pesta setelah ini. Aku sudah menyiapkan banyak bir dan juga Snack. Apakah kau dan kekasihmu yang cantik ini ingin ikut" Roby menggoda Rene dan Rene menanggapinya dengan senyuman.

"Hanya Rene yang diajak olehmu?" Kate yang ada disebelah Rene berusaha menjahili Roby dengan nada kesalnya.

"Oh sayang, tentu saja itu termasuk dirimu karena ku tahu bahwa kau tidak mungkin bisa terpisah dari Putri cantik kita semua Rene Therdwey."

"Hei! Apa kau menggoda kekasihku di depan mataku? Sialan kau Roby." Orlan merenggut marah tapi Rene tahu itu hanya main-main.

"Tanyakan pada kekasihmu Ory apakah dia tidak tertarik dengan diriku ini. Aku kan tampan, baik hati dan pastinya lembut luar dalam."

Rene tertawa, "jujur saja Roby memang tipe ku."

Orlan melotot tanda tak percaya, "baby? Serius?"

Rene menggeleng dan bangkit untuk mengecup dahi Orlan, "kau satu-satunya bagiku oke."

"Dengar itu Roby."

"Aku mendengarnya dengan sangat baik. Oke, ku harapkan kalian datang tepat waktu. Jangan lupa untuk tidak membuat suasana gaduh yang bisa menyebabkan kita dalam masalah. Rene, jangan bocorkan ini kau tahu."

Rene mengangguk pelan, Roby akhirnya pergi dari tempat makan mereka.

"Bajingan itu." Orlan menggeleng pelan.

"Kau akan ikut sayang?"

"Mungkin tidak, terlalu lelah. Kau ingin ikut?"

"Jika kau tidak ikut, maka aku tidak ikut." Orlan berucap sambil melanjutkan aktifitasnya memisahkan daging yang tidak disukai Rene.

"No! Ikut saja. Ini penting bagi kita untuk saling berpesta sebelum hari-hari mengamati pelajaran itu dimulai. Jika aku ikut maka kau akan ikut juga kan?"

"Ya."

"Maka pergilah bersamaku malam ini."

"Rene? Kau serius?"

"Aku sudah tidak pernah merasakan kehidupan indah anak-anak seusiaku. Mengapa kita tidak mencobanya sesekali." Rene mengedipkan sebelah matanya ke Orlan.

Orlan terkekeh sambil berucap, "oke jika itu mau mu."

*****

Dyana menatap jendela hotelnya, kekasihnya Jason baru saja pergi. Meninggalkan dirinya sendiri dengan banyaknya luka dan tubuh yang lelah.

Pikirannya menghilang disuatu titik kejenuhan. Dyana ingin pergi, mencari sesuatu yang bisa membuatnya senang. Tapi lepas dari Jason tidaklah semudah itu.

Jason adalah iblis, menghancurkan Dyana dengan penjara suci bernama kekayaan. Dyana sudah tidak punya apapun lagi, kebebasan, rasa cinta dan apapun itu sudah hilang saat dirinya setuju untuk mengikuti Jason dan dia merasa menyesal.

Dyana berdiri dan masuk ke kamar mandi, membasuh badannya dengan tergesa-gesa seolah rasa sedihnya bisa dihilangkan dengan itu semua.

Saat selesai mandi dan berpakaian, Dyana membuka pintu kamarnya bergegas pergi untuk sekedar melihat sekeliling hotel.

Jason tidak mengijinkannya untuk pergi, tapi Dyana tidak peduli karena dengan keluar dari kamarnya lah dia bisa melepas kesendiriannya.

Dyana terhenti di suatu tempat, itu adalah rak buku yang disediakan khusus untuk para pengunjung hotel.

Dyana ingin mengambil salah satu buku itu tapi terhenti saat menyentuhnya.

"Mengapa berhenti?" Suara seorang gadis membuat Dyana kaget.

"Huh?"

"Iya, mengapa berhenti mengambil buku itu?"

"A-aku.... Aku tidak terlalu tertarik."

Gadis itu mengerutkan dahinya, "tapi kau terlihat menyukainya. Ambil saja dan baca. Buku adalah sumber ilmu, bahkan bisa membuatmu terhibur."

Dyana merasa tertarik dengan kebaikan gadis ini.

"Ya, kau benar... Itu bisa membuatmu bahagia."

"Jadi tunggu apalagi? Ambil saja buku itu."

Dyana mengangguk, sebelum ingin bertanya lagi kepada gadis itu. Gadis itu dipanggil oleh temannya dan melangkah pergi.

Untuk pertama kalinya di bulan ini, Dyana merasa jiwanya bebas. Tidak ada lagi sesak yang menggelora dan itu membuat Dyana tersenyum.

"Ada baiknya sesak itu hilang, menghasilkan perasaan bebas dan membuat mu kembali tersenyum. Dan itu adalah perasaan jatuh cinta."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status