Pagi-pagi sekali Eric sudah rapi dengan setelan kerja, dia berbalik dan mengambil jas yang sudah disiapkan oleh sekretarisnya.
"Bagaimana dengan yang sudah kuminta darimu sebelumnya?"
"Sudah disiapkan seperti yang Anda minta, Tuan. Hari ini akan ada orang yang langsung bertransaksi dengan ibu mertua Anda di rumahnya," ucap sang sekretaris melaporkan.
Tatapan Eric menerawang, setelah terdiam beberapa saat, dia kembali bertanya, "Apakah Anna sudah bangun?"
"Sepertinya belum karena nyonya muda masih belum keluar dari kamar. Tapi saat ini Hellen sedang memeriksanya."
Eric menganggukkan kepala kemudian melangkah pergi keluar walk in closet dan terus keluar dari kamar menuju ruang makan, menunggu Anna datang kepadanya.
Sementara itu di kamar Anna, dia membuka mata dan seketika terkejut, segera melihat ke arah jam dinding. Dia semakin dibuat terkejut karena interior kamar yang tidak seperti biasa. Setelah beberapa saat berpikir, barulah Anna teringat bahwa dia sudah tidak tinggal lagi di rumah itu, barulah dia bisa menghela napas merasa lega.
Tapi ... apa yang harus dilakukannya sekarang?
Anna segera bangun dan bersiap. Dia berpikir mungkin harus menemui Eric untuk membicarakan pernikahan mereka. Atau apakah dia langsung pergi saja?
Anna yakin sebenarnya Eric tidak menginginkan pernikahan ini. Terbukti dengan pria itu yang tidak hadir pada pernikahan mereka. Anna juga tidak berniat untuk kembali ke rumah atau berhubungan lagi dengan ibu dan kakaknya. Jadi apapun yang terjadi pada mereka setelah kepergiannya, itu tidak lagi menjadi kepentingannya.
Apapun itu, lebih baik sekarang dia segera bersiap dan melihat keadaan sekitar. Barulah nanti memutuskan apa yang akan dilakukannya.
Saat Anna hendak masuk ke kamar mandi, tiba-tiba pintu kamarnya diketuk. Anna sedikit merapikan tempat tidur kemudian mempersilakan orang itu untuk masuk.
"Selamat pagi, Nyonya," sapa Hellen setelah membungkuk kemudian tersenyum.
"Selamat pagi."
"Saya datang untuk menanyakan apakah anda ingin makan di kamar atau di ruang makan bersama dengan Tuan Eric?"
Anna termenung. Jika dia makan bersama dengan Eric, maka ini akan menjadi pertama kalinya mereka bertemu sebagai sepasang suami istri. Sedangkan dia sama sekali tidak ingin terikat lebih jauh dengan pria itu. Anna sudah berpikir bahwa dia akan membereskan barang-barangnya dan pergi dari rumah ini.
"Aku akan makan di kamar saja," jawab Anna tanpa ragu.
Hellen terdiam sejenak kemudian tersenyum. "Baiklah, kami akan menyiapkannya untuk Anda," ucapnya.
Anna mengangguk kemudian dia berjalan masuk ke dalam kamar mandi.
Setelah itu Hellen segera turun ke ruang makan. Di sana sudah ada Eric yang duduk di ujung meja makan. Seakan memang sedang menunggu seseorang.
"Nyonya ingin makan di kamarnya, Tuan," ucap Hellen melaporkan.
Hellen menyipitkan matanya. Dia mencoba untuk menelisik masuk ke dalam pikiran sang tuan. Namun, tentu saja seperti biasa. Hellen tidak akan bisa mengetahui pikiran Eric meski sudah 10 tahun mengikutinya.
"Lakukan sesuai permintaannya," ucap Eric lalu kembali fokus pada makanannya.
Hellen menjadi bingung. Dia yakin tidak salah mengira bahwa tuannya itu memiliki perasaan khusus pada Anna. Hellen tahu Eric tidak akan mau menikah dengan sembarang orang. Terlebih hanya untuk mendapatkan kembali uang yang telah dipinjamkannya.
Lalu untuk apa tuannya ini menikahi seorang gadis hanya untuk membuat hutang keluarga gadis itu lunas? Eric bukan pria yang penuh perasaan simpati pada orang lain.
"Ada lagi yang ingin kau bicarakan?" Eric bertanya ketika melihat Hellen masih bergeming.
Hellen tersentak kemudian tersenyum. "Tidak ada," ucapnya lalu membungkuk dan segera meminta seseorang menyiapkan sarapan untuk nyonya mereka.
Sementara itu, Anna sudah siap ketika dia melihat sebuah nampan berisi sarapannya di atas meja rias. Anna terdiam untuk sesaat kemudian langsung berjalan menghampirinya. Tidak ada salahnya mengisi perut sebelum pergi dari sana. Di harus membuat tenaganya terisi full jika ingin berkelana.
Setelah selesai makan, Anna langsung mengambil koper yang sudah dia siapkan di atas ranjang. Semalam
Berjalan dengan langkah ringan tetapi ketika dia sampai depan pintu kamar, ponselnya bergetar menandakan ada sebuah notifikasi masuk ke dalam pesan w******p-nya.
Kening Anna berkerut saat melihat sebuah nomor tidak dikenal tanpa foto profil dan juga nama. Seketika dia terkejut ketika membaca isi pesan tersebut.
Tubuh Anna membeku. Otaknya seakan mati dan tidak bisa berpikir. Anna seperti lumpuh setelah membaca pesan anonim yang tidak dia ketahui asalnya itu.
Anna baru bisa menggerakkan tubuh ketika pintu kamarnya tiba-tiba dibuka. Segera dia mengambil ponselnya yang terjatuh dan memasukkan ke dalam saku celana.
Hellen yang membuka pintu, melihat Anna dengan curiga. Terlebih dia juga melihat koper yang dibawa sang nyonya.
"Maaf, Nyonya. Saya terpaksa membuka pintu kamar Anda karena tidak ada jawaban sewaktu saya mengetuk tadi," ucap Hellen menjelaskan. Dia melihat koper itu kemudian kembali menatap Anna. "Tapi ... Anda mau kemana dengan koper itu? Biar saya siapkan mobil untuk mengantar Anda," sambungnya.
Anna meneguk saliva kemudian tersenyum padanya. Dia menggelengkan kepala lalu berjalan kembali menuju ranjang.
"Aku tadi berniat untuk merapikan koperku," jawab Anna beralasan. Dia kembali membuka koper dan mengeluarkan satu persatu pakaiannya. "Ehmm ... mumpung kau ada di sini, bisakah meminta seseorang untuk membantuku?" Anna sedikit tergugup. Entah mengapa dia merasa Hellen bukan hanya pelayan biasa. Hal itu membuatnya tidak nyaman sekaligus takut Hellen akan membuatnya kesulitan. Jadi dia berpikir untuk membuat Hellen pergi sekarang.
"Baiklah, Nyonya. Saya akan meminta seseorang membantu Anda."
Setelah Hellen pergi dari kamarnya, barulah Anna bisa bernapas dengan lega. Dia duduk di bibir ranjang dan melihat kembali isi pesan W******p tersebut.
'Pembunuh ayahmu masih bebas.'
Apa maksud dari sang pengirim? Siapa juga yang telah mengirimkan pesan anonim ini?
Dia mencoba untuk memanggil nomor tersebut namun ternyata sudah tidak aktif. Pesan balasan yang dia kirim juga hanya terceklis satu.
Anna menghela napas panjang. Dia hanya tahu ayahnya telah meninggal dalam sebuah kecelakaan. Tetapi dia tidak tahu bahwa ini adalah hal yang disengaja.
Berpikir bahwa dia tidak bisa pergi dalam keadaan seperti ini, Anna bertekad untuk mencari tahu kebenarannya.
Sekarang ... apa yang harus dilakukannya?
Anna melihat ke dalam kopernya. Ternyata tidak ada barang penting yang dibawa. Hanya pakaian. Dia harus kembali ke rumah dan mengambil laptop dan barang-barang lainnya.
Anna mengambil tas tangannya kemudian keluar dari kamar. Dia turun ke lantai satu tetapi tidak menjumpai satu orang pun di sana. Ketika Anna mencapai pintu rumah, tiba-tiba pintu itu terbuka menampilkan Eric yang mengenakan setelan jas rapi.
"Ah! Kau membuatku terkejut!" Anna memegangin dadanya yang berdetak kencang seraya menghela napas. Sementara Eric masih bergeming di tempatnya.
"Siapa kau?" tanya Anna setelah berhasil mengatur nafasnya.
Eric membuka mulut, hendak menjawab.
"Ah ... tidak perlu!" Anna menyela. "Kau pasti orangnya pria itu, kan?"
"Pria itu?" Eric tahu maksud Anna. Membuatnya sedikit kesal karena merasa tidak dihormati oleh istrinya.
"Ikut aku!" Anna langsung menyeret tangan Eric dan membawanya ke luar. Dia tidak menunggu jawaban Eric atau bahkan sekedar mendengarkan penjelasan pria itu bahwa dia adalah suaminya.
Eric awalnya ingin protes, tetapi diurungkan dan memilih diam saja mengikuti Anna. Dia melihat tangannya yang dipegang gadis itu dan merasa hangat di hatinya.
"Dimana mobil suamiku?" tanya Anna tanpa menatap ke arah Eric.
Eric terdiam. Kata 'suamiku' tiba-tiba membuatnya merasakan perasaan aneh menjalar di dadanya.
"Hey! Kau tidak mendengarkan, ya?"
Eric kembali memfokuskan diri. Eric berbelok ke kiri menuju garasi mobil miliknya. Membawa gadis itu tanpa melepaskan dirinya.
"Yang itu," ucap Eric seraya menunjuk Porsche 911 miliknya.
Anna membelalak tak percaya. Dia menggelengkan kepala, menolak menggunakannya.
"Jangan yang itu. Tidak adakah yang lain?"
Kemudian Eric melihat satu persatu mobilnya yang lain. Kemudian menunjuk Lexus LS miliknya.
Anna menggelengkan kepala kemudian melihat satu persatu mobil di sana. Dia hanya akan mengambil barang-barangnya yang tertinggal. Bukannya mau pamer mobil suaminya yang mewah.
Seketika Anna membelalak saat pemikiran itu terlintas. Dia tersenyum ketika sebuah ide terlintas di kepala.
"Baiklah! Ayo, kita gunakan yang itu!" Anna berjalan ke arah Porsche 911 yang tadi ditunjukkan oleh Eric.
Dia menolehkan kepala ketika tidak merasakan seseorang mengikuti langkahnya. "Ayo!" serunya.
Eric menghela napas kemudian mengikuti langkah Anna.
"Hei! Bisa pelan-pelan sedikit?!" Dia menekan tombol buka kunci dan suara 'bib' langsung terdengar.
Anna menatap keketusan Eric dengan kesal, lalu membuang mukanya, "Huh, aku harap suamiku tidak sejutek anda!"
"Kau-"
Eric yang emosi tiba-tiba terhenti. Ia tak boleh terus menerus terpancing oleh Anna.
Saat mereka sudah akan jalan, Anna menolehkan kepala melihat Eric. "Bosmu itu, jangan katakan padanya bahwa aku meminjam salah satu mobilnya. Nanti aku akan memberimu upah jika kau mau menemaniku hari ini saja. Oke!"
Eric ternganga. Seharusnya dia yang memberikan kejutan, tapi mengapa malah dirinya yang terkejut? Lalu, gadis ini berani sekali menyuruhnya dan membayarnya. Apa dia terlihat seperti orang yang sedang butuh uang sampai mau disuap?
"Ayo, jalan! Go!" Anna berseru membuat Eric lagi-lagi mengurungkan suaranya.
Eric hanya bisa pasrah ketika dia diperintah oleh Anna. Seumur hidupnya, hanya dia yang memerintah orang. Kini dia malah diperintah oleh seorang wanita.
Dalam keheningan, tiba-tiba Anna bersuara dan menanyakan suatu hal, "Apa kau tahu kemana bosmu? Sejak kemarin aku tidak pernah melihatnya."
BERSAMBUNG~~
Eric menarik nafas panjang ketika Anna bertanya mengenai dirinya. Ia sebenarnya malas memperkalkan diri, karena itu akan membuat Anna pasti terkejut dan waktunya belum tepat baginya."Dia sudah pergi bekerja," jawab Eric ketus.Anna menganggukkan kepala. "Ternyata pria itu juga bekerja rupanya," ucap Anna dengan suara kecil. Dalam pikiran Anna, suaminya itu adalah seorang pria tidak sempurna yang hanya berpangku tangan dengan uang keluarganya. Tidak menyangka bahwa ternyata pria itu juga bekerja. Bukan bermaksud mengecilkan, tetapi dari kekayaan keluarga Shailendra sudah cukup membuat suaminya itu tidak perlu bekerja selama beberapa generasi ke depan."Maksud Anda apa berbicara seperti itu? Kau pikir suamimu itu pemalas?!" ucap Eric dongkol. Anna menolehkan kepala terkejut. Padahal dia yakin telah berbicara dengan suara yang kecil, tetapi ternyata pria itu masih bisa mendengar suaranya. Namun, melihat ekspresi wajah Eric, dia berpikir bahwa pria itu juga tidak terlalu jelas mendenga
Dua orang pria keluar dari rumah itu dan berjalan mendekati mobil Eric. Ketika mereka telah berhadapan, mereka membungkuk sebagai tanda menghormati. Eric hanya diam saja sampai salah seorang di antara mereka menyerahkan sebuah dokumen padanya. Dia menerima dan membaca isi dokumen tersebut. Senyum tipis di wajahnya mulai tercipta, dia pun mengangguk puas. "Bagus," ucapnya kemudian mengangkat kepala, melihat mereka. "Besok, kirimkan aku dokumen yang telah disahkan pengadilan," perintahnya. "Baik, Tuan."Eric menganggukan kepala, "Kalian boleh pergi."Setelah kedua orang itu pergi, seorang pria mendekati mobilnya. Memberikan sebuah tab yang siap dibaca oleh Eric. Eric menscroll tab tersebut seperti sedang membaca sebuah berita, dia menganggukan kepala lagi, merasa puas dengan hasil kerja para bawahannya. "Lihat apa yang terjadi nanti, Anna," Eric bergumam. Sekretaris tidak terlalu mendengar perkataan Eric, jadi bertanya, "Iya, Tuan?"Eric tanpa melihatnya berkata sembari mengembalik
Tubuh Anna menegang, dia khawatir pria ini akan mendengar pertengkarannya dengan Calista kemudian mengadukan pertengkaran itu pada suaminya. Sesaat lidahnya terasa kelu, tubuhnya membeku, Anna tidak bisa mendapatkan jawaban untuk pertanyaan pria itu. "Darimana saja kamu? Aku tadi menyuruhmu untuk masuk ke dalam, kenapa kau tidak melakukan perintahku?" Anna mengubah topik pembicaraan. "Apa urusan kamu bertanya-tanya seperti itu?"Anna terdiam sambil menatap pria angkuh di depannya dengan mengepalkan tangan. Ingin rasanya dia menyemburkan kekesalannya. Namun, ia langsung sadar jika ia hanya gadis penebus hutang keluarga itu.Sementara itu, Eric sebenarnya mendengar pertengkaran Anna sebelumnya. Tetapi dia memutuskan untuk berpura-pura tidak tahu."Apakah kau sudah selesai?"Anna terdiam, mengira pria ini bisa dialihkan, namun kenyataannya dia masih mengingat pertanyaan sebelumnya. "Urusanmu ...," suara Eric menyadarkan Anna. Gadis itu menatapnya kebingungan. "Urusanmu di sini, apakah
Kedua mata Eric melihatnya dengan kesal, Anna menyadari hal itu tetapi dia juga tidak terlalu diambil hati. Pria ini adalah bawahan suaminya, dia tidak berpikir harus berbicara formal padanya. Lagipula sejak tadi bawahan suaminya selalu bersikap menyebalkan, jadi Anna berpikir bahwa tidak apa-apa jika dia juga bertindak sama."Sepertinya kau benar-benar tidak mau namamu diketahui olehku, ya, Anak Mafia?"Eric melotot, melihat Anna yang tanpa merasa bersalah telah memanggilnya dengan panggilan seperti itu. "Kau itu sama sekali tidak takut padaku, ya! Kau-"Jari telunjuk Anna berada di depan bibir Eric, seketika membuat ucapan pria itu terhenti. Niat awal Anna adalah membuat pria di sampingnya ini berhenti berbicara, karena baginya sangat menyebalkan ketika mendengar suaranya. Namun, Anna sama sekali tidak menyangka bahwa yang dilakukannya sekarang malah membuat jantungnya berdetak dengan kencang. Pria ini dilihat dari dekat, ternyata memiliki paras yang tampan, tubuhnya juga sangat bag
Jason berbalik dan melihat sang adik, tatapan itu sejak dulu, sama sekali tidak pernah berubah. Selalu saja sinis ketika sedang memandangnya. "Aku datang karena ada sesuatu yang ingin kulihat," Jason menjawabnya dengan santai, seakan dia tidak melihat rasa tidak suka Eric padanya. Kedua mata Eric menyipit, maksud sang kakak, dia sama sekali tidak mengerti. "Apa maksudmu?" Ketika dia masuk ke dalam rumah setelah meninggalkan Anna, Eric langsung mendapatkan panggilan untuk segera datang ke perusahaan. Tetapi dia enggan untuk bertemu dengan istrinya, karena yakin Anna masih berada di sana, akhirnya dia memutuskan untuk keluar melewati pintu yang lain. Namun, setelah sampai di garasi, dia malah bertemu dengan Jason, kakak tiri yang sangat membenci dirinya. Mendapatkan tamu yang tidak diundang, seketika membuat Eric merasa kesal. Dia sudah membayar mahal tim keamanan untuk mengamankan rumahnya, tetapi orang ini malah bisa masuk dengan mudah. Eric melirik ke arah Liam, "Siapa yang memb
"Hellen, kemana tuanmu itu?" Dia bertanya pada Hellen, tetapi wanita itu tidak menjawab pertanyaannya. Anna terus melihat ke arah taman tetapi tidak ada seorangpun di sana yang datang. Keadaan semakin aneh ketika langkah kaki yang tiba-tiba berhenti di belakangnya. Anna berbalik dan seketika kedua matanya terbelalak.Eric melihat ke belakang Anna tetapi dia tidak menjumpai siapapun di sana. Kemudian dia melihat Anna dan berkata, "Apa yang sedang kau lihat di sana?"Anna melihat sekeliling dan tidak menjumpai Hellen di sana. Kapan wanita itu pergi? pikirnya.Sementara Hellen tentu saja dia sudah pergi setelah diinterupsi oleh tuannya. Dia diperintahkan untuk langsung pergi ketika Eric telah sampai di rumah.Anna menggelengkan kepala, "Hanya saja tadi kukira dia akan datang. Tapi ternyata bukan."Eric mengikuti arah pandang Anna dan tidak melihat siapapun di sana. "Siapa yang sedang kau tunggu?"Anna mengabaikannya, dia terdiam beberapa saat sebelum akhirnya kembali berkata, "Apa yang
Ditanya seperti itu seketika Anna tergugup. Dia beberapa kali mengerjapkan kelopak mata dengan cepat. Seketika lidahnya terasa kelu, Anna seakan tidak bisa memikirkan jawaban yang pas atas pertanyaan pria itu. "Kenapa? Kau tidak bisa menjawabnya? Atau kau membual perkara bisa mengenali suamimu?" Eric mencibir, gadis ini begitu berani dan sekarang malah tidak memiliki nyali."Ti-tidak! Hanya saja ...," Anna berpikir sejenak kemudian, "Lagipula ... untuk apa aku menjawab pertanyaanmu itu? Sudahlah! Lebih baik aku pergi saja daripada terus meladenimu yang tidak jelas!" Setelah mengatakan itu, Anna langsung pergi meninggalkan Eric yang tersenyum puas. Gadis ini, suatu saat dia akan membuatnya menyesal karena telah berani bersikap tidak sopan padanya. Keesokan paginya, Anna sudah bersiap dengan perlengkapannya. Dia merasa tidak mendapatkan apapun padahal sudah seharian penuh bekerja di depan laptopnya. Jadi, dia berniat untuk datang ke perusahaan. Setidaknya dia harus mencoba sehingga t
Sekretaris diusir seperti itu, dia menjadi terkejut. Anna yang merupakan gadis penurut seakan telah menghilang setelah menjadi istri seorang konglomerat.Kedua tangannya terkepal dengan arah di samping kanan dan kirinya, sekertaris sama sekali tidak gentar hanya dengan perubahan semalam. Wajah dan kedua matanya sudah merah akibat amarah. Sekretaris masih tidak melihat perubahan yang berarti di diri Anna. "Kau pikir, aku takut padamu?" Sekertaris sangat berani membentak balik. Baginya hanya Agatha dan Clarissa saja yang menjadi atasannya. Anna melihat bawa sekeras apapun dia mencoba, maka hasilnya akan percuma. Tetapi dia tidak akan menyerah hanya karena tidak diperbolehkan masuk ke ruang direktur utama. Anna melangkah mundur, sedikit menjauhi sekretaris, tetapi sebenarnya dia tidak benar-benar mundur, hanya sedang menunggu waktu yang tepat. "Kalau begitu," Anna mengeluarkan sebuah map berwarna coklat dan memberikannya pada sekertaris. "Berikan map itu pada ibuku."Sekertaris ragu-