Share

Terperangkap Pesona Pria yang Kukira Lumpuh
Terperangkap Pesona Pria yang Kukira Lumpuh
Author: vitafajar

1. PERNIKAHAN TANPA PENGANTIN 

Anna melihat pantulan dirinya di sebuah cermin besar yang berada di kamarnya. Tidak pernah menyangka bahwa dia bisa tampak begitu menawan seperti sekarang.

Tangannya terangkat ke cermin, menyentuh pantulan wajahnya yang sudah dihias dengan riasan khas pengantin. Satu kata yang menggambarkan dirinya saat ini, cantik.

Kemudian dia memegang dada yang malah terasa sesak. Anna sama sekali tidak merasakan bahagia ketika wanita di luar sana pasti sangat senang di hari seperti sekarang.

Tiba-tiba pintu kamarnya terbuka, menampilkan seorang wanita paruh baya yang tersenyum ke arahnya. Wanita itu melangkah mendekati Anna kemudian memeluknya dengan erat. Wanita itu melepaskan pelukannya lalu memegang wajah Anna dengan kedua tangan. 

"Terimakasih," ucap wanita itu. Dia mengusap wajah Anna dan tersenyum penuh arti, "Tidak perlu bersedih dan mengkhawatirkan perusahaan lagi. Aku yakin bahwa ayahmu pasti sangat bangga dengan keputusanmu ini."

Tanpa bisa dicegat, air matanya mengalir keluar. Anna tertunduk lesu. "Apakah ... apakah pernikahan ini benar-benar harus dilaksanakan? Apakah tidak bisa kakak saja yang melakukannya?" Anna memohon. 

"Sssshhhh ... jangan menangis. Nanti riasanmu rusak." Agatha tersenyum seraya menghapus jejak air mata di wajah Anna. 

Anna menarik napas panjang kemudian mengembuskannya perlahan. Dia memandang sedih wajah sang ibu yang beberapa hari lalu memintanya melakukan hal tidak biasa. 

"Be-benarkah harus aku yang melakukannya? Apakah tidak bisa ... Calista saja? D-dia 'kan putri tertua di keluarga ini. Seharusnya yang menikah terlebih dulu adalah Calista," ucap Anna sedikit terbata. Sejujurnya dia takut dengan reaksi Agatha. Mengingat perlakuan sang ibu yang sangat berbeda pada mereka, sudah pasti ibunya itu akan membela Calista.

Namun, kali ini Anna ingin melepaskan semuanya. Dia tidak peduli dengan Agatha yang akan marah. Dia ingin hatinya tidak lagi terasa sesak.

Di luar dugaan, Agatha menyunggingkan senyuman yang selama ini tidak pernah diperlihatkan untuknya. Wanita itu mengusap wajah Anna dengan lembut seakan sedang menatap putri kandung yang sangat dicintainya. 

"Kamu tahu? Kenapa aku memilihmu dan bukannya Calista untuk menikah dengan putra kedua keluarga Shailendra itu?" 

Anna hanya diam tanpa bisa menjawabnya. Dalam kepalanya muncul sebuah jawaban tetapi enggan untuk mengutarakan. Dia takut akan terluka jika jawabannya adalah hal yang sebenarnya ada di pikirannya.

"Karena Calista memiliki masa depan yang cerah. Dia pantas untuk mendapatkan pria yang lebih baik daripada putra kedua Shailendra yang cacat itu."

Air mata Anna kembali jatuh. Membuat wajahnya yang sudah merah karena blush-on semakin memerah. Dia mengerjapkan kedua mata, sama sekali tidak menghalau air matanya. Ternyata sang ibu masih sama saja. 

Agatha tersenyum kemudian mengambil tisu yang berada di atas meja rias, lalu men-tap-kannya di wajah Anna.

"Sudah, tidak usah menangis!" Agatha berujar dengan halus. Tetapi Anna tentu saja tahu, bahwa sang ibu sama sekali tidak sedang bersikap lembut. "Air matamu sama sekali tidak berguna. Terlebih di saat seperti sekarang," sambungnya masih dengan wajah yang tersenyum hangat.

Agatha memundurkan tubuh dan menatap Anna dari bawah hingga ke atas. Kemudian mengangguk puas.

"Tidak salah aku memeliharamu. Ternyata kau berguna juga untuk keluargaku." Agatha berbalik dan berjalan ke arah pintu. 

"Cepat bereskan riasanmu lagi. Keluarga Shailendra sebentar lagi akan datang. Aku tidak mau ada kesalahan," ucapnya lagi sambil lalu. Kemudian meninggalkan Anna seorang diri di kamar itu. 

Anna menangis lagi. Dia sampai membekab mulutnya dengan kedua tangan supaya tangisannya tidak terdengar keluar kamar. Semua sudah percuma sekarang. Dia harus menjalani takdir yang tidak disukainya daripada harus tinggal dengan keluarganya sekarang. 

Anna membalikkan tubuh dan melihat riasan wajahnya yang sedikit berantakan. Dengan sigap, dua orang wanita yang sejak tadi melihat kejadian itu, langsung membereskan sisanya. 

Upacara pernikahan siap dilaksanakan. Anna menundukkan kepala. Sekarang hanya ada dia di depan pintu ruangan pernikahannya. Tanpa mendiang sang ayah yang akan mengantarkan. 

Anna menarik napas dan mengembuskannya perlahan. Kemudian menyunggingkan sebuah senyum saat dia harus masuk ke dalam.

Baiklah! Sekarang saatnya kembali ke kenyataan yang menyedihkan, begitu pikirnya.

Anna berjalan dengan langkah berat. Kepalanya terus saja tertunduk, enggan untuk melihat ke arah pengantin prianya. Bagi Anna sekarang tidak penting untuk melihat calon suaminya. Sebab tidak akan mengubah keadaan dan membuat dia lepas dari pernikahan.

Saat dirinya sudah sampai di depan pendeta, barulah dia sedikit mengangkat kepala. Ketika itu Anna benar-benar dibuat terkejut karena tidak ada siapapun di sana selain dia dan pendeta.

Kedua mata Anna membelalak. Apa ini? Kenapa tidak ada pengantin pria di sini? Dia melihat sekeliling dan baru menyadari hanya ada beberapa orang saja di sana. Dia tidak mengenali sebagian besar orang-orang itu. 

Lalu ... untuk apa dia berdandan hingga cantik seperti ini jika tidak ada pengantin pria di sini?

Ditengah keterkejutannya, pendeta buru-buru mengatakan bahwa dia telah sah menjadi istri dari Eric Arshaan Shailendra. Ketika acara pernikahan selesai, tanpa bisa bertanya, Anna langsung dibawa pergi dari rumahnya. 

Kesadarannya baru saja kembali ketika dia sudah tiba di sebuah rumah besar dengan halaman yang luas. Rumah itu begitu sunyi dan jauh dari keramaian. Jauh dari hingar bingar kota yang sangat gemerlap. Anna berpikir bahwa mungkin dia akan cocok di sini.

Kemudian dia teringat suatu hal dan refleks menggelengkan kepala. Anna tidak boleh berpikir bahwa dia akan tinggal di sana selamanya. Dia tidak boleh lupa bagaimana dia bisa terjebak dalam pernikahan ini. Bagaimana dia dipermalukan di hari yang seharusnya menjadi hari yang paling membahagiakan.

Pernikahan macam apa ini? Tidak ada pengantin pria padahal dia sudah berdandan dengan sangat cantik. Tidak ada keluarga yang saling mengucap syukur satu sama lain. Tidak ada kebahagiaan yang menyelimuti pernikahan ini. Pernikahan ini terkesan diburu-buru dan tidak memiliki arti.

Anna menggigit bibir, menghalau tangisannya. Dia lelah terus menangis sejak beberapa hari lalu. Saat ini dia bertekad akan menjalani saja kehidupannya seperti biasa. Anggap saja dia sedang berpindah tempat tinggal untuk sementara. Lagipula, Anna merasa harus bersyukur karena bisa keluar dari rumah yang menyesakkan itu. 

Dua orang pelayan dan seorang wanita berusia sekitar 40-an menyambut kedatangan mereka. Sedikit membungkukkan tubuh sebagai tanda penghormatan.

"Selamat malam, Nyonya Anna. Saya Hellen, kepala pelayan di rumah ini," ucap wanita itu memperkenalkan diri lalu beralih pada dua wanita yang berdiri di belakangnya. "Ini Ivory dan Nancy yang akan membantu Anda di rumah ini."

Anna tersenyum kemudian mengangguk paham sebagai jawaban. Dia lelah dan tidak ingin banyak bicara sekarang. Anna hanya ingin secepatnya bertemu dengan ranjang dan beristirahat.

"Kami akan membawa Anda ke kamar Anda, Nyonya." Hellen kemudian membawa Anna ke lantai dua rumah itu. 

Anna menurut, mengikuti Hellen dari belakang menaiki anak tangga. Namun, dia melihat sebuah kamar yang berada tidak jauh dari sana. Berpikir bahwa dia mungkin bisa menempati kamar di lantai satu saja tanpa harus bersusah payah menaiki anak tangga. Lagipula dia enggan satu kamar dengan suaminya. Suami yang sama sekali tidak pernah dia lihat.

"Ehm ... Hellen," panggil Anna

Hellen menghentikan langkah dan berbalik melihat sang nyonya. "Iya, Nyonya? Apakah Anda membutuhkan sesuatu?"

"Bisakah aku menempati kamar itu saja?" Melihat ekspresi wajah Hellen membuat Anna menjadi tidak enak. Kemudian dia buru-buru melanjutkan, "Sebenarnya aku bukan tipe yang pemilih. Tapi sepertinya akan melelahkan jika harus naik tangga setiap harinya hanya untuk ke kamar di rumah yang sebesar ini. Jadi kupikir alangkah lebih baik jika kamarku berada di lantai satu saja."

Hellen tersenyum kemudian berkata, "Maaf, Nyonya. Di bawah hanya ada satu kamar dan kamar itu adalah milik Tuan Eric. Dia yang memerintahkan kami untuk menyiapkan kamar Anda di lantai dua."

Anna melebarkan kedua matanya terkejut. Apa ini? Setelah tidak datang ke acara pernikahan mereka dan membuatnya malu, pria itu sekarang malah membuat mereka tidur terpisah? 

Baiklah! Anna memang tidak ingin tidur satu kamar dengan pria itu. Namun, setidaknya pria itu harus meminta maaf karena telah membuatnya malu.

"Jadi itu kamar tuan kalian?" Anna memperjelas. 

"Iya, Nyonya. Itu kamar Tuan Eric."

Anna menggigit bibir menahan emosi. Dia tidak lagi memiliki energi. Membiarkan saja apa yang terjadi, kemudian langsung menyusul Hellen yang sudah lebih dulu mendahuluinya.

Hingga sampailah mereka di depan sebuah kamar. Anna terkejut melihat kamarnya. Sebuah kamar yang besar, bahkan jauh lebih besar daripada kamar Calista. 

Apakah mereka tidak salah memberikan kamar? 

"Selamat beristirahat, Nyonya. Ivory dan Nancy akan tinggal sejenak untuk membantu Anda melepaskan riasan Anda," ucap Hellen. 

Anna hanya menganggukan kepala sebagai jawaban. Melihat sepertinya dia tidak lagi dibutuhkan, Hellen kemudian pergi meninggalkan kamar itu. 

Baru saja menginjakkan kaki di lantai satu, Hellen langsung berjalan ke arah kamar di dekat tangga. Mengetuk pintu sebentar kemudian masuk setelah sang tuan mempersilakan.

Hellen tersenyum kemudian sedikit membungkuk sebagai tanda hormat. 

"Sesuai perintah Anda, Nyonya muda saat ini sudah beristirahat di kamarnya. Nyonya sempat melihat kamar Anda dan meminta kamarnya dipindahkan, tapi setelah tahu kamar ini milik Anda, Nyonya tidak lagi meminta dan langsung naik ke kamarnya," ucap Hellen melaporkan.

"Baiklah, kau boleh pergi," ucap Eric tanpa melihat ke arahnya. 

Kemudian Hellen berbalik setelah sebelumnya membungkuk. Meninggalkan Eric di kamarnya yang menatap ke luar jendela dengan tatapan menerawang. Seakan tengah memikirkan sesuatu yang tidak akan pernah bisa dipahami oleh orang lain.

Eric bangun dan berjalan menuju jendela kamar. Membuka jendela itu dan menyalakan rokok. Kepulan asap menerpa wajahnya. Dia tersenyum memikirkan hari esok. 

Malam ini biarlah Anna tidur deng

an tenang, besok dia akan memberinya kejutan.

BERSAMBUNG~~

Comments (5)
goodnovel comment avatar
nurdianis
di baca dulu deh
goodnovel comment avatar
Andreas Tan
A good beginning.
goodnovel comment avatar
vitafajar
Halo, Kak. Terima kasih sudah baca cerita ini. Semoga suka dan bisa bertahan sampai akhir ...️
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status