Eric menarik nafas panjang ketika Anna bertanya mengenai dirinya. Ia sebenarnya malas memperkalkan diri, karena itu akan membuat Anna pasti terkejut dan waktunya belum tepat baginya.
"Dia sudah pergi bekerja," jawab Eric ketus.
Anna menganggukkan kepala. "Ternyata pria itu juga bekerja rupanya," ucap Anna dengan suara kecil.
Dalam pikiran Anna, suaminya itu adalah seorang pria tidak sempurna yang hanya berpangku tangan dengan uang keluarganya. Tidak menyangka bahwa ternyata pria itu juga bekerja. Bukan bermaksud mengecilkan, tetapi dari kekayaan keluarga Shailendra sudah cukup membuat suaminya itu tidak perlu bekerja selama beberapa generasi ke depan.
"Maksud Anda apa berbicara seperti itu? Kau pikir suamimu itu pemalas?!" ucap Eric dongkol.
Anna menolehkan kepala terkejut. Padahal dia yakin telah berbicara dengan suara yang kecil, tetapi ternyata pria itu masih bisa mendengar suaranya. Namun, melihat ekspresi wajah Eric, dia berpikir bahwa pria itu juga tidak terlalu jelas mendengarnya.
"Ah, ti-tidak. Oh, aku belum tau namamu. Kau siapa?" Anna mengalihkan pembicaraan.
Eric hanya diam tak menanggapi. Anna berpikir pria ini sangat sombong padahal dia hanya bertanya nama.
"Tidak usah berpikiran buruk. Kau itu orangnya suamiku, kan? Jadi kupikir sudah semestinya aku tau siapa namamu supaya kelak ketika aku butuh bantuan, aku tidak akan segan meminta tolong padamu." Anna berpikir bahwa tidak seharusnya dia menjelaskan maksud hatinya, tetapi entah kenapa dia ingin saja menjelaskan pada pria ini supaya tidak salah paham.
"Aku tidak harus memberitahu namaku, kan?!" ucap Eric datar tanpa melihat Anna.
"Pak, bisakah Anda berkata dengan lebih halus?"
Perkataan Anna hanya dianggap angin lalu oleh Eric, membuat wanita itu berdecih kesal.
Anna menghela napas panjang, setelah diusir dengan halus, dia memiliki rencana untuk hidupnya sendiri. Siapa sangka malah mendapatkan sebuah pesan singkat, yang membuat dia harus mengurungkan niat.
Mobil Porsche 911 itu akhirnya tiba di halaman rumah orang tuanya. Anna menarik napas, mempersiapkan hati sebelum akhirnya membuka pintu mobil.
Namun, sebelum dia benar-benar keluar, Anna menolehkan kepala ke arah Eric. Pria itu adalah bawahan suaminya, perlukah dia membawanya?
"Kau ikut denganku!" perintahnya.
"Hei! Bisakah sopan sedikit? Kau pikir kau..."
Brak!
Eric melotot setelah pintunya ditutup dan melihat Anna sudah pergi meninggalkannya. Eric hanya bisa menggertakan giginya kesal. Dia benar-benar terkejut dengan Anna yang baru bertemu tapi sudah berani memerintah. Wanita ini, sungguh tidak ada rasa takut.
Sementara itu, Anna sudah berada di depan rumahnya.
"Selamat pagi, Nona," sapa seorang pelayan menyambut kehadiran Anna.
"Selamat pagi, Bu Kim," jawab Anna pada seorang wanita asia yang sudah lama bekerja pada keluarganya.
Anna hendak melanjutkan langkahnya, tetapi entah kenapa dia merasa harus memberitahu maksud dan tujuan kedatangannya. "Aku datang karena ingin mengambil beberapa barangku yang tertinggal."
Wanita yang dipanggil Bu Kim tidak menjawab apapun. Namun, gestur tubuhnya malah seperti menghalangi jalan Anna masuk.
Anna menoleh dan memandangnya heran. "Aku ingin masuk ke rumahku, Bu Kim."
Bu Kim menundukkan kepalanya, dari ekspresi wajahnya Anna bisa tahu bahwa wanita ini seperti sedang ketakutan. Hal itu semakin menambah kecurigaannya.
"Bu Kim, aku ingin masuk ke rumahku," ucap Anna lagi dengan penuh penekanan.
"Ma-maaf, Nona. Tapi—"
Tidak peduli dengan wanita itu, Anna langsung melenggang masuk ke dalam rumahnya. Ketika dia telah sampai di ruang tamu, dia dikejutkan dengan keberadaan dua orang pria berusia sekitar 40-an. Sang ibu dan Calista juga ada di sana. Selain itu, dia juga melihat di atas meja sebuah kertas dengan judul yang dicetak lebih besar dan tebal.
"Mama mau menjual rumah ini?"
Suara Anna membuat keempat orang itu langsung menoleh ke arahnya. Agatha menyembunyikan keterkejutannya dan langsung menghampiri Anna.
"Untuk apa kau ke sini? Kau sudah bukan bagian dari keluarga ini lagi," ucap Agatha berbisik.
Anna tidak menghiraukannya, "Ma, aku baru menikah, kenapa Mama seperti terburu-buru menjual rumah. Lagi pula, rumah ini juga milik papa—"
"Mama adalah istri papamu," Agatha langsung menyela.
Wanita yang dia panggil mama itu berjalan mendekatinya. Agatha tersenyum lalu memeluk Anna.
"Papa sudah tidak ada dan dia hanya meninggalkan hutang yang sangat besar. Selain itu, perusahaan sedang butuh dana supaya tidak gulung tikar. Jadi, kau tidak berhak untuk melarang apapun yang akan aku lakukan pada rumah ini," ucapnya berbisik.
Agatha melonggarkan pelukannya kemudian dengan tetap tersenyum, dia kembali duduk di sofa.
"Maaf atas kejadian tadi. Putri bungsuku memang masih terlalu kecil untuk mengerti urusan orang dewasa." Agatha menunjuk secangkir teh yang sudah disiapkan untuk para tamunya. "Silakan diminum," ucapnya mempersilakan.
Anna menghela napas, melihat Agatha yang terus melanjutkan kegiatannya. Akhirnya diia langsung naik ke lantai dua menuju kamarnya. Sekarang kondisi keluarganya memang sedang tidak baik. Namun, bukan berarti ibunya itu berhak untuk menjual rumah ini sesukanya.
Dia adalah putrinya tetapi kenapa Agatha selalu memperlakukannya seperti anak tiri? Padahal selama ini Anna selalu berusaha bersikap baik. Menjadi anak yang penurut supaya bisa disukai. Kenapa apapun yang dilakukannya selalu salah bahkan cenderung tidak terlihat? Lagipula, dia sudah dijual ke keluarga kaya, apakah uang yang diberikan keluarga Shailendra masih tetap kurang? Sebanyak apa hutang yang dimiliki ayahnya?
Anna menutup mulut dengan kedua tangan ketika suara tangisnya keluar. Dia tidak sanggup untuk menahan air mata. Padahal dia selalu menuruti apapun yang Agatha katakan. Sampai-sampai dia harus menikah dengan tuan muda Syailendra yang tidak sempurna itu, dia menerima dengan lapang dada. Tetapi mengapa ibunya itu masih saja tidak bersikap baik padanya? Kesalahan apa yang telah dia perbuat? Kenapa Agatha seperti sangat membencinya sehingga perlakuan sang ibu padanya sangat berbeda dengan Calista?
Anna menarik nafas panjang kemudian menghembuskannya perlahan. Dia memejamkan kedua mata sembari menghapus air matanya. Semalam dia sudah janji akan hidup dengan baik maka dia sudah pasti akan menepati janjinya.
Anna berjalan menuju meja kerjanya kemudian mengambil barang-barang penting seperti laptop dan handphonenya yang lain. Setelah semua siap dia bawa, Anna melihat barangnya yang ternyata sudah dua tas jinjing penuh.
"Ternyata barangku banyak juga," ucapnya bermonolog.
Anna mengambil ponsel dan berniat untuk memanggil supirnya. Tetapi dia teringat bahwa nama saja belum dia ketahui, apalagi nomor.
Anna membawa tas itu kemudian keluar dari kamar. Ketika sampai di ruang tamu, dia sudah tidak melihat seorangpun di sana. Berpikir mungkin para tamu sang ibu sudah pulang.
"Tapi, kenapa pria itu juga tidak ada? Bukankah aku sudah menyuruhnya masuk?" Anna bermonolog.
Padahal dia bermaksud untuk meminta bantuan pria itu membawa barang-barangnya. Tapi sekarang keberadaannya malah tidak ada.
Anna melihat lagi susunan rumahnya. Rumah yang banyak kenangan, kini sudah bukan menjadi haknya. Sudah bukan menjadi tempat dia berpulang.
Dia menggelengkan kepala kemudian melanjutkan langkahnya ketika tiba-tiba Calista datang dan menghentikannya.
Anna agak sedikit terkejut namun segera dia kembalikan ekspresi wajahnya. "Ada apa?" tanya Anna malas.
"Menjadi Nyonya muda Shailendra begitu menyenangkan rupanya." Calista semakin mendekat dan seringai di wajahnya semakin dalam. "Berikan kunci mobil itu!"
Anna terbelalak mendengarnya. Tidak sangka bahwa Calista bisa begitu tidak tahu malu.
"Pergilah, aku tidak memiliki waktu untuk meladenimu," ucap Anna ketus.
Perkataan Anna membuat Calista membuka mulut karena tercengang mendengar ucapannya yang ketus. Anna yang dia kenal adalah gadis yang penurut. Tidak pernah marah apalagi membantah semua perkataannya dan sang ibu.
Namun, Anna yang berdiri di depannypenandatanganana kali ini sangat berbeda dari Anna yang kemarin. Sejak masuk dan menginterupsi jual beli rumah tadi, sang adik terlihat lebih berani.
Meski begitu, Calista tidak ingin terlihat lemah. Dia melangkah maju dan menegakkan kepala. Menatap Anna dengan tajam, seperti biasa.
"Kau berani terhadapku? Seharusnya kau berterima kasih padaku. Karena jika bukan karena aku, kau tidak akan menikah dan menjadi nyonya muda Shailendra. Kau bisa menaiki mobil Porsche itu juga berkat aku. Tidak usah belaga dan berubah menjadi nyonya besar dalam semalam."
Seringai tipis muncul di wajah cantik Calista. Dia mundur selangkah dengan kedua mata yang masih menatap tajam pada Anna.
"Lagipula tuan muda yang kau nikahi itu adalah tuan muda yang cacat. Jadi, tidak usah tinggi hati," ucap Calista tersenyum puas.
Anna menahan tangis, bukan karena ucapan sang kakak benar. Melainkan karena perlakuannya yang sampai sekarang tidak pernah berubah. Selalu merendahkannya dan memperlakukan dia seperti bukan keluarga.
Anna menatap Calista dengan benci, "Suamiku memang cacat, lalu kenapa? Dia adalah putra keluarga terkaya di negri ini. Kebetulan kau dan ibumu yang telah melemparkanku ke keluarga kaya itu. Sekarang mau mengambil sesuatu yang merupakan hakku?" Anna mendesis menatapnya dengan sinis, "Dasar tidak tahu malu!"
BERSAMBUNG~~
Waktu berlalu sejak hari di mana mereka pergi ke taman yang ada di dekat rumah. Berhari-hari setelahnya, Ethan juga terlihat murung karena tidak bisa bermain dengan teman barunya. Anna berpikir bahwa ini hanya masalah anak kecil, waktu yang akan membuatnya lupa. Sekarang kedua anaknya sudah beranjak dewasa. Ethan sudah berusia 30 tahun sementara Lyra tahun ini baru menginjak usia 28 tahun. Anna menikmati kebersamaannya bersama dengan sang suami. Perusahaan pun sudah perlahan-lahan diserahkan pada Ethan. Kini dia dan Eric hanya tinggal menikmati masa tua bersama. Dilihatnya jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 06.00 sore. Sebentar lagi suami dan juga anak-anaknya akan kembali setelah selesai bekerja. Anna merapikan meja makan dan tepat pada saat itu dugaannya benar. Tak lama datang Eric dengan Lyra yang menggendong tangannya. Namun, tidak ada Ethan yang mengekori mereka. Hal itu membuat Anna bertanya-tanya, "Sayang, dimana kakakmu?" Lyra memeluk sang ibu kemudian berkata, "Kata
Akhirnya Anna harus merelakan pakaian dalam kesayangannya menjadi korban "keganasan" Eric yang sudah tidak bisa menahan gairahnya. Anna hanya bisa pasrah dan menikmati saja setiap perlakuan yang diberikan oleh suaminya. Anna merasa kehidupannya sudah sangat sempurna, suami yang sangat mencintainya dan juga anak-anak yang cantik dan tampan. Sudah lengkap kebahagiaan yang dirasakan olehnya setelah bertahun-tahun hidup dalam kesedihan. Tahun demi tahun dilalui keluarga kecil itu dengan penuh semangat kebahagiaan. Kerikil tetap saja akan hadir tetapi jika Eric terus menggenggam kedua tangannya, maka semua akan menjadi baik-baik saja. Kini Anna dan Eric bersiap-siap untuk mengajak Lyra dan Ethan bermain ke taman. Mereka berdua dengan penuh semangat dan kebahagiaan mempersiapkan segala perlengkapan yang diperlukan untuk hari yang menyenangkan bersama keluarga kecil mereka.Lyra yang ceria dan Ethan yang penuh energi dengan riangnya melompat-lompat karena hendak diajak pergi ke taman. Mer
Eric merasa sangat malu karena sudah tertangkap basah melakukan sesuatu yang tidak senonoh oleh istrinya. Padahal dia berusaha untuk menjaga kerahasiaan dirinya sendiri tetapi tidak disangka malah Anna tiba-tiba datang kembali setelah dia menyuruhnya untuk pergi beristirahat. Saat ini Eric sedang duduk di tepi ranjang dengan kepala tertunduk dan jemari yang saling bertaut. Dia seperti seorang penjahat yang sudah kedapatan tertangkap warga saat sedang melakukan aksinya. "Anna, aku ...." Eric tidak bisa menemukan alasan yang tepat untuk diberikan pada istrinya. Anna menggelengkan kepala, menatap Eric dengan tidak percaya. Dalam hati sedikit merasa bersalah karena dialah yang menjadi penyebab Eric melakukannya. Seandainya saja dia tidak ketakutan, mungkin hal seperti tadi tidak akan pernah terjadi. Anna menarik nafas panjang kemudian menghembuskannya perlahan. Dia berjalan mendekati suaminya kemudian duduk di sebelahnya. "Sayang, maaf, aku tidak bermaksud—""Maafkan aku." Eric meng
Eric memicingkan kedua matanya, kali ini dia balik menatap Anna dengan kesal. Berani sekali istrinya ini berbohong dengan mengatakan bahwa dia belum selesai. Membuat Eric merasa uring-uringan selama seharian ini. Sementara Anna, dia tahu marabahaya akan segera datang. Dia segera bersiap, mendorong tubuh Eric, hendak bangun dan pergi meninggalkannya. Namun, gerakan Anna tidak kalah cepat dengan gerakan Eric. Prianitu segera menangkap pergelangan tangannya, membuat Anna tidak bisa pergi menjauhinya. "Kamu mau kemana?" Eric berkata dengan tatapan mengintimidasi. Anna yang melihat itu, seketika dia sadar bahwa riwayatnya akan segera tamat. Eric pasti tidak akan membiarkannya. "Eric, aku ...." Anna tidak bisa lagi berkata-kata. Dalam hati dia merasa harus mengubah strateginya. Jika ditolak, tentu Eric akan kecewa. Sementara jika diladenipun, Anna takut sebab dia masih merasa ngilu melakukannya. Anna berdeham, dia melingkarkan kedua tangannya di leher Eric kemudian memberikan kecupan-
"Mana ada! Bahkan aku tidak pernah terpikir untuk melakukan hal seperti itu di belakang!" Eric membela diri.Anna memicingkan kedua matanya, menatap Eric dengan perasaan curiga. Perlahan dia berjalan mendekati suaminya kemudian melirik ke arah layar laptop yang terbuka. Di sana hanya ada lembar kerja lengkap dengan catatan di sana. Anna membuka seluruh isi di dalamnya dan tidak menemukan hal-hal mencurigakan. Anna menolehkan kepala dan tatapannya langsung bertemu dengan Eric. Kedua tangan pria itu bersedekap di depan dada, melihat sang istri yang menatap yang tidak percaya. "Bagaimana? Apakah kamu sudah menemukan hal-hal yang kamu cari?" Eric bertanya dengan penuh keberanian. Sementara Anna, dia hanya diam sembari terus memperhatikan ekspresi wajah suaminya. Tetapi dia hanya mencintai kebenaran di sana. Eric sama sekali tidak berbohong tentang dia yang memiliki pekerjaan. "Kalau gitu, sekarang tidur bersama denganku! Kamu sudah berjanji tidak akan menyentuh pekerjaan selama dua b
Sepanjang hari itu, Eric merasa sangat kesal dengan keadaan. Padahal dia yakin bahwa hari ini istrinya sudah siap. Dia sudah menghitung tanggal dan sekarang adalah hari yang tepat. "Bukankah sudah satu bulan berlalu, tapi kenapa belum juga bisa? Apakah aku salah menghitung?" Eric bermonolog. "Kenapa, Eric?" Edmund bertanya, saat ini dia sedang mengajak Ethan bermain di halaman belakang tetapi tiba-tiba mendengar putranya berbicara. Hanya saja dia tidak terlalu mendengarkan, sehingga tidak tahu kalimat yang diucapkan oleh Eric. Eric menolehkan kepala dan dalam hati merasa malu sebab dia tidak menyadari bahwa telah menyuarakan isi kepalanya. "Tidak ada," Eric menggelengkan kepala. Edmund tidak bertanya lagi, dia memilih untuk kembali fokus pada Ethan hingga tiba-tiba Eric memanggilnya. "Kenapa?" Edmund bertanya. Eric terdiam beberapa saat sebelum akhirnya dia berkata, "Pa, apakah wanita memang membutuhkan waktu yang lama setelah melahirkan?" Mendengar pertanyaan putranya, seketi