Rasa sakit ketika melakukan aborsi seminggu yang lalu. Seakan sudah dilupakan oleh Dini. Pesan singkat yang dikirim oleh Ferdi, seketika membuat Dini begitu bersemangat untuk menemuinya di sebuah kafe. Entah apa yang ingin dibicarakan oleh Ferdi, tetapi Dini terlihat begitu antusias untuk bertemu dengan Ferdi.
Dengan gaun pendek berwarna biru. Dini yang sudah sehat, terlihat begitu mempesona. Ditambah riasan tipis. Semakin menambah kesan dewasa dari Dini. Ia pun merasa penampilan dirinya di hari ini, akan membuat Ferdi bahagia. Tidak heran Dini, begitu percaya diri untuk bisa bertemu dengan Ferdi.Tiba di kafe, Dini terlihat langsung tersenyum gembira. Bagaimana tidak, ini adalah pertemuan kembali Dini dengan Ferdi. Pasca pemulihan operasi yang dilakukan oleh Dini. Ia pun sudah tidak sabar untuk melihat kembali wajah pacarnya secara langsung.Dini langsung memeluk Ferdi dari belakang. Mencium rambut Ferdi yang begitu harum. Sedikit merasakan sensasi harum yang ada. Dini terlihat begitu gembira untuk saat bisa kembali memeluk tubuh Ferdi.Tidak berselang lama, Ferdi yang mulai tidak nyaman dengan apa yang dilakukan oleh Dini. Sedikit mendorong tubuh Dini. Dia meminta Dini untuk segera duduk di hadapannya. Sebab Ferdi ingin segera mengatakan hal penting pada Dini."Bisa tidak, kamu jangan seperti anak kecil seperti itu. Cepat duduk! Aku ingin bicara hal penting padamu," ucap Ferdi dengan sedikit kasar.Dengan wajah yang bingung, Dini pun akhirnya duduk di hadapan Ferdi. Ia tidak menyangka, Ferdi akan berkata dengan begitu kasar padanya. Sehingga wajah bingung, nampak dari Dini saat sudah berada di hadapan Ferdi.Ferdi menyodorkan sebuah surat undangan cantik berwarna biru muda. Meminta Dini untuk membuka surat undangan yang diberikannya tersebut."Surat undangan siapa ini?" tanya Dini dengan wajah bingung."Sudah, kamu buka saja. Jangan banyak bicara!" jawab Ferdi dengan tegas.Dini perlahan mulai mengambil surat undangan yang diberikan oleh Ferdi pada dirinya. Dia perlahan mulai membaca setiap kata yang ada di surat undangan. Sampai akhirnya dia menemukan nama Ferdi yang bersanding dengan seorang perempuan.Dengan wajah tidak percaya, Dini mencoba memastikan nama Ferdi yang ada di surat undangan. Bukan Ferdi yang ada di hadapannya. "Ini bukan nama kamu. Ini bukan kartu undangan pernikahan kamu, bukan?"Ferdi menyalakan rokoknya, dia mulai menghisap perlahan rokok yang ada di mulutnya. Menghembuskan dengan lembut. Sebelum menaruh korek bensin yang sedari tadi dimainkan di antara jari tangannya."Sebelumnya aku mau minta maaf sama kamu. Selama ini aku menjalin hubungan diam-diam dengan Raisa. Hubungan kami berjalan baik, sampai sebuah kabar bahagia datang. Raisa hamil anakku. Secara otomatis, aku harus tanggung jawab atas kehamilan dari Raisa. Oleh sebab itu aku akan menikah dengan dia," ucap Ferdi dengan santainya.Marah besar, Dini segera melayangkan sebuah tamparan keras tepat di pipi kanan Ferdi. Dia merasa Ferdi benar-benar sosok pria bajingan. Bisa-bisanya dia menikahi Raisa dengan alasan hamil. Sementara selama ini Dini selalu dipaksa oleh Ferdi untuk mengugurkan kandungan. Satu ketidakadilan dibuat oleh Ferdi akan Dini."Aku mati-matian menuruti permintaanmu. Tetapi kamu justru menyakitiku dengan cara ini. Aku berusaha mempertaruhkan nyawa untuk mengikuti setiap permintaanmu. Tetapi kamu menganggap semuanya hal yang wajar. Luar biasa. Aku benar-benar kecewa dengan apa yang kamu lakukan. Perselingkuhan, aku rasa ini paling menyakitkan. Tetapi sikap bajingan kamu, jauh lebih menyakitkan dari apapun. Aku tidak akan lupa. Dan aku yakin, kamu akan mendapat balasan atas apa yang sudah kamu lakukan padaku!" ucap Dini dengan tegasnya.Ferdi menarik rambut Dini dengan begitu kasarnya. Matanya nyaris keluar menatap tajam wajah Dini. Dia sama sekali merasa Dini bukan sosok perempuan yang baik. "Aku tentu tidak akan menikah dengan perempuan murahan seperti kamu. Menikah itu untuk seumur hidup. Jadi aku tidak akan pernah memilih perempuan murahan seperti kamu. Ingat itu!"Dini pun hanya bisa menangis di hadapan Ferdi. Berharap semua yang Ferdi katakan adalah kebohongan. Dini yang begitu mencintai Ferdi, tentu merasa begitu kehilangan sosok Ferdi. Di mana Dini rela melakukan apapun demi Ferdi.Berbeda dengan Ferdi, dia sama sekali tidak pernah mencintai Dini. Ia menganggap Dini hanyalah pemuas napsunya saja. Bukan perempuan yang dicintainya seperti Raisa saat ini. Sudah pasti Ferdi akan memilih untuk menikah dengan Raisa. Daripada harus melanjutkan hubungan dengan Dini.Sebelum pergi, Ferdi pun mengingatkan pada Dini. Jika hubungan antara dirinya dan Dini, anggap sebuah hubungan yang tidak ada. Ferdi tidak ingin Raisa tahu akan hubungan yang pernah terjalin antara dirinya dengan Dini. Itu aib bagi Ferdi, dan bukan untuk diketahui oleh Raisa.Dini tidak bisa berkata-kata lagi. Ia hanya terus menangis sesenggukan, membayangkan betapa malang nasib yang diterimanya saat ini. Ditinggal pergi oleh Ferdi, tentu suatu hal yang tidak pernah bisa dibayangkan oleh Dini. Apalagi Dini sudah melakukan semua keinginan dari Ferdi. Tetapi pada akhirnya, Dini harus merasakan kesakitan yang begitu perih."Ternyata semua ucapan dari Deni selama ini benar. Laki-laki itu memang bajingan. Aku tidak pernah bisa membayangkan, betapa hancurnya saat ini. Tetapi dia merasa tidak melakukan apapun padaku. Ini benar-benar gila. Aku hanya mencintai sendiri, Ferdi sama sekali tidak merasakan cinta seperti yang aku miliki," ucap Dini tetap menangis.Beberapa pengunjung kafe pun mulai simpatik pada Dini. Mereka merasakan apa yang saat ini sedang di hadapi oleh Dini. Kepahitan yang Dini rasakan, ternyata membuat beberapa orang mulai memberikan dukungan yang kuat pada Dini. Beberapa pengunjung perempuan mulai mendatangi meja tempat Dini berada. Sebelum memberikan pelukan hangat pada Dini.Terlihat kecil, tetapi apa yang dilakukan oleh beberapa pengunjung kafe. Sedikitnya membuat Dini bisa semakin kuat dalam menjalani nasib buruk yang menimpa. Ini benar-benar yang Dini harapkan, di mana Dini begitu butuh banyak dukungan dari orang-orang."Kamu harus bisa kuat. Sepertinya pria itu bukan pria baik-baik. Jadi kamu beruntung bisa lepas dari dia. Hari ini adalah hari keberuntungan untukmu. Aku harap kamu bahagia dengan semua yang ada," ucap salah seorang pengunjung kafe."Tidak ada yang lebih baik. Dari seorang yang sudah dipersiapkan oleh Tuhan untuk kita di kemudian hari. Kamu harus tetap yakin seorang pria baik sudah menunggu kamu. Bersabar untuk sedikit lebih baik lagi," ucap pengunjung lainnya.Merasa mendapatkan banyak dukungan. Dini terlihat bisa tenang. Dia tidak lupa mengucapkan banyak terima kasih pada semua orang yang telah mendukung Dini. Ini benar-benar hal yang sulit. Tetapi Dini harus bisa melewati hal yang sulit tersebut. Itu yang harus Dini bisa lakukan.Melihat Dini yang begitu galau dengan keputusan dari Ferdi. Bi Sanih sama sekali tidak tega melihat Dini seperti seorang yang putus asa. Setiap hari, Dini hanya melamun di taman belakang rumah. Bahkan terkadang Dini berteriak seperti orang yang kurang waras. Itu benar-benar membuat bi Sanih khawatir akan kondisi kesehatan dari Dini. Hal yang sama pernah dialami oleh ibu Dini, saat mengetahui suami tercinta berselingkuh.Bi Sanih mendatangi kamar Deni. Mungkin sedikit berdiskusi dengan Deni, akan membuatnya menemukan solusi terbaik untuk Dini saat ini. Apalagi Deni di kenal sebagai seorang yang bijaksana. Tidak heran bi Sanih pun mengajak Deni untuk bisa berdiskusi dalam membicarakan persoalan yang saat ini sedang dihadapi oleh Dini.Belum mengetuk pintu kamar Deni, bi Sanih langsung dikejutkan dengan kedatangan dari Deni dari arah berlawanan. Membawa semangkuk soto ayam dari dapur. Deni sempat bingung dengan kedatangan dari bi Sanih ke kamarnya."Ada apa Bi?" tanya Deni menyuap kuah s
Dua koper perlengkapan dari Dini sudah siap berada di dalam koper. Sebagian besar isi dari koper itu adalah pakaian serta alat kosmetik yang memang sudah disiapkan oleh Dini selama di desa. Bi Sanih pun sudah tidak sabar untuk mengantar Dini menuju ke kampung halamannya. Di mana tempat itu akan menjadi rumah baru bagi Dini dalam menemukan jati dirinya. Darmawan pun terlihat turut gembira dengan kepergian Dini ke desa tempat bi Sanih tinggal. Darmawan merasa tempat baru yang Dini akan tinggali itu, tentu saja akan menjadi tempat yang bagus untuk Dini bisa belajar banyak. Apalagi desa tempat tinggal bi Sanih merupakan desa yang belum tersentuh kehidupan modernisasi yang cukup parah. Sehingga Dini bisa hidup jauh lebih baik lagi di sana. Sudah hampir 10 tahun, Dini melakukan perang dingin dengan ayahnya sendiri. Tidak ada kata apapun yang Dini ucapkan saat akan pergi. Dini hanya berpamitan pada ibunya saja. Sekalipun ibunya sendiri tidak mengenali Dini sebagai anaknya. Darmawan pun te
Ada sedikit hal berbeda dirasakan oleh Deni saat melihat Dini. Tidak biasanya Dini tersenyum manis seperti itu. Apalagi Dini masih berduka dengan keputusan yang diambil oleh Rehan. Tetapi Dini sama sekali tidak menunjukkan rasa sedih yang seharusnya ada. Dini terlihat mulai tersenyum, bahagia seperti apa yang diharapkan oleh Deni. Saat mobil yang dibawa oleh Deni sudah sampai di depan rumah bi Sanih. Dini tidak segera turun, dia masih teringat akan wajah tampan dari Fachri. Di mana Dini begitu menyukai senyuman dari wajah Fachri yang mempesona. "Sepertinya ada yang lain yang ku lihat darimu," ucap Deni mengejek Dini. Dini langsung tersadar dengan apa yang dimaksud oleh Deni. Dia segera merubah sikapnya. Kembali menunjukkan wajah datar penuh kesedihan. "Tidak ada yang aneh. Kamu saja yang merasa seperti itu," jawab Dini mulai kembali dengan ekspresi wajah sedih. "Apa mungkin kamu jatuh hati pada pria tadi. Aku lupa namanya. Fach," Deni mengingat. "Fachri," lanjut bi Sanih. "Iya,
Gus Fatur sudah tidak sabar untuk bertemu dengan kiayi Musthofa yang merupakan ayahnya sendiri. Hampir setengah gelas teh yang dihidangkan di atas meja. Sudah nyaris habis diminum olehnya. Entah Gus Fatur yang sedang haus, atau memang dia mulai tegang. Sebab hari ini adalah keputusan yang akan diambil oleh kiayi Musthofa dalam izin pembangunan vila di belakang pesantren. Gus Fatur terlihat begitu sumringah, saat kiayi Musthofa yang diantar oleh Khadijah datang menemui dirinya. Gus Fatur yang tidak ingin kehilangan momen untuk bisa membuat ayahnya setuju dengan keinginan dari dirinya. Bersikap begitu ramah. Dia pun langsung menghampiri kiayi Musthofa untuk menggandengnya duduk di atas kursi, samping Gue Fatur. Khadijah yang tidak setuju dengan pembangunan vila. Terlihat kurang senang melihat cara Gus Fatur yang berusaha merayu ayahandanya. Apalagi cara yang dilakukan oleh Gus Fatur adalah cara klasik orang-orang munafik. Khadijah pun mulai menunjukkan sikap yang begitu tegas dalam me
Pertama kali merasakan pagi di desa. Rasanya kurang, jika hanya di habiskan untuk berdiam diri di rumah saja. Mungkin dengan berkeliling desa dengan keindahan hamparan sawah dan pegunungan. Bisa membuat mata menjadi segar. Kesempatan yang baik ini, tidak akan di lewatkan oleh Dini. Apalagi pagi ini, matahari terlihat begitu indah terbit dari arah timur. Mengisyaratkan hari yang cerah nan indah akan segera di mulai. Dini mengajak bi Sanih untuk pergi bersama dengan dirinya. Tetapi tawaran dari Dini di tolak mentah-mentah oleh bi Sanih. Masih ada menu sarapan sehat yang harus di siapkan oleh bi Sanih untuk Dini dan Deni. Sehingga bi Sanih harus mempersiapkan sebaik mungkin. Bi Sanih pun memanggil Fitri untuk menemani Dini melakukan aktivitas pagi. Mungkin saja Fitri bersedia untuk pergi bersama dengan Dini. Perjalanan yang sudah pasti akan menyenangkan bagi Fitri dan Dini. "Ada apa Nek?" tanya Fitri dengan sedikit ketus. "Kamu antar mbak Dini untuk jalan-jalan memutari desa. Dia in
Merasa tertolong dengan bantuan dari Fachri dan para santri saat berada di dalam hutan. Dini meminta pada bi Sanih, untuk memasak makanan yang cukup banyak untuk diberikan pada para santri di pesantren milik kiayi Musthofa. Dini sendiri yang akan mengantar makanan itu ke pesantren. Dengan kaos tangan panjang serta rok berwarna biru yang panjang juga. Dini terlihat begitu antusias untuk segera memberikan makanan yang dibuat bi Sanih untuk para santri. Berbekal rute yang di berikan oleh bi Sanih. Dini pun terlihat begitu antusias untuk bisa segera tiba di pondok pesantren. Bertemu dengan Fachri dan para santri. Sebenarnya bi Sanih meminta Fitri untuk mengantar Dini pergi. Tetapi Fitri menolak permintaan dari bi Sanih. Dengan dalih capek, Fitri merasa tidak bisa untuk mengantar Dini ke pesantren. Sehingga Dini pergi sendiri ke pesantren dengan membawa dua rantang makanan. Perjalanan Dini menuju pesantren, tidak ada kendala apapun. Dia merasa begitu gembira untuk bisa tiba di pesantren
"Assalamualaikum," salam Fachri sebelum pergi dari hadapan Dini. Dini yang tidak tahu cara membalas salam dari Fachri. Terlihat bingung untuk membalas salam dari Fachri tersebut. Dia hidup dengan orang-orang yang jauh dari nilai-nilai keagamaan. Itu yang membuat Dini bingung untuk menjawab salam dari Fachri. Fachri yang sudah hampir pergi. Kembali menahan diri untuk tidak langsung pergi. Sebab dia belum mendapat balasan dari Dini. Fachri pun merasa kurang afdol, saat Dini belum juga membalas salam yang diucapkan olehnya. "Kenapa kamu tidak membalas salam dariku?" Dini menggaruk kepalanya, menunjukkan ekspresi bingung. kemudian berkata, "Aku bingung membalas salam darimu. Apa yang harus aku katakan. Aku tidak tahu. Wakalam, atau apa. Aku sering mendengar, tapi aku tidak bisa mengucapkan itu. Sebab aku memang tidak pernah mengucapkan kata tersebut." Fachri pun menyadari akan Dini yang memang bukan berasal dari keluarga religius. Sehingga ia sama sekali tidak paham dengan jawaban da
Sebagai seorang pengajar di pesantren. Umi Salamah adalah seorang yang memiliki pengetahuan yang cukup luas. Apalagi materi pelajaran yang diberikan oleh Umi, panggilan akrab Umi Salamah adalah matematika. Tentu saja materi yang sulit untuk bisa diajarkan oleh sebagian orang. Umi pun terkenal akan sikap tegas serta cara mengajar yang begitu konsisten. Tidak heran Umi banyak di segani oleh para santri. Pasca kematian dari suaminya, lima tahun yang lalu. Umi hingga kini lebih memilih untuk tetap menjanda. Belum ada sosok yang menurutnya sesuai dengan apa yang di harapkan oleh Umi. Sudah banyak pria yang mengajak Umi untuk ta'aruf. Tetapi Umi tetap menolak ajakan dari para pria tersebut. Mengingat standar tinggi yang di berikan oleh Umi pada setiap pria. Sehingga mereka tidak memenuhi persyaratan yang Umi inginkan. Dua tahun terakhir, perasaan Umi pada Gus Fiment begitu terasa. Umi mulai merasakan hal berbeda pada calon pemimpin pesantren tersebut. Umi Salamah menyukai sikap lembut yan