Melihat Dini yang begitu galau dengan keputusan dari Ferdi. Bi Sanih sama sekali tidak tega melihat Dini seperti seorang yang putus asa. Setiap hari, Dini hanya melamun di taman belakang rumah. Bahkan terkadang Dini berteriak seperti orang yang kurang waras. Itu benar-benar membuat bi Sanih khawatir akan kondisi kesehatan dari Dini. Hal yang sama pernah dialami oleh ibu Dini, saat mengetahui suami tercinta berselingkuh.
Bi Sanih mendatangi kamar Deni. Mungkin sedikit berdiskusi dengan Deni, akan membuatnya menemukan solusi terbaik untuk Dini saat ini. Apalagi Deni di kenal sebagai seorang yang bijaksana. Tidak heran bi Sanih pun mengajak Deni untuk bisa berdiskusi dalam membicarakan persoalan yang saat ini sedang dihadapi oleh Dini.Belum mengetuk pintu kamar Deni, bi Sanih langsung dikejutkan dengan kedatangan dari Deni dari arah berlawanan. Membawa semangkuk soto ayam dari dapur. Deni sempat bingung dengan kedatangan dari bi Sanih ke kamarnya."Ada apa Bi?" tanya Deni menyuap kuah soto yang masih panas."Anu Mas Deni. Saya khawatir dengan Mbak Dini. Dari kemarin dia terlihat murung terus. Saya khawatir kondisi dari Mbak Dini akan seperti Ibu," jawab bi Sanih dengan tatapan menunduk.Deni terdiam, dia tidak berpikir hal yang sama pernah terjadi pada ibunya sendiri. Tentu hal itu tidak diinginkan untuk kembali terjadi pada Dini."Benar Bi. Saya juga khawatir, apalagi hal yang sama pernah terjadi sama Ibu saya. Kita harus melakukan sesuatu untuk Dini. Melakukan hal yang baik untuk bisa menyembuhkan luka dan patah hati yang sedang dihadapinya," ujar Deni.Deni segera mengajak bi Sanih untuk bertemu dengan Yatno. Tentu saran dari Yatno pun begitu penting dalam menentukan nasib dari Dini. Yatno tentu jauh lebih paham dengan apa yang dibutuhkan oleh Dini saat ini.Tidak dalam keadaan sibuk, Yatno terlihat duduk santai di depan teras rumah. Dengan handphone di tangan kanan. Yatno terlihat begitu santai membaca setiap pesan yang masuk ke dalam handphone."Apa Ayah tidak sibuk di hari ini?" tanya Deni."Tentu saja. Ayah hanya membaca beberapa pesan singkat yang masuk ke handphone," jawab Yatno dengan santai."Putusnya Dini dan Ferdi, sepertinya membuat Dini galau berat. Dia terlihat begitu bersedih dengan keputusan dari Ferdi untuk mengakhiri semuanya. Bi Sanih menyarankanku untuk mencari solusi terbaik. Mungkin Ayah memiliki solusi terbaik untuk Dini saat ini?"Yatno terdiam, memikirkan solusi yang diminta oleh Deni. Tentu Yatno sebagai seorang ayah, sudah seharusnya memiliki sebuah solusi efektif yang bisa digunakan untuk membuat Dini kembali bersemangat menjalani hidup. Kegalauan yang saat ini sedang dihadapi oleh Dini, seharusnya segera diakhiri oleh semuanya."Kira-kira apa yah. Tapi Ayah sendiri belum menemukan solusi terbaik untuk Dini. Apalagi Ayah tidak dekat dengan Dini. Jadi Ayah tidak tahu apa yang harus dilakukan," ucap Yatno.Kedua mata Yatno dan Deni pun kini mengarah pada wajah bi Sanih. Mungkin saja bi Sanih memiliki solusi yang terbaik untuk Dini. Apalagi bi Sanih yang mengusulkan diskusi di hari ini."Mas Deni dan Bapak ingin saran dari saya?" tanya bi Sanih dengan wajah gugup."Tentu saja. Siapa tahu, saran dari Bibi bagus. Sehingga ada solusi yang bisa kita dapat di hari ini," balas Deni merangkul bi Sanih."Bagaimana jika kita membawa Mbak Dini untuk pergi ke desa, tempat saya tinggal. Mungkin tempat baru itu bisa menjadi solusi yang paling ampuh bagi Mbak Dini untuk bisa melupakan mantan pacarnya," jelas bi Sanih.Kedua mata Deni dan Yatno mulai saling bertatapan. Mereka merasa ide dari bi Sanih sama sekali tidak buruk. Apalagi desa tempat bi Sanih tinggal, masih menjadi desa yang belum tersentuh modernisasi. Dini bisa tenang untuk berada di sana."Aku setuju dengan ide dari bi Sanih. Dini mungkin akan cepat bisa melupakan semuanya di sana. Apalagi tempat yang tenang, tentu akan menjadi tempat yang paling indah bagi Dini. Sudah pasti, tempat itu tidak akan menjadi tempat bagi Dini untuk bertemu dengan pria bajingan seperti Ferdi," ujar Deni dengan tegas."Ayah pun setuju dengan ide dari bi Sanih. Sepertinya itu bukan hal yang konyol. Apalagi Dini menyukai suasana tenang seperti itu. Siapa tahu Dini juga bisa belajar hal baru di sana. Mungkin belajar dalam hal agama," ucap Yatno.Semuanya setuju dengan ide bi Sanih. Kini giliran dari Deni untuk bisa membujuk Dini. Sebab hanya Deni saja yang bisa berbicara hati ke hati dengan Dini. Bi Sanih, tentu tidak akan seperti Deni. Apalagi Yatno yang begitu dibenci oleh Dini. Sudah pasti tidak akan mendapatkan tempat di hati Dini. Bukannya menerima, Dini sudah pasti akan memaki saran yang disampaikan oleh bi Sanih.Deni yang ingin segera mengakhiri kegalauan yang sedang di hadapi oleh Dini. Segera menghampiri Dini yang berada di pinggir kolam renang. Dia terlihat sudah tidak sabar untuk mengajak Dini pergi ke desa, tempat bi Sanih tinggal."Apa kamu masih bersedih dengan keputusan yang diambil oleh Ferdi?" tanya Deni dengan wajah penasaran."Sepertinya begitu. Aku masih merasa bersedih dengan apa yang terjadi. Tetapi aku sadar, jika aku terus melanjutkan hubungan itu. Hanya aku yang akan terluka. Aku lebih baik tidak kembali melanjutkan hubungan yang sudah ke tahap buruk tersebut," ucap Dini dengan tenang."Aku rasa, kamu butuh tempat. Di mana kamu bisa dengan mudah melupakan Ferdi. Tempat yang jauh dari Jakarta saat ini. Dan tempat itu aku pikir berada di desa, tempat bi Sanih tinggal. Bagaimana menurutmu?" terang Deni dengan wajah meyakinkan.Dini sempat terkejut dengan penawaran yang diberikan oleh Deni. Dini sama sekali tidak yakin tempat itu akan jadi tempat yang nyaman untuk dirinya. Sama sekali ia tidak paham maksud dari Deni."Kenapa aku harus ke sana, aku rasa di sini pun aku bisa melupakan dia. Ini hanya soal waktu saja. Perlahan, aku pasti bisa melupakan dia secepat mungkin. Percaya padaku," ucap Dini dengan tatapan serius."Tapi Din, aku rasa kamu butuh tempat baru yang lebih segar. Tempat di mana kamu bisa melupakan Deni secepat mungkin. Kamu harus bisa melakukan itu. Aku harap kamu akan menerima penawaran ini. Demi kebaikanmu," Deni memohon.Dini pun mulai berpikir akan penawaran yang diberikan oleh Deni. Dini rasa penawaran yang Deni berikan, tidak begitu buruk. Desa adalah tempat yang jauh dari kehidupan modern. Mungkin Dini bisa pergi ke tempat yang jauh dari hiruk pikuk kota yang membosankan. Apa salahnya bagi Dini untuk menerima itu semua. Mengingat Dini pun butuh suasana baru. Hidup di lingkungan baru yang penuh dengan kedamaian. Tidak ada kenangan dengan Ferdi yang akan membuat Dini merasa begitu sedih.Dini akhirnya menerima tawaran dari Deni. Dia siap pergi ke desa tempat bi Sanih tinggal. Di mana ia siap memulai kehidupan baru yang penuh dengan misteri. Menjauh dari masa lalu kelam yang dibuat bersama dengan Ferdi.Dua koper perlengkapan dari Dini sudah siap berada di dalam koper. Sebagian besar isi dari koper itu adalah pakaian serta alat kosmetik yang memang sudah disiapkan oleh Dini selama di desa. Bi Sanih pun sudah tidak sabar untuk mengantar Dini menuju ke kampung halamannya. Di mana tempat itu akan menjadi rumah baru bagi Dini dalam menemukan jati dirinya. Darmawan pun terlihat turut gembira dengan kepergian Dini ke desa tempat bi Sanih tinggal. Darmawan merasa tempat baru yang Dini akan tinggali itu, tentu saja akan menjadi tempat yang bagus untuk Dini bisa belajar banyak. Apalagi desa tempat tinggal bi Sanih merupakan desa yang belum tersentuh kehidupan modernisasi yang cukup parah. Sehingga Dini bisa hidup jauh lebih baik lagi di sana. Sudah hampir 10 tahun, Dini melakukan perang dingin dengan ayahnya sendiri. Tidak ada kata apapun yang Dini ucapkan saat akan pergi. Dini hanya berpamitan pada ibunya saja. Sekalipun ibunya sendiri tidak mengenali Dini sebagai anaknya. Darmawan pun te
Ada sedikit hal berbeda dirasakan oleh Deni saat melihat Dini. Tidak biasanya Dini tersenyum manis seperti itu. Apalagi Dini masih berduka dengan keputusan yang diambil oleh Rehan. Tetapi Dini sama sekali tidak menunjukkan rasa sedih yang seharusnya ada. Dini terlihat mulai tersenyum, bahagia seperti apa yang diharapkan oleh Deni. Saat mobil yang dibawa oleh Deni sudah sampai di depan rumah bi Sanih. Dini tidak segera turun, dia masih teringat akan wajah tampan dari Fachri. Di mana Dini begitu menyukai senyuman dari wajah Fachri yang mempesona. "Sepertinya ada yang lain yang ku lihat darimu," ucap Deni mengejek Dini. Dini langsung tersadar dengan apa yang dimaksud oleh Deni. Dia segera merubah sikapnya. Kembali menunjukkan wajah datar penuh kesedihan. "Tidak ada yang aneh. Kamu saja yang merasa seperti itu," jawab Dini mulai kembali dengan ekspresi wajah sedih. "Apa mungkin kamu jatuh hati pada pria tadi. Aku lupa namanya. Fach," Deni mengingat. "Fachri," lanjut bi Sanih. "Iya,
Gus Fatur sudah tidak sabar untuk bertemu dengan kiayi Musthofa yang merupakan ayahnya sendiri. Hampir setengah gelas teh yang dihidangkan di atas meja. Sudah nyaris habis diminum olehnya. Entah Gus Fatur yang sedang haus, atau memang dia mulai tegang. Sebab hari ini adalah keputusan yang akan diambil oleh kiayi Musthofa dalam izin pembangunan vila di belakang pesantren. Gus Fatur terlihat begitu sumringah, saat kiayi Musthofa yang diantar oleh Khadijah datang menemui dirinya. Gus Fatur yang tidak ingin kehilangan momen untuk bisa membuat ayahnya setuju dengan keinginan dari dirinya. Bersikap begitu ramah. Dia pun langsung menghampiri kiayi Musthofa untuk menggandengnya duduk di atas kursi, samping Gue Fatur. Khadijah yang tidak setuju dengan pembangunan vila. Terlihat kurang senang melihat cara Gus Fatur yang berusaha merayu ayahandanya. Apalagi cara yang dilakukan oleh Gus Fatur adalah cara klasik orang-orang munafik. Khadijah pun mulai menunjukkan sikap yang begitu tegas dalam me
Pertama kali merasakan pagi di desa. Rasanya kurang, jika hanya di habiskan untuk berdiam diri di rumah saja. Mungkin dengan berkeliling desa dengan keindahan hamparan sawah dan pegunungan. Bisa membuat mata menjadi segar. Kesempatan yang baik ini, tidak akan di lewatkan oleh Dini. Apalagi pagi ini, matahari terlihat begitu indah terbit dari arah timur. Mengisyaratkan hari yang cerah nan indah akan segera di mulai. Dini mengajak bi Sanih untuk pergi bersama dengan dirinya. Tetapi tawaran dari Dini di tolak mentah-mentah oleh bi Sanih. Masih ada menu sarapan sehat yang harus di siapkan oleh bi Sanih untuk Dini dan Deni. Sehingga bi Sanih harus mempersiapkan sebaik mungkin. Bi Sanih pun memanggil Fitri untuk menemani Dini melakukan aktivitas pagi. Mungkin saja Fitri bersedia untuk pergi bersama dengan Dini. Perjalanan yang sudah pasti akan menyenangkan bagi Fitri dan Dini. "Ada apa Nek?" tanya Fitri dengan sedikit ketus. "Kamu antar mbak Dini untuk jalan-jalan memutari desa. Dia in
Merasa tertolong dengan bantuan dari Fachri dan para santri saat berada di dalam hutan. Dini meminta pada bi Sanih, untuk memasak makanan yang cukup banyak untuk diberikan pada para santri di pesantren milik kiayi Musthofa. Dini sendiri yang akan mengantar makanan itu ke pesantren. Dengan kaos tangan panjang serta rok berwarna biru yang panjang juga. Dini terlihat begitu antusias untuk segera memberikan makanan yang dibuat bi Sanih untuk para santri. Berbekal rute yang di berikan oleh bi Sanih. Dini pun terlihat begitu antusias untuk bisa segera tiba di pondok pesantren. Bertemu dengan Fachri dan para santri. Sebenarnya bi Sanih meminta Fitri untuk mengantar Dini pergi. Tetapi Fitri menolak permintaan dari bi Sanih. Dengan dalih capek, Fitri merasa tidak bisa untuk mengantar Dini ke pesantren. Sehingga Dini pergi sendiri ke pesantren dengan membawa dua rantang makanan. Perjalanan Dini menuju pesantren, tidak ada kendala apapun. Dia merasa begitu gembira untuk bisa tiba di pesantren
"Assalamualaikum," salam Fachri sebelum pergi dari hadapan Dini. Dini yang tidak tahu cara membalas salam dari Fachri. Terlihat bingung untuk membalas salam dari Fachri tersebut. Dia hidup dengan orang-orang yang jauh dari nilai-nilai keagamaan. Itu yang membuat Dini bingung untuk menjawab salam dari Fachri. Fachri yang sudah hampir pergi. Kembali menahan diri untuk tidak langsung pergi. Sebab dia belum mendapat balasan dari Dini. Fachri pun merasa kurang afdol, saat Dini belum juga membalas salam yang diucapkan olehnya. "Kenapa kamu tidak membalas salam dariku?" Dini menggaruk kepalanya, menunjukkan ekspresi bingung. kemudian berkata, "Aku bingung membalas salam darimu. Apa yang harus aku katakan. Aku tidak tahu. Wakalam, atau apa. Aku sering mendengar, tapi aku tidak bisa mengucapkan itu. Sebab aku memang tidak pernah mengucapkan kata tersebut." Fachri pun menyadari akan Dini yang memang bukan berasal dari keluarga religius. Sehingga ia sama sekali tidak paham dengan jawaban da
Sebagai seorang pengajar di pesantren. Umi Salamah adalah seorang yang memiliki pengetahuan yang cukup luas. Apalagi materi pelajaran yang diberikan oleh Umi, panggilan akrab Umi Salamah adalah matematika. Tentu saja materi yang sulit untuk bisa diajarkan oleh sebagian orang. Umi pun terkenal akan sikap tegas serta cara mengajar yang begitu konsisten. Tidak heran Umi banyak di segani oleh para santri. Pasca kematian dari suaminya, lima tahun yang lalu. Umi hingga kini lebih memilih untuk tetap menjanda. Belum ada sosok yang menurutnya sesuai dengan apa yang di harapkan oleh Umi. Sudah banyak pria yang mengajak Umi untuk ta'aruf. Tetapi Umi tetap menolak ajakan dari para pria tersebut. Mengingat standar tinggi yang di berikan oleh Umi pada setiap pria. Sehingga mereka tidak memenuhi persyaratan yang Umi inginkan. Dua tahun terakhir, perasaan Umi pada Gus Fiment begitu terasa. Umi mulai merasakan hal berbeda pada calon pemimpin pesantren tersebut. Umi Salamah menyukai sikap lembut yan
Gus Fatur hanya bisa menunduk saat pak Hamzah yang merupakan investor yang bekerjasama dengan dirinya masuk ke dalam ruangan. Gus Fatur udah tidak bisa membayangkan, bagaimana kemarahan dari pak Hamzah pada dirinya. Apalagi Gus Fatur sudah berjanji pada pak Hamzah. Sehingga janji dari Gus Fatur sudah seharusnya di tepati pada pak Hamzah. Pak Hamzah menyalakan rokok terlebih dahulu. Baru setelah itu dia duduk di hadapan Gus Fatur yang terlihat begitu gugup saat bertemu dengan pak Hamzah. Pak Hamzah pun langsung mengirimkan asap tepat ke wajah Gus Fatur. Sontak Gus Fatur langsung batuk oleh asap rokok yang di kirim oleh pak Hamzah. Pak Hamzah tertawa melihat Gus Fatur yang batuk oleh ulah dirinya. Dia merasa Gus Fatur seorang yang begitu lemah. Dia harus batuk oleh asap rokok yang disemburkan padanya. Padahal asap rokok itu hal biasa bagi pak Hamzah. "Saya pikir Gus Fatur itu seorang yang kuat. Ternyata cuman sama asap rokok saja, Gus Fatur sudah batuk-batuk. Lemah banget Gus," ujar