Anita mengatasi rasa canggungnya dengan ikut minum secangkir teh panasnya. Begitu juga Candra, ia kembali menikmati tehnya mencari pijakan dalam keheningan yang mendadak terasa terlalu akrab.“Tehnya… enak,” gumam Candra, nyaris tak terdengar.Anita tertawa pelan. “Cuma teh celup biasa, kok. Tapi, saya senang kalau Pak Candra menyukainya."Candra menatap wajah Anita sejenak. Ada cahaya pagi yang menyelinap masuk lewat jendela, memantul lembut di rambut hitam Anita yang tergerai. Anita masih sangat muda. Tubuhnya yang ramping cantik alami membuat Candra buru-buru mengalihkan pandangannya ke arah lain.“Kalau Bapak nggak butuh apa-apa lagi, saya mau nyapu halaman dulu,” katanya cepat, bangkit dari kursinya.“Anita.”“…Terima kasih. Tehnya enak," ucap Candra. Ucapannya sedikit melunak tidak seperti biasanya.Mata mereka bertemu. Sekilas. Tapi cukup untuk membuat waktu terasa menahan napas.Anita mengangguk kecil. “Sama-sama, Pak.”Lalu ia pergi, langkahnya ringan meninggalkan Candra send
"Lain kali kalau memasak buat porsi lebih. Sehingga aku mampir kemari ada yang bisa aku makan," ucap Candra beralasan. Padahal dalam hatinya lidahnya cocok makan masakan Anita."Iya Pak," jawab Anita singkat sembari meletakkan dua cangkir kopi panas."Silahkan di minum kopinya."Candra menyesap kopinya sedikit. Ia tanpa sadar menatap ke arah Anita. Sialnya, gadis itu justru tengah memandangnya. Candra jadi salah tingkah. Awalnya mau bicara sesuatu malahan jadi gugup. Bukankah dia atasannya. Mengapa dirinya yang gugup. Harusnya Anita yang takut padanya."Oh, ya berdasarkan informanku Adam mendatangi rumah kontrakanmu. Dan ia ketemu Bagas. Aku sudah mengatakan pada Bagas sebelumnya kalau Adam menanyakanmu aku suruh bilang kalau kamu di penjara," terang Candra."Lalu ... bagaimana kalau Pak Adam berusaha menemuiku di penjara?" tanya Anita sedikit takut."Tenang saja. Aku sudah meminta pihak polisi jika ada yang menanyakan keberadaanmu maka tidak di perbolehkan siapapun menemuimu."Anita
Candra mengetuk pintu ruang kerja, namun terdengar suara Hisyam dari dalam menyuruhnya langsung masuk saja. Sekilas Candra tampak risih mendapati bosnya tengah suap-suapan dengan istrinya. Jiwa jomblonya meronta-ronta."Wah, maaf… saya kira ini ruangan kerja, ternyata restoran romantis ya?" sindir Candra.Hisyam tersenyum kemudian tertawa. "Makanya, cepet cari pasangan sebelum pusakamu karatan.""Sayang, nanti kalau malem pijitin aku ya," kata Zahra merajuk. "Tenang saja. Yang penting hadiahnya pelayanan spesial," kata Hisyam sembari memeluk erat Zahra di hadapan Candra.'Dua manusia ini benar-benar tidak ada akhlak. Bisa-bisanya mereka bermesraan di hadapanku,' batin Candra gemas.Candra hanya bisa geleng-geleng kepala. Yang ia tahu wanita itu merepotkan. Ia juga heran mengapa bosnya bisa memilih istri manja seperti Zahra. "Ya sudah aku keluar dulu. Di sini aku tidak mau mataku ternodai melihat adegan dewasa," sindir Candra."Tunggu kami selesai. Kamu tetap di sini. Siapa tahu kala
"Katakan, siapa dalangnya?" Candra sedikit menggertak pada Anita. Gadis muda itu mengeratkan pegangannya di jeruji besi. "Aku tidak tahu," jawab Anita. Ia terus saja bersikeras menutupinya."Kalau kamu ingin bebas. Kamu harus mengatakannya. Anita ... kamu benar-benar mengecewakanku," ucap Candra. Ia mengenal Anita dari Bagas. Waktu itu tidak sengaja Bagas bercerita mengenai adik perempuannya yang butuh pekerjaan setelah lulus SMK. Candra tidak asal pilih. Ia sudah melakukan tes terhadap Anita. Dan gadis itu terbilang cerdas. Bisa menyelesaikan pekerjaannya dengan rapi dan benar. Lima tahun berjalan, hingga akhirnya Anita menyelesaikan kuliahnya yang tertunda karena kesulitan biaya. "Maaf Pak, kalau saya mengatakannya. Apakah ibu saya bisa bapak amankan?" tanya Anita ragu."Apa maksudmu?" Candra berpikir sesaat akhirnya ia paham maksud perkataan Anita.Candra mendekat, wajahnya menegang. Matanya menyorot tajam, seolah mencari jawaban di balik setiap kata. "Sekarang aku tahu," suarany
Hisyam kelihatan kurang bersemangat. Dengan langkah gontai ia membuka pintu kamarnya. Tak ada Zahra di sana. Ia pun kemudian beralih masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Sebelum menyentuh putranya yang masih bayi. Ia tidak ingin terlihat kotor saat menyentuh putranya.Zahra mendapati pintu kamarnya terbuka. Sembari menggendong Abiyan, ia bersenandung merdu. Semenjak menjadi ibu rumah tangga. Zahra senang bernyanyi. Apalagi Abiyan suka tersenyum manis kalau mendengar ibunya bernyanyi.Tak lama kemudian Hisyam keluar dari kamar mandi. Rambutnya sedikit basah karena habis keramas. Zahra cukup kaget melihat suaminya sudah pulang."Mas kapan pulangnya? Kok tahu-tahu sudah mandi?" tanya Zahra heran."Baru saja. Ta lihat kamu tidak ada di kamar tadi. Ya udah aku pikir mendingan aku mandi aja dulu," ucap Hisyam. Ia tak sabar mencium pipinya Abiyan yang makin gembul."Emm, kok Abiyan aja sih," sindir Zahra cemberut."Kalau mamanya ciumannya spesial dong," goda Hisyam. Ia merangkul is
Hisyam kelihatan kurang bersemangat. Dengan langkah gontai ia membuka pintu kamarnya. Tak ada Zahra di sana. Ia pun kemudian beralih masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Sebelum menyentuh putranya yang masih bayi. Ia tidak ingin terlihat kotor saat menyentuh putranya.Zahra mendapati pintu kamarnya terbuka. Sembari menggendong Abiyan, ia bersenandung merdu. Semenjak menjadi ibu rumah tangga. Zahra senang bernyanyi. Apalagi Abiyan suka tersenyum manis kalau mendengar ibunya bernyanyi.Tak lama kemudian Hisyam keluar dari kamar mandi. Rambutnya sedikit basah karena habis keramas. Zahra cukup kaget melihat suaminya sudah pulang."Mas kapan pulangnya? Kok tahu-tahu sudah mandi?" tanya Zahra heran."Baru saja. Ta lihat kamu tidak ada di kamar tadi. Ya udah aku pikir mendingan aku mandi aja dulu," ucap Hisyam. Ia tak sabar mencium pipinya Abiyan yang makin gembul."Emm, kok Abiyan aja sih," sindir Zahra cemberut."Kalau mamanya ciumannya spesial dong," goda Hisyam. Ia merangkul is