[Mas, dua hari lagi kita akan menikah. Kapan kamu pulang dari luar negeri?]
Zahra mengirimkan pesan tersebut pada kekasihnya. Dahinya mengernyit heran kemudian karena ia melihat pesannya sudah dibaca oleh si penerima, tapi tidak kunjung dibalas meski sudah lewat beberapa menit.
Namun, Zahra tidak berpikir aneh-aneh. Ia mengira Abie, kekasihnya tersebut, sedang sibuk bekerja.
Zahra adalah seorang gadis sederhana yang menerima perjodohan dengan Abie, seorang pewaris perusahaan multinasional yang saat ini sedang berada di luar negeri untuk mengurusi bisnis sang ayah. Sendirinya, ia hanya satu kali bertemu dengan Abie–itupun ia selalu menunduk sampai-sampai tidak bisa saling menatap muka satu sama lain. Selanjutnya, mereka hanya berhubungan lewat pesan dan telepon saja setelah mereka menyetujui perjodohan tersebut.
Sayangnya, ibunda Abie yang menjodohkan mereka harus meninggalkan dunia begitu cepat setelahnya akibat kanker ganas. Meski begitu, perjodohan antara Abie dan Zahra tetap dilanjutkan, dengan pengawalan ketat Hisyam, ayah Abie.
Sampai pada akhirnya, dua hari lagi Zahra akan bertemu dan menikah dengan Abie.
Tiba-tiba ponselnya berdering.
Mengira bahwa itu Abie, Zahra langsung mengangkatnya. “Halo?”
“‘Zahra, apakah Abie sudah menghubungimu?”
Hati Zahra mencelos saat mendengar suara Hisyam, calon papa mertuanya, di seberang saluran telepon. Alih-alih suara Abie.
"Maaf, Om. Mas Abie belum menjawab pesanku."
"Kalau begitu nanti sore Om akan jemput kamu. Kamu aku ajak ke toko perhiasan dulu untuk mengambil cincin pernikahan kalian," ucap Hisyam.
"Baik Om," jawab Zahra lirih.
Sebenarnya dia ingin mengambil cincin itu dengan Abie. Namun, apa boleh buat, Abie belum juga merespons pesan darinya hingga akhirnya calon papa mertuanya yang ikut turun tangan.
Sore pun tiba, Hisyam dengan setelan necisnya karena dari kantor langsung mendatangi apartemen Zahra.
Zahra sedikit canggung ketika bertemu dengan Hisyam. Papa mertuanya ini meskipun sudah berumur matang, pria itu tetap tampak keren. Apalagi jika dibandingkan dengan semua pria di sekitar Zahra. Selain itu, Hisyam juga masih tampak lebih muda dari usia aslinya, tidak seperti bapak-bapak paruh baya pada umumnya.
Zahra duduk di jok depan setelahnya Hisyam. Rasanya sedikit aneh, ia pergi mengambil cincin pernikahannya tidak dengan Abie, tapi justru dengan calon Papa mertuanya.
"Om, masih jauh gak tempatnya?" tanya Zahra ketika di tengah perjalanan.
"Nggak jauh kok, sebentar lagi juga nyampe," jawab Hisyam.
Pria itu sebenarnya tidak menyangka kalau mengurus pernikahan putranya itu ternyata repot sekali. Apalagi Abie bersikap seenaknya sendiri, suka hilang-hilangan tidak jelas jika dihubungi. Alhasil, Hisyam harus mengalah dan membantu pemuda itu.
Kalau tidak ingat perkataan mendiang istrinya ua pasti sudah bersikap tegas pada Abie yang menye-menye.
Hisyam melirik ke arah Zahra yang polos. Seketika Hisyam merasa cemas. Sesungguhnya, ia khawatir apakah Zahra mampu hidup dengan Abie yang belum pernah gadis itu temui. Bagaimana jika Abie nanti menyusahkan Zahra?
Namun, Hisyam tidak bisa melakukan apa pun selain membantu keduanya. Karena ini adalah pesan terakhir istrinya, amanat Winda untuk menikahkan Abie dengan Zahra.
Sampai di toko emas, Zahra diberi kesempatan lagi untuk mencoba cincin berliannya. Ia merasa cincin pernikahan itu terlalu mewah, karena Zahra terbiasa hidup sederhana.
"Om, apa ini gak kemahalan?" tanya Zahra tidak enak.
"Zahra, kamu menikah itu sekali seumur hidup. Kamu harus mempunyai cincin pernikahan yang spesial dan tentu saja nilainya seperti berlian ini," kata Hisyam.
Zahra mengangguk pelan meski dalam hatinya dia merasa minder mengenakan cincin berlian yang terlalu mahal.
"Maaf, cincin calon mempelai prianya kami membuat seukuran jari Pak Hisyam," kata pelayan toko itu.
"Iya tidak apa-apa, karena putraku sibuk tidak sempat mengukur cincinnya," kata Hisyam. Ia sudah mencoba menghubungi Abie, tapi putranya selalu saja mengatakan sibuk dan tidak bisa menemani Zahra ke toko perhiasan.
***
Dua hari kemudian pesta pernikahan mewah digelar. Semua tamu undangan sudah datang.
Namun, saat ini Hisyam tengah cemas karena Abie mendadak tidak dapat dihubungi lagi.
"Pak Hisyam, di mana Nak Abie? Mengapa dia belum datang juga?” tanya orang tua Zahra. “Apakah masih dirias di kamar?"
Hisyam tersenyum menenangkan. “Ditunggu dulu ya, Pak. Ini masih perjalanan.”
Orang tua Zahra kemudian kembali keluar untuk menyapa para tamu, meninggalkan Hisyam yang masih berusaha keras menghubungi Abie.
"Ya halo, Pa?" Akhirnya Abie mengangkat panggilan sang ayah. “Ada apa?”
“Di mana kamu!?” bentak Hisyam dengan suara tertahan. “Hari ini kamu menikah! Semua sudah hadir di lokasi, tapi kamu tadi justru tidak bisa dihubungi. Cepat datang ke sini, sekarang!”
Hening sejenak.
"Maaf, Pa. Aku tidak mau menikahi Zahra.” Abie kemudian berkata. “Aku masih ingin bebas.”
Hisyam tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar.
"Jangan gila, Abie! Kamu tidak bisa bersikap seenaknya,” ucap Hisyam, sekuat tenaga menahan emosinya. “Kamu tidak ingat pesan Mama sebelum meninggal? Beliau ingin kamu menikah dengan Zahra!”
"Ck, Mama sudah tidak ada, Pa. Yang hidup harus tetap melanjutkan hidup,” balas Abie seolah tidak peduli. “Atau kalau Papa mau, Papa saja yang menikahi Zahra. Aku tidak mau menikahi gadis kampungan itu.”
"Alasan konyol. Dari mana kamu tahu kalau dia kampungan? Kalian bahkan belum pernah bertemu."
"Pokoknya aku tidak mau menikah, Pa. Titik!" Usai mengatakan itu, Abie memutuskan sambungan telepon dan tidak bisa dihubungi kembali.
"Anak kurang ajar!” maki Hisyam. Pria itu mencengkeram ponselnya erat-erat. “Kenapa aku bisa punya anak merepotkan seperti dia!?”
“Pak Hisyam?” Orang tua Zahra kembali menghampiri Hisyam dengan pandangan bertanya. “Kenapa, Pak? Apakah ada masalah?”
Hisyam menghela napas pelan.
"Bapak, Ibu, tolong ikut saya sebentar," kata Hisyam kemudian sembari memberi isyarat agar kedua orang tua Zahra mengikutinya ke sebuah ruangan privat.
"Ada apa sebenarnya?" tanya Bu Siti.
"Begini, Bu. Abie baru saja mengatakan kalau dia … tidak mau menikahi Zahra," terang Hisyam.
"Loh, gimana sih? Dulu Nyonya Winda sendiri yang datang meminta Zahra jadi menantunya! Kenapa sekarang begini!?" kata Bu Siti dengan nada tinggi. Amarahnya sudah di ubun-ubun karena perbuatan Abie yang tidak bertanggung jawab inilah keluarganya mendapat malu.
"Sekali lagi saya minta maaf Bu Siti, saya akan segera membawa kembali putra saya kemari agar menikahi Zahra," ucap Hisyam membujuk Bu Siti agar amarahnya reda.
Hisyam tak henti-hentinya minta maaf, harga dirinya sudah jatuh sejatuh-jatuhnya gara-gara kelakuan Abie. Tentunya ia paham kemarahan keluarga Zahra. Pernikahan ini sudah direncanakan sejak awal, kalau saja Abie waktu itu tidak berkata iya tentunya pernikahan ini tidak akan berlangsung. Winda pasti akan mengurungkan niatnya untuk menjodohkan Abie dan Zahra.
"Keluarga kami tidak bisa dipermalukan seperti ini. Pokoknya kalian harus tanggung jawab. Kasihan Zahra di pelaminan tanpa calon mempelai prianya," tangis Bu Siti.
Pak Darmo suaminya Bu Siti mendekat ke arah Hisyam. Ia menarik kerah Hisyam karena sudah tidak bisa menahan amarahnya.
"Keluargaku mungkin miskin, tapi kami hanya punya harga diri. Sekarang kalian mau menginjak harga diri kami di depan umum!? Kalian sungguh keterlaluan!" maki Pak Darmo. “Tanggung jawab! Keluargaku tidak bisa diperlakukan seperti ini!”
Abian dan Abel datang ke rumah Papanya. Mereka penasaran dari cerita Zahra kemarin. Tetapi Zahra tidak menceritakan keseluruhan kejadiannya. Ia ingin Abian mendengarnya sendiri dari Hisyam.Di ruang tamu, duduk seorang wanita tua berkerudung sederhana, dengan wajah lembut penuh gurat lelah.“Papa…” panggil Abian, “siapa beliau?”Hisyam menarik napas. “Beliau… Ibu Papa. Raisa.”Abian tertegun. “Ibu Papa? Bukannya… nenek sudah meninggal?”Hisyam menunduk. “Papa juga berpikir begitu. Tapi ternyata… beliau hidup. Dan selama ini… beliau hidup di jalanan. Nenek Raisa adalah ibu kandung Papa. Sedangkan nenekmu yang biasa kamu kenal sudah meninggal itu adalah ibu angkat Papa."Raisa menatap Abian, suaranya pelan, serak.“Maafkan nenek, Nak… Maaf karena nenek nggak pernah ada buat Papa kamu… dan buat kamu.”Abian menatap sang ayah, matanya bergetar. “Papa… kenapa Papa nggak pernah cerita?”Hisyam melangkah mendekat, menatap mata putranya.“Papa nggak berniat nyembunyiin.Papa kira udah lama men
Abel berdiri terpaku di depan wastafel. Tangannya bergetar saat menatap dua garis merah yang muncul jelas di test pack.“Ya Tuhan…” bisiknya lirih. Dadanya berdebar. Antara tidak percaya dan gugup.Sejenak ia terdiam. Lalu… tanpa pikir panjang, ia melangkah cepat ke kamar.Abian masih tertidur lelap di ranjang. Nafasnya teratur, wajahnya tenang.“Sayang…” suara Abel bergetar. Ia sentuh bahu suaminya.Abian bergumam, matanya setengah terbuka. “Hmm, ada apa Sayang?”Abel menelan ludah, lalu tanpa banyak kata, ia sodorkan test pack itu.Abian mengerjapkan mata. Ia ambil test pack itu, menatapnya beberapa detik… lalu duduk tegak.“Serius nih?” suaranya agak serak.Abel mengangguk, matanya mulai berkaca-kaca. “Aku hamil …”Abian terdiam. Lalu tiba-tiba, ia menarik Abel ke pelukannya erat.“Alhamdulillah…". “Ini kabar paling luar biasa, Bel… Aku… aku bakal jadi ayah?”Abel tersenyum dalam pelukan suaminya, air matanya jatuh tanpa bisa di tahan.Abian masih memeluk Abel, seolah enggan melep
Langkah Hisyam mantap memasuki rumah besar di sudut kota itu — rumah yang sejak kecil lebih sering ia lihat dari jauh ketimbang merasakan kehangatan di dalamnya. Di ruang tengah, duduklah pria tua dengan rambut memutih dan sorot mata tajam yang selama ini ia panggil Kakek."Kakek…" Suara Hisyam terdengar berat. "Ada hal yang ingin saya tanyakan."Kakek menatapnya, menutup buku di tangannya. "Apa?"Hisyam menarik napas, menahan gemuruh di dadanya. "Tentang Ibu… tentang Raisa."Seketika, wajah tua itu berubah kaku. Untuk sesaat, keheningan menggantung di antara mereka."Apa maksudmu?" tanya Kakek akhirnya, suaranya serak."Aku bertemu dengan seorang wanita… yang ternyata… katanya… dia adalah ibuku." Hisyam berusaha menahan gejolak emosinya. "Seorang pemulung… yang datang ke makam Papa… Kakek tahu soal ini?"Sorot mata Kakek melembut, tapi ada sesal yang jelas terpancar. Ia bersandar di kursi, menghela napas panjang seolah beban bertahun-tahun menindih pundaknya."Kau memang berhak tahu…
Raisa memandangi foto bayi mungil yang ada di tangannya. Matanya berkaca-kaca, seolah terjebak dalam pusaran waktu yang membawanya kembali ke masa lalu. Ia tidak menyangka, bayi mungil dengan pipi tembam dan senyum polos itu kini telah tumbuh menjadi pria dewasa yang begitu tampan bernama Hisyam. Tangannya bergetar pelan saat mengusap wajah mungil dalam foto itu. “Kamu tumbuh begitu cepat, Nak…” bisiknya lirih. Hisyam, dengan sorot mata tajam namun penuh kelembutan, sering membuat Raisa terpana. Ada banyak jejak masa lalu di wajahnya, garis rahang yang tegas, senyum yang hangat mengingatkan Raisa pada seseorang… dan pada luka yang tak pernah benar-benar sembuh. “Kalau saja waktu bisa kuputar,” ucap Raisa pelan, menatap kosong ke arah jendela. “Mungkin aku tak akan pernah membiarkanmu lepas dari pelukanku…” Raisa masih terpaku menatap foto itu. Jemarinya bergetar, tak hanya karena kenangan masa kecil Hisyam, tapi karena rahasia besar yang selama ini disimpannya rapat-rapat, bahkan d
Hisyam memutuskan pulang. Ia tidak bisa gegabah, tidak bisa langsung mempercayai wanita yang tiba-tiba muncul dan mengaku sebagai ibunya. “Bisa saja dia mengaku-ngaku. Mungkin dia hanya ingin sesuatu dariku... uang? Atau entahlah ...?” pikir Hisyam sambil menatap kosong ke jalanan dari balik jendela mobilnya. Namun batinnya berteriak. Ada suara dalam dirinya yang menolak semua keraguan itu. Sesuatu yang tak bisa ia jelaskan, seakan tubuhnya mengenali wanita itu lebih dulu daripada pikirannya. Sorot mata wanita itu—lelah, tapi hangat. Sentuhan tangannya kasar, tapi menggetarkan. Sedari kecil, Hisyam hanya tahu satu sosok ibu: perempuan lembut yang biasa menyiapkan sarapan dan mengusap kepalanya sebelum tidur. Istri papanya. Satu-satunya wanita yang ia panggil ibu selama ini. Tapi wanita itu yang berdiri lusuh di pemakaman pagi tadi mengguncang seluruh ingatannya. “Kalau dia bukan ibuku, kenapa tatapan matanya terasa seperti rumah?” bisiknya lirih. Kepalanya pening. Hatinya kac
Pagi itu, mentari belum sepenuhnya naik saat Hisyam melangkah pelan menyusuri jalan setapak di pemakaman. Suasana lengang, hanya terdengar kicau burung dan desir angin yang membuat dedaunan kering berguguran. Ia membawa seikat bunga melati, kebiasaan setiap kali menziarahi makam sang Papa.Namun langkahnya terhenti saat melihat sosok asing berdiri membelakangi pusara ayahnya. Seorang wanita. Tubuhnya kurus terbungkus baju lusuh dan rok panjang yang usang. Rambutnya tergerai acak-acakan. Di sebelahnya ada karung kecil yang biasa digunakan para pemulung. Ia tidak sedang menangis, namun tatapannya nanar, diam membatu seperti sedang memendam ribuan kisah dalam hati.Hisyam menyipitkan mata, mencoba mengenali. Tapi wajah wanita itu tak terlihat jelas. Ia ingin bertanya, tapi ada sesuatu yang membuatnya urung. Entah rasa segan, curiga, atau mungkin... takut pada jawaban yang akan ia dapat.Beberapa menit kemudian, wanita itu meletakkan seikat bunga kertas di atas makam, lalu membungkuk dan