"Banyak orang yang hadir dalam pernikahan ini, kami tidak mungkin membatalkan pernikahan ini begitu saja." Bu Siti dengan nada kesal berkata lebih keras dari biasanya.
"Saya paham dengan perasaan kalian. Namun sungguh saya tidak bermaksud membatalkan pernikahan ini. Saya tidak tahu keberadaan Abie," ucap Hisyam apa adanya. “Saya bisa mengerahkan orang untuk mencari Abie, tapi itu butuh waktu.”
Pernyataan dari Hisyam membuat mereka saling tatap dan bingung. Mereka tidak tahu apa yang harus dilakukan.
Sementara Zahra yang mendengarkan pembicaraan mereka tak sengaja meneteskan air matanya. Ia tidak menyangka Abie tega kabur meninggalkannya. Dadanya serasa sesak, hatinya sakit seolah teriris sembilu karena ia harus menerima kenyataan kalau Abie tidak ingin menikah dengannya.
Tapi mengapa? Apa alasannya, mengapa tidak sejak dulu membatalkan pernikahannya? Mengapa? Berbagai pertanyaan muncul dalam benak Zahra.
"Lalu bagaimana baiknya? Apa kita ganti saja pendamping laki-lakinya?" cetus Pak Darmo kemudian.
"Ganti? Tidak aku tidak mau menikah dengan orang lain selain Abie," tolak Zahra.
"Zahra putriku, aku tahu ini berat bagimu tapi demi menyelamatkan nama baik keluarga kita. Kamu harus tetap menikah hari ini. Meski tidak dengan Abie. Laki-laki tidak bertanggung jawab seperti Abie tidak pantas menjadi suamimu," ucap Pak Darmo menasihati.
"Lalu siapa yang mau menikahiku, Pak di situasi seperti ini?" tanya Zahra.
Semuanya terdiam, perkataan Zahra ada benarnya. Dimana bisa menemukan pria yang mau menikahinya dalam waktu genting. Semua persiapan pernikahan sudah komplit hanya kurang mempelai prianya saja.
"Saya sendirian yang akan menggantikan Abie," ucap Hisyam tiba-tiba. Semua orang yang mendengar perkataan Hisyam terbelalak kaget. Begitu juga Zahra yang mendengarnya langsung dari Hisyam. “Saya akan menikahi Zahra.”
"Tolong jangan bercanda Pak, ini bukan lelucon," kata Pak Darmo. Tangannya mengepal erat karena kesal. Ia mengira Hisyam mengolok-olok situasi yang tengah terjadi karena Zahra tidak memiliki pasangan menikah.
"Saya tidak bercanda, Pak Darmo. Saya yang akan bertanggung jawab atas situasi rumit yang ditimbulkan karena ulah putra saya," kata Hisyam bersungguh-sungguh. Semua yang ada di sana tidak percaya mendengar pernyataan tersebut.
"Zahra, apakah kamu mau menerimaku jadi penggantinya Abie?" tanya Hisyam pada Zahra.
Zahra tidak menjawab, wajahnya pucat masih syok.
Calon papa mertuanya mau menikahinya. Ini tidak masuk akal!
Namun, jika tidak dengan pria itu, dengan siapa lagi? Sanggupkah Zahra menanggung malu karena pengantin prianya kabur?
Bu Siti kemudian memegang tangan Zahra dengan lembut memeluknya erat. Ia tahu Zahra sekarang pasti sangat sedih tidak jadi menikah dengan Abie.
"Anakku, mungkin ini sudah takdirmu. Daripada keluarga kita menanggung malu. Kamu terima saja pernikahanmu dengan Pak Hisyam," usul Bu Siti.
"Tapi, Bu," ucap Zahra ragu. “Aku….”
“Tidak ada pilihan lain, Nak. Mantapkan hatimu.”
***
"Putriku, sekarang kamu sudah menjadi tanggung jawab Nak Hisyam. Kami pulang dulu. Baik-baiklah kamu jadi istri, berbakti pada suamimu," pesan Bu Siti pada Zahra usai rentetan acara pernikahan berakhir.
Zahra menangis. Dia melepas kepergian kedua orang tuanya yang diantar sopir pribadi Hisyam. Ia menatap mobil itu hingga menjauh keluar dari pagar rumahnya Hisyam. Pagar yang tinggi sekali karena rumah Hisyam tergolong rumah mewah di lingkungannya.
Kini tinggallah Zahra dan Hisyam seorang diri berdiri di depan pintu.
Hisyam berniat menggandeng tangan Zahra untuk masuk ke dalam rumah namun niat itu di urungkannya. Ia sadar pernikahannya dengan Zahra karena keadaan. Tidak mungkin ada cinta di antara keduanya.
"Ayo kita masuk, aku tunjukkan kamarmu," kata Hisyam.
Zahra mengangguk pelan dia berjalan mengikuti Hisyam dari belakang. Dalam hati Zahra mengagumi postur tubuh Hisyam yang tinggi tegap. Sebagai pria matang, Hisyam terbilang awet muda. Wajahnya tampan. Mungkin orang akan percaya jika Hasyim mengatakan kalau ia masih berada di usia kepala tiga, bukan empat seperti kenyataannya.
Menyadari sedari tadi terlalu memuji Hisyam dalam hatinya, Zahra mengalihkan perhatiannya pada hal lain. Yaitu kamarnya yang luas dengan berbagai fasilitas komplit di dalamnya.
"Ini kamar kita, tapi kamu jangan khawatir. Aku akan tidur di sofa itu kalau kamu kurang nyaman," kata Hisyam kemudian.
"Jangan, biar aku saja yang tidur di sofa," kata Zahra kemudian. Ia merasa tidak enak pada Hisyam. Masa pemilik rumah justru menderita tidur di sofa? Begitulah pikirnya.
"Kamu seorang wanita, tidak baik kalau tidur di sofa. Aku seorang laki-laki sudah biasa kalau tidur di mana pun," kata Hisyam.
Hisyam lalu membuka lemari setelah selesai bicara pada Zahra. Sudah lama Hisyam terbiasa melayani dirinya sendiri mulai dari pakaian dan sebagainya. Ia mengambil kaos oblongnya. Hisyam lupa kalau sekarang dia sudah sekamar dengan Zahra. Spontan dia menurunkan celana panjangnya hendak ganti celana pendek. Sontak saja Zahra menjerit kaget.
"Apa yang Om lakukan!?" seru Zahra.
"Oh, maaf. Aku lupa kalau sekarang ada kamu di kamar ini," Buru-buru Hisyan memakai celananya lagi. Ia lalu segera membawa pakaian gantinya ke kamar mandi. Pipi Zahra langsung memerah mengingat tingkah Hisyam tadi.
"Apaan sih dia tadi," lirih Zahra malu. Ia tidak bisa menghapus ingatannya saat tidak sengaja memandang benda keras yang menonjol di balik boxer Hisyam.
Hisyam sudah keluar dari kamar mandi, memakai kaos komplit celana pendek bahan katun yang membuatnya makin terlihat tampan di usianya.
"Kalau lelah, istirahat saja. Kamu tidak perlu melayaniku seperti istri kebanyakan. Karena kita menikah juga karena keadaan. Kamu boleh melakukan sesuatu sesukamu. Tapi tetap jaga martabatmu sebagai istriku di depan umum," ucap Hisyam.
"Ya, Om–Pak, aku tahu itu," jawab Zahra.
"Jangan panggil aku begitu. Aku bukan bapakmu, atau bosmu," protes Hisyam. Ia menatap Zahra. “Panggil ‘Mas’.”
"Tapi kan Pak Hisyam tetaplah bapak-bapak," balas Zahra. “Bukan mas-mas.”
Hisyam berdiri lebih dekat ke arah Zahra membuat gadis muda usia kisaran 20 itu pun mundur selangkah ke belakang.
Zahra menahan napas. Tiba-tiba merasa gugup.
"Y-ya sudah, aku panggil Om saja ya? Kayak biasa? Kan memang sudah Om2 kan?" celoteh Zahra kemudian. “Rasanya aneh kalo tiba-tiba ganti panggilan.”
Hisyam menghela napas. "Terserah kamu sajalah. Yang penting bukan ‘Pak’," balasnya, menyerah.
Zahra tersenyum mendengar perkataan Hisyam.
"Duduklah di sini, kita bisa bicara sebagai teman bukan suami istri. Karena aku tahu kamu tidak akan mau menjalankan tugasmu sebagai istriku," ucap Hisyam.
Mendengar kata istriku disebut rasanya terdengar aneh di telinga Zahra.
Bayangkan pria yang duduk di hadapannya ini dulunya akan menjadi mertuanya. Sekarang mereka menjadi sepasang suami istri.
Hisyam tahu kalau Zahra masih canggung terhadap dirinya. Terlihat cara duduk Zahra yang sedikit menjauh dari Hisyam. Zahra memilih duduk di pojokan sofa sementara Hisyam duduk di ranjang. Jaraknya juga terpaut cukup jauh. Untung saja pendengaran mereka cukup bagus sehingga bisa mendengar perkataan lawan bicaranya.
Hisyam mengeluarkan sesuatu dari sakunya. Ia membuka isi dompetnya lalu meletakkan kartu berwarna hitam itu di atas meja.
Kartu hitam itu membuat Zahra terperangah.
Bukankah kartu itu tidak ada limitnya? Alias, Zahra bisa beli apa pun sepuasnya tanpa harus khawatir uang di kartu itu akan habis?
Kenapa pria itu memberikan kartu hitam ke Zahra?
Winda refleks mundur selangkah ketika Abie mendekat. Padahal Abie sudah sangat merindukannya."Maaf Mas, aku nggak bisa," tolak Winda."Kenapa nggak bisa Win? Kamu sedang halangan?" tanya Abie. Padahal hasratnya sudah di ubun-ubun. Ia tidak tahan ingin menyentuh istrinya.Winda memejamkan mata ketika Abie mencium pipinya. Ia kemudian mendorongnya pelan."Maaf ... jangan sekarang," tolak Winda lemah."Win ... " Abie menatapnya penuh harap. Tapi Winda bener-bener lagi nggak mood."Sory Mas, aku capek. Pingin langsung tidur aja," ucap Winda beralasan.Abie mengusap pipi Winda dengan lembut. "Kamu masih marah sama Mas?" "Enggak, aku cuma pingin istirahat saja. Seharian banyak kerjaan," kata Winda beralasan."Tapi ... Mas lagi pingin Sayang," bujuk Abie. Ia memang sudah tidak tahan karena sudah beberapa hari tidak melakukan hubungan suami isteri. Sudah beberapa malam mereka hanya berbagi pelukan singkat sebelum terlelap, masing-masing lelah oleh aktivitas harian. Tapi malam ini berbeda ad
Dimas terlihat frustasi setelah kehilangan Citra. Sikapnya jadi sering uring-uringan. Ia juga kurang memperhatikan kesehatan dirinya. Jarang makan dan sering melamun. Dokter Rini sebagai mamanya kewalahan. Apalagi sekarang Dimas bertambah cuek pada mamanya. Ia merasa Citra pergi karena perkataan mamanya. Istri manapun tidak akan mau jika mertuanya memaksa suaminya untuk menduakan pernikahannya.Dan itulah yang terjadi pada Citra. Ia merasa tidak dihargai sebagai istri, terlebih saat Dimas tak mampu bersikap tegas pada ibunya sendiri. Hati Citra hancur, dan keputusan untuk pergi dari rumah bukan karena ia tak mencintai Dimas, tapi karena ia merasa cintanya tidak cukup dihargai. Masa lalu Citra selalu jadi alasan agar mertuanya menyingkirkannya.Dokter Rini hanya bisa menghela napas setiap kali melihat putranya mengurung diri di kamar. Ia berusaha keras menutupi rasa bersalah yang diam-diam mulai menggerogoti batinnya. Ia tak pernah bermaksud menghancurkan rumah tangga anaknya. Ia hany
Abie mengalah dia tidak ingin terus-terusan bertengkar dengan Winda. Meski Winda menyiapkan segala keperluannya selama ini selama marah. Baik makan atau pakaian gantinya. Tapi tetap saja diamnya Winda membuat Abie frustasi. Ia kangen canda tawa Winda yang menghiasi hari-harinya.Siang ini Abie berniat nyamperin Winda untuk memperbaiki hubungannya. Sekalian mengajaknya keluar makan siang. Sampai di kantornya Winda, seperti biasanya Abie langsung masuk aja karena karyawan yang lain juga sudah tahu kalau Abie adalah suami dari pemilik perusahaan.Baru saja masuk melewati lobi. Abie di kagetkan pemandangan yang merusak moodnya. Abie melihat Winda tengah tersenyum lepas pada kliennya. Entah itu klien atau temannya. Yang jelas Abie tidak mengenal pria itu. Padahal dengan dirinya Winda selalu bersikap dingin akhir-akhir ini.Ada sepercik rasa cemburu membakar hatinya. Mereka terlihat akrab saling berbincang kemudian klien tersebut berpamitan. Waktu berbalik Winda baru sadar kalau ada suami
Sampai di rumah, Winda keluar terlebih dahulu dari dalam mobil. Abie buru-buru mengekori istrinya dari belakang. Winda menuju ke dapur bukan ke kamar. Seperti dugaan Abie, biasanya istri kalau lagi ngambek pasti langsung ngamar. Ini malah ke dapur. Apa mungkin Winda lapar ... tidak mungkin juga. Bukankah mereka baru selesai makan di warung padang. Apa kelamaan di rumah sakit membuatnya lapar lagi?Ternyata Winda mengambil air es di kulkas. Ia taruh di gelas kemudian meminumnya. "Aku juga mau," kata Abie memecah suasana.Winda menyodorkan botol air dingin tersebut dan mengambil satu gelas untuk Abie. Ia tidak berkata apapun. Tapi langsung meninggalkan Abie di dapur sendirian. Niat Abie mendapat perhatian dari Winda gagal. Ia tidak jadi minim air dingin itu. Tapi lebih tertarik mengejar Winda sampai ke kamar."Kamu marah?" tanya Abie saat menbuka pintu kamarnya. Sementara Winda tengah melepas hijabnya. Rambutnya terurai indah. Sesaat Abie terpesona. Tapi itu bukan poin pentingnya. Ia
"Apa kamu mau kita bantu telepon suamimu?" tawar Winda.Citra menggeleng pelan. Meski dia tahu betapa sulitnya hamil sendirian tanpa suami di sisinya. Orang-orang pasti akan mengiranya hamil di luar nikah. Tanpa sadar air mata Citra menetes perlahan di pipinya. Winda menyenggol lengan suaminya. Ia merasa kasihan dengan nasib Citra. Kini ruang hatinya tidak lagi di penuhi rasa cemburu. Melihat Citra lemah tidak berdaya naluri kemanusiaannya menjerit.Winda lalu mendekati Citra dan meraih tangannya, menggenggamnya erat seolah ingin memindahkan kekuatan lewat sentuhan itu. “Citra, kamu nggak sendirian. Aku di sini. Kita semua di sini,” bisiknya lirih.Citra mengusap air matanya dengan punggung tangan, berusaha tersenyum walau sudut bibirnya bergetar. “Aku cuma... takut. Takut orang-orang ngehakimi. Takut bayi ini nanti lahir tanpa sosok ayah yang hadir.”Winda memeluknya, erat dan penuh empati. "Tenanglah, semua pasti akan baik-baik saja."Citra menarik napas panjang, menatap ke jendel
Sore ... Abie menjemput Winda di perusahaannya. Tampak perempuan cantik itu menghampiri mobilnya. Ia kelihatan sumringah saat mengetahui Abie menjemputnya."Aku kira Mas nggak sempat jemput hari ini," ucap Winda sembari berjalan mendekati mobil.Abie membukakan pintu mobilnya, "Nggak mungkin aku biarin kamu pulang sendiri. Apalagi hari ini kamu kelihatan capek, Sayang," Winda masuk ke mobil."Iya, hari ini sibuk banget."Gimana kerjaanmu tadi?" Abie membuka pembicaraan saat mobil sudah membelah jalanan."Lumayan. Ada meeting yang agak bikin pusing, tapi semua kelar akhirnya," Terdengar Winda tengah menghela nafas."Mau langsung pulang atau kita mampir dulu cari makan?" tanya Abie."Cari makan, Mas. Aku belum sempat makan siang.""Oke, siap. Ada tempat yang kamu pengen?" Abie selalu menawarkan terlebih dahulu pada Winda."Terserah kamu aja, yang penting kamu yang nemenin," jawab Winda tersenyum. Mendengar kata-kata istrinya, Abie rasanya gemas sekali."Kalau gitu, kita ke tempat favori