Aku masih terdiam di kursi penumpang saat mobil Lucian melaju menembus malam. Jalanan lenggang, hanya lampu kota yang berpendar di kejauhan. Di dalam mobil yang hening ini, pikiranku justru riuh. Apa yang baru saja kulakukan? Aku menerima tawaran pria ini—tanpa benar-benar tahu apa konsekuensinya.
Lucian duduk di sampingku dengan ekspresi dingin, tangannya tetap di kemudi dengan tenang, seolah dia tidak baru saja menyeretku keluar dari kekacauan. Aku meliriknya sekilas, mencoba mencari petunjuk dalam ekspresinya, tapi yang kutemukan hanya ketenangan yang mengintimidasi. "Kau diam saja sejak tadi," celetuknya tanpa menoleh. Aku menggigit bibir, mengatur napas sebelum menjawab. "Aku masih mencoba memahami ... apa yang sebenarnya terjadi." Dia mengeluarkan suara kecil, hampir seperti tawa sinis. "Sederhana. Aku menyelamatkanmu dari penghinaan, dan kau menerima kesepakatanku. Sekarang, kau harus mempersiapkan diri." Aku mengerutkan kening. "Mempersiapkan diri untuk apa?" Lucian akhirnya menoleh, dab aku melihat sedikit kilatan hiburan di matanya. "Pernikahan kita, tentu saja." Kata-katanya masih terdengar asing bagiku. Aku menelan ludah, menatap lurus ke depan, mencoba menenangkan hatiku yang berdetak liar. Ini hanya kesepakatan. Aku tidak benar-benar akan menikah karena cinta. "Tidak ada cara lain?" tanyaku sedikit ragu. Lucian menarik napas, lalu mengurangi kecepatan mobilnya, seolah memberi waktu bagiku untuk mencerna semuanya. "Tidak, Seraphina. Kau butuh balas dendam, aku butuh warisan. Ini adalah situasi yang saling menguntungkan." Aku mengepalkan tangan di pangkuanku. "Lalu ... apa yang harus kulakukan?" Dia kembali fokus ke jalanan, rahangnya mengeras. "Besok, kita akan bertemu dengan pengacara. Aku akan mengatur semuanya agar pernikahan ini sah secara hukum, dengan kontrak yang menguntungkan kedua belah pihak." Aku merasa ada sesuatu yang disembunyikannya. "Dan setelah itu?" Lucian tersenyum kecil, tapi kali ini ada sesuatu yang lebih dingin dalam ekspresinya. "Setelah itu, kau harus bersiap menjadi istriku di mata dunia." *** Keesokan harinya, aku berdiri di depan gedung kantor yang menjulang tinggi, jantungku berdegup kencang. Nama "Devereaux Corp." terukir dengan megah di dinding marmer lobi. Aku masih belum sepenuhnya percaya bahwa aku akan menikah dengan CEO dari perusahaan sebesar ini. Lucian menungguku di depan pintu masuk, mengenakan setelan hitam sempurna seperti biasanya. Tatapan dinginnya menyapu ke arahku, lalu dia memberi isyarat agar aku mengikutinya. Kami menaiki lift menuju lantai tertinggi. Di dalam ruangan luas dengan pemandangan kota yang menakjubkan, seorang pria paruh baya berjas rapi sudah menunggu. "Seraphina, ini Philip, pengacaraku," kata Lucian tanpa basa-basi. Philip menjabat tanganku singkat sebelum duduk dan membuka map di hadapannya. "Saya sudah menyiapkan dokumen yang diperlukan untuk pernikahan ini. Ini adalah kontrak pranikah yang mengatur hak dan kewajiban kalian berdua." Aku mengambil dokumen itu dan mulai membacanya. 1. Pernikahan ini bersifat kontrak selama satu tahun. 2. Tidak ada hubungan pribadi yang diharapkan di luar citra publik. 3. Seraphina akan diberikan kompensasi finansial yang layak. 4. Kedua belah pihak tidak boleh mengungkapkan sifat pernikahan ini kepada pihak luar. Aku menelan ludah saat membaca bagian berikutnya. 5. Perceraian hanya bisa terjadi setelah syarat warisan Lucian terpenuhi. Aku mengangkat kepala. "Jadi, aku benar-benar tidak bisa pergi sebelum waktunya?" Lucian menatapku tajam. "Ini adalah balas dendam yang harus kita menangkan, Seraphina. Kau tidak bisa menyerah di tengah jalan." Aku menggigit bibir, menimbang semuanya dalam benakku. Aku membutuhkan ini. Aku membutuhkan kekuatan untuk membalas Atlas. Dengan tangan sedikit gemetar, aku mengambil pena dan menandatangani kontrak itu. Lucian menyeringai tipis. "Bagus. Sekarang, kita buat pernikahan ini resmi." *** Pernikahan kami tidak seperti yang kubayangkan dalam mimpi-mimpiku. Tidak ada gaun putih mewah, tidak ada bunga, tidak ada tamu yang tersenyum bahagia. Hanya aku, Lucian, pengacara, dan seorang hakim yang mengesahkan semuanya. Setelah semua selesai, aku menatap cincin yang melingkar di jariku. Dingin. Tidak ada makna di baliknya. Lucian berdiri di sampingku, tangannya diselipkan ke dalam saku celananya. "Sekarang, kau adalah Nyonya Devereaux." Aku menatapnya. "Apa yang terjadi selanjutnya?" Dia mendekat, suaranya sedikit mengancam. "Tentu saja. Memulai pembalasan dendam, Sayang." Aku tidak tahu apakah aku baru saja membuat kesalahan ... atau langkah terbaik dalam hidupku. *** Beberapa jam kemudian, aku berdiri di depan pintu apartemen Lucian. Aku tidak tahu di mana aku akan tinggal setelah ini, dan Lucian tidak mengatakan apa pun. Aku hanya mengikutinya sepanjang hari, dari kantor pengacara hingga pertemuan bisnisnya, tanpa banyak bicara. Dia membuka pintu, lalu melangkah masuk tanpa menoleh. Aku mengikuti di belakangnya, merasa asing di tempat ini. Apartemennya luas dan elegan, tapi terasa dingin—hampir seperti penghuninya. Aku menatap punggungnya. "Di mana aku akan tinggal?" Lucian berbalik, menatapku tanpa ekspresi. "Di sini." Jantungku berdebar. "Di apartemen ini?" Dia mengangguk. "Kau istriku sekarang. Dan istri seorang Devereaux tidak mungkin tinggal di tempat lain." Aku menggigit bibir. "Tapi kita hanya menikah kontrak, kan?" Lucian berjalan mendekat, dan aku mundur tanpa sadar. Namun, dia berhenti beberapa langkah dariku, ekspresinya tetap dingin. "Kau akan tinggal di sini, di kamar yang sudah kusiapkan untukmu." Aku sedikit lega mendengarnya. "Baiklah." Lucian mengamati wajahku sejenak sebelum berbicara, "Dan satu hal lagi, Seraphina ...." Aku meneguk ludah. "Apa?" Dia mendekat, suaranya seperti bisikan. "Mulai sekarang, kau harus belajar memainkan peranmu dengan baik. Karena jika tidak ... konsekuensinya akan lebih besar dari yang kau bayangkan." Aku menatapnya, merasakan hawa dingin merambat di tengkukku. *** Aku berdiri di tengah ruang tamu apartemen Lucian, mencoba menenangkan detak jantungku yang tidak terkendali. Aku seharusnya sudah siap untuk ini—seharusnya. Tapi kenyataannya, aku baru saja menikahi pria yang nyaris tidak kukenal, dan sekarang aku akan tinggal bersamanya. Lucian berjalan melewati ruangan, melepas jasnya dan menggantungnya dengan rapi. Aku memperhatikannya dalam diam, mencoba mencari tahu apa yang sebenarnya ada di balik sosok dinginnya. Dia menyadari tatapanku dan menoleh. "Apa ada yang ingin kau tanyakan?" Aku menggigit bibir, ragu sejenak sebelum akhirnya berbicara, "Kenapa aku?" Lucian mengangkat alis. "Apa maksudmu? Kau sudah mendapatkan jawaban tentang itu, bukan?" Aku menarik napas dalam-dalam. "Aku sulit percaya, dari sekian banyak wanita di luar sana, kenapa kau memilihku untuk pernikahan ini? Dan dalam waktu yang sangat singkat?" Lucian menatapku lama sebelum akhirnya berjalan mendekat, langkahnya tenang tapi berbahaya. Saat dia berdiri hanya beberapa inci dariku, aku bisa mencium aroma khasnya—sesuatu yang membuat siapapun terpikat.. "Kau ingin membalas dendam. Dan aku butuh seseorang yang cukup berani untuk masuk ke dalam dunia ini tanpa banyak pertanyaan." Aku menelan ludah. "Jadi hanya karena itu?" Dia tersenyum tipis, tapi matanya tetap dingin. "Jangan berharap ada alasan romantis di balik ini, Seraphina. Ini bisnis." Aku menatapnya, mencari sesuatu—apa pun—yang bisa menunjukkan bahwa dia masih memiliki sisi manusiawi di balik topengnya. Tapi aku tidak menemukan apa pun. Saat itulah aku menyadari sesuatu. Lucian Devereaux bukan hanya pria yang berbahaya. Dia adalah seseorang yang tidak akan ragu menghancurkan siapa pun yang menghalangi jalannya. Dan sekarang, aku telah mengikat diriku padanya.Aku memperhatikan Lucian menyetir dengan satu tangan sementara tangan lainnya menggenggam jemariku erat. Malam sudah larut, tetapi jalanan masih terang oleh lampu kota yang menghiasi trotoar dan membentuk pantulan indah di kaca jendela mobil. "Apa ada yang menganggu?" tanya Lucian, lirih tapi jelas. Aku menunduk sebentar, mengumpulkan keberanian. "Aku ingin bertanya sesuatu sejak lama, tapi ... selalu tertunda." Dia melirikku sebentar, lalu kembali fokus pada jalan. "Kau bisa tanya apapun." Aku menarik napas panjang. "Apa kau ... pernah tinggal di panti asuhan kecil di wilayah timur kota? Sekitar umur lima atau enam tahun?" Lucian mendadak memperlambat laju mobil. Matanya terpejam sesaat, lalu dia berhenti di bahu jalan. Tak menjawab. Hanya diam. Tangannya masih menggenggamku erat. Aku melanjutkan dengan suara pelan, "Aku ... menemukan gelang kecil di laci kerjamu. Terukir inisial L.S. dan S.L.—aku tahu itu bukan kebetulan. Aku mengenali bentuknya. Aku yang membuat gelang itu. U
Gelas tipis berbentuk tulip mendarat di hadapanku. Aroma sake menguar, hangat dan lembut seperti asap dupa. Aku menatap pria itu sejenak—lalu pada pria berkemeja biru dongker yang baru saja menyodorkannya padaku sambil tersenyum penuh harap. “Untuk keberhasilan kerja sama kita,” kata pria itu, nada bicaranya berkelas, tapi sikapnya terlalu santai untuk seseorang dengan gelar eksekutif senior. Aku mengangguk kecil, sambil mengambil gelas itu. “Tentu. Untuk kemitraan yang sehat dan berkelanjutan.” Senyum pria itu bertambah lebar. “Itu terdengar seperti kalimat dari proposalmu yang terakhir. Sangat diplomatis.” Aku terkekeh kecil sebelum menyesap sedikit dari cairan bening itu. Hangatnya langsung merambat ke perut. Dua puluh menit dan tiga gelas kemudian, aku mulai menyadari sesuatu yang pelan-pelan menguap dari tubuhku: kendali. Meja panjang kayu khas restoran Jepang itu masih ramai dengan obrolan formal. Investor dari Osaka, dua dari Singapura, dan satu dari Prancis—semuanya tampa
Beranda rooftop apartemen Lucian memang selalu terlihat istimewa ketika malam menurunkan suhunya dengan pelan. Kolam renang pribadi itu menyambut dengan permukaannya yang berkilau seperti kaca hitam, memantulkan bintang-bintang yang menggigil di langit. Angin dingin sempat membuatku ragu untuk turun, tapi tangan Lucian sudah menggenggam erat jemariku. "Aku tidak akan membiarkanmu beku sendirian di dalam sana," ucapnya dengan senyum tipis. "Apa maksudnya … kau akan ikut membeku bersamaku?" Aku menoleh sambil menyipitkan mata, pura-pura mencurigainya. "Bukan. Aku akan memastikan kau tetap hangat meski berada di dalam air," jawabnya sambil perlahan melepas jaket yang sejak tadi membungkus bahunya. Tubuh tegap pria itu terlihat jelas di balik kaus tipis, dan dia bahkan belum menyadari bahwa aku diam-diam memperhatikannya. Aku menarik napas panjang lalu perlahan menyusuri tepi kolam, jari-jari kakiku menyentuh air terlebih dahulu. Sedingin yang kubayangkan. Tapi Lucian sudah melompat
Keringat menetes dari pelipisku, jatuh membasahi kaus longgar yang sengaja kupakai agar terlihat lebih santai. Lucian sudah lebih dulu memulai sesi pemanasan di treadmill, sedangkan aku masih berdiri seperti orang bingung di dekat rak dumbel, memandangi berbagai alat kebugaran yang sebagian besar tak kumengerti fungsinya. "Jangan cuma dilihat. Kau ke sini untuk olahraga, bukan piknik." Suara bariton Lucian menyapaku dari balik punggung. Aku berbalik, mendapati wajahnya yang terlukis penuh selera jahil. Ia menghentikan treadmill-nya dan berjalan ke arahku sambil merentangkan tangan. "Aku baru saja memilih dumbel yang pas," sanggahku, meskipun jelas-jelas belum memegang satu pun alat. Lucian mendengkus tipis. "Dumbel itu untuk latihan lengan, tapi kau justru berdiri di dekat leg press. Coba sini." Dengan penuh percaya diri, dia menggandeng lenganku menuju sebuah mesin besar berwarna hitam dengan bantalan empuk. "Ini namanya chest press. Cocok untukmu yang ingin memperkuat dada dan
Langit pagi menyambut kami dengan warna pastel yang lembut ketika mobil mengantar kami kembali ke apartemen. Setelah malam penuh tawa dan kehangatan, rasanya aku masih belum siap melepas kebersamaan kami. Tetapi hari sudah berganti, dan hidup terus berjalan. Begitu pintu terbuka dan kami masuk ke dalam, aroma khas apartemen langsung menyambutku. Lucian menjatuhkan jasnya ke sofa, lalu berjalan santai ke dapur dengan gaya sok-sok sibuknya. “Aku buatkan kopi, ya?” tanya Lucian sambil membuka lemari tempat kami menyimpan biji kopi Ethiopia kesukaannya. “Tidak.” Aku segera menyusul dan berdiri di depannya, menahan tubuhnya dengan kedua tangan. “Hari ini, kau tidak boleh menyentuh dapur.” Alis Lucian terangkat. “Kenapa? Ada yang salah?” “Aku yang akan memasak. Aku ingin menyiapkan sesuatu yang spesial untukmu.” Senyumku mengembang, dan aku menepuk dadanya ringan. Lucian menyipitkan mata seolah tidak percaya. “Kau yakin tidak ingin kita tetap hidup sampai siang nanti?” “Lucian!” prot
Tadinya kupikir kejutan Lucian hari itu sudah cukup—datang tiba-tiba ke panti, duduk bersamaku dan Nenek Thea, bahkan tertawa kecil meski biasanya wajahnya seperti tembok marmer. Namun, ternyata semesta, atau mungkin dia sendiri, belum selesai menyusupi hariku dengan hal-hal tak terduga. Langit sudah mulai gelap saat kami akhirnya beranjak pulang. Mobil meluncur melewati jalanan kota yang lengang, dengan lampu-lampu temaram dari toko-toko yang mulai menutup. Tanganku menggenggam lengan baju pria itu, bahunya menjadi sandaran alami yang nyaman, terutama setelah satu hari yang menguras tapi juga menghangatkan hati. Namun, beberapa meter sebelum memasuki gerbang tol, suara aneh muncul dari kap mesin. Lalu, mobil mulai melambat. Lucian sempat mencoba mengabaikannya—tanda khas pria keras kepala yang tidak ingin terlihat panik. Namun, ketika mobil benar-benar berhenti di pinggir jalan, dengan bunyi yang tak bisa ditoleransi oleh siapa pun yang masih waras, dia pun memutar kunci, memak