Aku duduk di sudut sofa, menggenggam cangkir teh hangat yang diberikan pelayan apartemen Lucian. Tanganku masih sedikit gemetar, tapi bukan karena suhu minuman ini—melainkan karena aku masih belum bisa memproses sepenuhnya apa yang baru saja terjadi dalam hidupku.
Pernikahanku dengan Damien telah hancur sebelum sempat dimulai, dan sekarang aku terjebak dalam pernikahan lain—dengan seorang pria yang sama sekali tidak kukenal. Lucian Devereaux. CEO dingin dengan tatapan yang mampu membuat siapa pun tunduk dalam hitungan detik. Lucian duduk di seberangku, membaca sesuatu di tabletnya dengan ekspresi tanpa emosi. Kami belum berbicara lagi sejak percakapan singkat tadi. Suasana di antara kami terasa begitu canggung, seolah-olah ada jurang tak kasat mata yang memisahkan kami. Aku memutuskan untuk mengakhiri keheningan lebih dulu. "Jadi ... apa yang terjadi sekarang?" Lucian meletakkan tabletnya di meja dan menatapku. "Sekarang, kita akan mulai menyesuaikan diri dengan peran masing-masing." Aku mengernyit. "Maksudmu?" Dia menyandarkan punggungnya ke sofa, menatapku dengan intens. "Aku butuh istri yang bisa meyakinkan dunia bahwa pernikahan kita nyata. Tak hanya tinggal di sini, kau harus mengikuti semua acara sosial bersamaku, dan memainkan peran sebagai istri yang sempurna." Aku mencengkeram cangkir teh lebih erat. "Dan bagaimana dengan tujuanku?" Lucian menatapku sejenak sebelum menjawab, "Kau bisa memulai balas dendam." Aku terdiam. Tentu saja aku menginginkannya. Aku ingin Damien melihatku bahagia tanpa dirinya. Aku ingin dia menyesal telah meninggalkanku demi wanita lain. Lucian melanjutkan, "Aku bisa memberimu kesempatan itu. Dengan status barumu sebagai Nyonya Devereaux, kau akan mendapatkan perhatian yang selama ini tak pernah kau miliki. Kau akan berada dalam lingkaran sosial yang sama dengan Damien dan Celeste, dan kau bisa menunjukkan pada mereka betapa mereka telah membuat kesalahan besar." Aku merenungkan kata-katanya. Itu memang terdengar seperti rencana yang sempurna. Tapi ada sesuatu yang mengganggu pikiranku. "Dan setelah semua ini selesai? Setelah kau mendapatkan warisanmu dan aku mendapatkan balas dendamku?" Lucian mengangkat bahu. "Kita berpisah. Pernikahan ini akan berakhir secepat kita mengawalinya." Aku tidak tahu kenapa, tapi jawaban itu membuat dadaku terasa sedikit sesak. Aku mengangguk pelan. "Baiklah. Lalu, apa yang harus kulakukan sekarang?" Lucian tersenyum tipis, senyum yang entah kenapa membuatku merasa sedang menandatangani perjanjian dengan iblis. "Mulai besok, kita akan mengumumkan pernikahan kita ke publik. Bersiaplah, Seraphina. Hidupmu tidak akan pernah sama lagi." *** Ketika pagi tiba, aku terbangun dengan pikiran yang masih berkecamuk tentang berbagai hal tentang pernikahan ini, tapi aku tahu tidak ada jalan kembali. Aku telah membuat keputusan, dan sekarang aku harus menjalani konsekuensinya. Aku melangkah keluar dari kamar, dan mataku langsung menangkap sosok Lucian yang berdiri di dekat jendela besar apartemennya. Dia mengenakan kemeja putih dengan lengan yang digulung, satu tangan memasukkan kopi ke dalam mulutnya, sementara tangan lainnya menggenggam ponsel. Aku menatapnya beberapa detik lebih lama dari seharusnya. Sial. Tidak bisa disangkal bahwa pria ini memiliki aura yang mampu menarik perhatian siapa saja. Lucian menyadari kehadiranku dan menoleh. "Kau sudah bangun. Bagus. Kita akan pergi dalam satu jam." Aku mengerutkan kening. "Pergi ke mana?" Dia menyeruput kopinya dengan tenang sebelum menjawab, "Ke kantor pusat Devereaux Group. Semua orang harus tahu bahwa kau sekarang adalah istriku." Aku menelan ludah. "Bagaimana jika mereka tidak menerimaku?" Lucian menatapku dalam-dalam, lalu berjalan mendekat. Aku menahan napas saat dia berhenti hanya beberapa inci dariku. "Biarkan aku yang mengurus mereka," katanya pelan, tapi penuh ketegasan. "Tugasmu hanyalah bersikap seperti seorang istri. Sisanya, aku yang tangani." Aku ingin membalas, tapi sesuatu dalam sorot matanya membuatku tidak bisa berkata-kata. Aku baru menyadari bahwa mulai hari ini, aku tidak hanya harus berurusan dengan Damien dan Celeste. Tapi juga dunia Lucian Devereaux yang penuh rahasia. Dan mungkin, aku tidak siap untuk itu. *** Aku menatap pantulan diriku di cermin. Gaun berwarna biru tua yang Lucian siapkan untukku terlihat sangat elegan, lebih mahal dari apa pun yang pernah kupakai sebelumnya. Rambutku digulung rapi ke belakang, memberi kesan anggun dan berkelas—seperti istri seorang miliarder seharusnya. Namun, di balik semua ini, aku merasa seperti boneka yang dipoles agar sesuai dengan standar dunia yang bukan milikku. Aku menarik napas dalam-dalam sebelum keluar dari kamar. Lucian sudah menungguku di ruang tamu, mengenakan setelan abu-abu yang sempurna membingkai tubuh tegapnya. Dia menatapku dari ujung kepala hingga ujung kaki, lalu mengangguk kecil. “Bagus. Kau terlihat seperti istri yang seharusnya kumiliki.” Aku tidak tahu apakah itu pujian atau sekadar pernyataan, tapi aku tidak membalasnya. Di dalam mobil, suasana terasa sedikit tegang. Lucian duduk di sampingku, tetapi dia lebih banyak fokus pada ponselnya. Aku mengalihkan pandangan ke luar jendela, menyaksikan kota yang mulai sibuk dengan aktivitas paginya. “Ada sesuatu yang perlu kau ketahui sebelum kita sampai di kantor.” Aku menoleh ke arahnya. “Apa?” Lucian meletakkan ponselnya dan menatapku serius. “Di sana, aku memiliki banyak musuh—dan tidak semuanya akan menyambutmu dengan baik. Beberapa dari mereka akan mempertanyakan keputusan ini, beberapa akan mencoba menjatuhkanmu. Aku ingin kau tetap tenang dan tidak menunjukkan kelemahan.” Aku menelan ludah. “Bagaimana jika aku melakukan kesalahan?” “Jangan lakukan.” Aku mendesah. Pria ini benar-benar tidak memberi ruang untuk kesalahan. Saat mobil berhenti di depan gedung pencakar langit dengan logo Devereaux Group yang mencolok, aku merasakan jantungku berdetak lebih cepat. Kaca gedung yang besar memantulkan bayangan kami saat kami turun dari mobil. Beberapa karyawan yang lewat berhenti dan berbisik satu sama lain. Lucian, seperti biasa, tetap tak tergoyahkan. Dia menggenggam tanganku dengan mantap, seolah ingin memastikan semua orang di sini tahu siapa aku sekarang. Kami melangkah masuk ke dalam lobi utama yang luas dan mewah. Suara langkah kaki kami menggema di lantai marmer. Aku bisa merasakan tatapan tajam dari beberapa pegawai yang berusaha menebak siapa aku. Seorang wanita paruh baya dengan pakaian rapi menghampiri kami. “Selamat pagi, Tuan Devereaux.” Tatapannya beralih padaku. “Dan … ini?” Lucian tidak ragu sedikit pun saat menjawab, “Istriku.” Hening. Beberapa detik yang terasa seperti selamanya. Wanita itu—yang kuduga adalah sekretaris pribadi Lucian—terlihat terkejut, tetapi profesionalisme membuatnya segera menguasai ekspresinya. “Saya mengerti, Tuan. Ruang rapat sudah disiapkan untuk pertemuan dewan direksi.” Lucian mengangguk. “Baik. Aku akan membawa istriku ke sana.” Aku tersentak. “Aku harus ikut?” Lucian menoleh padaku. “Tentu saja. Ini bagian dari peranmu.” Aku tidak punya waktu untuk protes. Dia menggenggam tanganku lebih erat dan membawaku ke lift. Saat pintu tertutup dan kami mulai naik ke lantai atas, aku menyadari satu hal. Aku mungkin mengira sudah siap menghadapi pernikahan kontrak ini, tapi aku sama sekali tidak siap menghadapi dunia Lucian Devereaux.Aku memperhatikan Lucian menyetir dengan satu tangan sementara tangan lainnya menggenggam jemariku erat. Malam sudah larut, tetapi jalanan masih terang oleh lampu kota yang menghiasi trotoar dan membentuk pantulan indah di kaca jendela mobil. "Apa ada yang menganggu?" tanya Lucian, lirih tapi jelas. Aku menunduk sebentar, mengumpulkan keberanian. "Aku ingin bertanya sesuatu sejak lama, tapi ... selalu tertunda." Dia melirikku sebentar, lalu kembali fokus pada jalan. "Kau bisa tanya apapun." Aku menarik napas panjang. "Apa kau ... pernah tinggal di panti asuhan kecil di wilayah timur kota? Sekitar umur lima atau enam tahun?" Lucian mendadak memperlambat laju mobil. Matanya terpejam sesaat, lalu dia berhenti di bahu jalan. Tak menjawab. Hanya diam. Tangannya masih menggenggamku erat. Aku melanjutkan dengan suara pelan, "Aku ... menemukan gelang kecil di laci kerjamu. Terukir inisial L.S. dan S.L.—aku tahu itu bukan kebetulan. Aku mengenali bentuknya. Aku yang membuat gelang itu. U
Gelas tipis berbentuk tulip mendarat di hadapanku. Aroma sake menguar, hangat dan lembut seperti asap dupa. Aku menatap pria itu sejenak—lalu pada pria berkemeja biru dongker yang baru saja menyodorkannya padaku sambil tersenyum penuh harap. “Untuk keberhasilan kerja sama kita,” kata pria itu, nada bicaranya berkelas, tapi sikapnya terlalu santai untuk seseorang dengan gelar eksekutif senior. Aku mengangguk kecil, sambil mengambil gelas itu. “Tentu. Untuk kemitraan yang sehat dan berkelanjutan.” Senyum pria itu bertambah lebar. “Itu terdengar seperti kalimat dari proposalmu yang terakhir. Sangat diplomatis.” Aku terkekeh kecil sebelum menyesap sedikit dari cairan bening itu. Hangatnya langsung merambat ke perut. Dua puluh menit dan tiga gelas kemudian, aku mulai menyadari sesuatu yang pelan-pelan menguap dari tubuhku: kendali. Meja panjang kayu khas restoran Jepang itu masih ramai dengan obrolan formal. Investor dari Osaka, dua dari Singapura, dan satu dari Prancis—semuanya tampa
Beranda rooftop apartemen Lucian memang selalu terlihat istimewa ketika malam menurunkan suhunya dengan pelan. Kolam renang pribadi itu menyambut dengan permukaannya yang berkilau seperti kaca hitam, memantulkan bintang-bintang yang menggigil di langit. Angin dingin sempat membuatku ragu untuk turun, tapi tangan Lucian sudah menggenggam erat jemariku. "Aku tidak akan membiarkanmu beku sendirian di dalam sana," ucapnya dengan senyum tipis. "Apa maksudnya … kau akan ikut membeku bersamaku?" Aku menoleh sambil menyipitkan mata, pura-pura mencurigainya. "Bukan. Aku akan memastikan kau tetap hangat meski berada di dalam air," jawabnya sambil perlahan melepas jaket yang sejak tadi membungkus bahunya. Tubuh tegap pria itu terlihat jelas di balik kaus tipis, dan dia bahkan belum menyadari bahwa aku diam-diam memperhatikannya. Aku menarik napas panjang lalu perlahan menyusuri tepi kolam, jari-jari kakiku menyentuh air terlebih dahulu. Sedingin yang kubayangkan. Tapi Lucian sudah melompat
Keringat menetes dari pelipisku, jatuh membasahi kaus longgar yang sengaja kupakai agar terlihat lebih santai. Lucian sudah lebih dulu memulai sesi pemanasan di treadmill, sedangkan aku masih berdiri seperti orang bingung di dekat rak dumbel, memandangi berbagai alat kebugaran yang sebagian besar tak kumengerti fungsinya. "Jangan cuma dilihat. Kau ke sini untuk olahraga, bukan piknik." Suara bariton Lucian menyapaku dari balik punggung. Aku berbalik, mendapati wajahnya yang terlukis penuh selera jahil. Ia menghentikan treadmill-nya dan berjalan ke arahku sambil merentangkan tangan. "Aku baru saja memilih dumbel yang pas," sanggahku, meskipun jelas-jelas belum memegang satu pun alat. Lucian mendengkus tipis. "Dumbel itu untuk latihan lengan, tapi kau justru berdiri di dekat leg press. Coba sini." Dengan penuh percaya diri, dia menggandeng lenganku menuju sebuah mesin besar berwarna hitam dengan bantalan empuk. "Ini namanya chest press. Cocok untukmu yang ingin memperkuat dada dan
Langit pagi menyambut kami dengan warna pastel yang lembut ketika mobil mengantar kami kembali ke apartemen. Setelah malam penuh tawa dan kehangatan, rasanya aku masih belum siap melepas kebersamaan kami. Tetapi hari sudah berganti, dan hidup terus berjalan. Begitu pintu terbuka dan kami masuk ke dalam, aroma khas apartemen langsung menyambutku. Lucian menjatuhkan jasnya ke sofa, lalu berjalan santai ke dapur dengan gaya sok-sok sibuknya. “Aku buatkan kopi, ya?” tanya Lucian sambil membuka lemari tempat kami menyimpan biji kopi Ethiopia kesukaannya. “Tidak.” Aku segera menyusul dan berdiri di depannya, menahan tubuhnya dengan kedua tangan. “Hari ini, kau tidak boleh menyentuh dapur.” Alis Lucian terangkat. “Kenapa? Ada yang salah?” “Aku yang akan memasak. Aku ingin menyiapkan sesuatu yang spesial untukmu.” Senyumku mengembang, dan aku menepuk dadanya ringan. Lucian menyipitkan mata seolah tidak percaya. “Kau yakin tidak ingin kita tetap hidup sampai siang nanti?” “Lucian!” prot
Tadinya kupikir kejutan Lucian hari itu sudah cukup—datang tiba-tiba ke panti, duduk bersamaku dan Nenek Thea, bahkan tertawa kecil meski biasanya wajahnya seperti tembok marmer. Namun, ternyata semesta, atau mungkin dia sendiri, belum selesai menyusupi hariku dengan hal-hal tak terduga. Langit sudah mulai gelap saat kami akhirnya beranjak pulang. Mobil meluncur melewati jalanan kota yang lengang, dengan lampu-lampu temaram dari toko-toko yang mulai menutup. Tanganku menggenggam lengan baju pria itu, bahunya menjadi sandaran alami yang nyaman, terutama setelah satu hari yang menguras tapi juga menghangatkan hati. Namun, beberapa meter sebelum memasuki gerbang tol, suara aneh muncul dari kap mesin. Lalu, mobil mulai melambat. Lucian sempat mencoba mengabaikannya—tanda khas pria keras kepala yang tidak ingin terlihat panik. Namun, ketika mobil benar-benar berhenti di pinggir jalan, dengan bunyi yang tak bisa ditoleransi oleh siapa pun yang masih waras, dia pun memutar kunci, memak