Aku tidak diundang ke sini, dan aku tidak peduli.
Kuperhatikan ruangan yang penuh dengan suara tawa dan ucapan selamat yang berulang-ulang. Gaun mahal berkibar saat para tamu bergerak, menyesap sampanye dan menikmati kemewahan pesta yang seharusnya tidak pernah terjadi. Aku berdiri di tengah ruangan, jantungku berdegup kencang, jemariku mencengkeram gelas anggur yang dingin. Untungnya, mereka tidak menyadari kehadiranku. Mataku sontak tertuju pada sosok pengantin pria, Damien Vaughn. Dulu, aku berpikir nama itu akan menjadi bagian dari hidupku selamanya.Tapi sekarang, dia berdiri di sana, mengenakan setelan hitam sempurna dengan dasi putih, tersenyum kepada wanita yang kini menjadi istrinya. Celeste Moreau. Wanita dengan nama belakang yang lebih berarti dalam dunia bisnis daripada milikku.
Aku seharusnya menjadi orang yang berdiri di sisinya. Aku seharusnya yang mengenakan gaun pengantin itu. Tapi tidak—karena baginya, aku tidak cukup baik. Aku mengangkat gelas anggurku, menyesap sedikit, lalu tanpa berpikir panjang, aku melemparkan seluruh isinya ke arah mereka. Cairan merah membasahi gaun putih Celeste, meninggalkan noda yang tidak mungkin dihapus begitu saja. Ruangan yang tadinya dipenuhi tawa kini hening seketika. Celeste terperangah, menatap noda di bajunya dengan horor. Damien menegang, matanya bertemu denganku dalam keterkejutan yang segera berubah menjadi amarah. Aku menyeringai. "Ups." Seseorang di antara kerumunan tersentak, bisikan mulai menyebar seperti api. Aku bisa merasakan puluhan pasang mata menatapku, menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya. Damien melangkah maju, ekspresinya penuh kemarahan. "Seraphina, apa yang kau lakukan?" "Aku hanya ingin mengucapkan selamat," kataku santai, meskipun hatiku berdebar kencang. "Dan aku pikir, pernikahan ini butuh sedikit warna." Celeste terengah-engah, matanya membelalak tidak percaya. "Kau gila!" Aku terkekeh. "Oh, baru sekarang kau sadar?" Aku tidak tahu apa yang membuatku melakukan ini. Mungkin kemarahan yang kupendam selama ini, mungkin kepuasan melihat wajah Damien yang menegang. Aku ingin melihatnya hancur, seperti bagaimana dia menghancurkanku. Damien menggeram, lalu menoleh ke arah salah satu penjaga di sudut ruangan. "Bawa dia keluar." Aku merasakan ketegangan di udara sebelum aku benar-benar menyadarinya. Beberapa penjaga mulai bergerak ke arahku. Langkah mereka mantap, jelas berusaha mencegahku kabur. Brengsek. Aku bisa saja berlari. Bisa saja mencoba melawan. Tapi aku tidak punya kesempatan menghadapi mereka semua. Aku menegakkan dagu, bersiap menghadapi apa pun yang akan terjadi— Lalu tiba-tiba, sebuah tangan mencengkeram pergelangan tanganku dan menarikku mundur dengan cepat. Aku hampir tersandung tumitku sendiri saat aku terseret keluar dari ballroom dalam kecepatan yang sulit untuk diikuti. Aku berbalik, berniat memprotes, tapi kata-kata itu tertelan saat aku melihat siapa yang membawaku pergi. Lucian Devereaux. Jantungku hampir berhenti. CEO Devereaux Corporation. Pria paling berkuasa di ruangan ini, mungkin bahkan di kota ini. Dingin, tak tersentuh, dan dikenal tidak pernah melakukan sesuatu tanpa alasan. Apa yang dia lakukan? Aku tidak punya waktu untuk bertanya. Dia membawaku melewati lorong-lorong hotel yang sepi, jauh dari tatapan para tamu. Nafasku memburu saat akhirnya dia berhenti di ruangan yang lebih pribadi, melepaskan cengkeramannya, lalu berbalik menghadapku. Aku menyentakkan tanganku, menatapnya tajam. "Apa yang kau lakukan?" Lucian menatapku datar. "Menyelamatkanmu dari kebodohanmu sendiri." Aku mendengkus. "Aku tidak butuh penyelamatan." Dia mengangkat alis, seolah meragukan ucapanku. "Benarkah? Kau ingin dijebloskan ke dalam tahanan atas tuduhan mengganggu acara publik? Atau lebih buruk lagi, membuat musuh dari Damien Vaughn?" Aku mengepalkan tangan. "Dia sudah menjadi musuhku sejak lama." Lucian mengamati wajahku sejenak, ekspresinya sulit ditebak. "Kalau begitu, bagaimana kalau aku memberimu kesempatan untuk membalas dendam?" Aku menyipitkan mata, curiga. "Apa maksudmu?" Dia mendekat, suaranya lebih rendah dan lebih tajam. "Menikahlah denganku." Aku menahan napas. Lucian melanjutkan dengan nada datarnya yang khas. "Kau ingin membuat Damien menyesal, dan aku butuh seorang istri." Aku menatapnya, mencoba menemukan niat tersembunyi di balik matanya yang abu-abu tajam. Ini gila. Lebih gila dari semua hal yang telah kulakukan malam ini. Tapi mungkin ... ini juga kesempatan yang tidak bisa kusiakan. Aku menatap Lucian dengan skeptis, mencoba memahami maksud di balik kata-katanya. Pernikahan? Dengan pria yang bahkan tidak kukenal secara pribadi? Ini pasti semacam lelucon. "Apa kau sedang bercanda?" tanyaku, mencoba mencari tanda-tanda bahwa dia hanya bermain-main. Wajahnya tetap datar. "Apakah aku terlihat seperti orang yang suka bercanda?" Tidak. Tidak sama sekali. Aku melangkah mundur, mencoba menenangkan diri. Ini terlalu cepat. Baru beberapa menit yang lalu, aku melemparkan anggur ke gaun pengantin Celeste, dan sekarang aku berdiri di hadapan pria paling berkuasa di ruangan itu, yang entah bagaimana menawarkan sesuatu yang lebih gila dari aksiku sendiri. Aku tertawa sinis, menyilangkan tangan di depan dada. "Jadi, kau ingin menikah denganku hanya untuk membuat Damien menyesal? Itu rencana yang sangat kekanak-kanakan untuk seseorang sepertimu, Tuan Devereaux." Lucian menghela napas, seolah tidak terkesan dengan reaksiku. "Kau salah paham. Aku tidak peduli dengan Damien atau siapa pun. Aku butuh seorang istri untuk memenuhi persyaratan dalam wasiat keluarga. Dan kau butuh cara yang lebih efektif untuk menghancurkan pria yang telah mengkhianatimu. Ini murni kesepakatan bisnis." Aku diam. Lucian melanjutkan, suaranya tetap stabil. "Dengan menikah denganku, kau akan memiliki lebih banyak kekuatan dari pada yang pernah kau miliki sebelumnya. Damien akan melihatmu di sampingku, dan dia akan tahu bahwa dia telah membuat kesalahan terbesar dalam hidupnya." Kata-kata itu menggema dalam pikiranku. Membayangkan ekspresi Damien ketika melihatku menjadi istri Lucian Devereaux ... ada sesuatu yang begitu memuaskan tentang gagasan itu. Tapi ... pernikahan? Aku menggelengkan kepala, mencoba berpikir jernih. "Mengapa aku? Kau bisa memilih wanita lain, seseorang yang lebih cocok dengan citramu." Lucian tersenyum tipis, tapi matanya tetap dingin. "Karena kau tidak akan jatuh cinta padaku." Aku membeku. Lucian melanjutkan seolah dia baru saja mengatakan sesuatu yang sepele. "Aku tidak tertarik pada pernikahan yang berujung pada drama emosional. Aku butuh seseorang yang mengerti batasannya. Dan kau, Seraphina, jelas masih terjebak dalam kebencianmu terhadap pria lain. Itu membuatmu jadi kandidat yang sempurna." Aku mengepalkan tangan. "Jadi, menurutmu aku ini apa? Alat untuk membantumu memenuhi syarat warisanmu?" Lucian mengangkat bahu. "Dan aku hanyalah alat untuk membantumu membalas dendam. Kita sama-sama mendapat keuntungan." Aku menggigit bibir, mencoba menenangkan detak jantungku yang menggila. Semuanya terjadi begitu cepat, tapi bagian terdalam dalam diriku tahu bahwa ini adalah kesempatan yang tidak bisa kusiakan. Aku ingin Damien menyesal. Aku ingin dia melihatku berdiri lebih tinggi daripada yang pernah dia bayangkan. Lucian sepertinya bisa membaca pikiranku, karena dia mengambil satu langkah mendekat. Udara di antara kami terasa berat, seolah dia sedang memberiku pilihan yang tidak bisa kutolak. "Ambil tawaranku, Seraphina. Ini satu-satunya cara untuk menang." Aku menatapnya. Mata abu-abunya tidak menunjukkan kebohongan, hanya ketegasan. Dingin. Berbahaya. Tapi juga menawarkan sesuatu yang tidak pernah kumiliki sebelumnya—kekuatan. Aku menarik napas dalam. Semua yang terjadi hari ini terasa gila, tapi bukankah hidupku memang sudah berantakan? Jika aku bisa menghancurkan Damien dan membangun kembali diriku sendiri dari puing-puing ini, bukankah itu layak dicoba? Jadi, aku mengangkat daguku dan menjawab, "Baiklah. Aku terima." Lucian menyunggingkan senyum tipis, seolah sudah menduga jawabanku. "Bagus," katanya. "Kalau begitu, kita mulai sekarang." Aku mengerutkan kening. "Sekarang?" Dia tidak menjawab. Hanya merogoh ponselnya, menelepon seseorang, lalu berbicara dengan nada datar, "Siapkan semuanya. Aku ingin pernikahan ini terjadi dalam waktu secepat mungkin." Jantungku mencelos. Aku tahu aku baru saja membuat keputusan besar. Tapi aku belum siap untuk apa yang akan terjadi selanjutnya. Dan saat Lucian menatapku lagi dengan ekspresi tak terbaca, aku sadar satu hal—aku mungkin baru saja menjual jiwaku kepada iblis.Aku memperhatikan Lucian menyetir dengan satu tangan sementara tangan lainnya menggenggam jemariku erat. Malam sudah larut, tetapi jalanan masih terang oleh lampu kota yang menghiasi trotoar dan membentuk pantulan indah di kaca jendela mobil. "Apa ada yang menganggu?" tanya Lucian, lirih tapi jelas. Aku menunduk sebentar, mengumpulkan keberanian. "Aku ingin bertanya sesuatu sejak lama, tapi ... selalu tertunda." Dia melirikku sebentar, lalu kembali fokus pada jalan. "Kau bisa tanya apapun." Aku menarik napas panjang. "Apa kau ... pernah tinggal di panti asuhan kecil di wilayah timur kota? Sekitar umur lima atau enam tahun?" Lucian mendadak memperlambat laju mobil. Matanya terpejam sesaat, lalu dia berhenti di bahu jalan. Tak menjawab. Hanya diam. Tangannya masih menggenggamku erat. Aku melanjutkan dengan suara pelan, "Aku ... menemukan gelang kecil di laci kerjamu. Terukir inisial L.S. dan S.L.—aku tahu itu bukan kebetulan. Aku mengenali bentuknya. Aku yang membuat gelang itu. U
Gelas tipis berbentuk tulip mendarat di hadapanku. Aroma sake menguar, hangat dan lembut seperti asap dupa. Aku menatap pria itu sejenak—lalu pada pria berkemeja biru dongker yang baru saja menyodorkannya padaku sambil tersenyum penuh harap. “Untuk keberhasilan kerja sama kita,” kata pria itu, nada bicaranya berkelas, tapi sikapnya terlalu santai untuk seseorang dengan gelar eksekutif senior. Aku mengangguk kecil, sambil mengambil gelas itu. “Tentu. Untuk kemitraan yang sehat dan berkelanjutan.” Senyum pria itu bertambah lebar. “Itu terdengar seperti kalimat dari proposalmu yang terakhir. Sangat diplomatis.” Aku terkekeh kecil sebelum menyesap sedikit dari cairan bening itu. Hangatnya langsung merambat ke perut. Dua puluh menit dan tiga gelas kemudian, aku mulai menyadari sesuatu yang pelan-pelan menguap dari tubuhku: kendali. Meja panjang kayu khas restoran Jepang itu masih ramai dengan obrolan formal. Investor dari Osaka, dua dari Singapura, dan satu dari Prancis—semuanya tampa
Beranda rooftop apartemen Lucian memang selalu terlihat istimewa ketika malam menurunkan suhunya dengan pelan. Kolam renang pribadi itu menyambut dengan permukaannya yang berkilau seperti kaca hitam, memantulkan bintang-bintang yang menggigil di langit. Angin dingin sempat membuatku ragu untuk turun, tapi tangan Lucian sudah menggenggam erat jemariku. "Aku tidak akan membiarkanmu beku sendirian di dalam sana," ucapnya dengan senyum tipis. "Apa maksudnya … kau akan ikut membeku bersamaku?" Aku menoleh sambil menyipitkan mata, pura-pura mencurigainya. "Bukan. Aku akan memastikan kau tetap hangat meski berada di dalam air," jawabnya sambil perlahan melepas jaket yang sejak tadi membungkus bahunya. Tubuh tegap pria itu terlihat jelas di balik kaus tipis, dan dia bahkan belum menyadari bahwa aku diam-diam memperhatikannya. Aku menarik napas panjang lalu perlahan menyusuri tepi kolam, jari-jari kakiku menyentuh air terlebih dahulu. Sedingin yang kubayangkan. Tapi Lucian sudah melompat
Keringat menetes dari pelipisku, jatuh membasahi kaus longgar yang sengaja kupakai agar terlihat lebih santai. Lucian sudah lebih dulu memulai sesi pemanasan di treadmill, sedangkan aku masih berdiri seperti orang bingung di dekat rak dumbel, memandangi berbagai alat kebugaran yang sebagian besar tak kumengerti fungsinya. "Jangan cuma dilihat. Kau ke sini untuk olahraga, bukan piknik." Suara bariton Lucian menyapaku dari balik punggung. Aku berbalik, mendapati wajahnya yang terlukis penuh selera jahil. Ia menghentikan treadmill-nya dan berjalan ke arahku sambil merentangkan tangan. "Aku baru saja memilih dumbel yang pas," sanggahku, meskipun jelas-jelas belum memegang satu pun alat. Lucian mendengkus tipis. "Dumbel itu untuk latihan lengan, tapi kau justru berdiri di dekat leg press. Coba sini." Dengan penuh percaya diri, dia menggandeng lenganku menuju sebuah mesin besar berwarna hitam dengan bantalan empuk. "Ini namanya chest press. Cocok untukmu yang ingin memperkuat dada dan
Langit pagi menyambut kami dengan warna pastel yang lembut ketika mobil mengantar kami kembali ke apartemen. Setelah malam penuh tawa dan kehangatan, rasanya aku masih belum siap melepas kebersamaan kami. Tetapi hari sudah berganti, dan hidup terus berjalan. Begitu pintu terbuka dan kami masuk ke dalam, aroma khas apartemen langsung menyambutku. Lucian menjatuhkan jasnya ke sofa, lalu berjalan santai ke dapur dengan gaya sok-sok sibuknya. “Aku buatkan kopi, ya?” tanya Lucian sambil membuka lemari tempat kami menyimpan biji kopi Ethiopia kesukaannya. “Tidak.” Aku segera menyusul dan berdiri di depannya, menahan tubuhnya dengan kedua tangan. “Hari ini, kau tidak boleh menyentuh dapur.” Alis Lucian terangkat. “Kenapa? Ada yang salah?” “Aku yang akan memasak. Aku ingin menyiapkan sesuatu yang spesial untukmu.” Senyumku mengembang, dan aku menepuk dadanya ringan. Lucian menyipitkan mata seolah tidak percaya. “Kau yakin tidak ingin kita tetap hidup sampai siang nanti?” “Lucian!” prot
Tadinya kupikir kejutan Lucian hari itu sudah cukup—datang tiba-tiba ke panti, duduk bersamaku dan Nenek Thea, bahkan tertawa kecil meski biasanya wajahnya seperti tembok marmer. Namun, ternyata semesta, atau mungkin dia sendiri, belum selesai menyusupi hariku dengan hal-hal tak terduga. Langit sudah mulai gelap saat kami akhirnya beranjak pulang. Mobil meluncur melewati jalanan kota yang lengang, dengan lampu-lampu temaram dari toko-toko yang mulai menutup. Tanganku menggenggam lengan baju pria itu, bahunya menjadi sandaran alami yang nyaman, terutama setelah satu hari yang menguras tapi juga menghangatkan hati. Namun, beberapa meter sebelum memasuki gerbang tol, suara aneh muncul dari kap mesin. Lalu, mobil mulai melambat. Lucian sempat mencoba mengabaikannya—tanda khas pria keras kepala yang tidak ingin terlihat panik. Namun, ketika mobil benar-benar berhenti di pinggir jalan, dengan bunyi yang tak bisa ditoleransi oleh siapa pun yang masih waras, dia pun memutar kunci, memak