Aku tidak diundang ke sini, dan aku tidak peduli.
Kuperhatikan ruangan yang penuh dengan suara tawa dan ucapan selamat yang berulang-ulang. Gaun mahal berkibar saat para tamu bergerak, menyesap sampanye dan menikmati kemewahan pesta yang seharusnya tidak pernah terjadi. Aku berdiri di tengah ruangan, jantungku berdegup kencang, jemariku mencengkeram gelas anggur yang dingin. Untungnya, mereka tidak menyadari kehadiranku. Mataku sontak tertuju pada sosok pengantin pria, Damien Vaughn. Dulu, aku berpikir nama itu akan menjadi bagian dari hidupku selamanya.Tapi sekarang, dia berdiri di sana, mengenakan setelan hitam sempurna dengan dasi putih, tersenyum kepada wanita yang kini menjadi istrinya. Celeste Moreau. Wanita dengan nama belakang yang lebih berarti dalam dunia bisnis daripada milikku.
Aku seharusnya menjadi orang yang berdiri di sisinya. Aku seharusnya yang mengenakan gaun pengantin itu. Tapi tidak—karena baginya, aku tidak cukup baik. Aku mengangkat gelas anggurku, menyesap sedikit, lalu tanpa berpikir panjang, aku melemparkan seluruh isinya ke arah mereka. Cairan merah membasahi gaun putih Celeste, meninggalkan noda yang tidak mungkin dihapus begitu saja. Ruangan yang tadinya dipenuhi tawa kini hening seketika. Celeste terperangah, menatap noda di bajunya dengan horor. Damien menegang, matanya bertemu denganku dalam keterkejutan yang segera berubah menjadi amarah. Aku menyeringai. "Ups." Seseorang di antara kerumunan tersentak, bisikan mulai menyebar seperti api. Aku bisa merasakan puluhan pasang mata menatapku, menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya. Damien melangkah maju, ekspresinya penuh kemarahan. "Seraphina, apa yang kau lakukan?" "Aku hanya ingin mengucapkan selamat," kataku santai, meskipun hatiku berdebar kencang. "Dan aku pikir, pernikahan ini butuh sedikit warna." Celeste terengah-engah, matanya membelalak tidak percaya. "Kau gila!" Aku terkekeh. "Oh, baru sekarang kau sadar?" Aku tidak tahu apa yang membuatku melakukan ini. Mungkin kemarahan yang kupendam selama ini, mungkin kepuasan melihat wajah Damien yang menegang. Aku ingin melihatnya hancur, seperti bagaimana dia menghancurkanku. Damien menggeram, lalu menoleh ke arah salah satu penjaga di sudut ruangan. "Bawa dia keluar." Aku merasakan ketegangan di udara sebelum aku benar-benar menyadarinya. Beberapa penjaga mulai bergerak ke arahku. Langkah mereka mantap, jelas berusaha mencegahku kabur. Brengsek. Aku bisa saja berlari. Bisa saja mencoba melawan. Tapi aku tidak punya kesempatan menghadapi mereka semua. Aku menegakkan dagu, bersiap menghadapi apa pun yang akan terjadi— Lalu tiba-tiba, sebuah tangan mencengkeram pergelangan tanganku dan menarikku mundur dengan cepat. Aku hampir tersandung tumitku sendiri saat aku terseret keluar dari ballroom dalam kecepatan yang sulit untuk diikuti. Aku berbalik, berniat memprotes, tapi kata-kata itu tertelan saat aku melihat siapa yang membawaku pergi. Lucian Devereaux. Jantungku hampir berhenti. CEO Devereaux Corporation. Pria paling berkuasa di ruangan ini, mungkin bahkan di kota ini. Dingin, tak tersentuh, dan dikenal tidak pernah melakukan sesuatu tanpa alasan. Apa yang dia lakukan? Aku tidak punya waktu untuk bertanya. Dia membawaku melewati lorong-lorong hotel yang sepi, jauh dari tatapan para tamu. Nafasku memburu saat akhirnya dia berhenti di ruangan yang lebih pribadi, melepaskan cengkeramannya, lalu berbalik menghadapku. Aku menyentakkan tanganku, menatapnya tajam. "Apa yang kau lakukan?" Lucian menatapku datar. "Menyelamatkanmu dari kebodohanmu sendiri." Aku mendengkus. "Aku tidak butuh penyelamatan." Dia mengangkat alis, seolah meragukan ucapanku. "Benarkah? Kau ingin dijebloskan ke dalam tahanan atas tuduhan mengganggu acara publik? Atau lebih buruk lagi, membuat musuh dari Damien Vaughn?" Aku mengepalkan tangan. "Dia sudah menjadi musuhku sejak lama." Lucian mengamati wajahku sejenak, ekspresinya sulit ditebak. "Kalau begitu, bagaimana kalau aku memberimu kesempatan untuk membalas dendam?" Aku menyipitkan mata, curiga. "Apa maksudmu?" Dia mendekat, suaranya lebih rendah dan lebih tajam. "Menikahlah denganku." Aku menahan napas. Lucian melanjutkan dengan nada datarnya yang khas. "Kau ingin membuat Damien menyesal, dan aku butuh seorang istri." Aku menatapnya, mencoba menemukan niat tersembunyi di balik matanya yang abu-abu tajam. Ini gila. Lebih gila dari semua hal yang telah kulakukan malam ini. Tapi mungkin ... ini juga kesempatan yang tidak bisa kusiakan. Aku menatap Lucian dengan skeptis, mencoba memahami maksud di balik kata-katanya. Pernikahan? Dengan pria yang bahkan tidak kukenal secara pribadi? Ini pasti semacam lelucon. "Apa kau sedang bercanda?" tanyaku, mencoba mencari tanda-tanda bahwa dia hanya bermain-main. Wajahnya tetap datar. "Apakah aku terlihat seperti orang yang suka bercanda?" Tidak. Tidak sama sekali. Aku melangkah mundur, mencoba menenangkan diri. Ini terlalu cepat. Baru beberapa menit yang lalu, aku melemparkan anggur ke gaun pengantin Celeste, dan sekarang aku berdiri di hadapan pria paling berkuasa di ruangan itu, yang entah bagaimana menawarkan sesuatu yang lebih gila dari aksiku sendiri. Aku tertawa sinis, menyilangkan tangan di depan dada. "Jadi, kau ingin menikah denganku hanya untuk membuat Damien menyesal? Itu rencana yang sangat kekanak-kanakan untuk seseorang sepertimu, Tuan Devereaux." Lucian menghela napas, seolah tidak terkesan dengan reaksiku. "Kau salah paham. Aku tidak peduli dengan Damien atau siapa pun. Aku butuh seorang istri untuk memenuhi persyaratan dalam wasiat keluarga. Dan kau butuh cara yang lebih efektif untuk menghancurkan pria yang telah mengkhianatimu. Ini murni kesepakatan bisnis." Aku diam. Lucian melanjutkan, suaranya tetap stabil. "Dengan menikah denganku, kau akan memiliki lebih banyak kekuatan dari pada yang pernah kau miliki sebelumnya. Damien akan melihatmu di sampingku, dan dia akan tahu bahwa dia telah membuat kesalahan terbesar dalam hidupnya." Kata-kata itu menggema dalam pikiranku. Membayangkan ekspresi Damien ketika melihatku menjadi istri Lucian Devereaux ... ada sesuatu yang begitu memuaskan tentang gagasan itu. Tapi ... pernikahan? Aku menggelengkan kepala, mencoba berpikir jernih. "Mengapa aku? Kau bisa memilih wanita lain, seseorang yang lebih cocok dengan citramu." Lucian tersenyum tipis, tapi matanya tetap dingin. "Karena kau tidak akan jatuh cinta padaku." Aku membeku. Lucian melanjutkan seolah dia baru saja mengatakan sesuatu yang sepele. "Aku tidak tertarik pada pernikahan yang berujung pada drama emosional. Aku butuh seseorang yang mengerti batasannya. Dan kau, Seraphina, jelas masih terjebak dalam kebencianmu terhadap pria lain. Itu membuatmu jadi kandidat yang sempurna." Aku mengepalkan tangan. "Jadi, menurutmu aku ini apa? Alat untuk membantumu memenuhi syarat warisanmu?" Lucian mengangkat bahu. "Dan aku hanyalah alat untuk membantumu membalas dendam. Kita sama-sama mendapat keuntungan." Aku menggigit bibir, mencoba menenangkan detak jantungku yang menggila. Semuanya terjadi begitu cepat, tapi bagian terdalam dalam diriku tahu bahwa ini adalah kesempatan yang tidak bisa kusiakan. Aku ingin Damien menyesal. Aku ingin dia melihatku berdiri lebih tinggi daripada yang pernah dia bayangkan. Lucian sepertinya bisa membaca pikiranku, karena dia mengambil satu langkah mendekat. Udara di antara kami terasa berat, seolah dia sedang memberiku pilihan yang tidak bisa kutolak. "Ambil tawaranku, Seraphina. Ini satu-satunya cara untuk menang." Aku menatapnya. Mata abu-abunya tidak menunjukkan kebohongan, hanya ketegasan. Dingin. Berbahaya. Tapi juga menawarkan sesuatu yang tidak pernah kumiliki sebelumnya—kekuatan. Aku menarik napas dalam. Semua yang terjadi hari ini terasa gila, tapi bukankah hidupku memang sudah berantakan? Jika aku bisa menghancurkan Damien dan membangun kembali diriku sendiri dari puing-puing ini, bukankah itu layak dicoba? Jadi, aku mengangkat daguku dan menjawab, "Baiklah. Aku terima." Lucian menyunggingkan senyum tipis, seolah sudah menduga jawabanku. "Bagus," katanya. "Kalau begitu, kita mulai sekarang." Aku mengerutkan kening. "Sekarang?" Dia tidak menjawab. Hanya merogoh ponselnya, menelepon seseorang, lalu berbicara dengan nada datar, "Siapkan semuanya. Aku ingin pernikahan ini terjadi dalam waktu secepat mungkin." Jantungku mencelos. Aku tahu aku baru saja membuat keputusan besar. Tapi aku belum siap untuk apa yang akan terjadi selanjutnya. Dan saat Lucian menatapku lagi dengan ekspresi tak terbaca, aku sadar satu hal—aku mungkin baru saja menjual jiwaku kepada iblis.Aku masih terdiam di kursi penumpang saat mobil Lucian melaju menembus malam. Jalanan lenggang, hanya lampu kota yang berpendar di kejauhan. Di dalam mobil yang hening ini, pikiranku justru riuh. Apa yang baru saja kulakukan? Aku menerima tawaran pria ini—tanpa benar-benar tahu apa konsekuensinya. Lucian duduk di sampingku dengan ekspresi dingin, tangannya tetap di kemudi dengan tenang, seolah dia tidak baru saja menyeretku keluar dari kekacauan. Aku meliriknya sekilas, mencoba mencari petunjuk dalam ekspresinya, tapi yang kutemukan hanya ketenangan yang mengintimidasi. "Kau diam saja sejak tadi," katanya tanpa menoleh. Aku menggigit bibir, mengatur napas sebelum menjawab. "Aku masih mencoba memahami ... apa yang sebenarnya terjadi." Dia mengeluarkan suara kecil, hampir seperti tawa sinis. "Sederhana. Aku menyelamatkanmu dari penghinaan, dan kau menerima kesepakatanku. Sekarang, kau harus mempersiapkan diri." Aku mengerutkan kening. "Mempersiapkan diri untuk apa?" Lucian a
Aku duduk di sudut sofa, menggenggam cangkir teh hangat yang diberikan pelayan apartemen Lucian. Tanganku masih sedikit gemetar, tapi bukan karena suhu minuman ini—melainkan karena aku masih belum bisa memproses sepenuhnya apa yang baru saja terjadi dalam hidupku. Pernikahanku dengan Damien telah hancur sebelum sempat dimulai, dan sekarang aku terjebak dalam pernikahan lain—dengan seorang pria yang sama sekali tidak kukenal. Lucian Devereaux. CEO dingin dengan tatapan yang mampu membuat siapa pun tunduk dalam hitungan detik. Lucian duduk di seberangku, membaca sesuatu di tabletnya dengan ekspresi tanpa emosi. Kami belum berbicara lagi sejak percakapan singkat tadi. Suasana di antara kami terasa begitu canggung, seolah-olah ada jurang tak kasat mata yang memisahkan kami. Aku memutuskan untuk mengakhiri keheningan lebih dulu. "Jadi ... apa yang terjadi sekarang?" Lucian tidak langsung menjawab. Dia meletakkan tabletnya di meja dan menatapku. "Sekarang, kita akan mulai menyesuaik
Saat lift bergerak naik, aku bisa merasakan tekanan di dadaku semakin berat. Tanganku masih dalam genggaman Lucian, tetapi bukan kehangatan yang kurasakan—melainkan cengkeraman kekuasaan. Dia tidak hanya menggandengku. Dia sedang memperlihatkanku pada dunia sebagai miliknya. Pintu lift terbuka dengan bunyi nyaring. Lantai eksekutif. Interior di sini terasa berbeda dari lobi di bawah. Lebih sepi, lebih eksklusif. Karpet lembut meredam suara langkah kaki, tetapi keheningan yang menggantung di udara jauh lebih menusuk. Beberapa pria dan wanita dalam setelan mahal menoleh saat kami lewat. Beberapa berbisik satu sama lain, beberapa hanya menatap tajam dengan ekspresi tak terbaca. Aku tidak perlu menebak siapa mereka. Dewan direksi. Orang-orang yang memiliki pengaruh besar dalam perusahaan ini—dan mereka semua sekarang melihat ke arahku. Seorang pria tua dengan rambut perak rapi berdiri dari kursinya saat kami memasuki ruang rapat. “Lucian,” katanya dengan nada penuh wibawa. “Ka
Aku menegang. Aku tahu ini akan terjadi—aku tahu cepat atau lambat, aku akan berhadapan dengan Veronica. Tapi menghadapi tatapannya secara langsung tetap saja membuat dadaku terasa sesak. Sebelum aku bisa mengatakan apa pun, Lucian menarikku lebih dekat, tangannya melingkari pinggangku dengan cara yang begitu alami, seolah ingin mengingatkanku bahwa aku tidak sendirian. "Seraphina adalah istriku," katanya, suaranya terdengar begitu dingin dan tak terbantahkan. "Aku tidak butuh persetujuan siapa pun, termasuk kau." Veronica tertawa kecil, tawa yang terdengar lebih seperti ejekan daripada sesuatu yang tulus. "Lucian, kau tahu betapa berharganya nama keluarga kita. Dan sekarang, kau membawa seorang wanita tanpa latar belakang jelas ke dalam keluarga ini? Apa kau serius?" Aku mengepalkan tangan di sisi tubuhku. Aku tidak peduli dengan pendapatnya, tapi cara dia mengatakannya seolah aku ini sampah yang tidak layak berada di sini benar-benar mengusikku. Namun, sebelum aku bisa mem
Sejak pertemuanku dengan Veronica kemarin, aku sudah menduga akan ada konsekuensi. Dan benar saja. Hari ini, dalam acara makan siang bersama beberapa kolega Lucian, aku bisa merasakan tatapan-tatapan terselubung yang memerhatikanku, menilai, dan mungkin meremehkan. Kami berada di restoran mewah dengan pemandangan kota dari ketinggian, ruangan penuh dengan orang-orang berpakaian rapi yang berbicara dengan nada sopan, tapi tajam. Aku tidak asing dengan lingkungan seperti ini. Meski dulu hidupku sederhana, pekerjaanku di toko bunga ibuku sering mempertemukanku dengan klien-klien kaya yang punya standar tinggi. Aku terbiasa menghadapi pelanggan yang memandang rendah pekerjaanku, seolah merangkai bunga bukan hal yang cukup bernilai. Tapi kali ini berbeda. Lucian duduk di sampingku, tenang seperti biasa. Sikapnya dingin dan tak tergoyahkan, seolah semua ini tidak berarti apa-apa baginya. Tapi aku tahu lebih baik dari itu. Dia sedang mengamatiku, menunggu untuk melihat bagaiman
Saat aku kembali ke kantor Lucian setelah pertemuanku dengan Veronica, pria itu sudah menungguku dengan ekspresi datar. Dia sedang berdiri di depan jendela, melihat pemandangan kota yang bermandikan cahaya senja. "Apa yang dia katakan padamu?" Aku menghela napas dan berjalan ke arah meja, meletakkan tas tanganku dengan sedikit lebih keras dari yang seharusnya. "Oh, hal biasa. Ancaman terselubung, pertanyaan meremehkan, sedikit penghinaan halus." Lucian akhirnya berbalik menatapku. Mata kelamnya mengamati wajahku seolah mencoba membaca apakah aku sedang berbohong atau tidak. "Dan bagaimana menurutmu?" Aku menyandarkan tubuh ke meja, melipat tangan di depan dada. "Aku pikir dia menganggapku sebagai pengganggu dalam hidupmu. Dan dia ingin memastikan aku tidak bertahan lama." Sudut bibir Lucian sedikit terangkat, tapi bukan dalam senyuman. "Itu sudah bisa diduga." Aku menatapnya tajam. "Kau tidak akan melakukan apa pun soal itu?" "Apa kau ingin aku melakukannya?" Dia b
Aku selalu berpikir aku cukup pintar membaca orang. Sebelum mengelola toko bunga, aku pernah bekerja sebagai asisten pribadi selama bertahun-tahun. Pekerjaan itu mengajarkanku bagaimana memahami ekspresi, nada suara, dan kata-kata terselubung. Tapi Lucian Devereaux? Dia teka-teki yang tidak mudah dipecahkan. Aku masih mengingat percakapanku dengannya di dalam mobil semalam. Cara dia menatapku, seolah menimbang apakah aku pantas mengetahui rahasianya. Itu bukan ekspresi pria yang hanya menjalani pernikahan kontrak tanpa rasa peduli. Ada sesuatu di balik matanya—sesuatu yang lebih dalam dari pada yang pernah dia tunjukkan. Tapi pagi ini, aku tidak punya waktu untuk menganalisis tatapannya lebih jauh. Aku harus kembali ke kantor pusat Devereaux Industries. Meskipun aku hanya "istri kontrak" Lucian, peranku dalam perusahaan ini menjadi lebih besar dari yang kuduga. Saat aku memasuki gedung, aku merasakan tatapan para karyawan yang penuh rasa ingin tahu. Beberapa dari mereka m
Saat aku kembali ke rumah malam itu, Lucian sudah ada di ruang kerjanya. Aku mengetuk pintu sebelum masuk, membuatnya menoleh. "Ada sesuatu yang ingin kau bicarakan?" tanyanya. Aku menutup pintu di belakangku dan melangkah mendekat. "Katakan padaku yang sebenarnya, Lucian. Apa yang terjadi antara kau dan Veronica?" Dia menghela napas, lalu berdiri dan berjalan ke arah jendela. "Itu bukan sesuatu yang mudah dijelaskan." "Aku tidak meminta penjelasan yang mudah. Aku meminta kejujuran." Dia diam sejenak sebelum akhirnya berbalik menatapku. "Kami memiliki masa lalu yang sulit. Ayah kami selalu menekan kami dengan ekspektasi tinggi. Aku mengambil alih perusahaan lebih cepat dari yang seharusnya, dan Veronica merasa itu adalah tanggung jawab yang seharusnya dia bagi denganku."
Langit siang itu sedikit mendung, tapi hangat. Angin dari laut membawa aroma asin yang terasa familiar. Aku memarkir mobilku di dekat dermaga kayu tua, tempat yang beberapa bulan lalu menjadi pelarianku. Saat dunia terasa seperti runtuh di bawah kakiku, aku pernah berdiri di sini, tak tahu harus ke mana. Tapi seseorang waktu itu menghentikanku. Seorang pria asing dengan mata penuh dunia. Hari ini aku kembali ke pantai itu. Bukan karena aku ingin melarikan diri, tapi karena aku ingin mengucapkan terima kasih. Untuk seseorang yang tidak kutahu namanya, tapi entah kenapa masih membekas dalam ingatanku seperti bekas luka yang tidak menyakitkan, hanya mengingatkan. Butuh waktu lima belas menit berjalan menyusuri pasir sebelum aku melihat sosoknya. Duduk di bangku kayu reyot, membelakangi laut, seperti sebelumnya. Diam, tenang, nyaris seperti batu karang itu sendiri. Aku ragu. Tapi akhirnya aku melangkah. Langkahku pelan agar tidak mengejutkannya, meski aku tahu—entah bagaimana—dia pasti
Langkahku mantap, meski tangan yang menggenggam gunting berlapis emas ini sempat bergetar sesaat. Di hadapanku, pita satin berwarna biru tua melintang di depan pintu kaca besar bertuliskan Fleur DeVere dalam font elegan dan tegas.Di belakangku, para tamu berdiri. Pers, investor, teman-teman yang pernah melihatku menangis diam-diam di pojok toko bunga lama milik ibuku. Hari ini bukan hanya soal gedung megah atau bunga-bunga yang menghiasi setiap sudut ruangan. Ini tentang bertahan. Tentang kelahiran kembali.Kutarik napas panjang, lalu mengayunkan gunting. Suara pita terpotong seperti gemuruh halus di dadaku. Gemuruh yang berkata: aku berhasil.Tepuk tangan menggema. Kamera menyala. Tapi dunia seolah mengabur saat aku melangkah ke podium. Mikrofon tingginya sejajar dadaku, tapi suaraku jauh lebih tinggi dari itu. Meskipun aku mengaku aku gugup, tapi beruntung aku bisa mengontrol diri."Saya dibesarkan di antara bunga." Aku memulai pembicaraan, dengan suaraku yang stabil dan rendah tan
Aku duduk di sofa sudut ruangan, mendengarkan nasihat dari Clara, salah satu konsultan bisnis yang Lucian panggil untukku. Clara orangnya tegas tapi ramah, tipe yang bisa membuat seseorang merasa bodoh dan termotivasi dalam satu kalimat. Sekarang dia sedang menjelaskan strategi untuk memperkuat posisi perusahaan baruku—yang Lucian serahkan padaku beberapa bulan lalu—di tengah persaingan yang semakin ketat. “Seraphina, kau harus lebih agresif dalam negosiasi,” kata Clara, menunjuk papan presentasi di depannya. “Jangan hanya mengandalkan nama besar Lucian atau koneksi Fedorov. Bangun reputasimu sendiri. Jika ada lawan yang bermain kotor, kau harus siap membalas dengan cerdas, bukan hanya emosi yang sia-sia." Aku mengangguk, mencatat poin-poin penting di buku catatanku. Sejak Lucian menyerahkan perusahaan baru ini padaku, aku belajar banyak—dari cara membaca laporan keuangan sampai menghadapi klien yang sok tahu. Namun, aku suka tantangannya. Rasanya seperti membuktikan bahwa aku
Apartemen terasa sepi tanpa Lucian malam ini. Dia berpesan ada urusan di kantor yang harus diselesaikan, karena itu aku pulang lebih dulu setelah kami meninggalkan mansion Fedorov pagi tadi. Cahaya lampu di ruang tamu menyala lembut, tapi aku merasa agak gelisah. Mungkin karena obrolan kemarin malam masih terngiang, atau mungkin karena aku masih mencerna semua yang terjadi di mansion. Aku akhirnya memutuskan untuk melakukan sesuatu yang produktif—merapikan lemari lama Lucian di kamar yang sekarang jarang dia pakai. Lemari itu penuh dengan barang-barang yang sepertinya sudah lama tidak disentuh. Kotak-kotak berdebu, buku catatan kuliah, dan beberapa baju yang jelas sudah tidak muat lagi. Aku tersenyum kecil sambil mengeluarkan tumpukan kaos lusuh, bertanya-tanya kenapa Lucian masih menyimpan semua ini. Tapi saat aku menggeser sebuah kotak sepatu tua di rak bawah, sesuatu jatuh ke lantai dengan bunyi ringan. Aku membungkuk, mengambil benda itu, dan langsung terpaku. Sebuah gel
Malam menyelimuti mansion Fedorov dengan suasana yang hangat, meski udara di luar terasa dingin. Cahaya lampu-lampu taman memantul di permukaan air mancur, menciptakan kilau yang bikin aku ingin terus menatapnya. Setelah obrolan panjang di ruang duduk tadi, Fedorov bersikeras kami menginap. “Kalian sudah jauh-jauh ke sini,” katanya dengan nada yang tidak menerima penolakan. “Lagipula, ada kamar yang sudah disiapkan untuk kalian.” Aku dan Lucian cuma saling pandang, lalu mengangguk. Sulit menolak pria seperti Fedorov—bukan karena dia menakutkan, tapi ada aura yang membuatku merasa dia selalu mempunyai rencana lebih besar dari yang terlihat.Setelah makan malam yang mewah tapi entah kenapa terasa nyaman, kami dipanggil lagi ke ruang kerja Fedorov. Ruangan itu beda dari bagian lain mansion—dindingnya dipenuhi rak buku kayu tua, meja besar di tengah dengan lampu hijau klasik, dan bau samar kertas tua yang bikin aku merasa seperti masuk ke film detektif jadul. Fedorov duduk di balik me
Pagi ketiga di Lapland terasa seperti mimpi yang belum ingin kuberhenti jalani. Cahaya matahari pagi menyelinap lembut melalui jendela sehingga membawa kilau salju yang membuat segalanya terasa magis. Namun, ketika Lucian masuk ke kamar dengan wajah sedikit tegang—sesuatu yang jarang kulihat—aku tahu ada sesuatu yang berbeda hari ini. “Seraphina, kita harus pulang lebih awal,” katanya sambil duduk di tepi ranjang, sambil tangannya meraih tanganku dengan lembut. “Kakekku ingin bertemu kita. Secepatnya." Aku mengerjap, mencoba mencerna kata-katanya. “Kakekmu? Serius?” Aku pernah mendengar cerita-cerita Lucian, tapi pria itu selalu terdengar seperti legenda—pengusaha kaya raya yang keras kepala, hidup menyendiri di mansion mewahnya. “Kenapa tiba-tiba?” tanyaku tidak bisa menyembunyikan keterkejutan. Lucian menghela napas, jari-jarinya mengusap punggung tanganku. “Dia bilang sudah waktunya kita membicarakan tentang banyak hal. Mulai dari bisnis, pernikahan kita, dan yang paling utam
Cahaya pagi menyelinap lembut melalui jendela kaca raksasa yang memantulkan kilau salju di luar hingga ruangan terasa seperti bercahaya. Aku membuka mata perlahan, masih terbungkus selimut tebal yang hangat, dan menyadari Lucian sudah tidak ada di sampingku. Tempat tidur masih terasa hangat di sisinya, jadi dia pasti baru bangun. Aroma kopi segar menyelinap ke hidungku, dan aku mendengar suara pelan dari arah dapur kecil. Aku menyeret diri keluar dari selimut, mengenakan sweater tebal dan kaus kaki wol sebelum berjalan ke arah suara itu. Lucian berdiri di sana, berpakaian santai—kaus hitam lengan panjang dan celana jeans yang entah kenapa membuatnya terlihat lebih manusiawi daripada biasanya. Dia sedang menuang kopi ke dua cangkir, rambutnya sedikit acak-acakan, dan aku harus menahan diri untuk tidak tersenyum melihatnya. “Pagi,” sapanya tanpa menoleh, tapi aku tahu dia sudah merasakan kehadiranku. Suaranya masih serak khas bangun tidur. “Pagi,” balasku, berusaha terdengar biasa
Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan debaran jantung yang entah kenapa tak mau reda sejak kami naik ke pesawat pribadi ini. Kabinnya luas, dilapisi kulit krem dan aksen kayu gelap, dengan kursi besar yang lebih mirip sofa daripada tempat duduk pesawat pada umumnya. Lucian duduk di sampingku, satu tangan memegang tablet, matanya fokus membaca sesuatu—mungkin laporan bisnis, entah apa lagi. Tapi tangan lainnya? Oh, tangan itu dengan santai bertumpu di pahaku, jari-jarinya sesekali mengusap lembut tanpa sadar. Aku berusaha mengabaikannya, tapi rasanya seperti ada arus listrik kecil yang mengalir setiap kali dia bergerak. “Seraphina,” panggilnya tanpa menoleh, suaranya rendah dan sedikit serak. “Kau kenapa gelisah dari tadi?” Aku mendengus pelan, memalingkan muka ke jendela. Di luar, awan putih bergumpal terlihat seperti kapas raksasa di bawah sinar matahari. “Aku tidak gelisah,” bantahku, meskipun tahu dia pasti bisa merasakan keteganganku dari caraku memainkan
Aku mengerjapkan mata, menyesuaikan diri dengan cahaya remang yang masuk melalui celah gorden apartemen. Aroma linen segar bercampur dengan sisa parfum Lucian yang maskulin memenuhi indra penciumanku. Semalam benar-benar intens. Aku melirik ke samping, mendapati sisi tempat tidur Lucian sudah kosong. Pantas saja, memangnya dia pernah bangun terlambat? Aku menghela napas, mengingat kembali kejadian semalam. Acara bisnis memang melelahkan, tapi percayalah, bukan rapat dan negosiasi yang menguras habis energiku. Sentuhan di pinggangku membuatku tersentak kecil. Lucian, dengan rambut sedikit berantakan dan hanya mengenakan celana bahan, berdiri di samping tempat tidur sambil menyodorkan secangkir kopi. "Pagi, Istriku," sapanya singkat, tanpa senyum seperti biasanya. "Pagi juga," jawabku sambil menerima kopi itu. "Kau selalu bangun lebih awal dariku." Dia hanya mengangkat bahu, lalu duduk di tepi tempat tidur, menatapku dengan intens. "Bagaimana tidurmu?" "Nyenyak," jawabku, menyesap