Saat lift bergerak naik, aku bisa merasakan tekanan di dadaku semakin berat. Tanganku masih dalam genggaman Lucian, tetapi bukan kehangatan yang kurasakan—melainkan cengkeraman kekuasaan.
Dia tidak hanya menggandengku. Dia sedang memperlihatkanku pada dunia sebagai miliknya. Pintu lift terbuka dengan bunyi nyaring. Lantai eksekutif. Interior di sini terasa berbeda dari lobi di bawah. Lebih sepi, lebih eksklusif. Karpet lembut meredam suara langkah kaki, tetapi keheningan yang menggantung di udara jauh lebih menusuk. Beberapa pria dan wanita dalam setelan mahal menoleh saat kami lewat. Beberapa berbisik satu sama lain, beberapa hanya menatap tajam dengan ekspresi tak terbaca. Aku tidak perlu menebak siapa mereka. Dewan direksi. Orang-orang yang memiliki pengaruh besar dalam perusahaan ini—dan mereka semua sekarang melihat ke arahku. Seorang pria tua dengan rambut perak rapi berdiri dari kursinya saat kami memasuki ruang rapat. “Lucian,” katanya dengan nada penuh wibawa. “Kami tidak diberitahu bahwa kau akan membawa tamu.” Lucian tetap tenang. Dia menarikku lebih dekat, seolah ingin memastikan semua orang di ruangan ini tidak melewatkan kehadiranku. “Ini istriku, Seraphina Langley yang telah menjadi Nyonya Devereaux.” Dingin. Hening yang terjadi setelah pengumuman itu begitu dingin hingga aku hampir bisa merasakan suhu ruangan turun beberapa derajat. Beberapa dari mereka saling berpandangan, beberapa lainnya tampak berusaha menyembunyikan keterkejutan mereka. Namun, tidak semuanya terkejut. Beberapa justru terlihat… tidak senang. Pria tua tadi—yang sepertinya pemegang saham utama—menyipitkan matanya. “Istri?” ulangnya, seolah dia tidak yakin mendengar dengan benar. Lucian mengangguk santai. “Aku sudah menikah.” “Dan kapan tepatnya keputusan ini dibuat?” Lucian tersenyum kecil, tetapi tidak ada kehangatan di baliknya. “Aku tidak tahu kalau aku harus meminta izin terlebih dahulu.” Pria itu mendesah pelan, sebelum menatapku dengan pandangan meneliti. Aku merasakan ketegangan merayapi tubuhku, tetapi aku menolak untuk menghindari tatapannya. “Seraphina Devereaux,” ulangnya pelan, menguji namaku di lidahnya. “Jadi, kau sekarang bagian dari keluarga ini?” Aku menelan ludah, lalu mengangguk. “Ya.” “Dan kau paham apa yang sedang kau hadapi?” Aku tidak tahu apakah dia berbicara tentang pernikahanku dengan Lucian, atau dunia yang baru saja kumasuki. Tapi aku tidak akan terlihat lemah di hadapan mereka. Jadi aku membalas tatapannya dan berkata, “Tentu saja.” Dia tidak tersenyum. Tetapi aku bisa melihat ketertarikan sekilas di matanya sebelum dia kembali bersandar ke kursinya. “Baiklah,” katanya akhirnya. “Mari kita lihat seberapa lama kau bisa bertahan.” Aku tidak tahu apakah itu ancaman atau sekadar pernyataan. Tapi satu hal yang kutahu pasti .… Aku baru saja masuk ke dalam dunia di mana aku harus berjuang untuk tetap bertahan. Dan aku tidak akan mundur. *** Ruangan itu terasa seperti medan perang tak kasat mata. Meskipun percakapan bisnis mulai bergulir, aku tahu bahwa sebagian besar dari mereka masih meniliku dengan tatapan tajam. Lucian duduk dengan tenang di kursinya, mendengarkan laporan yang dibacakan, sementara aku duduk di sampingnya, berusaha terlihat setenang mungkin. Aku tidak memahami sebagian besar istilah bisnis yang mereka gunakan, tetapi aku bisa merasakan ketegangan di udara. Tidak semua orang di ruangan ini senang dengan keberadaanku. Beberapa dari mereka tidak menyembunyikan ketidaksukaan mereka, dan itu cukup untuk membuatku sadar bahwa aku sedang berada di sarang ular. Pria tua yang tadi menanyai aku—yang ternyata adalah Henry Devereaux, paman Lucian dan salah satu pemegang saham terbesar—sesekali melirikku, seolah mengamatiku di sela-sela rapat. Aku tidak tahu apakah dia mencoba mengujiku atau sekadar mencari kelemahanku. “Lucian,” Henry akhirnya berbicara setelah laporan selesai dibacakan. “Pernikahan mendadak ini mengejutkan banyak pihak. Kau tahu itu, bukan?” Lucian tetap tenang. “Aku tidak melihat ada yang perlu dikejutkan. Aku sudah cukup dewasa untuk membuat keputusan sendiri.” Henry menyandarkan punggungnya ke kursi, menyilangkan tangannya di dada. “Benarkah? Karena yang kudengar, pernikahan ini terjadi tanpa ada satu pun dari kami yang diberi kabar.” “Apa aku harus meminta izin terlebih dahulu?” balas Lucian dengan nada datar. “Bukan izin,” Henry menyipitkan mata. “Tetapi setidaknya penjelasan.” Aku bisa merasakan tatapan mereka berpindah padaku, seolah aku adalah faktor yang harus mereka pahami dalam persamaan ini. Henry menghela napas, lalu menoleh padaku. “Nona Seraphina—atau sekarang Nyonya Devereaux, aku ingin tahu … Apa yang membuatmu berpikir bahwa kau cukup kuat untuk bertahan di dunia ini?” Aku tidak menyangka akan diserang secara langsung seperti ini, tetapi aku juga tidak akan mundur. Aku menegakkan punggung dan menatapnya langsung. “Saya tidak berpikir, tapi saya tahu.” Henry mengangkat alisnya, jelas tidak menyangka aku akan menjawab seperti itu. “Saya mungkin bukan bagian dari dunia bisnis,” lanjutku, “tapi saya tidak pernah mundur dari tantangan.” Ruangan menjadi sunyi sejenak sebelum Henry terkekeh pelan. “Keberanian yang menarik,” katanya. “Tapi keberanian saja tidak cukup untuk bertahan.” “Beruntung saya memiliki lebih dari sekadar keberanian.” Aku memberikan senyum kecil, mencoba menunjukkan bahwa aku tidak akan goyah. Lucian menatapku sekilas, dan untuk pertama kalinya, aku melihat kilatan ketertarikan di matanya. Henry tidak berkata apa-apa lagi, tetapi aku tahu bahwa percakapan ini belum selesai. Setelah rapat berakhir, Lucian menggandeng tanganku keluar dari ruangan. Saat kami memasuki lift, dia akhirnya bersuara. “Kau tidak perlu menjawab Henry seperti itu,” katanya. Aku menoleh padanya. “Kalau aku diam, dia akan menginjakku.” Lucian menatapku selama beberapa detik sebelum akhirnya mengangguk kecil. “Bagus.” Aku terkejut dengan jawabannya. “Bagus?” Dia menyandarkan punggungnya ke dinding lift. “Aku tidak butuh istri yang hanya menjadi pajangan. Aku butuh seseorang yang bisa berdiri di sampingku tanpa goyah.” Aku tidak tahu apakah itu pujian atau sekadar pernyataan, tetapi untuk pertama kalinya, aku merasa seolah dia benar-benar mengakuiku. *** Aku berjalan di samping Lucian dengan langkah cepat, berusaha mengikuti ritmenya yang selalu mantap dan penuh keyakinan. Rapat dewan direksi baru saja berakhir, dan meskipun aku telah berusaha menjaga ekspresi tenang, pikiranku masih dipenuhi berbagai pertanyaan. Tatapan penuh penilaian dari para eksekutif tadi masih membekas, membuat dadaku terasa sesak. Tapi aku tetap diam, menjalani peran yang telah kusetujui sejak awal. Di sisiku, Lucian tampak sama sekali tak terganggu. Sejak awal, dia mendominasi seluruh percakapan, menjawab pertanyaan dengan suara tegas yang membuat siapa pun di ruangan itu tak berani meragukannya. Aku seharusnya merasa lega karena semua berjalan sesuai rencana, tapi entah kenapa, ada sesuatu yang menggangguku. Saat kami berbelok menuju lorong utama, aku melihat seorang wanita berdiri di depan lift. Seketika, udara di sekitarku terasa lebih dingin. Wanita itu tinggi, berambut cokelat gelap yang tertata sempurna, dengan sorot mata tajam yang menilai kami dengan ekspresi penuh penghinaan. Aku tidak perlu bertanya siapa dia. Veronica Devereaux. Adik Lucian. Aku mengenal wajahnya dari artikel yang pernah kubaca. Dia adalah wanita yang memiliki reputasi hampir sama kuatnya dengan Lucian—sukses, dingin, dan tak kenal ampun. "Lucian," sapanya dengan nada datar, seolah berbicara dengan seseorang yang sudah lama tak ditemuinya. "Aku dengar kau membawa seseorang ke rapat dewan hari ini." Lucian tetap tenang, ekspresinya nyaris tidak berubah. "Lalu kenapa?" Veronica menyilangkan tangan di depan dadanya, lalu mengalihkan pandangan ke arahku. Senyum sinis tersungging di bibirnya. "Jadi, ini wanita yang kau nikahi?" Tatapannya menyusuri diriku dari kepala hingga kaki seolah menilai barang murahan yang tidak seharusnya ada di sini. "Kau benar-benar sudah kehilangan akal, Lucian. Dari semua wanita yang bisa kau pilih, kau memilih dia?"Aku memperhatikan Lucian menyetir dengan satu tangan sementara tangan lainnya menggenggam jemariku erat. Malam sudah larut, tetapi jalanan masih terang oleh lampu kota yang menghiasi trotoar dan membentuk pantulan indah di kaca jendela mobil. "Apa ada yang menganggu?" tanya Lucian, lirih tapi jelas. Aku menunduk sebentar, mengumpulkan keberanian. "Aku ingin bertanya sesuatu sejak lama, tapi ... selalu tertunda." Dia melirikku sebentar, lalu kembali fokus pada jalan. "Kau bisa tanya apapun." Aku menarik napas panjang. "Apa kau ... pernah tinggal di panti asuhan kecil di wilayah timur kota? Sekitar umur lima atau enam tahun?" Lucian mendadak memperlambat laju mobil. Matanya terpejam sesaat, lalu dia berhenti di bahu jalan. Tak menjawab. Hanya diam. Tangannya masih menggenggamku erat. Aku melanjutkan dengan suara pelan, "Aku ... menemukan gelang kecil di laci kerjamu. Terukir inisial L.S. dan S.L.—aku tahu itu bukan kebetulan. Aku mengenali bentuknya. Aku yang membuat gelang itu. U
Gelas tipis berbentuk tulip mendarat di hadapanku. Aroma sake menguar, hangat dan lembut seperti asap dupa. Aku menatap pria itu sejenak—lalu pada pria berkemeja biru dongker yang baru saja menyodorkannya padaku sambil tersenyum penuh harap. “Untuk keberhasilan kerja sama kita,” kata pria itu, nada bicaranya berkelas, tapi sikapnya terlalu santai untuk seseorang dengan gelar eksekutif senior. Aku mengangguk kecil, sambil mengambil gelas itu. “Tentu. Untuk kemitraan yang sehat dan berkelanjutan.” Senyum pria itu bertambah lebar. “Itu terdengar seperti kalimat dari proposalmu yang terakhir. Sangat diplomatis.” Aku terkekeh kecil sebelum menyesap sedikit dari cairan bening itu. Hangatnya langsung merambat ke perut. Dua puluh menit dan tiga gelas kemudian, aku mulai menyadari sesuatu yang pelan-pelan menguap dari tubuhku: kendali. Meja panjang kayu khas restoran Jepang itu masih ramai dengan obrolan formal. Investor dari Osaka, dua dari Singapura, dan satu dari Prancis—semuanya tampa
Beranda rooftop apartemen Lucian memang selalu terlihat istimewa ketika malam menurunkan suhunya dengan pelan. Kolam renang pribadi itu menyambut dengan permukaannya yang berkilau seperti kaca hitam, memantulkan bintang-bintang yang menggigil di langit. Angin dingin sempat membuatku ragu untuk turun, tapi tangan Lucian sudah menggenggam erat jemariku. "Aku tidak akan membiarkanmu beku sendirian di dalam sana," ucapnya dengan senyum tipis. "Apa maksudnya … kau akan ikut membeku bersamaku?" Aku menoleh sambil menyipitkan mata, pura-pura mencurigainya. "Bukan. Aku akan memastikan kau tetap hangat meski berada di dalam air," jawabnya sambil perlahan melepas jaket yang sejak tadi membungkus bahunya. Tubuh tegap pria itu terlihat jelas di balik kaus tipis, dan dia bahkan belum menyadari bahwa aku diam-diam memperhatikannya. Aku menarik napas panjang lalu perlahan menyusuri tepi kolam, jari-jari kakiku menyentuh air terlebih dahulu. Sedingin yang kubayangkan. Tapi Lucian sudah melompat
Keringat menetes dari pelipisku, jatuh membasahi kaus longgar yang sengaja kupakai agar terlihat lebih santai. Lucian sudah lebih dulu memulai sesi pemanasan di treadmill, sedangkan aku masih berdiri seperti orang bingung di dekat rak dumbel, memandangi berbagai alat kebugaran yang sebagian besar tak kumengerti fungsinya. "Jangan cuma dilihat. Kau ke sini untuk olahraga, bukan piknik." Suara bariton Lucian menyapaku dari balik punggung. Aku berbalik, mendapati wajahnya yang terlukis penuh selera jahil. Ia menghentikan treadmill-nya dan berjalan ke arahku sambil merentangkan tangan. "Aku baru saja memilih dumbel yang pas," sanggahku, meskipun jelas-jelas belum memegang satu pun alat. Lucian mendengkus tipis. "Dumbel itu untuk latihan lengan, tapi kau justru berdiri di dekat leg press. Coba sini." Dengan penuh percaya diri, dia menggandeng lenganku menuju sebuah mesin besar berwarna hitam dengan bantalan empuk. "Ini namanya chest press. Cocok untukmu yang ingin memperkuat dada dan
Langit pagi menyambut kami dengan warna pastel yang lembut ketika mobil mengantar kami kembali ke apartemen. Setelah malam penuh tawa dan kehangatan, rasanya aku masih belum siap melepas kebersamaan kami. Tetapi hari sudah berganti, dan hidup terus berjalan. Begitu pintu terbuka dan kami masuk ke dalam, aroma khas apartemen langsung menyambutku. Lucian menjatuhkan jasnya ke sofa, lalu berjalan santai ke dapur dengan gaya sok-sok sibuknya. “Aku buatkan kopi, ya?” tanya Lucian sambil membuka lemari tempat kami menyimpan biji kopi Ethiopia kesukaannya. “Tidak.” Aku segera menyusul dan berdiri di depannya, menahan tubuhnya dengan kedua tangan. “Hari ini, kau tidak boleh menyentuh dapur.” Alis Lucian terangkat. “Kenapa? Ada yang salah?” “Aku yang akan memasak. Aku ingin menyiapkan sesuatu yang spesial untukmu.” Senyumku mengembang, dan aku menepuk dadanya ringan. Lucian menyipitkan mata seolah tidak percaya. “Kau yakin tidak ingin kita tetap hidup sampai siang nanti?” “Lucian!” prot
Tadinya kupikir kejutan Lucian hari itu sudah cukup—datang tiba-tiba ke panti, duduk bersamaku dan Nenek Thea, bahkan tertawa kecil meski biasanya wajahnya seperti tembok marmer. Namun, ternyata semesta, atau mungkin dia sendiri, belum selesai menyusupi hariku dengan hal-hal tak terduga. Langit sudah mulai gelap saat kami akhirnya beranjak pulang. Mobil meluncur melewati jalanan kota yang lengang, dengan lampu-lampu temaram dari toko-toko yang mulai menutup. Tanganku menggenggam lengan baju pria itu, bahunya menjadi sandaran alami yang nyaman, terutama setelah satu hari yang menguras tapi juga menghangatkan hati. Namun, beberapa meter sebelum memasuki gerbang tol, suara aneh muncul dari kap mesin. Lalu, mobil mulai melambat. Lucian sempat mencoba mengabaikannya—tanda khas pria keras kepala yang tidak ingin terlihat panik. Namun, ketika mobil benar-benar berhenti di pinggir jalan, dengan bunyi yang tak bisa ditoleransi oleh siapa pun yang masih waras, dia pun memutar kunci, memak