6 bulan sebelum pagi itu terbit dari timur.
“Aku harus jujur padamu.”
Mulut laki-laki itu malah mengatup. Suaranya tercekat, lidahnya kaku dipintal ragu-ragu. Perempuan itu membuatnya harus membuang muka, lagi. Masih tak berani menatap matanya.
“Tentang apa sayang?” Cindy membenahi posisi duduknya. Ia yang baru saja sampai di cafe bahkan belum sempat memesan makanan.
“A ... aku, uhhh gimana ya jelasinnya?”
“Vero, udah jujur aja! Apa sih susahnya?” paksa Cindy.
Vero mau tidak mau menatap Cindy. Wajah perempuan itu masih sama seperti biasanya, serius dan tak bisa diajak bergurau.
Vero menarik wajahnya lagi, membuang muka. “Aku dipecat!” ucap Vero sambil menelan ludah. Terpejam, meremas lutut, siap-siap dengan jawaban apa yang keluar dari mulut Cindy.
Sesaat kemudian laki-laki itu baru berani membuka mata. Melihat Cindy yang tercengang tak percaya dengan kedua bola matanya. Raut muka, mimik wajah, dan ekspresi yang seakan bilang:
‘Gak! Gak mungkin!’
“Ta ... tapi kenapa? Trus kita? Pertunangan kita? Pernikahan kita?” rengek Cindy. Ia kecewa dengan Vero, sungguh kecewa. Bagaimana mungkin ia bisa seceroboh itu? Dan pernikahan mereka sudah amat dekat. Tinggal hitungan bulan. Kenapa ia malah dipecat dari kerjaannya?
Vero beringsut, berniat memindahkan kursi mendekat tapi segera Cindy menahannya dengan tangan, meminta Vero menjauh. Ia syok dengan kabar yang Vero sampaikan. Tak sampai di situ, kini ia jijik dengan laki-laki di depannya. Kenapa sampai seteledor itu dengan pekerjaannya?
“Laki-laki itu menuduhku selingkuh sama istrinya!”
Cindy terenyak kaget, bak tersambar petir di siang bolong, ia menahan mulutnya berteriak dengan kedua telapak tangannya. Alisnya terangkat karena matanya terbelalak tak percaya. Kenapa alasan macam itu? Apa ini hanya akal-akalan Vero untuk menutupi perselingkuhan di belakang Cindy?
“Holly shit!! Jadi ... jadi bos kamu, menuduh kamu, berselingkuh sama istrinya? Tapi kenapa? Kenapa? Trus kenapa kamu? Bukan karyawan lain?
Vero menggeleng. Sejujurnya ia juga tak mengerti apa yang tengah terjadi dan berubah rumit seketika. “Aku sudah berkali-kali menjelaskan itu pada laki-laki tua itu. Meski harus kuakui, istri simpanannya cantik tapi aku bilang sama dia kalau kamu jauh lebih cantik jadi mustahil aku selingkuh sama istri simpanannya!”
“Istri?”
“Iya.”
“Simpanan?”
“Iya simpanan, kedua” jawa Vero sambil mengacungkan jari telunjuk dan tengahnya bersamaan.
“Cantik?” tuntut Cindy.
“I .... iya cantik,” jawab Vero ringan sambil mengingat kejadian siang itu.
Ia baru sadar ada yang salah setelah melihat kembali lawan bicara di depannya. Muka Cindy tampak makin marah dengan tangan yang siap mengepal. “Eeehhh ... maksudku tidak secantik kamu sayang.”
Plakkk ....!!!
Wajah Cindy memerah, perasaan sedihnya ditelan mentah-mentah oleh amarahnya. Sebuah tamparan mendarat di pipi Vero. Beberapa detik orang-orang di dalam cafe seperti tersedot perhatiannya. Menatap dua orang satu meja yang tengah bertikai. Hanya karena tamparan itu dilakukan oleh Cindy mereka tak jadi tertarik, kembali pada meja makannya.
Tak apa kan kalau yang melakukan perempuan, memang laki-lakinya kali yang kurang ajar.
Vero mengaduh, mengusap-usap pipi kirinya yang kini tampak merah lengkap dengan cap 5 jari. Rasa sakit menjalar bahkan hingga gusi dalam. Tamparan terkeras Cindy yang pernah Vero dapatkan.
Sementara perempuan itu dengan tenang membenahi posisi duduknya lagi setelah berdiri. Membetulkan kaca mata oval yang hampir terpeleset dari punggung hidungnya. Dengan santai ia mengambil tisu mengelap permukaan tangannya.
“Aku paling tidak terima dengan laki-laki yang menyebut perempuan lain lebih cantik dariku. Terlebih ia pacarku sendiri.”
“Tapi bukan maksudku Sayang ....”
“Tapi lu harusnya ngerti, Ver!” potong Cindy.
Ia membentak laki-laki di depannya. Ingin sekali rasanya ia ludahi muka Vero sebab kekesalannya yang memuncak. Pekerjaan di bakery itu bukan perkara mudah. Cindy yang mencarikannya untuk Vero. Cindy yang perlu mengorbankan uang dan banyak hal lainnya. Demi Vero bisa kerja dan lihat sekarang apa yang dia lakukan.
Vero akhirnya tertunduk, merunduk lemas. Malu sekaligus merasa bersalah. Ada banyak kata yang berakhir tercekat di tenggorokannya.
“Harusnya lu ngerti gua sayang sama lu, Ver! Harusnya lu ngerti gua selama ini nungguin lu sukses, lu berhasil meniti karir di perusahaan itu. Harusnya lu ngerti, gua nyariin lu kerjaan di perusahaan itu ga gampang. Dan lu undang gua di cafe ini, siang ini, di mana gua seharusnya bisa kelarin laporan perusahaan dan semua kerjaan gua cuman buat bandingin perempuan itu dengan gua! Lu ngerti gak apa yang lu lakuin?”
“Tapi bukan itu masalahnya sayang.”
Braaaakkkkk .....
“Jadi bener kalau itu bukan masalah? Sekarang karena lu nggak menganggapnya sebagai masalah, gua menuntutnya jadi masalah!” bantah Cindy sambil menggebrak meja.
“Sebentar! Tapi kamu harus dengerin aku dulu. Duh gimana ya jelasinnya, itu masalah tapi bukan itu masalah paling besarnya.”
“Itu masalah besar bagi gua! Ngerti? Kalau lu ga ngerti juga, mending lu cari perempuan yang ngerti sama mau lu,” tegas Cindy yang seketika membuat Vero mengunci mulutnya, diam seribu kata. Mengakhiri pertikaian panjang di dalam cafe. Menarik perhatian beberapa pelayan di balik meja barista.
Tapi jauh di dalam lubuk hatinya Vero hanya ingin menjelaskan kejadian itu. Benar-benar itu bukan salahnya. Vero ingin Cindy sebagai kekasihnya jadi orang pertama yang pertama percaya bahwa itu bukan kesalahannya.
Pertama, siang itu ia diminta untuk mengantarkan sebuah paket makanan ke sebuah rumah di daerah yang tak jauh dari alamat sepetak kosnya berdiri.
Awalnya Vero menaruh curiga dengan kejanggalan perintah itu. Vero adalah seorang tukang masak—meski bukan koki—hanya tangan kanan koki. Tugas mengantarkan makanan bukanlah tanggung jawabnya. Tapi apa boleh buat, selain karena tugas itu dari mandornya langsung dan Vero juga tahu persis rumah itu, akhirnya berangkatlah dia.
Semua berjalan mulus, cuaca cerah, jalanan padat seperti biasanya. Vespa matic warna biru milik Vero sampai di rumah besar lantai dua dengan cat putih gading khas rumah orang kaya. Pintu diketuk,
“Paket makanan untuk Kak Ayu!” teriak Vero.
Seseorang dari dalam membalas dengan berteriak balik. Menyuruh Vero membuka pintu sendiri dan masuk, menunggunya sebentar. Dan kini itulah yang terjadi. Laki-laki itu duduk di ruang tamu, memainkan bola mata, berputar-putar melihat sekitar dirinya berada kini.
Sebuah ruangan langsung di depan mulut pintu. Terhubung dengan empat anak tangga ke arah sebuah ruangan keluarga yang hanya tampak berisi kursi sofa melingkar dengan meja di tengah berisi tumpukan majalah beberapa merek.
Beberapa aksesoris seperti piring gantung marmer atau guci-guci mahal nampak menghiasi sudut-sudut tembok. Di tengah, sebuah lukisan berisi 4 kuda dengan keempat pemacunya tengah melompat di atas lintasan balap.
Vero mulai gusar. Menatap jam di pergelangan tangannya, memperhatikan detik demi detik yang bergerak. Merogoh kantong celana, tak ada notifikasi apa-apa. Balik melihat jam tangan lagi, sudah tiga puluh menit perempuan itu tak kunjung juga muncul.
Tiga puluh menit menunggu Vero akhirnya berdiri, memutuskan untuk mencari pemilik rumah. Baru satu langkah saat suara teriakan seorang perempuan terdengar dari lantai dua rumah.
Toloooonngggg ......!!!!
Tidak salah, itu suara perempuan yang tadi mempersilakannya masuk. Seperti menerima aba-aba. Vero berlari naik secepat yang ia bisa. Tak peduli dengan roti basah yang ia bawa untuk perempuan ini. Ia tak peduli meski sepatunya terlepas sebelah. Ia merasa keselamatan perempuan ini ada di tangannya.
Vero sudah ada di tangga paling atas. Terengah-engah dengan keringat sebesar jagung mengucur dari keningnya.
Ia bergegas membuka satu per satu kamar yang ada. Semuanya terkunci, hanya ada satu kamar yang berhasil Vero buka.
Ia membuka pintu dan menemukan perempuan berbalut handuk itu pingsan. Sayang terlalu polos bagi Vero menyadari apa yang sebenarnya terjadi atau direncanakan untuk terjadi detik itu. Ia tertangkap basah dan perempuan itu mengaku bahwa Vero telah melayaninya.
Vero terbangun dari lamunannya saat melihat Cindy mulai memasukkan barang-barang yang tadinya ia keluarkan di atas meja. Handphone, dompet, cermin kecil, bolpoin, semua ia masukkan ke dalam tas kecilnya lagi.
Vero mulai kebingungan, menarik dompet Cindy, tapi perempuan itu lebih gesit ikut menarik juga.
“Lepasin gak?” bentak Cindy.
Vero menggeleng. “Gak, sampai kamu dengerin semua ceritaku sayang.”
“Sayang? Apa? Sayang? Coba bilang lagi!”
“Sayang,” ucap Vero polos.
Plakkkk ....
Tamparan kedua, lengkap sudah kiri dan kanan. Vero kini tak mengaduh. Tak melenguh sakit atau meringis kesakitan. Ia hanya menatap Cindy kosong, ia tahu ini akan terjadi.
“Kita putus!”
Bersambung .....
“Nggak! Nggak mungkin Wil,” jawab Vero cepat sambil menggelengkan kepalanya.“Ver!” Tangan Wilda menangkap lengan Vero. Menghalangi laki-laki itu pergi dari hadapannya. “Tunggu dulu. Ini masih mungkin Ver! Dengerin baik-baik. Duduk dulu!”Laki-laki yang terlanjur berdiri itu mau tidak mau kini terpaksa duduk kembali. Wajahnya tertekuk, mendengus kesal.“Ayolah, kita bisa balik seperti dulu Ver! Ya kan Pak Januar?” ucap Wilda lagi. Ditambah melempar sorot matanya ke Pak Januar juga. Tapi laki-laki paruh baya itu hanya menundukkan kepalanya. Tak bisa menjawab apa pun.Tampak jauh lebih putus asa. Membuat percakapan tiga orang dalam satu meja itu kini berubah sunyi. Saling terdiam cukup lama, berdebat dengan isi kepalanya masing-masing.“Tapi kau tak tahu masalahnya Wil!” protes Vero akhirnya angkat suara. Memecah keheninga
Seorang laki-laki berlari kencang setelah memarkirkan motornya sembarangan. Mengabaikan teriakan tukang parkir yang lagi-lagi harus membetulkan posisi motornya setelah belasan motor lain sebelumnya. Menggerutu menyumpahi laki-laki yang bahkan jaketnya belum terpasang sempurna di tubuhnya.“Maaf Pak maaf, tolong! Nanti uang parkirnya gua tambahin!”Tubuh kurus dengan gaya rambut yang belum berubah itu melanjutkan larinya. Masih gondrong, diikat ke belakang dengan karet gelang. Ujung rambutnya melambai mengikuti langkah kedua kakinya yang bergerak secepat yang ia bisa.Menyibak kerumunan, berjalan miring, berdesakan, merangsek ke tempat yang masih jauh di depan sana.“Permisi Mbak!”“Maaf Buk. Maaf Pak.”“Saya sedang buru-buru. Maaf bapak ibuk.”Mulutnya tak bisa berhenti mengucapkan sederet k
Semua polisi seketika menundukkan kepala. Melihat laki-laki yang baru saja turun dari motor. Laki-laki yang kini sudah sempurna melepas jaket hitamnya. Memamerkan seragam kepolisian dengan berbagai pangkat menggantung di atas saku kiri bajunya.Sementara Wilda berjalan lebih dulu dari pria tersebut. Menyibak kerumunan, memberi jalan pada laki-laki yang mengekor di belakangnya.“Semoga gua belum terlambat,” ucap Wilda begitu tubuhnya tiba di dekat Vero. Melihat laki-laki itu yang kini mengangkat wajahnya. Tersenyum miring menatap rekan kerjanya yang baru datang itu.“Tadi pagi gua yang terlambat. Sekarang malah jadi elu yang telat datang dasar pahlawan kesiangan,” umpat Vero ke arah laki-laki yang kini heboh di sampingnya.Menarik tangan Vero untuk berdiri tapi tertahan. Baru sadar kalau dua tangan temannya tersebut sudah diikat dengan sepasang borgol.&ldq
“Tidak, tidak mungkin!” Kalimat pertama yang keluar dari mulut Berliana saat ia tersadar dari pingsannya.Pukul lima sore, matahari masih cukup menerangi bumi. Sinarnya masih terasa hangat meski di sebagian belahan bumi terasa dingin. Seperti di depan Restoran Janda. Di mana karyawan dan polisi juga Pak Ferdy masih berkumpul. Mengurai, mencari jalan keluar atas masalah yang terjadi.“Nggak! Nggak mungkin! Nggak mungkin terjadi. Ini pasti mimpi,” ucap Berliana lagi. Sorot matanya kosong. Menatap ke atas, ke kerumunan awan kecil yang berarak di langit.Hampa, bingung, selesai, perempuan itu seperti orang yang goyah kejiwaannya. Jatuh ke dalam lubang terdalam di hidupnya lagi. Ia masih tak percaya dengan apa yang dilihat kedua bola matanya saat tiba di rumah sakit tadi.Belasan orang, rata-rata anak kecil di bawah sepuluh tahun dalam satu kamar rumah sakit. Selang oksigen yang te
Sayangnya, semua sudah terlambat. Sangat-sangat terlambat, tak ada yang berhasil dihadang. Tak ada yang bisa dipitar ulang.Berliana kembali ke restoran dengan perasaan lemas. Kedua kakinya layu, bahkan sudah pingsan saat turun dari mobil yang baru membawanya kembali dari TKP.Pintu mobil terbuka. Matanya yang berderai air mata ditutupi tangan yang memegangi tisu. Vero dan Pak Januar seketika berlari saat tubuh Berliana terlihat berjalan sempoyongan. Meraih kedua lengannya, membopongnya.“Selesai, terlambat, ini semua selesai,” bisik perempuan itu terakhir. Sebelum kesadarannya benar-benar hilang.Suasana restoran berubah mencekam saat belasan polisi tiba-tiba datang. Datang dengan tiga mobil sekaligus.Siapa yang tidak kaget dengan kedatangan mereka tiba-tiba. Semula semua orang mengira bahwa bapak-bapak polisi ini hanya akan makan siang di restoran ini seperti bisan
“Kalau kamu, Ta?” Leher Berliana berputar. Matanya menyorot tajam ke arah perempuan yang ada di sisi kanannya. “Apa ada masalah dengan rotimu? Sebaiknya kali ini kabar baik yang kuterima.”Sama seperti Vero, perempuan itu juga menggelengkan kepala. “Semua aman, Mbak. Tetap di posisi dan bentuk terakhir sebelum saya meninggalkannya pulang kemarin sore. Kabar baiknya, saya juga sudah buatkan kardus khusus untuk mengemas roti ini nanti. Karena kardus yang kita punya di gudang tidak cukup besar untuk mengemasnya. Jadi saya putuskan untuk bawa dari rumah.”“Good!” jawab Berliana singkat. Melipat tangan di dadanya, melirik ke arah Vero dan Dhita bergantian. “Hari ini, seperti kemarin, kita adakan rolling jam. Kalian akan bekerja bergantian lagi. Bedanya, sekarang Vero lebih dulu. Masukkan rotimu ke dalam cup langsung setelah ini. Jadikan seratus cup cake sekalian. Nanti agar lebih cepat biar sa
Kemudian hari baru, menetas lagi.Membuka sebagian banyak mata manusia yang sudah melabuhkan lelahnya di dalam tidur yang panjang. Memberi kesempatan mereka menarik napas lega pagi ini. Merasakan nikmat yang tak terkira di hari yang berbeda.Nikmat yang saking seringnya mereka rasakan sampai lupa bahwa mereka masih memiliki itu semua. Kenikmatan bernapas, kenikmatan membuka mata dengan semua organ tubuh yang masih lengkap. Kenikmatan melihat matahari masih terbit dan mata hati mereka yang masih berani menatap kenyataan.Bahwa bumi masih berputar hari ini. Bahwa matahari masih menggantung di atas langit sebelah timur sana. Bahwa waktu masih memberi kita panggung untuk pentas sandiwara maha agung dengan peran kita masing-masing.Anak sekolah berangkat ke sekolah dengan penuh gairah. Ada yang diantar, ada yang berjalan bersama-sama, ada yang berlarian saling kejar. Nikmat yang bahkan tak pernah mereka s
Dan hari itu pun ditutup seperti hari-hari biasanya.Dimulai dengan pagi hari yang sangat cerah. Ditutup dengan matahari di ufuk barat yang meredup dengan sangat indah. Mengiring orang-orang yang sudah lelah seharian bekerja untuk pulang. Mengantar kalender menutup satu hari barunya. Berganti chapter, mengubah episode tapi dengan kisah yang masih sama.Restoran Janda tutup sedikit lambat hari ini. Tidak seperti hari-hari biasa sebelumnya.Bukan, bukan karena ramainya pengunjung yang datang. Bukan juga karena lembur atau perbaikan alat masak. Bukan juga karena kerja bakti bersih-bersih yang selalu di agendakan oleh mereka setiap akhir bulan.Tapi hari ini, mereka serempak untuk menunggu semua karya Vero selesai. Romantis sekali, bahkan Berliana sampai keluar dari ruangan. Turun ke lantai satu. Berbagi minuman, berbagi kopi dengan semua karyawannya. Berbincang, bergurau dengan semua karyawanny
Sementara itu tepat saat Vero meniti anak tangga, rencana Dhita berjalan sangat lancar. Perempuan licik penuh dendam itu bersumpah tak akan gagal lagi kali ini.Tersenyum penuh kemenangan, di mana pada akhirnya laki-laki itu keliar dari biliknya untuk waktu yang lama.Dhita harus segera menyelesaikan pesanannya, ia tak boleh melewatkan kesempatan ini. Mengambil mangkok sup. Mengisinya dengan seporsi sop buntut. Lengkap dengan taburan bawang goreng dan seledri irisan tipis daging di atasnya.Bergerak lagi mengambil satu piring saji yang pipih dan lebar. Mengambil dua porsi pepes ikan dari panci kukus. Aroma kemangi yang bercampur dengan segarnya tomat dan parutan kelapa menyeruak. Membuah air liur Dhita pecah. Membayangkan menyantapnya dengan nasi putih hangat dan sambal tomat.Tapi tetap saja, aroma itu tak cukup kuat untuk menghentikan Dhita.Tubuhnya sudah bergerak lagi. Berdir