Beranda / Romansa / Terpikat Janda Seksi / Kenangan dengan Cindy

Share

Kenangan dengan Cindy

Penulis: Call Me Ans
last update Terakhir Diperbarui: 2021-06-18 18:38:43

Vero menelan ludah, gerakan naik turun jakunnya tertangkap mata Cindy. Tapi perempuan itu terlanjur tidak ada hati untuk menyadari perasaan laki-laki di depannya. Tak ada lagi belas kasih di hitam bola matanya. Tak ada mimik kasihan di mukanya. Kini yang ada hanya amarah dan kecewa.

“Harus berapa kali gua bilang, gua tak bisa hidup dengan laki-laki pengangguran. Dan lu udah buang sia-sia kesempatan yang gua kasih.”

“Tu ... tunggu!” ucap Vero sambil meraih tangan kanan Cindy yang sudah berbalik badan.

Tangan Vero justru dikibaskan. Sesaat sebelum Cindy menjauhkan kedua tangannya. Ia mengambil sesuatu dari salah satu jari di tangan kanannya, kemudian melemparkannya pada Vero.

“Ambil cincin itu! Itu kan yang lu mau? Oh iya aku baru ingat harga emas sedang bagus-bagusnya sekarang. Lumayan buat bertahan hidup di kosmu. Dan ingat, gua bukan lagi pacarmu, kekasihmu, sayangmu, apalagi tunanganmu. Gua ga mau punya tunangan pengangguran!”

Kursi cafe ditarik mundur. Seseorang yang tadi duduk di sana kini memutar badan memunggungi laki-laki di depannya. Vero dapat dengan jelas menyaksikan punggung itu berjalan menjauh darinya. Suara sepatunya terdengar mengetuk lantai namun tiap langkahnya terasa menyakitkan bagi relung hati Vero.

Ya perempuan itu pergi, benar-benar pergi.

Pergi dari kenyataan Vero. Pergi dari semua mimpi yang ingin mereka berdua bangun. Pergi dari, pelukan cincin emas yang Vero beli untuk memikatnya jadi calon ibu rumah tangga di rumahnya.

Vero kembali duduk, kakinya gemetar menahan kepergian Cindy barusan. Ia tahu, setelah ini, kenyataan pahit akan ia telan utuh-utuh. Tunangan yang ia perjuangkan dengan sepenuh hatinya sudah pergi.

Dan kini, ialah Vero. Laki-laki yang menatap kekosongan dan semua kenangan tentang Cindy. Perempuan yang meremukkan hatinya berkeping-keping.

“Jadi, ini benar-benar berakhir?” gumam Vero dalam hati.

Perempuan itu benar-benar pergi dan segalanya telah usai. Lamunannya mendarat di dua tahun tiga bulan yang lalu.

“Apa rencana lu berikutnya, Ver?”

“Nikah sama lu lah, Cin!”

Pertama kali Vero seberani itu menyatakan perasaannya pada seorang perempuan. Siang hari setelah kelulusan sekolah menengah atas. Di sebuah kedai es campur Uda Firman.

“Enak aja. Kerja dulu! Mau dikasih makan apa aku nanti.”

“Cinta,” jawab Vero singkat.

Selembar serbet kumal melayang, mendarat di wajah Vero yang tampak cengingiran setelah satu kata ‘cinta’ nya barusan.

“Dasar gombal,” ketus Cindy.

“Ya makanya kalau ada lowongan kabarin aku. Kalo udah kerja nikahin kamu juga gampang.”

Cindy mengambil gorengan, menggigitnya disusul ujung cabai hijau. “Boleh, masalahnya tu satu. Kamu mau kerja apa aja?”

Vero meraih punggung tangan Cindy, menangkupkan tangan di atasnya. “Apa aja, asal itu cukup untuk hidup kita berdua.”

Cindy yang saat itu masih teramat polos merasakan bunga-bunga tumbuh semerbak di kebun hatinya. Kalimat Vero barusan terdengar sungguh indah meski ditertawakan beberapa teman di sebelahnya yang mencuri dengar termasuk Uda Firman.

“Halah, si Vero gombal pisan, Teh!”

“Mulut lu wangi banget Ver, sampai Cindy merah pipinya.”

“Gombal, gombal....”

Dan banyak kalimat lain. Percuma, Cindy kini jauh lebih percaya dengan laki-laki di depannya. Tatap mata yang dalam, senyum yang hangat, dan aroma tubuhnya yang harum tercium tipis. Ah, Cindy harus mengakui Vero berhasil mengambil separuh hatinya.

Sejak saat itu Vero dan Cindy mulai sering menghabiskan waktu bersama. Sudah lulus sekolah dan ditambah mereka sepasang kekasih.

3 bulan setelah kelulusan justru Vero yang dapat pekerjaan lebih dulu. Meski tentu saja berkat bantuan Cindy. Kenalan ayahnya yang merupakan seorang pemilik bakery besar di ibukota sedang mencari karyawan baru. Tak perlu ijazah tinggi, SMA cukup. Hari itu juga Cindy menghubungi Vero.

“Tapi aku tak bisa masak, Cindy sayang. Apalagi soal kue.”

“Udah gapapa, Ver! Mumpung ada lowongan. Nanti belajar sambil kerja kan juga bisa. Sebelum kenalan papaku berubah pikiran loh.”

“Tapi, Cin!”

“Ver!” bentak Cindy. “Aku udah berusaha nyariin kamu kerjaan ya. Kamu bilang kamu pengen nikahin aku. Kamu bilang kerja apa aja kamu mau. Kamu bilang ga bakal ninggalin aku. Ya buktiin dong. Aku ga bakal mau pacaran sama laki-laki pengangguran, Ver!”

Vero gemetar menelan ludah.

Ayah dan ibunya selamanya tak akan setuju jika ia bersatu dengan Vero. Cindy adalah anak pemilik saham perusahaan properti besar di Jakarta. Sedang Vero hanya seorang anak dari sepasang buruh pabrik. Kehidupan mereka sudah seperti bumi dan langit.

Mereka dua orang yang keras kepala mempertahankan cintanya di antara bentang jurang nasib. Cindy harap Vero bisa merasakan juga apa yang ia rasakan. Cindy tak ingin berpisah dengan Vero.

“Aku ingin, Cin. Aku ingin segera menikahimu. Tapi apa kau yakin dengan pekerjaan itu? Apa itu cukup?”

Cindy bangun dari tempat duduknya. Berdiri sebentar kemudian secepat kilat merunduk. Menatap wajah laki-laki itu tepat di depan mukanya. Debar jantungnya bertambah cepat, memburu, bersahutan dengan napas Vero yang kini saking dekatnya terasa berjalan di kulit bibirnya. Cindy memejamkan mata, memiringkan wajahnya ke kanan dan,

Muach...

Cindy menahan tubuh dan bibirnya. Cukup lama mereka berpagutan. Hingga beberapa detik kemudian, saat Cindy yakin laki-laki ini memang pantas mendapatkannya, ia menarik diri. Merunduk, menahan malu setengah mati, itu ciuman pertama bagi keduanya.

“Bilang padaku kau ingin melakukannya untukku, Ver! Kau akan bekerja untuk masa depan kita.”

Vero merubah posisi duduknya mendekat ke arah Cindy, memeluknya. Cindy meletakkan kepala di dada Vero sambil memejamkan mata.

“Aku akan melakukannya,” jawab Vero tegas.

Sore itu, di senja dengan tirai gerimis lembut, Cindy memeluk erat Vero. Entah bentuk terima kasih atau karena rasa cintanya yang semakin mengalir deras. Mengisi butiran hemogoblin terkecil di laju darah dalam nadinya. Mengisi degup dadanya yang semakin kencang saat kembali ia memeluknya.

Dan berlanjut hingga malam di tempat berbeda. Satu tahun berpacaran cukup membuat mereka mengerti apa yang sama-sama mereka mau.

Di perbukitan pinggir kota, keluarga Cindy punya sebuah villa yang selalu siap kapan saja dia ke sana. Udara dingin meniup kabut pegunungan. Menelusup di rongga-rongga pintu dan jendela. Masuk lagi ke celah selimut dengan dua orang separuh telanjang di bawahnya.

“Terima kerjaan itu kemudian menikahlah denganku, Ver.”

“Laki-laki mana yang bisa menolak permintaan gadis cantik yang telanjang di atasnya begini sayang??” telisik Vero sambil menggeliat, mendorong tubuh Cindy dari perutnya.

Awwww..... Nakal ya,” teriak Cindy centil, menggeliat dengan sesuatu yang mengeras yang ia duduki.

Sekejap kemudian sudah membungkuk, mencondongkan wajahnya ke wajah Vero. Menciumnya lagi lebih lama. Pagutannya lepas saat keduanya susah bernapas dan suasana makin panas.

“Andai celana dalam di bawah sana lepas, apa yang akan terjadi?” bisik Cindy dengan suara mendesah di telinga Vero.

Vero tak menjawab barang satu kata. Ia menatap mata perempuan yang sungguh ia cintai dalam-dalam itu. Tak lama kemudian tangannya beringsut turun melepas celana dalamnya. Begitu pula dengan Cindy

“Hanya ada satu cara untuk mengetahuinya kan?”

Hu’um... dan nampaknya kita telah sepakat, Uh ....” Cindy yang telah selesai dengan celana dalamnya kembali menduduki Vero. Tersenyum kecil sambil menggigit bibir bawahnya. Menahan jeritannya saat ujung kejantanan Vero mengisi tubuhnya. “Berjanjilah untuk mengambil pekerjaan itu sayang. Berjanjilah padaku!”

Vero mendorong tubuhnya dan, kini ia duduk, dengan perempuan bertubuh mungil itu di pangkuannya. Membuat Cindy kembali melenguh. Merasa tubuhnya makin berimpitan dengan tubuh sixpack laki-laki di bawahnya. Hingga akhirnya Vero menciumnya dengan lembut dan hangat.

“Aku akan menerimanya. Aku akan melakukannya untukmu sayang,” ucapnya setelah mengakhiri ciuman.

Cindy yang gemas dengan jawaban Vero mendorong pinggulnya. Membuat kejantanan Vero masuk jauh lebih dalam hingga habis. Meski terasa sakit, meski berdarah. Dan tentu, meski ini pertama kali untuknya.

Dan keduanya saling balas desahan kenikmatan hingga fajar hampir terbit.

Di hari senin di minggu berikutnya Vero mulai bekerja. Semua terasa aneh bagi Vero. Lingkungan kerja yang aneh. Bapak-bapak yang usianya jauh di atasnya. Tak jarang juga bertemu ibu-ibu genit yang suka menggodanya.

Menyesuaikan diri ternyata tak semudah yang selama ini ia pikirkan. Suara mesin pengocok telur, adonan yang lengket, tepung dan gula yang berserakan di wajah dan tangannya, ia bahkan masih sering memakai celemek terbalik. Satu minggu pertama Vero disibukkan dengan bertanya sana sini dan membuat kekacauan di dapur.

Untung saja pengawas dapur adalah orang yang sabar. Meski tak jarang juga mengancam akan memecat Vero. Tapi itu juga mustahil ia lakukan. Vero adalah kekasih Cindy. Dan perempuan itu, adalah adik dari kekasihnya.

Minggu kedua, Vero mulai terbiasa dengan kegiatan yang berlangsung di dapur. Ia tak lagi bertanya,

“Trus diapain lagi?”

“Habis ini trus?”

“Tepungnya pakai yang mana?”

“Pakai yang cetakan mana?”

“Didieminnya berapa jam?”

Vero sudah mulai terbiasa dengan itu semua. Sudah hafal berapa lama roti brownis dikukus, sudah hafal berapa lama kue nastar diopen. Tak perlu merepotkan rekan kerjanya lagi tentang tahap apa berikutnya yang perlu dia lakukan untuk kue dalam adonan. Tak perlu bertanya lagi cetakan mana yang harus ia pakai.

Semua ini demi perempuan itu.

Ya, perempuan yang tadi, sekitar 15 menit yang lalu duduk di sana. Di seberangnya, di depan secangkir kopi yang bari disesapnya 2 kali. Hal yang kemudian baru Vero sadari.

Bukan hanya dua sesap itu yang hilang dari gelas kopi. Bukan hanya aroma parfum Cindy yang hilang. Bukan hanya senyum dan mata bening yang terbingkai itu yang hilang.

Tapi semua, segalanya, seluruhnya, Cindy. Perempuan yang sebelumnya jadi dunia bagi Vero kini telah hilang. Tak ada lagi makna dalam hidupnya. Pertunangan itu sudah gagal. Semua perjuangannya, semua pengorbanannya, hari-hari buruk di bakery yang telah ia lewati.

Siang berubah sore, sama seperti saat itu tiba-tiba hujan turun. Vero keluar kedai kopi. Menyalakan motor tuanya, membiarkan hujan menghapus air matanya.

Tanpa ia tahu, cerita kisah percintaannya yang lebih rumit baru saja akan dimulai. Bukan dengan Cindy, tapi seorang CEO janda.

Bersambung ....

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Terpikat Janda Seksi   Pulang

    “Nggak! Nggak mungkin Wil,” jawab Vero cepat sambil menggelengkan kepalanya.“Ver!” Tangan Wilda menangkap lengan Vero. Menghalangi laki-laki itu pergi dari hadapannya. “Tunggu dulu. Ini masih mungkin Ver! Dengerin baik-baik. Duduk dulu!”Laki-laki yang terlanjur berdiri itu mau tidak mau kini terpaksa duduk kembali. Wajahnya tertekuk, mendengus kesal.“Ayolah, kita bisa balik seperti dulu Ver! Ya kan Pak Januar?” ucap Wilda lagi. Ditambah melempar sorot matanya ke Pak Januar juga. Tapi laki-laki paruh baya itu hanya menundukkan kepalanya. Tak bisa menjawab apa pun.Tampak jauh lebih putus asa. Membuat percakapan tiga orang dalam satu meja itu kini berubah sunyi. Saling terdiam cukup lama, berdebat dengan isi kepalanya masing-masing.“Tapi kau tak tahu masalahnya Wil!” protes Vero akhirnya angkat suara. Memecah keheninga

  • Terpikat Janda Seksi   Memulai dari awal?

    Seorang laki-laki berlari kencang setelah memarkirkan motornya sembarangan. Mengabaikan teriakan tukang parkir yang lagi-lagi harus membetulkan posisi motornya setelah belasan motor lain sebelumnya. Menggerutu menyumpahi laki-laki yang bahkan jaketnya belum terpasang sempurna di tubuhnya.“Maaf Pak maaf, tolong! Nanti uang parkirnya gua tambahin!”Tubuh kurus dengan gaya rambut yang belum berubah itu melanjutkan larinya. Masih gondrong, diikat ke belakang dengan karet gelang. Ujung rambutnya melambai mengikuti langkah kedua kakinya yang bergerak secepat yang ia bisa.Menyibak kerumunan, berjalan miring, berdesakan, merangsek ke tempat yang masih jauh di depan sana.“Permisi Mbak!”“Maaf Buk. Maaf Pak.”“Saya sedang buru-buru. Maaf bapak ibuk.”Mulutnya tak bisa berhenti mengucapkan sederet k

  • Terpikat Janda Seksi   Tak akan pernah lagi sama

    Semua polisi seketika menundukkan kepala. Melihat laki-laki yang baru saja turun dari motor. Laki-laki yang kini sudah sempurna melepas jaket hitamnya. Memamerkan seragam kepolisian dengan berbagai pangkat menggantung di atas saku kiri bajunya.Sementara Wilda berjalan lebih dulu dari pria tersebut. Menyibak kerumunan, memberi jalan pada laki-laki yang mengekor di belakangnya.“Semoga gua belum terlambat,” ucap Wilda begitu tubuhnya tiba di dekat Vero. Melihat laki-laki itu yang kini mengangkat wajahnya. Tersenyum miring menatap rekan kerjanya yang baru datang itu.“Tadi pagi gua yang terlambat. Sekarang malah jadi elu yang telat datang dasar pahlawan kesiangan,” umpat Vero ke arah laki-laki yang kini heboh di sampingnya.Menarik tangan Vero untuk berdiri tapi tertahan. Baru sadar kalau dua tangan temannya tersebut sudah diikat dengan sepasang borgol.&ldq

  • Terpikat Janda Seksi   Belum terlambat

    “Tidak, tidak mungkin!” Kalimat pertama yang keluar dari mulut Berliana saat ia tersadar dari pingsannya.Pukul lima sore, matahari masih cukup menerangi bumi. Sinarnya masih terasa hangat meski di sebagian belahan bumi terasa dingin. Seperti di depan Restoran Janda. Di mana karyawan dan polisi juga Pak Ferdy masih berkumpul. Mengurai, mencari jalan keluar atas masalah yang terjadi.“Nggak! Nggak mungkin! Nggak mungkin terjadi. Ini pasti mimpi,” ucap Berliana lagi. Sorot matanya kosong. Menatap ke atas, ke kerumunan awan kecil yang berarak di langit.Hampa, bingung, selesai, perempuan itu seperti orang yang goyah kejiwaannya. Jatuh ke dalam lubang terdalam di hidupnya lagi. Ia masih tak percaya dengan apa yang dilihat kedua bola matanya saat tiba di rumah sakit tadi.Belasan orang, rata-rata anak kecil di bawah sepuluh tahun dalam satu kamar rumah sakit. Selang oksigen yang te

  • Terpikat Janda Seksi   Kau menghancurkanku, Ver!

    Sayangnya, semua sudah terlambat. Sangat-sangat terlambat, tak ada yang berhasil dihadang. Tak ada yang bisa dipitar ulang.Berliana kembali ke restoran dengan perasaan lemas. Kedua kakinya layu, bahkan sudah pingsan saat turun dari mobil yang baru membawanya kembali dari TKP.Pintu mobil terbuka. Matanya yang berderai air mata ditutupi tangan yang memegangi tisu. Vero dan Pak Januar seketika berlari saat tubuh Berliana terlihat berjalan sempoyongan. Meraih kedua lengannya, membopongnya.“Selesai, terlambat, ini semua selesai,” bisik perempuan itu terakhir. Sebelum kesadarannya benar-benar hilang.Suasana restoran berubah mencekam saat belasan polisi tiba-tiba datang. Datang dengan tiga mobil sekaligus.Siapa yang tidak kaget dengan kedatangan mereka tiba-tiba. Semula semua orang mengira bahwa bapak-bapak polisi ini hanya akan makan siang di restoran ini seperti bisan

  • Terpikat Janda Seksi   Barang bukti

    “Kalau kamu, Ta?” Leher Berliana berputar. Matanya menyorot tajam ke arah perempuan yang ada di sisi kanannya. “Apa ada masalah dengan rotimu? Sebaiknya kali ini kabar baik yang kuterima.”Sama seperti Vero, perempuan itu juga menggelengkan kepala. “Semua aman, Mbak. Tetap di posisi dan bentuk terakhir sebelum saya meninggalkannya pulang kemarin sore. Kabar baiknya, saya juga sudah buatkan kardus khusus untuk mengemas roti ini nanti. Karena kardus yang kita punya di gudang tidak cukup besar untuk mengemasnya. Jadi saya putuskan untuk bawa dari rumah.”“Good!” jawab Berliana singkat. Melipat tangan di dadanya, melirik ke arah Vero dan Dhita bergantian. “Hari ini, seperti kemarin, kita adakan rolling jam. Kalian akan bekerja bergantian lagi. Bedanya, sekarang Vero lebih dulu. Masukkan rotimu ke dalam cup langsung setelah ini. Jadikan seratus cup cake sekalian. Nanti agar lebih cepat biar sa

  • Terpikat Janda Seksi   Hari pembalasan dendam

    Kemudian hari baru, menetas lagi.Membuka sebagian banyak mata manusia yang sudah melabuhkan lelahnya di dalam tidur yang panjang. Memberi kesempatan mereka menarik napas lega pagi ini. Merasakan nikmat yang tak terkira di hari yang berbeda.Nikmat yang saking seringnya mereka rasakan sampai lupa bahwa mereka masih memiliki itu semua. Kenikmatan bernapas, kenikmatan membuka mata dengan semua organ tubuh yang masih lengkap. Kenikmatan melihat matahari masih terbit dan mata hati mereka yang masih berani menatap kenyataan.Bahwa bumi masih berputar hari ini. Bahwa matahari masih menggantung di atas langit sebelah timur sana. Bahwa waktu masih memberi kita panggung untuk pentas sandiwara maha agung dengan peran kita masing-masing.Anak sekolah berangkat ke sekolah dengan penuh gairah. Ada yang diantar, ada yang berjalan bersama-sama, ada yang berlarian saling kejar. Nikmat yang bahkan tak pernah mereka s

  • Terpikat Janda Seksi   Bahwa semua, sementara.

    Dan hari itu pun ditutup seperti hari-hari biasanya.Dimulai dengan pagi hari yang sangat cerah. Ditutup dengan matahari di ufuk barat yang meredup dengan sangat indah. Mengiring orang-orang yang sudah lelah seharian bekerja untuk pulang. Mengantar kalender menutup satu hari barunya. Berganti chapter, mengubah episode tapi dengan kisah yang masih sama.Restoran Janda tutup sedikit lambat hari ini. Tidak seperti hari-hari biasa sebelumnya.Bukan, bukan karena ramainya pengunjung yang datang. Bukan juga karena lembur atau perbaikan alat masak. Bukan juga karena kerja bakti bersih-bersih yang selalu di agendakan oleh mereka setiap akhir bulan.Tapi hari ini, mereka serempak untuk menunggu semua karya Vero selesai. Romantis sekali, bahkan Berliana sampai keluar dari ruangan. Turun ke lantai satu. Berbagi minuman, berbagi kopi dengan semua karyawannya. Berbincang, bergurau dengan semua karyawanny

  • Terpikat Janda Seksi   Mati kau Ver!

    Sementara itu tepat saat Vero meniti anak tangga, rencana Dhita berjalan sangat lancar. Perempuan licik penuh dendam itu bersumpah tak akan gagal lagi kali ini.Tersenyum penuh kemenangan, di mana pada akhirnya laki-laki itu keliar dari biliknya untuk waktu yang lama.Dhita harus segera menyelesaikan pesanannya, ia tak boleh melewatkan kesempatan ini. Mengambil mangkok sup. Mengisinya dengan seporsi sop buntut. Lengkap dengan taburan bawang goreng dan seledri irisan tipis daging di atasnya.Bergerak lagi mengambil satu piring saji yang pipih dan lebar. Mengambil dua porsi pepes ikan dari panci kukus. Aroma kemangi yang bercampur dengan segarnya tomat dan parutan kelapa menyeruak. Membuah air liur Dhita pecah. Membayangkan menyantapnya dengan nasi putih hangat dan sambal tomat.Tapi tetap saja, aroma itu tak cukup kuat untuk menghentikan Dhita.Tubuhnya sudah bergerak lagi. Berdir

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status