Share

Kenangan dengan Cindy

Vero menelan ludah, gerakan naik turun jakunnya tertangkap mata Cindy. Tapi perempuan itu terlanjur tidak ada hati untuk menyadari perasaan laki-laki di depannya. Tak ada lagi belas kasih di hitam bola matanya. Tak ada mimik kasihan di mukanya. Kini yang ada hanya amarah dan kecewa.

“Harus berapa kali gua bilang, gua tak bisa hidup dengan laki-laki pengangguran. Dan lu udah buang sia-sia kesempatan yang gua kasih.”

“Tu ... tunggu!” ucap Vero sambil meraih tangan kanan Cindy yang sudah berbalik badan.

Tangan Vero justru dikibaskan. Sesaat sebelum Cindy menjauhkan kedua tangannya. Ia mengambil sesuatu dari salah satu jari di tangan kanannya, kemudian melemparkannya pada Vero.

“Ambil cincin itu! Itu kan yang lu mau? Oh iya aku baru ingat harga emas sedang bagus-bagusnya sekarang. Lumayan buat bertahan hidup di kosmu. Dan ingat, gua bukan lagi pacarmu, kekasihmu, sayangmu, apalagi tunanganmu. Gua ga mau punya tunangan pengangguran!”

Kursi cafe ditarik mundur. Seseorang yang tadi duduk di sana kini memutar badan memunggungi laki-laki di depannya. Vero dapat dengan jelas menyaksikan punggung itu berjalan menjauh darinya. Suara sepatunya terdengar mengetuk lantai namun tiap langkahnya terasa menyakitkan bagi relung hati Vero.

Ya perempuan itu pergi, benar-benar pergi.

Pergi dari kenyataan Vero. Pergi dari semua mimpi yang ingin mereka berdua bangun. Pergi dari, pelukan cincin emas yang Vero beli untuk memikatnya jadi calon ibu rumah tangga di rumahnya.

Vero kembali duduk, kakinya gemetar menahan kepergian Cindy barusan. Ia tahu, setelah ini, kenyataan pahit akan ia telan utuh-utuh. Tunangan yang ia perjuangkan dengan sepenuh hatinya sudah pergi.

Dan kini, ialah Vero. Laki-laki yang menatap kekosongan dan semua kenangan tentang Cindy. Perempuan yang meremukkan hatinya berkeping-keping.

“Jadi, ini benar-benar berakhir?” gumam Vero dalam hati.

Perempuan itu benar-benar pergi dan segalanya telah usai. Lamunannya mendarat di dua tahun tiga bulan yang lalu.

“Apa rencana lu berikutnya, Ver?”

“Nikah sama lu lah, Cin!”

Pertama kali Vero seberani itu menyatakan perasaannya pada seorang perempuan. Siang hari setelah kelulusan sekolah menengah atas. Di sebuah kedai es campur Uda Firman.

“Enak aja. Kerja dulu! Mau dikasih makan apa aku nanti.”

“Cinta,” jawab Vero singkat.

Selembar serbet kumal melayang, mendarat di wajah Vero yang tampak cengingiran setelah satu kata ‘cinta’ nya barusan.

“Dasar gombal,” ketus Cindy.

“Ya makanya kalau ada lowongan kabarin aku. Kalo udah kerja nikahin kamu juga gampang.”

Cindy mengambil gorengan, menggigitnya disusul ujung cabai hijau. “Boleh, masalahnya tu satu. Kamu mau kerja apa aja?”

Vero meraih punggung tangan Cindy, menangkupkan tangan di atasnya. “Apa aja, asal itu cukup untuk hidup kita berdua.”

Cindy yang saat itu masih teramat polos merasakan bunga-bunga tumbuh semerbak di kebun hatinya. Kalimat Vero barusan terdengar sungguh indah meski ditertawakan beberapa teman di sebelahnya yang mencuri dengar termasuk Uda Firman.

“Halah, si Vero gombal pisan, Teh!”

“Mulut lu wangi banget Ver, sampai Cindy merah pipinya.”

“Gombal, gombal....”

Dan banyak kalimat lain. Percuma, Cindy kini jauh lebih percaya dengan laki-laki di depannya. Tatap mata yang dalam, senyum yang hangat, dan aroma tubuhnya yang harum tercium tipis. Ah, Cindy harus mengakui Vero berhasil mengambil separuh hatinya.

Sejak saat itu Vero dan Cindy mulai sering menghabiskan waktu bersama. Sudah lulus sekolah dan ditambah mereka sepasang kekasih.

3 bulan setelah kelulusan justru Vero yang dapat pekerjaan lebih dulu. Meski tentu saja berkat bantuan Cindy. Kenalan ayahnya yang merupakan seorang pemilik bakery besar di ibukota sedang mencari karyawan baru. Tak perlu ijazah tinggi, SMA cukup. Hari itu juga Cindy menghubungi Vero.

“Tapi aku tak bisa masak, Cindy sayang. Apalagi soal kue.”

“Udah gapapa, Ver! Mumpung ada lowongan. Nanti belajar sambil kerja kan juga bisa. Sebelum kenalan papaku berubah pikiran loh.”

“Tapi, Cin!”

“Ver!” bentak Cindy. “Aku udah berusaha nyariin kamu kerjaan ya. Kamu bilang kamu pengen nikahin aku. Kamu bilang kerja apa aja kamu mau. Kamu bilang ga bakal ninggalin aku. Ya buktiin dong. Aku ga bakal mau pacaran sama laki-laki pengangguran, Ver!”

Vero gemetar menelan ludah.

Ayah dan ibunya selamanya tak akan setuju jika ia bersatu dengan Vero. Cindy adalah anak pemilik saham perusahaan properti besar di Jakarta. Sedang Vero hanya seorang anak dari sepasang buruh pabrik. Kehidupan mereka sudah seperti bumi dan langit.

Mereka dua orang yang keras kepala mempertahankan cintanya di antara bentang jurang nasib. Cindy harap Vero bisa merasakan juga apa yang ia rasakan. Cindy tak ingin berpisah dengan Vero.

“Aku ingin, Cin. Aku ingin segera menikahimu. Tapi apa kau yakin dengan pekerjaan itu? Apa itu cukup?”

Cindy bangun dari tempat duduknya. Berdiri sebentar kemudian secepat kilat merunduk. Menatap wajah laki-laki itu tepat di depan mukanya. Debar jantungnya bertambah cepat, memburu, bersahutan dengan napas Vero yang kini saking dekatnya terasa berjalan di kulit bibirnya. Cindy memejamkan mata, memiringkan wajahnya ke kanan dan,

Muach...

Cindy menahan tubuh dan bibirnya. Cukup lama mereka berpagutan. Hingga beberapa detik kemudian, saat Cindy yakin laki-laki ini memang pantas mendapatkannya, ia menarik diri. Merunduk, menahan malu setengah mati, itu ciuman pertama bagi keduanya.

“Bilang padaku kau ingin melakukannya untukku, Ver! Kau akan bekerja untuk masa depan kita.”

Vero merubah posisi duduknya mendekat ke arah Cindy, memeluknya. Cindy meletakkan kepala di dada Vero sambil memejamkan mata.

“Aku akan melakukannya,” jawab Vero tegas.

Sore itu, di senja dengan tirai gerimis lembut, Cindy memeluk erat Vero. Entah bentuk terima kasih atau karena rasa cintanya yang semakin mengalir deras. Mengisi butiran hemogoblin terkecil di laju darah dalam nadinya. Mengisi degup dadanya yang semakin kencang saat kembali ia memeluknya.

Dan berlanjut hingga malam di tempat berbeda. Satu tahun berpacaran cukup membuat mereka mengerti apa yang sama-sama mereka mau.

Di perbukitan pinggir kota, keluarga Cindy punya sebuah villa yang selalu siap kapan saja dia ke sana. Udara dingin meniup kabut pegunungan. Menelusup di rongga-rongga pintu dan jendela. Masuk lagi ke celah selimut dengan dua orang separuh telanjang di bawahnya.

“Terima kerjaan itu kemudian menikahlah denganku, Ver.”

“Laki-laki mana yang bisa menolak permintaan gadis cantik yang telanjang di atasnya begini sayang??” telisik Vero sambil menggeliat, mendorong tubuh Cindy dari perutnya.

Awwww..... Nakal ya,” teriak Cindy centil, menggeliat dengan sesuatu yang mengeras yang ia duduki.

Sekejap kemudian sudah membungkuk, mencondongkan wajahnya ke wajah Vero. Menciumnya lagi lebih lama. Pagutannya lepas saat keduanya susah bernapas dan suasana makin panas.

“Andai celana dalam di bawah sana lepas, apa yang akan terjadi?” bisik Cindy dengan suara mendesah di telinga Vero.

Vero tak menjawab barang satu kata. Ia menatap mata perempuan yang sungguh ia cintai dalam-dalam itu. Tak lama kemudian tangannya beringsut turun melepas celana dalamnya. Begitu pula dengan Cindy

“Hanya ada satu cara untuk mengetahuinya kan?”

Hu’um... dan nampaknya kita telah sepakat, Uh ....” Cindy yang telah selesai dengan celana dalamnya kembali menduduki Vero. Tersenyum kecil sambil menggigit bibir bawahnya. Menahan jeritannya saat ujung kejantanan Vero mengisi tubuhnya. “Berjanjilah untuk mengambil pekerjaan itu sayang. Berjanjilah padaku!”

Vero mendorong tubuhnya dan, kini ia duduk, dengan perempuan bertubuh mungil itu di pangkuannya. Membuat Cindy kembali melenguh. Merasa tubuhnya makin berimpitan dengan tubuh sixpack laki-laki di bawahnya. Hingga akhirnya Vero menciumnya dengan lembut dan hangat.

“Aku akan menerimanya. Aku akan melakukannya untukmu sayang,” ucapnya setelah mengakhiri ciuman.

Cindy yang gemas dengan jawaban Vero mendorong pinggulnya. Membuat kejantanan Vero masuk jauh lebih dalam hingga habis. Meski terasa sakit, meski berdarah. Dan tentu, meski ini pertama kali untuknya.

Dan keduanya saling balas desahan kenikmatan hingga fajar hampir terbit.

Di hari senin di minggu berikutnya Vero mulai bekerja. Semua terasa aneh bagi Vero. Lingkungan kerja yang aneh. Bapak-bapak yang usianya jauh di atasnya. Tak jarang juga bertemu ibu-ibu genit yang suka menggodanya.

Menyesuaikan diri ternyata tak semudah yang selama ini ia pikirkan. Suara mesin pengocok telur, adonan yang lengket, tepung dan gula yang berserakan di wajah dan tangannya, ia bahkan masih sering memakai celemek terbalik. Satu minggu pertama Vero disibukkan dengan bertanya sana sini dan membuat kekacauan di dapur.

Untung saja pengawas dapur adalah orang yang sabar. Meski tak jarang juga mengancam akan memecat Vero. Tapi itu juga mustahil ia lakukan. Vero adalah kekasih Cindy. Dan perempuan itu, adalah adik dari kekasihnya.

Minggu kedua, Vero mulai terbiasa dengan kegiatan yang berlangsung di dapur. Ia tak lagi bertanya,

“Trus diapain lagi?”

“Habis ini trus?”

“Tepungnya pakai yang mana?”

“Pakai yang cetakan mana?”

“Didieminnya berapa jam?”

Vero sudah mulai terbiasa dengan itu semua. Sudah hafal berapa lama roti brownis dikukus, sudah hafal berapa lama kue nastar diopen. Tak perlu merepotkan rekan kerjanya lagi tentang tahap apa berikutnya yang perlu dia lakukan untuk kue dalam adonan. Tak perlu bertanya lagi cetakan mana yang harus ia pakai.

Semua ini demi perempuan itu.

Ya, perempuan yang tadi, sekitar 15 menit yang lalu duduk di sana. Di seberangnya, di depan secangkir kopi yang bari disesapnya 2 kali. Hal yang kemudian baru Vero sadari.

Bukan hanya dua sesap itu yang hilang dari gelas kopi. Bukan hanya aroma parfum Cindy yang hilang. Bukan hanya senyum dan mata bening yang terbingkai itu yang hilang.

Tapi semua, segalanya, seluruhnya, Cindy. Perempuan yang sebelumnya jadi dunia bagi Vero kini telah hilang. Tak ada lagi makna dalam hidupnya. Pertunangan itu sudah gagal. Semua perjuangannya, semua pengorbanannya, hari-hari buruk di bakery yang telah ia lewati.

Siang berubah sore, sama seperti saat itu tiba-tiba hujan turun. Vero keluar kedai kopi. Menyalakan motor tuanya, membiarkan hujan menghapus air matanya.

Tanpa ia tahu, cerita kisah percintaannya yang lebih rumit baru saja akan dimulai. Bukan dengan Cindy, tapi seorang CEO janda.

Bersambung ....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status