LOGINMalam itu berlangsung hangat seperti biasanya. Setelah makan malam selesai disajikan, mereka bertiga duduk mengelilingi meja makan dengan suasana yang terasa akrab dan ringan.Gabby, seperti kebiasaannya, mengoceh tanpa henti, menceritakan rencana restorannya, mengeluhkan Rafael yang sulit dihubungi, hingga melontarkan komentar-komentar spontan yang sering kali membuat Leonardo menggeleng-gelengkan kepala dengan ekspresi pasrah.“Papa tahu tidak,” ujar Gabby sambil mengaduk minumannya, “kalau restoran itu nanti penuh orang, aku tidak akan punya waktu duduk santai seperti ini lagi.”Leonardo menghela napas pendek. “Kau yang menginginkannya,” katanya dengan nada datar.“Aku tahu,” balas Gabby cepat. “Tapi mengeluh sedikit tidak apa-apa, bukan?” ujarnya lalu memanyunkan bibirnya sejenak.Alessia yang duduk di samping Gabby hanya terkekeh pelan, menikmati dinamika ayah dan anak itu. Suasana terasa hangat, sebuah ketenangan yang jarang benar-benar mereka sadari nilainya.Namun, ketukan ker
Satu minggu kemudian, mobil yang ditumpangi Alessia dan Leonardo akhirnya berhenti di halaman rumah.Pagi itu cuaca cerah, namun suasana di dalam rumah terasa berbeda, seolah ada sesuatu yang telah menunggu kepulangan mereka.Begitu pintu terbuka, Alessia langsung melihat Gabby berdiri di ruang tengah dengan kedua tangan terlipat di dada. Wajahnya menunjukkan ekspresi yang jelas: kesal, tidak sabar, dan penuh tuntutan.“Sudah puas liburannya?” tanya Gabby begitu mereka melangkah masuk, lalu menyunggingkan senyum tipis yang jelas bukan senyum ramah.Leonardo hanya melirik sekilas ke arah putrinya. Tanpa memberikan jawaban, ia mendekat dan mengacak pucuk kepala Gabby dengan santai, sebuah gestur yang sering ia lakukan seolah ingin meredam emosi anaknya tanpa harus berdebat.Setelah itu, Leonardo langsung melangkah melewati Gabby menuju ruang kerjanya dan menutup pintu tanpa berkata apa pun.Gabby menghela napas panjang sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. “Lihat?” gumamnya kesal. “Sel
Waktu sudah menunjuk angka sepuluh malam. Alessia tengah duduk di sofa kamar yang menghadap ke jendela, tengah menikmati pemandangan malam di sana.Tiba-tiba tangan kekar Leonardo melingkar di pinggangnya dan membuat Alessia menoleh.“Kenapa kau selalu menikmati pemandangan sendirian, tidak mau aku temani?” bisik Leonardo dengan suara seraknya.Alessia menghela napasnya dan menatap ke depan lagi. “Tidak ada alasan. Hanya senang melihat pemandangan di sini. Sangat indah. Pantas saja kau betah tinggal sendirian di sini.”Leonardo terkekeh pelan. “Tapi, kini aku tidak ingin sendiri lagi. Aku ingin menikmati pemandangan di sini denganmu.”“Hanya denganku?” goda Alessia sembari menaikan alisnya.Leonardo mengangguk dan kini wajahnya mendekat pada wajah Alessia. Mencium bibir wanita itu dengan lembut di awal.Tangannya yang panas kini menyusup ke antara kedua paha Alessia. Jari-jarinya menemukan kelembapan yang sudah menggenang di sana.Ia meraba dengan pelan, lalu mengusap dengan ritmis, m
Waktu menunjukkan angka sembilan pagi ketika mereka melangkah keluar dari vila.Udara masih terasa dingin, embun menggantung di ujung-ujung daun pinus, dan tanah di bawah kaki mereka sedikit lembap.Cahaya matahari pagi menyusup di sela pepohonan, menciptakan garis-garis cahaya keemasan yang jatuh lembut di jalur setapak.Alessia melingkarkan tangannya di lengan Leonardo, berjalan berdampingan dengan langkah santai.Tidak ada tergesa-gesa, tidak ada agenda. Hanya mereka berdua dan alam yang terasa begitu hening.“Tempat ini indah sekali,” gumam Alessia pelan.Leonardo mengangguk. “Itu sebabnya aku memilih tempat ini.”Mereka berjalan beberapa langkah lagi sebelum Leonardo kembali berbicara, suaranya lebih dalam, seolah membawa kenangan lama. “Tempat ini dulu sering aku datangi sendirian.”Alessia menoleh, menatap profil wajah Leonardo yang tampak serius. “Sendirian?”Leonardo menghela napas perlahan. “Ya. Setelah ibunya Gabby pergi.”Langkah Alessia melambat, lalu berhenti. Ia menarik
Pagi itu udara di vila terasa sangat sejuk. Kabut tipis masih menggantung di antara pepohonan pinus, sementara sinar matahari baru saja menembus kaca-kaca besar vila, menciptakan pantulan cahaya lembut di lantai kayu.Alessia masih duduk di sofa ruang keluarga, membungkus tubuhnya dengan selimut tipis sambil menikmati secangkir teh hangat, ketika ponselnya tiba-tiba bergetar keras.Satu panggilan masuk.Belum sempat Alessia melihat layar, panggilan itu terangkat sendiri karena getaran berikutnya langsung menyusul.“AL—ESS—IA!”Suara Gabby terdengar begitu nyaring dari seberang hingga membuat Alessia refleks menjauhkan ponsel dari telinganya.“Ada apa, Gab?” tanya Alessia sambil tertawa kecil.“Papa ke mana bawa kau, hah?!” Gabby nyaris berteriak. “Aku bangun pagi, rumah kosong, ayahku menghilang, dan kau juga lenyap begitu saja!”Alessia menutup mulutnya, menahan tawa. “Kami sedang pergi sebentar, Gabby. Kan sudah tahu, kan? Apa kau lupa?”“Sebentar katanya,” dengus Gabby. “Pergi ke m
Malam turun perlahan di antara pohon-pohon pinus yang menjulang, membawa udara dingin yang menyusup lembut melalui celah-celah kaca vila.Lampu-lampu temaram di dalam ruangan menciptakan bayangan hangat, memantulkan cahaya ke dinding kayu yang menenangkan. Suasana itu terasa begitu sunyi, seolah dunia benar-benar berhenti di luar sana.Leonardo menatap Alessia lama, seakan ingin memastikan wanita itu benar-benar ada di hadapannya.Tanpa berkata apa pun, dia melangkah mendekat, lalu mengangkat tubuh Alessia dengan mudah, gendongan bridal yang membuat Alessia refleks melingkarkan lengannya di leher Leonardo.“Leonardo …,” gumam Alessia pelan dan jantungnya berdegup cepat.Leonardo tersenyum tipis. “Tenang,” bisiknya. “Aku memegangmu.”Dia lalu membawa Alessia ke kamar yang luas, tempat ranjang besar berbalut seprai putih bersih menanti di tengah ruangan.Cahaya bulan masuk dari jendela besar, menyinari siluet mereka. Dengan hati-hati, Leonardo merebahkan tubuh Alessia di atas ranjang, s







