แชร์

7. Jangan Jatuh Cinta Padanya

ผู้เขียน: CeliiCaaca
last update ปรับปรุงล่าสุด: 2025-10-15 09:48:23

Ucapan ambigu itu berhasil membuat Alessia terdiam, bahkan membuat tubuhnya semakin membeku di kursinya.

“Kau tidak pernah dekat dengan laki-laki sebelumnya?” tanya Leonardo tiba-tiba.

Gadis itu menoleh dengan cepat. Wajahnya refleks menatap lelaki dewasa di sebelahnya yang kini menatap jalan dengan pandangan fokus.

Namun, rahang tegas dan garis bibirnya tetap memancarkan wibawa yang entah mengapa membuat Alessia semakin gugup. Dia pun menelan ludah, lalu mengangguk dengan pelan.

“Ya,” jawabnya dengan suara pelan namun jujur. “Maaf jika aku terlihat gugup setiap kali di dekatmu, Paman.”

Leonardo mengangguk paham. Ia menghela napas panjang sambil memutar sedikit kemudi, melewati genangan air di tepi jalan.

“Aku mengerti sekarang,” ujarnya singkat.

Setelah itu, hanya suara hujan yang terdengar. Mobil itu melaju perlahan, meninggalkan kawasan sibuk yang sempat macet karena hujan deras.

Alessia bersandar sambil mencoba mengatur napasnya. Ia bisa merasakan jantungnya masih berdetak cepat, seolah baru saja berlari berkilo-kilo meter.

Setiap kali mencium aroma samar parfum lelaki itu—campuran musk dan cedarwood, dia merasa pikirannya berantakan.

Hingga akhirnya, mobil berhenti tepat di depan sebuah gedung apartemen studio sederhana, tempat Alessia tinggal.

Leonardo menatap gedung kecil itu sejenak, lalu menoleh pada gadis muda di sampingnya yang sudah bersiap membuka pintu.

“Terima kasih untuk tumpangannya, Paman. Maaf, sudah merepotkan,” ucap Alessia dengan nada sungkan, sambil mencoba menyembunyikan debar yang belum juga mereda.

“Tidak merepotkan sama sekali,” jawab Leonardo santai, namun dengan senyum tipis yang membuat Alessia kembali salah tingkah.

Tatapan matanya yang dalam seolah bisa menembus pertahanan gadis itu.

Dengan cepat, Alessia keluar dari mobil, hampir seperti melarikan diri dari sesuatu yang tidak bisa dia kendalikan.

Ia membungkuk sedikit sebagai tanda pamit, lalu berjalan cepat menuju lobi apartemen. Dari kaca pintu masuk, bayangan mobil hitam itu masih terlihat diam di tempat sampai membuat hatinya kembali berdebar.

Setelah menekan tombol lift dan menunggu beberapa detik yang terasa begitu lama, akhirnya pintu lift terbuka.

Ia masuk dan menatap pantulan dirinya di cermin lift. Pipi merona, rambut sedikit berantakan, dan senyum bodoh tanpa sadar muncul di wajahnya.

Begitu sampai di lantai tempat unitnya berada, Alessia keluar terburu-buru dan membuka pintu apartemennya.

Ia segera menutup pintu di belakangnya dan bersandar di sana sambil menghela napas panjang.

“Astaga! Sepertinya aku bisa gila jika bertemu dengannya setiap hari,” gumamnya lirih, setengah menyesal, setengah masih terbawa perasaan.

Ia melempar tasnya ke atas ranjang kecilnya lalu duduk di tepinya sambil menenangkan dirinya.

Namun pandangannya tiba-tiba jatuh pada sesuatu di tangannya—sebuah saputangan berwarna putih dengan inisial “L.D.” yang terjahit rapi di sudutnya.

“Ya ampun, aku membawa saputangannya?” katanya panik. “Kalau dia mencarinya, bagaimana?”

Ia menatap benda itu lama, jemarinya menggenggam lembut kain yang masih menyimpan aroma khas lelaki itu.

Dalam kepalanya, bayangan saat tangan mereka bersentuhan tadi kembali muncul—singkat, tapi cukup untuk membuat pipinya memanas lagi.

“Kenapa aku seperti ini?” desisnya frustrasi. “Berhenti memikirkannya, Alessia! Ingat, itu ayah temanmu! Kalau kau jatuh cinta padanya, semuanya akan jadi kacau!”

Dia lalu berdiri dengan cepat sambil mencoba menepis bayangan itu dari pikirannya.

Tanpa pikir panjang, dia melangkah menuju kamar mandi. Air dingin segera menyentuh wajahnya, membantu meredakan panas di pipi dan dadanya yang berdebar tak karuan.

Namun bahkan di tengah suara gemericik air, wajah Leonardo tetap muncul di benaknya—sorot matanya yang tajam, suara beratnya yang menenangkan, dan sikap tenangnya yang entah kenapa terasa berbahaya bagi hatinya.

“Sudahlah,” gumamnya lirih, menatap pantulan dirinya di cermin kamar mandi. “Aku hanya harus menjaga jarak, sejauh mungkin.”

Tapi jauh di dalam hatinya, dia tahu—itu akan jauh lebih sulit daripada sekadar mengucapkannya.

**

Sementara itu, di rumah megah milik Leonardo, suasana tampak tenang dan hangat.

Leonardo duduk bersandar di sofa abu-abu besar, masih mengenakan kemeja hitam yang lengan atasnya tergulung hingga siku.

Di hadapannya, sebuah tablet menyala dengan cahaya kebiruan, menampilkan beberapa berkas dan halaman berita yang sesekali membuatnya mengerutkan kening.

Sesekali ia menatap layar itu lama, lalu menatap kosong ke depan seolah pikirannya berada di tempat lain.

Pintu utama tiba-tiba terbuka, diiringi suara langkah ringan dan ceria.

“Papa! I’m home!” seru Gabby.

Gadis itu kemudian meletakkan tasnya di kursi dekat pintu, lalu berjalan cepat ke arah sang ayah dengan senyum lebar.

Leonardo mengangkat pandangannya sekilas dan menanggapi dengan singkat, “Hm.”

Jawaban datar itu membuat Gabby langsung manyun. Ia menjatuhkan diri ke sofa di samping ayahnya dengan gaya manja, menyilangkan kaki dan menatap sang ayah yang tampak lebih sibuk dengan tabletnya daripada dengan kehadirannya.

“Papa, kau bahkan tidak melihatku,” keluhnya sambil sedikit mencondongkan tubuh untuk melongok ke arah layar tablet.

“Apa yang sedang kau cari, Pa?” tanyanya penasaran, lalu mencoba membaca apa pun yang terpampang di sana.

Gerak-gerik Leonardo langsung berubah. Dengan cepat, dia menekan tombol beranda dan menutup tab yang tadi dia buka, lalu meletakkan tabletnya di atas meja kaca di depan mereka.

“Nothing,” jawabnya singkat, menenangkan nada suaranya agar terdengar alami. “Hanya pekerjaan yang belum aku selesaikan.”

Ia lalu meraih kepala Gabby dan mengusapnya dengan lembut. Sentuhan itu membuat gadis itu tersenyum kecil, meski masih memandangi ayahnya dengan tatapan curiga.

Gabby menaikkan alisnya. Ia tahu betul nada suara ayahnya ketika sedang menutupi sesuatu—bukan kebohongan, tapi semacam hal yang tidak ingin dibicarakan.

Namun, gadis itu terlalu malas untuk menekannya lebih jauh.

“By the way, Papa. Kau mengantar Alessia sampai depan apartemennya, kan?” tanyanya dengan nada santai, seolah hanya ingin memastikan sesuatu yang sepele.

Leonardo menoleh dan mengangguk. “Ya,” jawabnya datar. “Dan sepertinya tidak ada yang memotretku kali ini. Anak nakal itu sudah kuberi pelajaran karena sudah bermain-main denganku.”

Gabby lantas terkekeh pelan sambil menutupi mulutnya dengan tangan.

“Papa ini, terdengar seperti detektif yang baru saja menaklukkan musuh,” katanya sambil tertawa kecil. “Tapi baguslah kalau tidak ada masalah lagi.”

Leonardo hanya mengangguk ringan. Namun, tatapannya sempat melayang sesaat ke arah tablet yang tadi dia tutup.

Hal yang baru saja dia cari dan masih dia sembunyikan dari siapa pun termasuk anak semata wayangnya—Gabby.

“Gabby,” panggil Leonardo kemudian.

“Ya, Pa?” Gadis itu menoleh dan kali ini memperhatikan ayahnya dengan lebih fokus.

Leonardo menatapnya dalam-dalam, seolah sedang menimbang sesuatu yang berat untuk diucapkan.

“Ada yang ingin aku tanyakan padamu,” ujarnya pelan, lalu menambahkan setelah jeda singkat, “Tentang Alessia.”

อ่านหนังสือเล่มนี้ต่อได้ฟรี
สแกนรหัสเพื่อดาวน์โหลดแอป

บทล่าสุด

  • Terpikat Pesona Ayah Temanku   92. Tak ingin Tinggal di Sana Lagi

    Di dalam kamarnya, Alessia menutup pintu dan memutarnya sampai bunyi klik terdengar jelas, seolah itu satu-satunya hal yang bisa melindunginya dari seluruh dunia yang tiba-tiba runtuh.Begitu pintu terkunci, tubuhnya melemas. Ia jatuh berlutut, tangannya gemetar saat meraih figura kecil di meja samping tempat tidur, foto kedua orang tuanya, satu-satunya hal yang selalu ia bawa sejak semuanya berubah bertahun-tahun lalu.Begitu jari-jarinya menyentuh bingkainya, air mata langsung pecah.“Papa, Mama,” suaranya retak dan pecah bukan lagi seperti suara seorang perempuan dewasa, melainkan anak kecil yang kehilangan tempat pulang.Alessia memeluk figura itu erat-erat ke dadanya, seperti ingin menempelkan bayangan kedua orang tuanya kembali ke dalam rongga hatinya yang kini hancur berantakan.Tangisannya memecah hening malam, jeritan lirih yang teredam oleh dinding kamar namun cukup keras untuk membuat pundaknya terguncang hebat.“Aku bodoh,” isaknya, suara terputus-putus. “Bodoh sekali.”Ai

  • Terpikat Pesona Ayah Temanku   91. Rasa Kecewa yang Mendalam

    Pintu ruang kerja baru saja tertutup ketika Leonardo melangkah masuk. Jas masih melekat di tubuhnya, dasi sedikit longgar, wajah lelah.Begitu melihat Alessia berdiri di tengah ruangan, dia tersenyum tipis dan mengulurkan tangan, berniat hendak memeluknya.Tetapi Alessia mundur. Mata mereka bersitatap dengan hening yang menggigit di ruangan itu.“Ada apa?” tanya Leonardo dengan lembut.Alessia tidak membalas. Tubuhnya tegang, bibirnya bergetar, matanya penuh sesuatu yang menghantam ke dalam.Leonardo merasakan hawa berbeda hingga akhirnya senyumnya lenyap. “Alessia?” panggilnya pelan.Wanita itu mengangkat koran yang terlipat. Sudut-sudutnya kusut, bekas jemarinya yang gemetar masih terlihat. Dia mengangkatnya setinggi dada Leonardo.“Apa ini?” tanyanya dengan nada yang begitu tajam dan dalam. Leonardo sontak membeku. Selama sekejap, dia tidak bernapas. Koran itu, yang seharusnya tidak ditemukan, sekarang berada di tangan Alessia. Mata pria itu memudar, seperti seseorang yang tiba-ti

  • Terpikat Pesona Ayah Temanku   90. Sesuatu yang Alessia Temukan

    Jam dinding di ruang tamu menunjukkan pukul sembilan malam.Alessia baru saja tiba di rumah, memeluk cardigan tipisnya erat-erat.Udara malam terasa lebih menusuk daripada biasanya, seolah rumah itu sendiri sedang menyimpan sesuatu. Leonardo belum pulang, masih ada urusan dengan klien yang muncul mendadak.Sebelum pergi, dia sempat menunduk, mencium kening Alessia, dan berkata pelan namun tegas, “Ada beberapa dokumen di ruang kerja, tolong rapikan. Aku akan cek malam ini.”Alessia mengangguk, tanpa berpikir apa pun. Itu bukan permintaan yang aneh karena Leonardo sering meminta hal semacam itu.Dia sudah terbiasa masuk ke ruang kerjanya, menata berkas, menyiapkan materi, atau menambahkan sticky notes di sudut-sudut dokumen sesuai instruksinya.Namun kini, ketika dia berdiri di depan pintu kayu gelap menuju ruang kerja Leonardo, rasanya berbeda.Seakan ruangan itu memancarkan aura misterius yang tak pernah ia sadari sebelumnya.Lampu di lorong remang, dan suara langkah sepatu Alessia te

  • Terpikat Pesona Ayah Temanku   89. Gabby Mengetahuinya?

    Rafael duduk bersandar di atas matras tebal yang belum sempat dilipat sejak sore.Angin malam dari arah danau berembus pelan, membawa aroma tanah basah dan dedaunan yang digesek angin.Suasana berkemah itu seharusnya membuatnya rileks, tapi matanya justru terpaku pada dua sosok yang sedang tertawa pelan di tepi air.Leonardo dan Alessia.Keduanya duduk di batu besar dekat tepian, bercanda tentang entah apa, namun Rafael bisa mendengar tawa ringan Alessia yang kadang pecah.Leonardo terlihat jauh lebih santai daripada yang pernah ia lihat di kantor—bahkan terlalu santai untuk ukuran seorang pria yang begitu disiplin di ruang kerja.Rafael menghela napas pelan, pandangannya tak lepas dari dua sosok yang tampak terlalu menyatu itu. “Bagaimana bisa mereka menjalin hubungan?” gumamnya tanpa memandang ke arah lain.Gabby, yang sedang menyeruput cokelat panas dari termos kecil, menoleh dan menaikkan alisnya. “Menurutmu kenapa?” Dia menirukan nada aneh Rafael.“Serius, Gab. Maksudku, bagaiman

  • Terpikat Pesona Ayah Temanku   88. Deep Talk

    Angin malam di tepi danau bergerak lembut, mengibaskan ujung rambut Alessia ketika waktu sudah menunjuk pukul sepuluh malam.Langit gelap tampak bersih, bulan bulat menggantung besar dan terang, memantulkan sinarnya ke permukaan air yang tenang dan membuat danau tampak seperti kaca perak yang berkilauan.Leonardo dan Alessia duduk berdampingan di sebuah dermaga kayu kecil yang menjorok ke danau.Suara jarak jauh pesta kecil Rafael, Gabby, dan Anthony yang masih membereskan barang-barang terdengar samar, namun dunia di sekitar mereka sendiri terasa sunyi, hangat, dan tenang.Alessia menarik lututnya sedikit, menyandarkan sedikit tubuhnya ke arah Leonardo.Tatapannya mengarah pada pantulan cahaya bulan yang bergetar lembut mengikuti riak air.Tapi pikirannya tidak sepenuhnya ada di sana.Dia menoleh, memandang profil wajah Leonardo, garis tegas rahangnya, siluet hidungnya, dan mata pria itu yang tak berkedip memandang permukaan danau.Ada sesuatu yang berbeda dari raut wajah itu. Sesuat

  • Terpikat Pesona Ayah Temanku   87. Sok Perfeksionis

    Asap tipis mulai naik dari panggangan ketika jam menunjukkan hampir pukul sebelas siang.Cahaya matahari memantul di permukaan danau, membuat suasana piknik menjadi hangat dan cerah.Di tengah harumnya bumbu seafood yang mulai terkena panas, terdengar suara kecil cesss ketika potongan fillet salmon menyentuh permukaan besi panas.Alessia berdiri dengan celemek kain bergambar lemon yang dipinjamnya dari tas piknik Gabby.Sementara Gabby sibuk mengoleskan bumbu pada udang-udang besar yang ditata rapi dalam baskom stainless kecil.Rafael dan Anthony duduk tak jauh dari situ, mengawasi panggangan sambil sesekali mengipasi bara dengan kipas lipat.Semuanya berjalan normal, sampai Leonardo mendekat.Dengan langkah penuh percaya diri, seolah dia seorang chef bintang lima, Leonardo menyingsingkan lengan kemejanya dan menatap panggangan seperti medan perang yang sudah dipetakan dalam pikirannya.“Aku yang urus ini,” katanya sambil mengambil spatula.Gabby spontan mendelik. Alessia mengernyit.

บทอื่นๆ
สำรวจและอ่านนวนิยายดีๆ ได้ฟรี
เข้าถึงนวนิยายดีๆ จำนวนมากได้ฟรีบนแอป GoodNovel ดาวน์โหลดหนังสือที่คุณชอบและอ่านได้ทุกที่ทุกเวลา
อ่านหนังสือฟรีบนแอป
สแกนรหัสเพื่ออ่านบนแอป
DMCA.com Protection Status