Home / Romansa / Terpikat Pesona Ayah Temanku / 6. Tidak akan Melakukan Sesuatu Padamu

Share

6. Tidak akan Melakukan Sesuatu Padamu

Author: CeliiCaaca
last update Last Updated: 2025-10-14 16:07:00

Alessia langsung memukul pelan lengan Gabby dengan ekspresi setengah jengkel. “Kau gila ya?!” serunya dan pipinya memanas karena ucapan Gabby tadi.

Gabby tergelak lalu mengangkat kedua tangannya seolah menyerah. “Hei, hei! Tenang. Aku hanya bercanda, Alessia,” katanya sambil mengerling jahil.

“Tapi serius deh, kau harus segera punya pacar. Biar gosip murahan dari Thomas itu cepat mati.”

Alessia mendengus dan memutar sedotan di gelas jus jeruknya. Tidak mau menanggapi ucapan sahabatnya itu. Hatinya masih panas karena ucapan Gabby barusan, meskipun dia tahu sahabatnya itu hanya menggoda.

“Lihat wajahmu itu,” lanjut Gabby lalu pura-pura menghela napas panjang. “Bahkan kalau kau diam seperti ini, orang akan makin yakin kau menyimpan sesuatu.”

“Gabby, berhenti,” kata Alessia pelan, tapi nada suaranya cukup membuat Gabby berhenti tertawa.

Suasana kantin mendadak sunyi di antara mereka. Gabby menatap Alessia beberapa detik, lalu ponselnya bergetar.

Ia menunduk dan membaca sebuah pesan yang masuk, lalu senyum samar terbit di bibirnya.

“Ayahku mengajak kita makan malam bersama,” katanya dengan nada santai.

Alessia langsung menggeleng. “Aku tidak bisa,” tolaknya dengan cepat.

“Kenapa?” Gabby menaikkan alisnya, jelas tidak puas dengan jawaban singkat itu. “Kau sudah tahu rumahku dan mulai hari ini kau harus sering datang ke rumahku, Alessia!”

Namun, Alessia hanya diam sambil menghabiskan sisa minumannya.

Gabby lantas menyipitkan matanya. “Aku tahu malam ini kau libur kerja, Alessia!”

Alessia menghela napas kasar. “Karena sedang libur, aku ingin istirahat di rumah,” sahut Alessia cepat.

Ia menunduk untuk menyembunyikan ekspresinya sendiri.

Sebenarnya bukan soal merepotkan. Tapi bertemu Leonardo di rumah setelah kejadian malam itu—tatapan matanya, kata-katanya—itu membuat jantung Alessia seperti dikejar sesuatu.

Gabby mendesah pendek. “Selalu saja beralasan.”

Alessia memaksakan senyum tipis. “Maaf, Gabby. Mungkin lain kali saja. Sampaikan pada ayahmu, ya?”

“Hh! Baiklah.” Gabby melihat ke jendela, awan sudah mendung dan jam sudah menunjuk angka empat sore.

Gerimis kecil yang tadi hanya membasahi jalan kini berubah menjadi hujan deras yang mengguyur tanpa ampun.

“Ayo, pulang!” ajak Gabby sambil beranjak dari duduknya.

Alessia mengangguk dan beranjak dari duduknya mengikuti langkah Gabby menuju parkiran.

“Setidaknya aku mengantarmu ke apartemenmu meskipun kau menolak makan malam di rumahku,” ujar Gabby sambil melajukan mobilnya.

Sementara Alessia hanya menempelkan dahinya ke jendela mobil milik Gabby, tengah memperhatikan tetesan air yang memburamkan pandangan ke luar.

“Lihat ini,” keluh Gabby dari kursi pengemudi. “Hujan deras dan jalanan macet. Sangat luar biasa.”

Alessia hanya tersenyum tipis. “Setidaknya kita sudah hampir sampai apartemenku.”

Tapi seperti adegan buruk dalam film, suara mesin mobil tiba-tiba mengerang, lalu mati total. Lampu dashboard pun mulai berkedip-kedip.

“Jangan bilang—” Gabby mencoba men-starter ulang. Tapi mesin tetap mati.

“Kau bercanda, kan?” tanya Alessia tampak mulai panik.

“Sayangnya tidak,” jawab Gabby sambil mengetuk setir. “Mobil sialan ini mogok, Alessia.”

Alessia menarik napas panjang dan mengusap rambutnya yang mulai lembap sambil menatap Gabby yang sedang menggerutu karena mobilnya tiba-tiba mogok.

“Baiklah,” gumam Gabby. “Saat seperti ini, hanya ada satu orang yang bisa kuhubungi.”

Alessia menoleh dengan cepat. “Jangan bilang—”

“Ya,” potong Gabby dengan senyum tipis. “Papa.”

**

Butuh waktu dua puluh menit sebelum lampu mobil hitam mewah menembus derasnya hujan sore itu.

Alessia menunduk dalam jaketnya, berharap hujan segera reda—atau setidaknya berharap bumi menelannya bulat-bulat.

Dari balik kaca kabur, dia melihat Leonardo keluar dari mobil. Pria itu mengenakan jas gelap, rambutnya sedikit basah oleh air hujan, dan membuatnya terlihat semakin berwibawa.

Alessia menelan ludahnya tanpa sadar memperhatikan langkah Leonardo yang begitu menawan.

Leonardo mengetuk kaca jendela dan Gabby langsung membuka pintu. “Maaf, Pa. Mobilku benar-benar mati,” ucapnya sedikit menyesal.

Leonardo tidak banyak bicara. Hanya menatap kondisi mobil sekilas, lalu menatap mereka berdua.

“Kalian berdua ikut aku. Mobil ini tidak akan hidup dengan cepat. Aku akan menghubungi montir dan membawanya ke bengkel.”

Gabby mengangguk cepat dan keluar dari mobil dengan payung. Sementara Alessia ragu-ragu beberapa detik, tapi akhirnya ikut keluar. Hujan begitu deras, bahkan udara pun terasa menggigit kulitnya karena dingin.

Namun sebelum Gabby masuk ke mobil ayahnya, ponselnya berdering. Ia melihat layar dan wajahnya berubah jadi kesal.

“Asisten dosenku menelepon. Aku harus ke kampus lagi—katanya file seminar untuk besok error semua.” Ia mendesah panjang lalu menatap Alessia dan ayahnya bergantian.

“Pa, boleh Alessia ikut pulang bersamamu? Aku harus pergi ke kampus lagi.”

Alessia membelalak. “Apa?! Ta-tapi, Gabby!”

Leonardo menatapnya dengan tenang. “Tentu.”

“T-tunggu! Aku bisa naik taksi—”

Gabby langsung menggeleng. “Di hujan seperti ini? Tidak mungkin. Lagi pula, Papa arah pulangnya sejalan dengan apartemenmu. Jangan banyak alasan, Alessia.”

Alessia sontak kehabisan kata. Akhirnya, dengan langkah ragu, dia masuk ke dalam mobil Leonardo.

Begitu pintu tertutup, suara hujan terdengar seperti irama jauh—meninggalkan mereka dalam keheningan di dalam mobil yang hangat dan remang.

Hanya ada mereka berdua. Lampu jalan memantul di kaca depan, menerangi wajah Leonardo dari samping.

Alessia menundukkan kepalanya mencoba mengatur napasnya yang tiba-tiba tidak teratur.

“Kau basah,” suara baritonnya terdengar tenang.

Alessia terperanjat. “Hah?”

Leonardo merogoh saku jasnya dan mengeluarkan sapu tangan putih bersih. “Pakai ini.”

Alessia menerimanya dengan tangan gemetar. Saat ujung jari mereka bersentuhan, sesuatu seperti aliran listrik kecil menyusup ke dalam kulitnya. Napas Alessia pun langsung tercekat.

Leonardo berhenti sejenak, dan matanya turun ke arah tangannya yang menyentuh jari Alessia.

Lalu dia berkata pelan, “Tanganmu dingin sekali.”

Alessia buru-buru menarik tangannya. “A-aku baik-baik saja, Paman.”

Leonardo tidak mengalihkan pandangannya dari jalan, tapi senyum samar muncul di sudut bibirnya. “Kau selalu begini kalau gugup?”

Pertanyaan itu seperti petir kecil di dada Alessia. Ia membeku di kursinya, sapu tangan itu masih tergenggam di tangannya.

“A-aku tidak gugup, Paman,” jawabnya cepat bahkan terlalu cepat.

“Benarkah?” tanyanya dengan alis terangkat. “Jangan takut. Aku tidak akan melakukan sesuatu padamu.” 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Terpikat Pesona Ayah Temanku   6. Tidak akan Melakukan Sesuatu Padamu

    Alessia langsung memukul pelan lengan Gabby dengan ekspresi setengah jengkel. “Kau gila ya?!” serunya dan pipinya memanas karena ucapan Gabby tadi.Gabby tergelak lalu mengangkat kedua tangannya seolah menyerah. “Hei, hei! Tenang. Aku hanya bercanda, Alessia,” katanya sambil mengerling jahil.“Tapi serius deh, kau harus segera punya pacar. Biar gosip murahan dari Thomas itu cepat mati.”Alessia mendengus dan memutar sedotan di gelas jus jeruknya. Tidak mau menanggapi ucapan sahabatnya itu. Hatinya masih panas karena ucapan Gabby barusan, meskipun dia tahu sahabatnya itu hanya menggoda.“Lihat wajahmu itu,” lanjut Gabby lalu pura-pura menghela napas panjang. “Bahkan kalau kau diam seperti ini, orang akan makin yakin kau menyimpan sesuatu.”“Gabby, berhenti,” kata Alessia pelan, tapi nada suaranya cukup membuat Gabby berhenti tertawa.Suasana kantin mendadak sunyi di antara mereka. Gabby menatap Alessia beberapa detik, lalu ponselnya bergetar.Ia menunduk dan membaca sebuah pesan yang m

  • Terpikat Pesona Ayah Temanku   5. Tidak Tertarik jadi Ibu Sambungku?

    “Jangan melamun seperti itu, Alessia. Nanti orang-orang makin yakin kalau kau benar-benar sedang jatuh cinta pada ayahku.”Gabby menegur Alessia sambil menepuk pundak sahabatnya itu yang sedang duduk di kantin kampus sambil memegang jus jeruk di tangan kanannya.Alessia menoleh dengan cepat. Gabby berdiri di samping meja dengan senyum khasnya—campuran antara jahil dan lembut.Rambut pirangnya tergerai rapi dan blazer pastel yang dia kenakan membuatnya tampak seperti putri konglomerat sejati.“Gabby.” Alessia memaksakan senyum tipis di bibirnya. “Aku hanya sedang berpikir.”“Berpikir tentang gosip gila itu, tentu saja.” Gabby menarik kursi di depannya dan duduk tanpa diundang. “Kau tidak perlu terlalu memikirkannya. Aku sudah tahu semuanya.”Alessia mengerutkan dahi. “Sudah tahu apa?”Gabby menaruh tasnya di pangkuan lalu menatapnya lurus. “Tentang Thomas. Tentang gosip murahan itu. Dan tentang siapa yang sebenarnya meminta Papa untuk mengantarmu malam itu.”Alessia memiringkan kepala

  • Terpikat Pesona Ayah Temanku   4. Informasi Sudah Didapatkan

    Setibanya di taman belakang, Leonardo melepaskan genggaman itu dan menatap Alessia dengan tatapan datarnya.“Alessia,” ucapnya dengan pelan, namun nada suaranya membawa getaran aneh di dada gadis itu.“Mulai sekarang, berhati-hatilah terhadap Thomas. Aku khawatir dia akan melakukan apa pun untuk mempermalukanmu.”Alessia mengerutkan kening, mencoba memahami maksud ucapan Leonardo tadi. “Mempermalukanku? Hanya karena penolakan semalam? Dia akan sejauh itu membalaskan dendamnya?” ucapnya seolah tak percaya Thomas akan melakukan hal gila seperti itu.Leonardo mengangguk tanpa ragu. “Thomas bukan tipe yang mudah menerima penolakan. Apalagi di depan banyak orang. Harga dirinya terlalu tinggi untuk itu.”Kening Alessia masih berkerut. “Maaf, aku belum paham, Paman.”Leonardo menghela napas kasar. “Balas dendam, Alessia. Dia menganggap bahwa kau telah mempermalukannya di pesta semalam. Dan dia harus melakukan hal yang sama padanya.”Barulah Alessia paham. Dia lalu menghela napasnya sambil m

  • Terpikat Pesona Ayah Temanku   3. Kehadirannya di Kampus

    Besok paginya, Alessia kembali ke kampus seperti biasa, menjalani aktivitas rutin sebagai mahasiswi semester enam.Ia berjalan menyusuri koridor dengan langkah ringan sambil membawa beberapa buku di pelukannya. Rambutnya masih sedikit lembap, sisa dari perjalanan yang tergesa.Beberapa mahasiswa menatapnya ketika dia lewat. Pandangan itu terasa berbeda dari biasanya—terlalu lama dan terlalu menilai.Alessia mencoba mengabaikan pandangan itu dan mengira itu hanya perasaannya sendiri. Namun, bisikan-bisikan lirih mulai terdengar dari sudut-sudut lorong.“Katanya, semalam dia pulang bersama ayahnya Gabby.”“Yang pengusaha itu?”“Ya. Kudengar mereka satu mobil. Aneh sekali, bukan?”Alessia berhenti sesaat lalu melanjutkan langkah tanpa menoleh. Ia berharap semua itu hanya kesalahpahaman kecil.Tapi semakin dia berjalan menuju ruang kelas, semakin kuat perasaan bahwa sesuatu telah beredar tanpa kendali.Begitu memasuki ruang kelas, suasana terasa ganjil. Percakapan berhenti sejenak, lalu b

  • Terpikat Pesona Ayah Temanku   2. Kisah yang Tragis

    “Hujannya tidak akan reda sampai pagi, Alessia. Sebaiknya kau menginap saja di sini,” ucap Gabby yang sedari tadi membujuk Alessia agar mau menginap di rumahnya.Sebab jam sudah menunjuk angka sebelas malam.Sementara di luar hujan turun dengan deras mengguyur halaman rumah megah itu hingga lampu taman memantul di genangan air seperti serpihan kaca yang pecah.“Tidak, Gabby. Terima kasih. Taksi sebentar lagi akan tiba. Aku pamit dulu,” ucap Alessia lalu melangkah keluar rumah dengan langkah lebarnya.Tak lama dia tiba di halaman rumah, ponselnya bergetar tanda notifikasi masuk. Layar menampilkan pesan dari aplikasi pemesanan, “Taksi Anda akan tiba dalam 24 menit.”Dua puluh empat menit. Waktu yang terasa seperti selamanya di tengah hujan malam begini.Ia menatap lagi ke arah rumah di belakangnya. Pesta ulang tahun di dalam baru saja usai, dan tawa-tawa yang tadi memenuhi aula kini berganti senyap.Alessia sudah berpamitan dan menolak tawaran untuk menginap. Ia hanya ingin pulang, ke a

  • Terpikat Pesona Ayah Temanku   1. Terpikat Pesonanya

    “Alessia! Kau harus ikut menari dengan kami. Kapan kau akan punya pacar kalau terus menyendiri di sini?!” teriak Gabby sambil menggenggam tangan pacarnya.Alessia tertawa sambil melambaikan tangan. “Nanti saja, nikmati malammu dulu. Aku akan jadi penonton setia.”Bagi sebagian besar yang hadir, pesta ulang tahun ke-21 Gabby Bianchi terasa sempurna.Hidangan mewah tersaji di setiap meja, bunga-bunga mawar putih memenuhi sudut ruangan, dan semua orang berpakaian glamor seolah tengah menghadiri acara bangsawan.Namun di sudut ruangan, Alessia Romano, 21 tahun tengah berdiri dengan segelas jus jeruk di tangannya.Gaun hitam sederhana yang dia kenakan memang tidak terlalu mencolok, tapi itulah dirinya—tidak pernah merasa nyaman berada di pusat perhatian.Senyumnya muncul setiap kali menatap Gabby, sahabat dekatnya sejak SMA, yang kini tampak bersinar bak putri di panggung malam itu.Itu sudah cukup baginya. Alessia tidak terbiasa dengan pesta besar semacam ini.Hidupnya sederhana: kuliah,

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status